Di luar gerbang kampus, aku meminta Nando menurunkanku. Ia bertanya kenapa, tapi aku hanya membalasnya dengan berkata kalau aku tidak mau merepotkannya. Dan itu memang benar, aku tidak mau mempunyai hutang budi padanya. Terlebih aku baru mengenal Nando kemarin.
Aku berjalan sendirian di halaman kampus. Melihat beberapa mahasiswa ataupun mahasiswi lain yang tengah duduk berkelompok membahas sesuatu tampak asik dan heboh. Aku belum punya teman atau kenalan selain Nando, membuatku hanya bisa sendirian
Setelah aku memilih berjalan sendiri, aku tidak melihat Nando. Ia pergi entah kemana setelah aku menemaninya membeli novel, bukannya buku pelajaran. Aku sedikit aneh, biasanya perempuan yang hobi membeli novel, tapi ternyata dari yang Nando katakan, ia punya koleksi novel yang cukup banyak di rumahnya.
Pukul sepuluh kurang lima belas, aku sudah sampai di kelas. Sudah ada beberapa mahasiswa lainnya yang duduk sambil mengobrol. Aku duduk di barisan paling belakang, menyumbat telingaku dengan earphone lalu membuka buku.
Entah berapa lama aku membaca, tapi rasanya sudah lama. Namun, hal yang membuatku mengernyit adalah dosen yang belum juga hadir. Aku menutup buku setelah lebih dulu menandai halaman terakhir yang aku baca lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Hei! Hei! Pak Alif nggak akan masuk katanya!" Tiba-tiba seorang laki-laki berkaos biru berseru sambil memegangi ponselnya.
"Nggak usah bohong lo. Katanya Pak Alif—" ucapan seorang perempuan yang duduk di ujung terpotong oleh seruan lain.
"Bener! Pak Alif nge-WA, katanya sakit perut."
"Ada tugas nggak?"
"Nggak ada. Cuma suruh buat baca-baca buku aja."
Sontak saja itu membuat seisi kelas bersorak senang. Bahkan ada yang merayakannya dengan berjoged di depan kelas. Satu persatu orang-orang keluar dari kelas menyisakan aku sendirian. Aku menghela napas dan bangkit berjalan ke luar kelas.
---
Di taman, aku duduk di bangku panjang sambil meneruskan bacaanku, tentu saja dengan earphone yang mengantung di kedua telingaku. Angin sepoi-sepoi menerpa rambutku yang terikat tinggi. Suara daun dan ranting seakan berpadu menjadi suara alam yang masih dapat aku dengar meski telingaku tersumbat earphone.
"Permisi, boleh saya duduk di sini?"
"Boleh," jawabku singkat tanpa menoleh dan terus fokus membaca.
Terdengar deritan dan kursi panjang yang berat tanda seseorang duduk tidak jauh dariku. Tidak ada kata bahkan percakapan yang terjadi. Aku sibuk dengan buku dan entahlah dengan apa yang dilakukan orang di sampingku, tapi aku merasa tidak nyaman, seolah ada yang memperhatikanku.
Risih, aku menurunkan buku lalu mengedarkan pandangan untuk melihat. Namun saat aku menoleh ke samping, tubuhku menegang mengetahui siapa yang sedari tadi bicara.
"Hai, ketemu lagi," sapanya tersenyum lebar. Laki-laki berkulit sawo matang dengan bola mata coklat terang. Senyumnya terlihat familiar "Kamu yang tadi di toko buku kan?"
Aku tersenyum kaku. "Iya. Kamu juga tadi yang di toko buku. Kuliah di sini juga?"
Laki-laki itu mengangguk seraya bertanya, "Nama kamu siapa?"
"Nova."
"Nova aja?"
Aku melepas earphone sambil menutup buku saat menatap ke arahnya. "Aurum Gauri."
Sebelah alisnya terangkat tinggi membuatku tersenyum kecil. "Emas. Iya tau. Nama kamu siapa?
Laki-laki itu mengulas senyum. "Agmar."
Sebelas alisku terangkat tinggi. "Agmar aja?" Tanyaku mengikuti nada bicaranya tadi.
Tawanya terdengar mengalun, tak tersindir dan malah sepertinya terhibur. "Oke-oke, nama aku Agmar Asegaf. Kamu bisa manggil aku Agmar."
Dari gaya bicaranya sepertinya Agmar bukan dari orang Bandung. Aku lalu memberanikan diri untuk bertanya. "Kamu bukan dari orang Bandung ya?"
Agmar menganggukan pelan, menatapnya dari dekat membuatku dapat melihat jelas tulang pipi yang agak menonjol dan matanya yang dalam. "Iya, aku bukan dari orang Sunda. Aku asli Jawa Tengah."
Kedua alisku terangkat terkejut. "Anak rantau?"
"Iya, aku ngekos disini. Udah dari umur tujuh belas aku di Bandung," paparnya membuatku mengangguk, paham. Kalau semisal umurnya dua puluh lebih, ambil kata 23 pastinya ia mahir berbahasa sunda, meskipun medok Jawanya masih samar terdengar.
"Kenapa kamu ke sini? Pindah ke Bandung? Sendirian aja? Nggak takut apa?" Tanyaku bertubi-tubi.
Ia menggeleng. "Awalnya aku ke Bandung sama Pale, tapi Pale udah meninggal tiga taun yang lalu. Jadinya aku sekarang sendiri. Single."
"Tapi kamu pulang ke Jawa kan?"
"Pulang. Dulu waktu masih SMA sering pulang dua bulan sekali, tapi sekarang cuma setahun sekali."
"Loh kok gitu? Nggak kasian sama orangtua?" Tanyaku penasaran.
"Kasian, tapi aku juga harus sukses dulu di sini, baru pulang bawa uang buat ibu sama bapak di kampung."
Aku ber-oh ria sambil mengangguk-ngangguk kecil mendengar menuturannya.
"Kamu juga anak rantau?" Tanya Agmar membuatku menoleh.
Aku terdiam sejenak sedikit bingung untuk menjawab. "Sebenernya aku lahir di Bandung, Mama aku orang Sunda, tapi dari kecil aku di Jakarta."
"Jadi kamu nggak bisa bahasa Sunda?"
"Bisa, tapi udah kebiasaan begini," ucapku. "Abisnya lama di Jakarta."
Bibir Agmar terbuka hendak bicara, tapi seseorang mendahuluinya hingga ia terdiam.
"Kalo kalian niat buat pacaran, silakan cari tempat lain," ucap seorang laki-laki berkemeja biru tua. Matanya menatap tajam ke arahku.
Agmar bangkit dan berdiri. "Maaf Pak, kami nggak pacaran. Cuma sekedar ngobrol. Apa itu salah? Bukannya bapak yang pacaran dengan salah satu dosen di sini?"
Aku mengerutkan kening sambil mengangkat kedua bahuku melihat dua orang laki-laki yang saling bertatapan tajam mengguarkan aura permusuhan.
"Kamu Agmar Asegaf?" Tanya dosen itu.
"Iya, ada yang salah Pak?"
Merasa ketegangan semakin kental terasa, aku menarik lengan Agmar dan mengajaknya pergi. "Agmar, kita pergi aja ya?" Agmar menoleh padaku menatapku lama. Namun aku lalu menoleh pada dosen itu yang tampak semakin kesal entah kenapa. "Maaf, Pak. Kami emang nggak pacaran. Kami cuma sekedar ngobrol, tapi kalau kehadiran kami disini menganggu bapak. Saya minta maaf."
Tanpa menunggu jawaban dari dosen itu, aku menarik tangan Agmar pergi menjauh.
---
Aku melepaskan tangan Agmar. Kami duduk di bawah pohon rindang yang cukup jauh dari bangku tempat kamu duduk tadi. Tenang, tempatnya ramai.
"Maaf Nova, gara-gara aku, kita ditegur Pak Ares," sesal Agmar.
"Nggak papa. Lagian dia nggak tau yang sebenernya. Dosen kok kelakuannya kayak abg cemburuan yang pacarnya direbut orang," dengusku kesal. "Maen labrak kayak cewek labil alay."
Agmar tertawa. Namun ia lalu bangkit membuatku mendongak. "Maaf Nova, aku duluan. Aku ada kelas. Maaf ya? Nanti kita ngobrol lagi."
Aku mengangguk pelan. Tatapanku terus memperhatikan punggung laki-laki yang baru aku sadari tinggi itu. Rambutnya terpotong rapi dan juga memakai pakaian kemeja panjang yang dikancingkan di bagian pergelangan tangan. Aku mengalihkan pandangan darinya seraya menghela napas.
"Lo Nova Aurum?" Seseorang datang berdiri di depanku.
Keningku berlipat dalam melihat orang asing di depanku. "Iya? Ada apa?"
Perempuan berkaca mata tebal itu mengusap pipinya. "Lo di panggil Pak Ares ke ruangannya,"
"Pak Ares?" Gumamku bingung. Aku tertunduk lalu mendongak melihat perempuan asing tadi berjalan menjauh. "Hei tunggu!!"
Langkah perempuan itu terhenti. Ia berbalik sambil membenarkan kacamata yang sedikit turun dari pangkal hidungnya. "Ya?"
"Bisa lo anter gue ke ruangan Pak Ares? Gue nggak tau."
Ia mengangguk, lalu aku bangkit berjalan mengekori perempuan berkepang satu itu.
---
"Nama lo siapa? Kenapa lo bisa dipanggil Pak Ares?"
"Hah? Oh, nama gue Nova Aurum Gauri. Gue juga nggak tau kenapa gue di panggil," balasku sambil menatap lurus ke depan. Kami berjalan berdampingan di lorong kampus.
"Aurum," gumamnya. "Nama lo unik. Nama gue Yofa Sintia Iren. Temen-temen manggil gue Ire,"
Aku mengangguk kecil.
"Lo jurusan apa? Gue matematika,"
Aku menjawab, "Gue jurusan psikolog,"
"Wih, berarti lo bisa baca pikiran orang dong?" Tanyanya antusias.
Senyumku kaku, selalu pertanyaan itu yang aku dengar jika menyebutkan jurusan kuliahku. Hei ayolah, kami mahasiswa psikolog bukan paranormal. "Nggak, gue nggak bisa,"
"Kalo bisa pasti seru," gumamnya. "Lo mau nggak temenan sama gue?"
Aku menoleh menatapnya bingung. "Kenapa lo minta gue jadi temen lo?"
Kedua bahunya terangkat. "Nggak tau. Gue ngerasa lo baik. Boleh kan gue temenan sama lo? Eh tadi gue liat lo sama si Agmar. Kalian pacaran?"
"Nggak," balasku santai. "Cuma ngobrol doang."
"Tapi kenapa Pak Ares negor kalian? Kenapa sih?" Tanya Ire penasaran.
Kedua bahuku terangkat acuh. "Gue juga nggak tau. Katanya kalo mau pacaran di tempat lain, kampus bukan tempat pacaran,"
Ire mendengus membuatku menoleh. "Sirik aja tuh dosen. Bilangnya kampus bukan tempat pacaran, tapi kenyataannya dia pacaran sama Bu Vita,"
"Bu Vita itu siapa?"
"Guru sastra Inggris. Cantik sih, bodynya kayak model, tapi sayang kelakuannya kayak model majalah dewas. Murahan," cibir Ire. Tampak sangat jelas kalau Ire tidak menyukai dosen bernama Bu Vita itu.
Aku terkekeh melihat muka kesal Ire. Ia menyipitkan matanya seraya mengertakan gigi. "Kayaknya lo benci banget ya sama Bu Vita?"
"Banget, nanti gue ceritain. Boleh minta nomor lo?" Tanya Ire.
"Boleh," aku mengangguk sambil meraih ponsel merah milik Ire dan mengetikkan nomor ponselku. "Nih, udah,"
"Oke, thank's. Gue duluan ya? Take care ngadepin Pak Ares," ucap Ire membuatku sadar kalau kami sudah berada tepat di depan sebuah ruangan.
"Gue duluan. Bye, Va." Ire melambaikan tangannya seraya berlalu menebar senyum.
Aku mengangguk kecil pada Ire. Pandanganku terangkat menatap pintu di depanku. Aku menghela napas panjang. Entah apa yang ingin dosen itu lakukan padaku. Tidak ada angin tidak hujan, tiba-tiba memanggilku. Gila apa?