Hari sudah petang dan langit mulai berhias lembayung senja. Kelas hari ini akhirnya selesai. Aku meregangkan kedua tanganku seraya berjalan keluar dari kelas. Perlu diingat, kalau aku pulang paling akhir.
Aku mengeluarkan ponsel dan earphone dari ransel dan menyumbatkannya ke kedua telinga. Aku memilih lagu secara random.
Loser oetori sen cheokhaneun geopjaengi
Motdoen yangachi geoul soge neon
Just a loser oetori sangcheoppunin meojeori
Deoreoun sseuregi geoul soge nan I'm a
Aku bukan pecinta musik K-pop, tapi dalam ponselku terdapat beberapa lagu korea, termasuk ini. Aku suka iramanya, cepat, meski jika diartikan dalam bahasa Indonesia artinya cukup keras menampar. Lagu berjudul Loser yang dibawakan oleh BIGBANG.
Soljikhi sesanggwa nan eoullin jeok eopseo
Holloyeossdeon naegen sarang ttawin beolsseo
Ijhyeo jinji orae jeo sigan soge
Deo isangeun mot deutgesseo huimangchan sarang norae
Neona nana geujeo gildeuryeojin daero
Gakbon soge norananeun seulpeun ppiero
Nan meolli wabeoryeosseo I'm coming home
Ije dasi doragallae eoril jeok jejariro
Eonjebuteonga nan
Haneul boda ttangeul deo baraboge dwae
Sumswigijocha himgyeowo
Soneul ppeotjiman geu nugudo nal jaba jujil anhne I'm a
Banbokdoeneun yeojadeulgwaui nae silsu
Harusbameul saranghago hae tteumyeon silhjeung
Chaegimjiji mot hal naui igijeogin gippeum
Hana ttaeme modeun geosi manggajyeobeorin jigeum
Meomchul jul moreudeon naui wiheomhan jilju
Ijen amureon gamheungdo jaemido eopsneun gibun
Na byeorang kkeute honja issne I'm going home
Na dasi doragallae yejeonui jejariro
Bibirku bergumam mengikuti lirik lagu dan sedikit menggoyangkan kepala menikmati irama. Mengabaikan makna sesungguhnya, musiknya dapat membius membuatku menggerakkan tubuh mengikuti alurnya.
Eonjebuteonga nan
Saramdeurui siseoneul duryeowoman hae
Uneun geosjocha jigyeowo
Useobojiman geu amudo nal arajujil anhne i'm a
Paran jeo haneureul wonmanghaji nan
Gakkeum naeryeonohgo sipeojyeo I want to say good bye
I girui kkeute banghwangi kkeutnamyeon
Budi huhoe eopsneun chaero du nun gameul su issgil.
Loser oetori sen cheoghaneun geobjaengi
motdoen yangachi geoul soge neon
Just a loser oetori sangcheoppunin meojeori deoreoun sseuregi geoul soge nan i'm a
Loser
I'm a loser
I'm a loser
I'm a loser.
Lagu terhenti dan bersambung lagu lain berirama slow, lagu pengantar tidur yang biasa aku putar ketika sulit terlelap. Aku terus berjalan sambil memasukkan kedua tangan ke saku jaket. Rasanya dunia hanya berisi aku seorang. Tidak ada suara bising lainnya selain musik yang ada di telingaku. Begitu tenang dan damai.
Bruk!
Hampir aku mengumpat karena menabrak sesuatu yang sangat keras sampai keningku terasa nyeri. Itu bukan tembok, masih sedikit agak empuk tapi tetap saja sakit. "Apa sih ini—" tenggorokanku tercekat melihat apa yang kutabrak barusan. Tak disangka aku harus bertemu lagi.
Dosen yang mengajar di kelas pertamaku tadi. Siapa namanya tadi? Ar apa? Aish, aku lupa. Ia menatapku dingin sambil mengangkat sebelah alisnya tinggi. "Apa?"
Aku tersenyum kaku, menyembunyikan keengganan untuk bicara dengannya. Padahal kampus ini luas, tapi kenapa rasanya hari pertamaku selalu berputar padanya? "Nggak pak. Maaf saya nabrak bapak. Permisi, saya duluan." Aku berbalik hendak pergi, menjauh dari sumber masalah.
Untuk kedua kalinya aku hampir mengeluarkan kata umoatan karena tangan kananku di tarik paksa hingga goyah hampir jatuh dan mundur kembali ke tempat semula.
"Emangnya saya udah maafin sama udah saya kasih ijin buat pergi?"
"Kenapa harus izin dari bapak? Kan sekarang bukan lagi jam pelajaran bapak." Sepertinya dia memang hobi membullyku. Baru hari pertama tapi dia sudah begitu semena-mena. Kemana pidato bijaknya tadi pagi tentang bersikap sopan?
Rahang dosen itu mengeras dan cengkraman di tangan menguat membuatku meringis. "Selagi kamu masih di area kampus, saya dosen kamu. Kamu harus nurutin ucapan saya. Mau tinggal kelas?"
Spontan aku menggeleng, menyebalkan memang, tapi dengan kuasanya, bisa saja ia lakukan. Ugh, itu menyebalkan. Aku mencoba melepaskan tangannya. Namun baru sedikit aku menyentuh tangannya, seketika ia menarik tangannya, mengusapkan ke baju seolah aku cacing tanah yang kotor. Kurasa dia bukan maniak kebersihan tapi memang sengaja untuk memancing emosi. Aku mengembuskan napas perlahan, mengatur emosi supaya lebih tenang.
"Oke, maafin saya, Pak. Lain kali saya nggak akan gitu lagi, tapi boleh saya pulang? Saya harus jagain adek saya di rumah."
"Jangan alasan," desisnya menyipitkan mata, tak percaya pada ucapanku.
Kalaupun aku jelaskan, dia tidak akan percaya bukan? Apa harus kubawa Noval sekalian untuk memberikan keterangan supaya dia tidak menahanku seperti ini?
"Lagian kalo alasan juga apa hak bapak sih? Kelas terakhir saya udah beres. Saya mau pulang, Pak." Rasanya lelah sekali. Setelah menghadapi hari penuh cibiran dari orang-orang asing, aku masih harus berhadapan masalah lainnya.
Hening sesaat, sebelum kemudian ia menatapku lekat, menelisik. Ia lantas bertanya, "Pipi kamu kenapa merah? Abis berantem?"
Reflek tanganku terangkat menyentuh pipi. Merah? Apa karena tamparan tadi ya? Memang sih masih sedikit terasa perih. Mengerikan bukan? Rasanya lebih baik ditinju saat dulu aku masih sering mengikuti lomba karate daripada ditampar. Lebih baik nyeri daripada perih.
"Itu balesan karena dia godain pacar orang," sahut seseorang dari belakang dosen itu. Dosen itu berbalik, sementara aku memiringkan kepala melihat perempuan berpakaian serba merah berjalan ke arah kami. Aku ingat, dia perempuan yang tadi aku temui di perpustakaan.
Melihat cara berjalannya yang terkesan aneh, sebelah alisku meninggi. Ayolah, bagaimana tidak aneh, pinggulnya itu sengaja di goyangkan kanan kiri dengan berlebihan. Sakit ambeien apa?
Perempuan itu mendekat dan langsung melingkarkan kedua lengannya di tangan kanan dosen berkemeja putih itu, seolah ingin pamer dan menunjukkan kedekatan atau mungkin rasa kepemilikan. Entahlah. Ia menatapku sinis, bibirnya bengkok menunjukkan kesan remeh jijik.
Apa salahku? Diam-diam aku mengeluh dalam hati, mengembuskan napas pelan, mengalihkan pandangan.
"Bukan cuma sesama pelajar yang kamu goda, tapi dosen juga kamu godain," ucapnya meremehkan sambil bergelayut manja di lengan dosen yang tampak memasang ekpresi dingin.
Aku hanya terdiam. Menatap perempuan itu dengan tatapan polos, pura-pura tidak tahu, pura-pura bodoh. Meski dalam hati aku merasa begitu panas. Menggoda apanya? Enak saja.
"Ibu kenapa? Lagi sakit ambeien ya? Tadi saya liat jalannya mencong-mencong kayak mentok. Mau saya beliin obat, bu?"
"Ppftthh."
Aku menoleh menatap dosen itu yang menahan tawa membuat wajahnya tampak aneh, lalu beralih menatap perempuan berbaju merah itu yang tampak kesal sambil menghentakkan kaki. Ia melepas kedua tangannya dari lengan dosen itu seraya berjalan cepat ke arahku. Tangannya terangkat tinggi dan sepertinya bertenaga, hendak menamparku, tapi mataku menajam melihatku. Sepersekian detik, aku berjongkok.
Plak!
Hening.
Aku menahan tawa hingga bibirku bergetar. Perempuan itu, bukannya menamparku malah menampar dosen berkemeja putih tadi. Berputar karena tak sampai menamparku dan berakhir dengan tangannya terdampar di muka orang lain. tubuhnya sedikit limbung, hampir jatuh.
Ia tampak gelagapan dan takut. Ekpresi dosen itu tampak datar dengan cap lima jari di wajahnya.
"Sa-sayang, aku minta. A-aku nggak sengaja," ucap perempuan itu gelagapan. Keringat sebesar biji jagung timbul di keningnya. Ia tiba-tiba melirik tajam ke arahku yang masih berjongkok. "Ini semua gara-gara kamu!"
"Lah kok saya?" Tunjukku pada diriku sendiri. "Bu, saya cuma menghindari tindak kekerasan yang mengancam keselamatan saya. Ya itu bukan salah saya dong, salah ibu mau nampar saya. Kenapa bu? Mau jadiin saya model buat drama ibu yang tadi?" Tanyaku polos. Namun sebenarnya menyulut percikan api menjadi api besar.
Wajah perempuan itu sewarna dengan perona pipi merah yang ia pulas. Kedua tangannya mengepal dan kaki jenjang memakai sepatu berhak tinggi hendak menendangku. Tapi aku buru-buru menghindar saat ia menendang dan bertumpu pada bahu membuatnya kehilangan keseimbangan.
Bruk!
Aku berdiri, menatapnya sambil meringis membayangkan pasti sakit terjatuh di lantai dengan posisi menyamping dan hak sepatu yang patah.
"Akh! Sakit. Ares tolongin aku." Perempuan itu mengulurkan tangannya pada dosen berkemeja putih tersebut yang menatapnya datar. "Ares! Tolongin aku!"
Aneh, ada ya orang menangis tanpa air mata?
Tidak mau ambil pusing aku berpamitan. "Pak, bu, maaf saya harus pulang. Saya duluan. Permisi. Oh iya bu, saran saya kalo nangis pake air mata, biar nanti dramanya banyak yang tepuk tangan."
Aku pergi sambil menahan tawa mendengar teriakan dan juga umpatan perempuan itu untukku. Siapa yang peduli?
---
Sampai dirumah ketika langit sudah gelap dan lampu rumah tampak sudah menyala. Perasaan bersalah mengalir, teringat semenjak Papa meninggal dan Mama bekerja, Noval sering di rumah sendirian. Akupun tak bisa selalu ada untuk Noval, kuliah sering kali membuatku sering pulang sore atau bahkan malam.
Aku mengeluarkan kunci rumah dari saku celana, membuka pintu. Setelah kembali mengunci pintu dan melepas sepatu, aku mengucapkan salam tapi tak ada jawaban, menimbulkan penasaran.
Hatiku berdenyut ngilu, melihat Noval tertidur di meja makan sambil duduk menghadap sepiring nasi goreng yang masih utuh dan dingin. Aku merasa tidak bisa menjalankan tugasku sebagai kakak. Noval bisa memasak, itu karena kurangnya intensitas kehadiran kami di rumah, mengharuskannya menjadi lebih mandiri. Memang ada bagusnya, tapi aku merasa tak berguna.
Sekalipun dia menyebalkan, selalu menindasku dan menyindir, tapi tetap saja dia adikku. Adik yang dulu aku inginkan. Saat Noval masih dalam perut Mama, aku sering meluangkan waktu untuk bicara dan mengusap perut dan berdoa supaya dia cepat lahir agar aku punya teman.
Mengingatnya, sesak menyelimuti beriring kumpulan air mata yang menggenangi mengaburkan pandangan.
Aku mengusap puncak kepala Noval, menyingkirkan beberapa anak rambut yang menutupi wajahnya. Hidungku terasa panas dan tenggorokanku tercekat ketika hendak bicara. Aku mendongak, menghalau air mata agar tak turun. "Val …"
Noval melenguh, terusik tidunya dan perlahan terbangun. "Kakak udah pulang? Ini jam berapa?"
"Jam tujuh," jawabku sambil mengelus rambutnya. "Sholat isya bareng yuk? Nanti makan, udah makan belom?"
Noval menguap sambil menggosok ujung mata yang beraie. "Udah. Nih, Kak," ia menyodorkan piring itu ke dekatku. "Makan dulu. Tadi Noval bikin nasi goreng, sekalian aja buat Kakak. Abis makan terus sholat."
Aku menggeleng pelan. "Nanti aja, kita sholat dulu ya?"
Noval mengangguk tanpa protes.
---
"Assalamua'laikum warahmatullah. Assalamua'laikum warahmatullah."
Aku dan Noval selesai sholat isya dan tentunya juga tidak lupa memanjatkan doa bagi Papa di surga sana. Noval berbalik meminta tanganku untuk salim. Saat Noval menyalami tanganku, tangis tidak bisa aku tahan. Perasaan sedih yang berhasil kuredam sebelumnya, kini tumpah. Aku langsung memeluknya erat-erat.
"Kak? Kakak kenapa? Lepas ah!" Noval berontak dalam pelukanku. Tapi aku menahannya dan mengeratkan pelukan.
"Maafin kakak," ucapku serak. "Kakak nggak pernah ada waktu buat kamu. Mama sama Papa nitip kamu sama Kakak, tapi nyatanya Kakak nggak ngelakuin apa-apa buat kamu. Kakak nggak becus. Kamu pantes marah sama kakak."
Bulir air mata jatuh membasahi baju koko berwarna biru yang dipakai Noval. Adikku terdiam. Namun, kedua tangannya balas memelukku erat dan mengusap pundak. "Jangan nangis, Kak. Harusnya Noval yang ngomong gitu sama Kakak. Noval nggak marah sama Kakak. Noval laki-laki, tapi Noval masih bergantung sama Kakak. Kakak yang terbaik. Maaf Noval sering bikin Kakak kesel."
"Maafin kakak," bisikku lirih dan Noval tak menjawab.
Aku bisa merasakan tubuh Noval bergetar, ia menyandarkan kepala di bahuku. Perlahan, isakan terdengar pelan. Dibalik Noval yang menyebalkan, Noval sebenarnya anak yang rapuh dan sensitif. Ia selalu berusaha kuat meskipun aku pernah membaca buku hariannya yang mengatakan kalau Noval kesepian tanpa adanya aku dan Mama.
Ya. Noval punya buku harian. Isinya tidak full berisi curhatannya, terdapat beberapa rumus matematika, fisika dan beberapa materi pelajaran penting yang harus Noval hapalkan.
Aku mendorong pelan tubuh Noval mengakhiri pelukan dan mengenggam kedua tangannya. "Maafin Kakak. Kakak tau kamu kesepian. Kadang Kakak kangen loh, Noval yang dulu manja sama kakak. Noval yang dulu sering minta gendong. Noval yang dulu sering minta disuapin, tapi semenjak Papa nggak ada, kamu berubah. Noval ... kamu punya Kakak sama Mama. Maaf Kakak sama Mama nggak pernah ada di rumah buat nemenin kamu."
Mata Noval memerah. Air mata menggenangi pelupuk matanya. Ia mulai menarik ingus lalu menghambur memelukku erat sambil menangis pilu. Aku memeluk Noval erat, membiarkan adik laki-lakiku untuk pertama kalinya menangis keras menumpahkan kesedihan yang tidak pernah ia biarkan terlihat.
Dulu, saat kepergian Papa, Noval adalah yang paling tegar. Ia tidak menangis, hanya matanya yang berkaca-kaca dengan raut sendu. Saat aku membujuknya untuk tak menahan diri, ia selalu menggeleng sambil berkata;
"Laki-laki nggak boleh nangis. Kalo laki-laki nangis, siapa yang bakal jagain perempuan waktu sedih? Makanya laki-laki harus kuat."