Chereads / True Dream / Chapter 12 - Noval sakit

Chapter 12 - Noval sakit

Aku tengah sholat malam dengan tentunya Mama yang sudah tidak ada bahkan semenjak aku pura-pura tidur satu jam. Tiba saatnya aku berdoa dan mengadu. Aku tidak pernah menggunakan suara saat berdoa, cukup dalam hati. Aku menengadahkan kedua telapak tanganku seraya memejamkan mata membiarkan air mata jatuh terus menerus.

'Ya Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Pemurah. Apakah yang hamba lakukan hari ini salah? Hamba telah membohongi Mama. Ampunilah dosa hamba, Mama, Noval dan juga Papa. Berikanlah tempat terbaik bagi Papa. Ya Allah, Engkau Maha Membolak-balikkan hati. Tolong Mama. Tuntunlah Mama kembali ke jalan-Mu. Hamba tidak mau Mama terjebak dalam nafsu. Jauhkanlah keluarga hamba dari segala mara-bahaya yang datang dan juga dari niat-niat jahat. Aamiin.'

"Kakak? Oh maaf, kirain sholatnya udah."

Aku berbalik setelah memanjatkan doa. "Emang udah selesai kok. Sini. Mau ngapain? Tumben ke kamar Kakak."

Noval tersenyum malu sambil berjalan ke arahku dan duduk bersila di depanku. "Ada yang mau Noval omongin sama Kakak."

"Nggak usah sok serius gitu. Nggak cocok buat kamu," ucapku seraya melipat mukena bagian atas.

"Kakak!" Bibir Noval mencebik. "Noval seriusan nih. Dua rius malahan. Dengerin,"

Aku tersenyum geli melihat ekspresi Noval yang tampak kesal. "Iya-iya, Kakak dengerin. Emangnya kamu mau ngomong apa?"

"Kan gini, hasil prakarya sabun bikinan Kakak, Noval kasihin sama guru Noval. Nilainya paling tinggi loh Kak, sembilan delapan. Tapi, waktu istirahat Noval dipanggil ke ruang guru. Noval pikir ada apa, tapi taunya pas di ruang guru. Guru Noval tadi nanya, ukiran itu bikinan siapa. Noval nggak mau kena marah, jadi Noval ngakunya yang kura-kura buatan Noval, terus yang bunga buatan Kakak. Terus Guru Noval nanya, pengen ketemu Kakak. Noval tanya, buat apa. Guru Noval bilang ada sodaranya yang punya WO lagi nyari souvenir unik, terus Guru Noval maua nyaranin bunga sabun buatan Kakak ke sodaranya yang punya WO itu buat souvenir. Gitu kak,"

Aku mengangguk paham.

"Terus Kakak kapan bisa ketemunya? Guru Noval minta nomor Kakak, belom Noval kasih. Belom minta izin sama Kakak. Jadi gimana Kak?"

Aku berpikir sejenak. Souvenir ya? Mungkin uangnya bisa sedikit membantu Mama. Meskipun aku kecewa tentang kemarin, tapi tidak memupus begitu saja perasaanku pada Mama. Mama tetap orangtuaku.

"Kasihin aja nomor Kakak sama guru kamu, biar nanti Kakak chatan sama sodara guru kamu. Kan nanti uangnya lumayan, bisa buat kamu jajan, Val," ucapku sembari mengusap puncak kepalanya.

Noval menggeleng. "Noval nggak mau jajan. Uangnya mending Kakak simpen, tabung. Biar nanti kalo ada keperluan nggak susah,"

"Kalo di tabung pasti, tapi adalah buat kamu jajan. Masa perantara bisnis nggak dapet untung? Ya harus dapetlah, walaupun cuma snack,"

"Oke deh. Snack masih boleh. Janji ya kak? Beliin Noval snack kalo bunga sabun buatan Kakak jadi souvenir WO-nya sodara guru Noval,"

Aku mengangguk mantap. "Janji. Kalo kakak lupa, kamu tagih aja. Oke?"

"Yey!! Makan snack!" Seru Noval riang berdiri dan melompat-lompat bahagia. "Makasih Kakak!" Ucap Noval secara keluar dari kamarku.

Melihat pintu kamarku tertutup, aku menghela napas berat. Jika ukiran sabun itu dijadikan souvenir untuk pernikahan, pastinya jumlahnya banyak dan memakan waktu, tapi tidak apa-apa selagi itu membuat Noval bisa makan snack dan menabung dari hasil kerjaku, itu tidak masalah.

---

Waktu sholat subuh tiba, aku dan Noval sudah mengambil wudhu dan bersiap untuk sholat berjamaah. Namun, saat kami akan mulai tiba-tiba Mama datang sambil tersenyum yang dipaksakan.

"Mama boleh ikut sholat?" Tanyanya pelan.

Aku tidak menjawab, hanya melihat Mama dengan datar. Noval lalu menjawab, "Boleh dong, Ma. Kenapa harus pake nanya segala sih? Ayo sholat bareng. Semenjak pindah ke Bandung, kita belom pernah sholat bertiga."

Mama mengangguk kaku, berjalan ke arahku, menempatkan sajadahnya di sampingku lalu memakai mukena putih bercorak bunga unggu di bagian bawah yang aku tahu adalah pemberian Papa setelah Mama masuk agama Islam. Ya, Mama seorang mualaf.

Tanpa menghiraukan Mama, aku memulai sholat setelah Noval mengucap takbir. Kami bertiga sholat dengan Noval sebagai Imam. Tidak sampai sepuluh menit, sholat kami sudah selesai. Masing-masing dari kami menengadahkan tangan memanjatkan doa. Selesai, Noval berbalik menyalami Mama lalu menyalamiku. Aku menyalami Mama tanpa melihat wajahnya. Mama hendak meraih tubuhku. Namun aku lebih dulu menghindar dan melipat mukena dengan cepat.

Drrrt!

Aku menatap Mama yang tampak kaku karena ponselnya berdering. Mama merogoh sakunya dan melihat ponsel dengan gugup. Tanpa harus menuntut penjelasan, otakku seketika membuat spekulasi siapa yang menelepon. Untuk apa sembunyi-sembunyi, kaku mirip orang dikejar utang. Eum .. kurasa Mama tidak punya hutang. Jadi besar kemungkinan kalau yang menelepon adalah laki-laki yang kemarin mengantar Mama pulang.

Caper banget.

"Ma? Kok nggak di angkat?" Tanya Noval.

Mama dengan tergesa mematikannya lalu memasukkan ponsel itu kembali ke dalam saku. "Nggak ada namanya. Mungkin salah sambung,"

Noval menjawabnya dengan ber-oh ria sambil mengangguk pelan.

Noval keluar lebih dulu menyisakanku dan Mama dalam keheningan. Aku melipat sajadah lalu membenarkan ikat rambutku.

"Nova, Mama—"

"Nova minta maaf." Aku menyela. Kelopak mataku menurun, menatap Mama yang kaget. "Nova ngerti, mungkin Mama ngomong kesepian itu karena Nova sama Noval nggak pernah ada waktu buat Mama. Terserah Mama mau gimana, tapi emang, cobalah buat mikir panjang. Dia baik atau nggak."

Linangan air mata tampak memenuhi pelupuk mata Mama. Bibirnya bergetar saat terus menatapku. Perlahan kedua tangan Mama terulur dan memelukku. Semula pelukan Mama renggang, tapi kemudian menguat dan menangis di bahuku. Tersedu hingga tubuhnya bergetar hebat.

"Dia baik kok. Mama yakin," lirih Mama dengan suara parau.

Ya ... kalau begitu keinginannya, terserah. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Mungkin, Mama sudah lelah berjuang sendirian, membutuhkan seseorang untuk berbagi. Padahal, Mama masih bisa bercerita padaku.

Siapa yang salah di sini? Entahlah. Rasanya kosong ketika menyadari akan ada orang lain yang mengisi sosok ayah di keluarga ini. Seorang laki-laki yang usianya hanya berbeda beberapa tahun denganku.

---

Mama sudah pergi bekerja, sementara aku tengah menyiapkan sarapan untuk Noval. Mama bilang ia harus pergi cepat karena ada tugas dari bos-nya. Aku tidak tahu apakah Mama jujur atau tidak. Namun senyum semringah yang tersungging saat Mama pergi, tak menunjukkan bahwa ia dalam tekanan sebuah tugas yang harus di selesaikan.

Kepalaku rasanya sakit memikirkan ini.

Aku mendongak, melihat ke lantai dua. Tidak ada tanda-tanda bocah itu akan turun. Langkah kakinya juga bahkan tidak terdengar. Aneh.

Demi memuaskan rasa penasaran, aku memutuskan untuk melihat Noval. Barang kali dia masih ada di kamar, kebablasan tidur setelah subuhan.

Beberapa kali aku mengetuk pintu, tapi pintu tak juga terbuka. Apa tidurnya sepulas itu? mimpi apa dia? Aku berisiatif masuk sendiri, dan pintu kamar Noval tidak terkunci. Pintu kamar berderit pelan, aku melangkah memasuki kamar, melihat Noval masih meringkuk di atas ranjang. Aku duduk di pinggir ranjang, menatap Noval yang mengulung tubuhnya dengan selimut.

Kebiasaan. Aku berdecak hendak seraya mengguncang bahunya.

"Bangun, Val. Jangan molor terus. Sekolah."

Noval tidak bergeming, terlelap. Namun kelopak matanya tertutup erat dan bibirnya mengering pucat. Kekesalan berganti cemas. Aku menempelkan punggung tangan di kening Noval, mengecek suhu tubuh dan benar, suhu tubuhnya panas lebih dari normal.

"Kakak.. dingin," gumam Noval seraya tidur lebih meringkuk mencari kehangatan.

Hatiku bergetar. Aku bingung sesaat, melihat Noval dalam keadaan seperti ini, tapi aku mencoba tenang. Aku lantas bangkit, berjalan ke arah dapur untuk mengambil air hangat ke dalam baskom dan kain untuk mengompres Noval.

"Kakak.." racau Noval sambil menggeliat mengerutkan kening.

"Ini Kakak," ucapku sambil memasukkan kain dalam baskom air, memerasnya lalu menaruhnya di kening Noval. "Makan dulu ya? Kakak mau bikin bubur."

Noval menggeleng lemah. "Nggak mau. Kak, dingin."

"Makan dulu, biar nanti bisa minum obat. Terus tidur," bujukku sambil mengelus kepala Noval yang rambutnya basah karena keringat. "Kakak mau bikin dulu bubur. Bentar ya."

Noval bergeming.

Tanpa menunggu jawaban Noval, aku segera beranjak dari kamarnya, menuju dapur. Aku menaruh panci berukuran sedang, mengambil nasi secukupnya. Sengaja aku membuat bubur langsung dari nasi untuk menyingkat waktu. Aku memasukkan air, bawang daun lalu menyalakan kompor dengan api besar.

Menunggu bubur matang rasanya begitu lama. Aku terus mengaduk nasi yang belum juga hancur. Aku ingin menambahkan api, tapi apinya sudah besar. Berulang kali aku menoleh ke atas, mencemaskan Noval.

Akhirnya aku sedikit lega saat bubur sudah jadi, tinggal menambahkan garam dan sedikit penyedap. Bubur sudah matang, aku meraih sendok besar untuk memindahkan bubur yang masih mengepulkan uap putih ke dalam mangkuk. Aku segera berjalan cepat ke kamar Noval.

"Mama.." igau Noval sambil mengernyitkan kening. "Mama.."

Aku tertegun menatap Noval sendu. Disaat Noval seperti ini, Mama malah pergi. Coba saja, Mama pergi lebih lambat, mungkin sekarang Mama yang bisa menjaganya. Aku menggelengkan kepala pelan seraya berjalan mendekat, menaruh mangkuk di atas nakas lalu duduk di pinggir ranjang.

Aku mengangkat kain yang sudah dingin, mengangkatnya lalu mengulang kembali kompresannya dalam baskom. Sebelum aku menaruh kain di kening Noval, aku mengusap keningnya yang masih panas. Dalam diam aku merenung, kenapa Noval tiba-tiba demam. Apa di sekolah dia makan sembarangan? Es misalnya atau apa?

"Val, bangun dulu. Kakak udah bikin bubur," ucapku berusaha membangunkan Noval.

"Nggak mau." Noval menggeleng berucap serak. "Mama.." lirihnya.

"Makan dulu ya? Sedikit aja. Terus minum obat, biar cepet sembuh."

Kelopak mata Noval perlahan terbuka dan melihat ke arahku. Dadaku seketika terasa sesak melihat Noval yang tampak begitu lemah. "Kakak.."

Air mataku tertahan di pelupuk mata. Rasa panas menyerang kedua mataku. Aku terus mencoba tersenyum, membujuk. "Makan dulu ya? Minum obat terus tidur lagi."

Akhirnya Noval mengangguk. Aku membantu Noval untuk bersandar lalu menyuapinya bubur dengan perlahan. Aku meniup bubur yang ada di sendok, dirasa sudah dingin aku baru memberikannya pada Noval. Baru saja dua sendok bubur, Noval sudah menolaknya.

"Sesuap lagi aja, minum obat terus tidur ya? Sesuap lagi," bujukku.

Noval mengangguk dan membuka mulutnya pelan. Setelahnya, aku memberikan segelas air hangat yang hanya diminum sedikit. Aku meraih obat kaplet untuk demam dan memberikannya pada Noval. Noval dengan menurut meminumnya lalu aku membantunya kembali berbaring dan tidur.

Aku duduk sambil terus memperhatikan Noval yang perlahan tertidur dengan napas yang teratur. Ah ya! Aku lupa memberitahu pada sekolah Noval, kalau hari ini ia sakit. Aku lalu mencari ponsel Noval dan mencari kontak temannya, mengatakan kalau Noval sakit.

Aku menatap Noval sendu. Sakit sekali. Apa jika Mama melihat Noval seperti ini hatinya akan tergerak mengurung niat menjalin hubungan baru? Sebab jelas dan aku yakin pasti, Noval dan aku akan tersisih oleh adanya orang baru dalam rumah. Orang yang sedang dimabuk kasmaran sering kali hilang akal, menjadikan pasangannya sebagai pusat dunia dan lupa akan semua. Membuat orang lain tersisih dan menjauh. Sampai akhirnya mereka tersesat lupa kembali. Aku takut Mama akan seperti itu. pikiranku mengakar ke mana-mana membuat kepalaku sakit.