Chereads / IRIDETH / Chapter 13 - IRIDETH - Chapter 11: Tenggelamnya Mentari

Chapter 13 - IRIDETH - Chapter 11: Tenggelamnya Mentari

"Tari?!"

"Bodoh!! Kenapa kau membantuku?! Nanti kau juga akan jadi sasaran mereka, tahu!!" bentak Fajar sembari berusaha menyesuaikan langkah kakinya.

"Bukan cuma kamu yang tidak punya jalan pulang lain," sahut Tari. Kedua matanya masih memandang lurus ke depan supaya dia tidak tersandung dan jatuh. "Buat pulang ke rumah, aku juga harus melewati jalan ini. Otomatis, aku jadi melihatmu ditindas, dan tanganku seketika gatal. Jadi, kubantu saja."

"Kalaupun berhasil kabur hari ini, tetap saja kita akan ketemu dengan mereka lagi besok!!" balas Fajar. "Aku kenal betul sifat para berandalan bengis itu!! Semakin kita berusaha melawan atau lari, penyiksaan dari mereka bakal tambah menyakitkan. Baik kau maupun aku, kita akan tambah menderita!! Kau dengar, 'kan?!"

"Kalau diam saja, nggak akan ada yang berubah!!!" balas Tari dengan volume suara yang tak kalah keras. Cukup mengejutkan bagi Fajar, mengingat gadis itu terkenal pemalu.

"Kalau diam, sama saja aku membiarkan kesempatan berhasilmu hilang begitu saja. Lebih baik kuambil risiko bertambahnya penderitaanmu daripada itu terjadi."

"Selain itu.., aku masih bisa tinggal diam jika aku sendiri yang menderita, tapi kalau orang lain mengalaminya..., mustahil aku diam saja."

"Apa boleh buat...." Fajar menggertakkan giginya. Dia merasa kesal, tapi di saat bersamaan juga kagum. Keinginan untuk membuat ikatan mulai timbul di dalam hatinya, seiring dengan melambatnya langkah kakinya dan langkah kaki Tari karena mereka berdua sudah tiba di tempat aman. Kala keduanya benar-benar berhenti berlari, dia menatap wajah gadis berkacamata tersebut lekat-lekat.

"Mulai sekarang, aku juga akan melindungimu."

————————————————————————————————

Fajar's Point of View

Semenjak saat itu, semangatku perlahan-lahan bangkit kembali. Keberadaan Tari mendorongku untuk memberi perlawanan kepada murid-murid badung itu, dan untuk percaya sekali lagi pada kemampuanku sendiri. Jujur, rasanya agak aneh. Mungkin bisa dibilang terasa bodoh juga. Diriku yang sudah menyerah dalam jangka waktu lama, bisa bangkit lagi. Bukan karena kehadiran backing-an baru, belajar ilmu beladiri, atau sejenisnya, tapi karena melihat tekad dari seorang gadis yang sama lemahnya denganku. Rupanya yang kubutuhkan selama ini hanyalah seorang teman yang mau melangkah bersamaku, tidak lebih dari itu.

Seiring berjalannya waktu, geng murid berandalan itu mulai menemukan cara-cara baru untuk mengatasi strategi buatan diriku dan Tari, dan kami pun terus membuat counter untuk cara-cara tersebut. Walau seringkali strateginya gagal, kami terus berjuang dan saling melindungi. Tari juga terus menyemangatiku setiap kali badai perasaan frustasi menerpa, padahal kondisi keluarganya kacau-balau seperti keluargaku. Bahkan setelah tiga bulan yang sebagian besar dipenuhi rasa sakit berlalu, dia masih terus mewujudkan makna namanya. Anggapanku tentang gadis itu ternyata salah. Dia benar-benar bersinar terang demi mengusir kegelapan layaknya Mentari.

Waktu itu, aku sama sekali tidak mengira... bahwa di balik cahaya terangnya itu terdapat harga mahal yang harus dia bayarkan.

Harga itu adalah... nyawanya sendiri.

Suatu pagi, ketika baru saja bangun tidur, aku menerima kabar yang sangat mengejutkan sampai membuatku secara refleks melompat dari atas kasur. Tanpa mandi dan dengan hanya memakai sepatu sandal serta piyama, aku bergegas menuju rumah Tari. Napasku memburu. Aku masih tidak percaya dengan isi chat yang tersaji jelas di layar handphone milikku tadi. Kucubiti sekujur tubuhku sambil berlari demi membuktikan kalau yang kualami sekedar mimpi yang rasanya terlalu nyata, tapi hasilnya nihil. Itu bukan mimpi, melainkan kenyataan.

Sesampainya di rumah Tari, fakta pahit tersebut makin terbukti lagi. Tampak orang-orang mulai berkumpul di sana, walau memang jumlahnya belum terlalu banyak. Beberapa di antaranya adalah teman sekelasku. Raut wajah mereka yang sendu dan reaksi mereka yang langsung menepuk punggungku secara bergantian seolah memberi kekuatan membuat perasaanku semakin tidak enak. Seorang pria paruh baya kemudian memanggil namaku, memperkenalkan diri sebagai ayah dari Mentari, dan mempersilahkanku masuk.

Di dalam rumah, kulihat sejumlah orang sedang berusaha menghibur seorang wanita paruh baya yang menangis tersedu-sedu. Tampaknya, wanita tersebut adalah ibu dari Mentari. Sebuah tubuh gadis remaja terbaring kaku di atas ranjang yang terletak tepat di sampingnya, sama sekali tak menunjukkan tanda kehidupan. Tak salah lagi, itu adalah Tari.

Beberapa detik berselang, perhatian sang wanita teralihkan oleh keberadaanku. Wanita itu menyapaku. Dengan air mata yang masih mengalir, dia bercerita panjang lebar tentang bagaimana menyesalnya ia karena telah mengabaikan Tari selama ini, tentang bagaimana ia tidak pernah menduga bahwa beban berat yang ditanggung Tari akan sampai menyebabkannya memilih mengakhiri hidup sendiri, dan sebagainya. Namun, hanya sebagian kecil dari ceritanya yang kudengarkan. Semakin lama, pikiranku semakin tenggelam pada lautan kegelapan. Disandera oleh keputusasaan. Terpaku pada fakta bahwa Tari telah meninggalkanku untuk selamanya, dan bahwa aku akan menjalani semuanya sendirian lagi. Sempat terpikir olehku untuk menyusulnya. Untung saja, aku berhasil mengurungkan niat itu setelah melihat isak ibu dari Tari.

Namun, tetap saja semenjak detik itu hariku tak sama lagi. Kilauan semangat di dalam hatiku lenyap, dan aku kembali hidup tanpa tujuan layaknya zombie.

————————————————————————————————

Kembali ke Masa Kini

Third Person Point of View

"Begitulah." Fajar menutup ceritanya sembari menepuk-nepuk debu sisa pertarungan tadi yang masih menempel di seragam sekolah yang dia kenakan. Tanpa mereka berdua rasakan, matahari telah terbenam sepenuhnya dan hari telah gelap. Gang sepi itu kini hanya diterangi oleh lampu-lampu yang minim.

"Jadi begitu, ya. Tak kusangka hidupmu dulu sekelam itu." Kedua mata milik Irideth menatap penuh iba.

"Sekarang itu sudah tidak masalah lagi, kok." Fajar berujar, tersenyum lebar sembari berusaha bangkit berdiri kembali. Kali ini remaja tersebut berhasil menegakkan tubuhnya. "Kamu ada di sini sebagai penerus Mentari. Kamu memang berbeda dengannya karena cerewet, tukang menggoda, dan suka ikut campur. Pokoknya sangat menyebalkan. Tapi, aku bisa merasakannya...."

"Cahaya harapan yang kamu kirimkan ke dalam diriku... sama persis dengan milik Mentari waktu itu. Cahaya itulah yang membuatku bisa seberani ini, setekad ini, dan sebahagia ini. Terima kasih sudah mengirimkan itu, Irideth."

"Tidak perlu seberterimakasih itu," sahut Irideth. "Aku juga tertolong oleh-"

"Eh, sebentar. Barusan kau bilang 'kamu'?!" Gadis itu membelalakkan kedua matanya, terlihat kaget.

"Iya, kenapa memang?" tanya Fajar keheranan. "Kita sudah tidak menganggap satu sama lain sebagai orang asing lagi, jadi harus diperhalus bahasanya."

"Tapi, kudengar di dunia ini kaum pria cuma menggunakan kata 'kamu' saat bicara pada keluarga, orang yang lebih muda, dan... pacar."

"Hah?! Apa maksudnya mengatakan itu?" Muka Fajar mendadak berganti warna menjadi semerah tomat.

"Aku curiga saja," Irideth mengangkat kedua tangannya. "Jangan-jangan kamu...."

"Hei, jangan berspekulasi yang aneh-aneh!!"

"Kalau bukan, kenapa mukamu semerah itu sampai kelihatan jelas di tengah suasana remang-remang? Jangan pakai alasan 'cuacanya panas', ini sudah malam."

"Ah, ya, betul katamu. Ini sudah gelap. Kita harus buru-buru pulang ke rumah sebelum malam tambah larut. Lagipula, kalau orang lihat aku bicara sendiri begini, nanti bakal muncul isu kalau gang ini angker. Ayo!!"

"Menghindari pertanyaan, ya? Taktik cadangan yang gampang ditebak."

-Bersambung-

Yak, saya kembali setelah diserang oleh lomba beruntun, tugas, ujian, dan ketiadaan mood menulis 🗿 Terimakasih atas penantian panjangnya selama lima bulan, walau saya tak tahu masih ada yang baca atau tidak :v Seperti biasa, terimakasih sudah meluangkan waktu untuk membaca dan sampai jumpa di chapter berikutnya!!

-Author