"Na-Namaku ...."
"Namaku Mentari .... Kalian semua ... bisa memanggilku Tari. Aku pindahan dari SMP Kilau Berlian. Hobiku ... adalah membaca buku. Salam kenal, semuanya ...," ucap gadis itu sambil membungkukkan tubuhnya, yang segera disambut oleh ejekan-ejekan.
"Sudah kuduga, kutu buku."
"Ah, gadis culun ternyata."
"Pasti dia lebih tertarik pada buku daripada lawan jenis."
"Bubar, bubar. Ceweknya kutu buku ternyata."
Mendengar itu semua, tentu saja Fajar membatin sekali lagi, masih dengan wajah datar serta tidak bersemangat layaknya penderita penyakit tifus.
'Namanya bagus, sih. Sayangnya, kau tidak akan bisa bersinar di lingkungan yang kejam dan dipenuhi kegelapan abadi ini. Makna dari nama itu tidak akan terwujud, sama seperti pada kasusku.'
"Harap tenang, semuanya!!! Harap tenang!!!"
Teriakan serta suara nyaring yang timbul dari tepukan tangan sang guru wanita membisukan siswa-siswi yang mulai ribut lagi.
"Terima kasih atas perkenalannya, Mentari. Ibu harap kamu bisa akrab dengan teman-teman di sini. Dan ibu juga berharap siswa-siswi kelas ini bisa berteman baik dengan Mentari." Beliau berujar dengan tatapan mata setajam silet yang ditujukan pada para murid di hadapannya. Sebuah tatapan yang mampu membuat murid-murid bergidik ngeri.
"Nah, Tari, sekarang kamu bisa duduk di bangku yang masih kosong di barisan tengah sana." Ibu Guru mempersilahkan gadis tersebut duduk sambil mengganti ekspresi mukanya yang menyeramkan dengan senyum ramah.
Tari pun mengangguk dan melangkah ke tempat duduk yang ditunjukkan. Lalu, dengan sorot mata yang berubah serius, sang guru kembali ke mejanya, mengambil sebuah buku pelajaran untuk guru dari dalam tas miliknya, dan kemudian membukanya. Jari-jemari lentiknya bergerak secepat angin, menelusuri halaman-halaman pada buku itu hingga akhirnya ia tiba pada satu halaman yang dituju.
"Baiklah." Guru wanita tersebut berujar sembari menahan pinggiran halaman menggunakan bagian belakang dari penghapus papan tulis agar tidak tertutup kembali dengan sendirinya. Ia kembali menatap lurus ke arah depan, tempat para muridnya duduk. "Mari kita mulai pelajarannya."
————————————————————————————————
[Sepulang sekolah]
Bel pulang sekolah telah berbunyi. Hanya dalam hitungan menit, halaman depan serta tepi jalan raya di luar pagar sekolah sudah dipenuhi oleh siswa-siswi dengan aktivitas yang beragam. Ada yang buru-buru pulang, ada yang menunggu jemputan, ada yang jajan dulu, ada yang mengobrol dulu, ada yang mengutil dagangan yang sedang ditinggal sebentar oleh penjualnya, ada yang- Ah, sudahlah. Terlalu banyak untuk disebutkan seluruhnya.
Lalu, Fajar termasuk ke dalam golongan yang mana? Tentu saja golongan 'langsung pulang'. Dia tidak tertarik dengan jajanan, tidak punya teman mengobrol, dan pulang dengan berjalan kaki. Jadi, buat apa menunggu di depan sekolah? Lagipula, hari ini adalah hari berharga di mana Fajar tak punya kewajiban piket maupun PR yang harus dikumpulkan besok. Ulangan juga tidak ada. Biarpun cuaca siang ini sangat terik, menghabiskan waktu setengah jam saja untuk menunggu di sekolah baginya adalah sebuah pemborosan besar. Selain itu, mau dia pulang tepat waktu atau terlambat, tetap saja bakalan dipalak oleh para murid berandal itu.
Dan benar saja. Tepat seperti dugaan Fajar, sosok-sosok siswa pemalak segera terlihat begitu dia memasuki gang kecil yang sepi. Ya, Fajar sudah dipalak sejak ia masih kelas 1 SMP, tepatnya dua bulan sebelum adegan dalam flashback ini. Laki-laki muda itu sebetulnya sempat berniat pindah sekolah begitu lulus SMP. Namun, sayang seribu sayang, ia tak lolos seleksi SMA Negeri dan biaya SPP di sekolah swasta lain di daerah tersebut terlalu mahal baginya. Mau tidak mau, Fajar harus melanjutkan pendidikan di sekolah yang sama dan bertemu lagi dengan gerombolan murid perundung yang tidak pernah diberi tindakan tegas seperti DO maupun pelaporan ke aparat berwajib. Paling banter hanya diberi skorsing dan omelan. Alasannya? Tentu saja karena orangtua mereka ialah donatur-donatur utama sekolah. Uang memang tidak bisa membeli segalanya, tapi bisa membeli kekuasaan yang besar. Itulah kenyataan pahit yang harus kita hadapi di dalam kehidupan ini.
Baiklah, mari kita kembali ke flashback di mana Fajar tengah dirundung oleh gerombolan preman kelas.
"Kalian mau apa lagi?" tanya Fajar.
"Uangmu, tentu saja." Pemimpin dari geng berandalan itu tersenyum bengis. "Cepat berikan kalau kau tak mau berakhir babak belur."
"Hari ini, aku tak punya sisa uang jajan," sahut Fajar. "Semua sudah habis."
"Halah, mau coba berbohong dia. Kami gak dungu, tahu!!!" bentak murid berandalan yang lain.
"Aku berbicara jujur." Fajar berkata sekali lagi.
"Sini, serahkan tasmu!! Biar kami yang periksa sendiri," perintah si pemimpin geng sembari mengulurkan tangannya yang besar serta berotot.
"Oke, oke. Aku memang punya sisa uang, tapi takkan kuberikan pada kalian karena itu hak milikku." Fajar kembali menyahut, seolah tidak memiliki rasa takut. Tampaknya dia telah dengan cepat terbiasa dengan pem-bully-an ini.
"Belagu seperti biasanya, ya." Si pemimpin geng murid berandalan memukul-mukulkan kepalan tangan kanannya ke telapak tangan kiri, diikuti oleh teman-temannya yang meng-'kretek' persendian di leher serta jari-jemari. "Kalau begitu, kita harus pakai cara kekerasan."
Menghembuskan napas berat, Fajar melepas tas ransel miliknya dan memosisikannya di depan tubuh, bersiap menghadapi hujan tinju yang dilontarkan oleh para murid berandal. Dia mengira akan pulang dalam keadaan bonyok seperti biasa. Bagi Fajar, semenjak beberapa bulan lalu ketika ia mulai menjadi korban bullying dan kedua orangtuanya cekcok untuk pertama kali di hari yang sama, dunianya sudah benar-benar hancur, pecah berkeping-keping. Bahasa kerennya: "It can't be helped." Waktu seakan terhenti. Setiap hari terasa sama saja. Namun, kali ini, ada sesuatu yang berbeda.
Di saat Fajar sudah siap menerima pukulan, mendadak sebuah batu berukuran besar menimpa kaki sang bos berandal hingga ia mengaduh kesakitan berkali-kali. Beberapa detik berselang, kaki anggota-anggota geng yang lain pun ikut jadi korban.
"Eh?" Fajar menurunkan tas ransel yang dipakainya sebagai perisai, kebingungan. Sebuah tangan segera menyambar tangan pemuda tersebut setelah itu, membawanya kabur dengan sangat cepat sampai-sampai dia hampir menjatuhkan ranselnya.
"Ayo!!! Sebelum kita terkejar," ucap si pemilik tangan dengan suara khas anak perempuan.
Fajar yang penasaran pun menoleh ke samping dan mendapati wajah yang mengejutkan.
"Tari?!"
-Bersambung-
Yak, akhirnya cerita ini dilanjutkan lagi setelah hampir 3 tahun terbengkalai 😅 Ntah masih ada yang baca atau tidak. Namun, mumpung mood nulis romance saya sedang balik (berkat drama Boku Dake Ga 17-Sai No Sekai De, wkwkwk), saya akan berusaha melanjutkan apa yang memang seharusnya dilanjutkan.
Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca dan sampai jumpa di chapter berikutnya!!
-Author