"Karena Juangku belum sepantas itu untuk menggenggammu, maka bersabarlah aku akan datang"
"Because my strunggle is still not appropriate to embrace you, so be patient i will come"
Hujan adalah rizki dari tuhan, setiap bulir air yang dijatuhkannya ke bumi merupakan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa, itulah yang diyakini oleh Juang. Meski bersamaan dengan hujan akan ada titik tertinggi emosionalnya disini diuji, jika ia sudah tak kuasa menahan sesak di dadanya, maka jatuhlah air mata kehidupan dari sela kedua kelopak mata itu. Meski begitu suka tetaplah suka, cinta tetaplah cinta, sayang tetaplah sayang, dan dia tetap menyukai hujan, seperti ia menyukai, mencintai dan menyayangi kenangannya dibalik sosok hujan.
Disruputnya secangkir kopi panas itu, terasa nikmat dan hangat dinikmati sembari menunggu hujan reda. Dibukalah buku bersampul kuning berlukiskan setangkai bunga matahari bertajuk KITA, selembar demi lembar buku itu ia baca dengan hikmat, kemudian tanpa sadar bibir manisnya menyimpulkan senyum.
"Juang.. hai.." sosok wanita itu datang dari dalam ruang kichen kafe sembari melambaikan tangan pada Juang, namun tak mendapatkan respon yang sama. "Woe, loe budeg yaa!" tegasnya, tapi tetap tidak mendapatkan respon apapun. Melihat Juang yang amat serius itu, maka diliriknya dari sisi samping kiri belang punggung Juang. Belum sampai ia melihat semuanya, nampaknya Juang telah menyadari kehadiran wanita itu dan bergegas menutup bukunya, memasukkannya dalam tas ransel dan segera bangkit dari tempat duduknya, kemudian berlari secepatnya menuju area parkiran. "Maaf Ra.. gue pergi kerja dulu, udah telat nihh," pamit Juang. Tak ada respon apapun dari Ara (Aronika zoya), dia hanya bisa melongo keheranan melihat sahabatnya itu yang aneh.
Berjalan mendekati meja kasir, sembari berbisik pada Bayu, suaminya "Sayang, temenmu aneh deh", "Itu temenmu juga" timpal Bayu (Bayunanda haikal), "Ehh, iya yaa, lupa" sembari menggaruk kepalanya yang tak gatal sedikitpun dan membuka lebar mulutnya hingga terlihat bongkahan-bongkahan biji giginya yang tersusun rapi. "Sayang-sayang, kamu tau ngak, sespesial apa buku yang dibaca Juang tadi?" tanya Ara.
"Tau, kamu jangan kepo!" jawab Bayu, namun dia hanya menjawab sampai titik itu saja, tidak berlanjut sehingga menumbuhkan beribu-ribu rasa penasaran di benak Ara. Bagaimana tidak, menurut Ara buku itu memang cantik dengan cover kuning berhiaskan bunga matahari yang murni digambar langsung oleh tangan seseorang bukan percetakan, namun selain itu nampak biasa-biasa saja, bahkan setelah diliriknya tadi, yang ia tangkap hanya beberapa lembar akhir buku yang kosong, lantas alasan seperti apa yang membuat Juang selalu membawa-bawa buku tersebut dan mengulang-ulang membacanya. "Aish" semakin difikirkan semakin Ara tak bisa mencerna dan memahaminya, maklum Ara memang sedikit lemot masalah seperti ini, tapi dia tetap sosok sahabat yang baik dan setia kawan, itu sebabnya Bayu menyukainya dan mantab untuk meminangnya kurang lebih 7 bulan yang lalu.
***
��Ceklek" suara standar motor diturunkan, lelaki itu berjalan cepat menuju restoran, dilihatnya jam tangan hitam itu sudah menunjukkan pukul 13.05 WIB, dia terlambat "selamat siang pak, maaf saya telat" menundukkan kepala kemudian duduk tepat didepan bosnya. "Ahh, tidak apa saya juga baru sampai" jawab bosnya. Diumurnya yang menginjak 51 tahun ini bos Juang memang sosok yang terkenal baik dan bijaksana, tak heran Juang amat sangat menghormati dan mengidolakannya. Bagi sang bos, Juang yang sekarang berumur 25 tahun itu sudah seperti anaknya sendiri, bahkan umurnya hanya terpaut 2 tahun lebih tua dari putri pertamanya yang bernama Ayu.
"Kamu mau makan apa nak?" tanya sang bos.
"Ahh, tidak usah pak, saya udah makan" jawab Juang.
"Kamu jangan menolak, saya memaksa!" tersenyum sembari meminta menu pada barista. Jawaban dari mulut Juang itu tentulah sekedar alasan, kenyataannya Juang memang belum makan sedari pagi, hanya sempat makan sepotong roti bakar dan meminum secangkir kopi tadi pagi menjelang siang di Kafe Agraria milik pengantin baru itu (Ara dan Bayu), sahabat Juang.
Juang memang terbiasa seperti itu, sering sekali melewatkan sarapan, apalagi jika saat pekerjaannya menumpuk dan saling melambaikan-lambaikan tangan minta dibelai saat itu juga. Dulu ada seorang wanita yang begitu cantik berparas anggun dengan raut wajah khas Jawanya yang seringkali mengingatkannya, memarahinya, dan tentu saja menghawatirkannya jika dia telat semenit saja waktu makan. Wanita itu perhatian sekali, sampai-sampai tidak sadar jika dirinya sendiri lebih parah dari pada Juang. Wanita itu terlalu sibuk menghawatirkan orang-orang disekitarnya, hingga lupa menghawatirkan dirinya sendiri.
"Nak, nak juang" sembari menepuk pundak juang, dia menyadari kariawan mudanya dan tampannya ini yang sedang melamun.
"Ah, iya pak" Juang terbangun dari lamunannya.
" Makanannya sudah sampai, makan dulu gih" pinlnta sang bos.
Sembari menyantap makanan di meja, mereka mengobrol dengan santai seperti bapak dan anak, lalu tiba-tiba terucap beberapa kata terlontar dari mulut bosnya yang membuat Juang tersedak "Nak Juang tadi pasti mikirin pacarnya yaa, makanya senyum-senyum?" raut wajah Juang memerah padam, dia hanya diam kemudian mengalihkan pembicaraan. "hahahaaa.. tidak apa-apa kalau kamu memang tidak mau menjawab. Sekarang bapak ganti aja pertanyaannya, kenapa kamu bekerja siang malam serajin ini? apakah untuk keluarga? dirimu sendiri? atau untuk orang lain?" ucap bosnya.
"Jujur saja, saya ingin jadi seseorang yang pantas menggenggam setangkai bunga matahari itu tanpa menyakitinya pak" jawab Juang penuh makna.
Juang terbilang sosok yang teramat rajin dan sibuk, disamping dia bekerja sebagai manager pemasaran (marketing) di Perusahaan Interior terbesar di Jakarta, dia juga sosok yang seringkali dimintai bantuan oleh teman seperusahaannya mengenai berbagai hal, karena Juang memang cukup bisa diandalkan dan dipercaya. Diwaktu luangnya, Juang menghabiskan waktunya bersama laptop yang biasa ia panggil sebagai sobat kecil. Bersama sobat kecilnya dia biasa menulis sajak, puisi, cerpen, bahkan novel, awalnya hanya sekedar sebagai tempat untuk mencurahkan segala kegundahan hatinya, namun lama-kelamaan tulisan yang ia buat semakin banyak, dan sepertinya akan mubadzir jika hanya berakhir dengan tulisan saja. Maka ia putuskan untuk mengirimkan satu file kumpulan tulisannya dengan judul FIRST LOVE IN YOGYAKARTA pada salah satu penerbit, tanpa diduga ternyata tulisannya itu diterima dan berhasil diterbitkan. Setelah itu semakin banyak tulisan-tulisan Juang yang beredar dipasaran, dan sekarang Juang sedang berjuang menyelesaikan tulisannya yang berjudul TIDUNG LOVE STORY.