Chereads / IRIDETH / Chapter 7 - IRIDETH - Chapter 5: Build His Future

Chapter 7 - IRIDETH - Chapter 5: Build His Future

"Ini rumahku," ucap Fajar sambil menghentikan langkahnya dan mengubah posisi tubuhnya. Ia dan Irideth kini berada di depan pintu pagar dari sebuah rumah dua lantai yang terlihat sederhana. Tidak terlalu besar, tapi juga tidak terlalu kecil. "Bersiaplah. Begitu masuk ke dalam, pasti kau akan terkejut."

"Hm? Kenapa?" Alis Irideth tertaut.

"Suatu saat lo akan tahu, tapi bukan sekarang."

(Author: Eh salah line :v CUT!!! CUT!!! ULANG WOE ULANG!!! SCENE GAGAL!! SCENE GAGAL!!!)

"Yah, nanti kau akan tahu sendiri," sahut Fajar tanpa menoleh.

Fajar bergegas membuka pintu pagar dan masuk ke dalam diikuti oleh Irideth, kemudian menutupnya kembali. Mereka berdua melintasi teras. Suara-suara yang marah terdengar dari dalam. Kelihatannya, ada yang sedang berkelahi. Dari suaranya sepertinya pria dan wanita.

"Ini semua salahmu!!! Kau terlalu egois!!!"

"Oh, ya?! Lalu bagaimana dengan dirimu sendiri?!"

"Aku minta cerai sekarang juga!!!"

"Aku akan minta cerai dari dulu kalau saja kita tidak punya anak!!!"

"Dasar ..., harusnya dulu kita tidak menikah!!!"

"Bukannya kau yang melamarku?!"

"Su ... suara apa itu?" Kedua mata Irideth membesar begitu gadis itu mendengar suara-suara keributan tersebut.

"Hei. Apa yang terjadi? Keluargamu kenapa?" tanyanya sambil menoleh ke arah Fajar.

"Tak usah khawatir," ujar Fajar dengan raut wajah datar, sama sekali tanpa ekspresi. "Ini sudah biasa."

"Biasa apanya? Ini jelas masalah besar!!" seru Irideth.

"Sudahlah, anggap saja kau tidak pernah mendengar suara-suara tadi." Fajar menggenggam gagang pintu, lalu mulai menggerakkannya ke bawah dan mendorongnya perlahan. Pemandangan yang terlihat tidak menyenangkan langsung tersaji di depan mata. Tampak ayah dan ibu dari Fajar tengah cekcok dan beradu mulut.

"A-Apa ini?!" Irideth terkejut. "Ada apa ini?"

"Sudahlah, tak perlu dipikirkan." Seolah tak peduli terhadap masalah yang terjadi di keluarganya sendiri, Fajar membuka sepatu dan kaus kakinya, lalu mengelap kakinya di keset dan masuk. Ia melempar tasnya ke kursi, kemudian melanjutkan langkahnya dan menuju kamar ganti.

"Aku akan mandi dulu. Kau langsung saja ke kamarku di atas."

"Hei, apa kau akan membiarkan mereka? Tidak mau melerai?!" Irideth menunjuk kedua orangtua Fajar.

"Aku tak mau ikut campur. Nanti terlibat."

"He-Hei!! Tunggu!!!"

———————————————————————————

"Kau ini benar-benar ...." Irideth berucap sambil menatap Fajar yang baru saja selesai mandi dan tengah berbaring telungkup di tempat tidurnya. "Hei, kau benar-benar tidak mau melerai mereka?"

"Tidak. Kau ini cerewet sekali. Sudah kubilang aku tidak mau terlibat. Sudah kubilang, 'kan? Ini sudah biasa. Setiap hari aku selalu menyaksikan pemandangan seperti ini."

"Tapi ini jelas tidak baik!!" ucap Irideth dengan wajah tegas. "Setidaknya jika kau tidak ingin melerai mereka, setidaknya kerjakan PR-mu!!"

"PR, ya? Ah, besok juga ada ulangan." Fajar mulai mengubah posisi tidurnya yang tadinya telungkup menjadi telentang.

"Nah, makanya kerjakan dan belajar!!"

"Bodo amat. Ayah dan ibu juga tidak akan peduli sekalipun nilai di rapotku nol semua." Fajar menutup wajahnya menggunakan bantal guling. "Lebih baik cepat tidur dan lupakan semua hal menyebalkan yang terjadi pada hari ini."

"Kau ingin terus hidup seperti ini?! Kau ingin kehidupanmu kacau?!"

"Dari dulu memang sudah kacau."

"Bagaimana dengan masa depanmu?!"

"Aku tidak peduli. Itu urusan nanti."

"Kau mau jadi pengangguran?!"

"Yah, jadi apa saja boleh asalkan aku bisa terbebas dari neraka bernama 'rumah' ini."

"Kau mau tidak punya masa depan, huh?!"

"CEREWET!!!! KAU TIDAK TAHU APA-APA, DIAM SAJA!!!" Tiba-tiba Fajar bangkit dari posisi berbaringnya dan melempar gulingnya, membuat Irideth terlonjak kaget. Urat-urat wajahnya mulai tampak dan mukanya memerah. Matanya melotot. "AKU MEMANG SUDAH TIDAK PUNYA MASA DEPAN LAGI!!!"

"Apa ... maksudmu?"

"Semua usaha yang kulakukan selalu berakhir gagal. Semua impianku direnggut begitu saja dariku. Semakin keras aku mencoba, kehidupanku justru menjadi semakin kacau."

"Tapi, ini belum kiamat!! Kau masih bisa mengubah-"

"Tak bisa diubah." Fajar menundukkan kepalanya dengan lesu. "Ini sudah nasibku."

"Kenapa ... kenapa ...." Air mata mulai mengaliri wajah Fajar. "Kenapa cuma aku yang seperti ini?"

"Semua temanku mengejar mimpi mereka dengan penuh sukacita, dengan penuh semangat, didukung oleh keluarga mereka, sedangkan aku ...."

"Semua usaha yang kulakukan selalu gagal. Semua orang yang mendekatiku selalu berakhir meninggalkanku."

"Semua temanku punya tempat untuk pulang ..., sedangkan aku ... yang kupunya hanya neraka ini. Penjara yang disebut 'rumah' ini. Apa ini kutukan? Aku tidak merasa pernah melakukan kesalahan di masa lalu ...."

"Ini tidak adil ...."

"Hei, Irideth," ucap Fajar sambil menoleh ke arah sang gadis iblis yang tengah memasang raut wajah iba. "Kau sudah tahu sekarang, 'kan? Kehidupanku yang sebenarnya."

"Ya," sahut Irideth.

"Jadi bagaimana? Kau ingin tetap tinggal bersamaku? Jika tidak, kau bisa pindah ke tempat lain sekarang juga. Kau boleh meninggalkanku. Tidak masalah, kok. Biasanya aku juga selalu sendiri."

"Meninggalkanmu ketika kau sedang menghadapi masalah-masalah besar ini sendirian? Kau bercanda, ya?" Irideth terkekeh geli. "Mana mungkin aku membiarkan kehidupanmu hancur."

"Lalu kau mau apa?" Fajar memalingkan wajahnya. "Gelas yang sudah pecah berkeping-keping takkan bisa disatukan lagi."

"Memang, tapi bukankah gelas itu bisa diubah menjadi sesuatu yang lebih artistik atau dimanfaatkan untuk kerajinan tangan?" ujar Irideth. "Mungkin tak bisa seperti dulu lagi, tapi aku akan membuat kehidupanmu menjadi lebih baik."

"Omong kosong," ucap Fajar tanpa menoleh.

"Kau bilang kau tidak punya masa depan lagi, 'kan? Bukan 'tidak akan bisa punya masa depan lagi.' Aku akan membantumu. Kita bisa menjadi teman."

"Benarkah?" Fajar menoleh ke arah Irideth.

"Tentu saja," ucap Irideth sambil tersenyum.

"Kalau begitu, kau harus janji kau tidak akan meninggalkanku seperti yang lainnya." Fajar menyodorkan jari kelingkingnya. Irideth segera menyambutnya dan mereka saling menautkan jari kelingking, sebuah simbol perjanjian.

"Ya, aku janji!!"

'Kenapa ... aku baru menyadarinya sekarang?' Irideth membatin. 'Aku adalah gadis yang sangat bahagia dan beruntung ..., hanya saja aku yang tak berusaha untuk melihat berkat itu dan mensyukurinya.'

'Bodohnya aku ....'

'Masalahku tidak ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan masalah hidup pemuda ini.'

'Dia selalu sendirian dan tidak punya tempat untuk pulang. Setiap hari, yang menunggunya pulang di rumah hanyalah pertengkaran keluarga.'

'Tapi, dia masih kuat dan terus menjalani hidupnya, menyembunyikan semua rasa sakit yang dia dapatkan di balik wajah datarnya.'

'Sedangkan aku yang masih punya teman dan tempat untuk pulang, justru sudah menyerah untuk berjuang dan memilih hidup dalam dendam.'

'Aku tidak bisa membiarkan hidupnya hancur seperti ini.'

'Akan kubangun ... masa depan untuknya ....'

-Bersambung-