Chereads / True Dream / Chapter 11 - Penganggu

Chapter 11 - Penganggu

Aku dibiarkan pulang lebih awal oleh dosen yang akhirnya aku ketahui namanya Ares. Ah maksudku Pak Ares. Pria yang aku temui di halte bus. Hanya itu yang aku tahu tentang namanya, tidak ada yang lain. Setelah permintaannya untukku, ia bersikap lebih ramah dan mengulas senyum padaku. Ia juga meminta maaf padaku atas perkataan dan perbuatannya padaku. Aku mengangguk menerimanya.

Namun, masih ada sisa kebingungan di benakku, apa maksunya 'sama persis'. Apa ia tengah membandingkanku dengan seseorang? Ah aku tidak peduli.

Aku memasukkan kunci ke lobang kunci, memutar kenop dan mendorong pintu.

"Kakak?"

Pandanganku terarah pada Noval yang melangkah turun dari tangga sambil menggosok rambutnya dengan handuk. Ia memakai kaos dan celana pendek. "Kakak udah pulang? Kok cepet? Kakak nggak bolos kan?" Selidik Noval menyipitkan mata.

Aku terkekeh melihat Noval yang curiga. "Nggak lah. Emang nggak ada kelas, jadi kakak pulang cepet,"

"Masa sih, Kak? Jujur deh, Kakak kenapa?"

"Nggak papa, Val. Curigaan mulu sih sama Kakak. Udah makan belom?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan. "Mau Kakak masakin apa?"

"Nggak usah deh, Kak. Biar Noval makan mie aja. Kakak baru pulang. Mending Kakak istirahat," ucap Noval.

Aku menggeleng. "Kakak yang masak. Mau nggak mau. Udah lama kakak nggak masak buat adek Kakak yang paling ganteng ini,"

Noval menyugar rambutnya dan mencubit kaosnya dengan gaya sombong. "Iya dong. Noval Arengga Kusuma gitu loh. Paling ganteng,"

"Sombong banget. Adek siapa sih kamu?" Godaku seraya mencubit pelan pipi Noval.

"Duh!" Noval mengusap pipinya menatapku sebal. "Jangan dicubit, Kak. Nanti kegantengan Noval berkurang. Kalo Kakak mau tau, Noval adek dari seorang Nova Aurum Gauri. Perempuan paling galak sama menyeramkan seperti Valak,"

"Apa?" Aku pura-pura marah, melotot dan bertolak pinggang. "Siapa yang kamu bilang Valak? Kalo Kakak Valak kamu apa?"

"Manusia yang berguna dong. Nggak kayak Kakak, setan Valak,"

"Apa? Sini kamu!" Aku menerjang Noval dan memeluk remaja laki-laki itu dengan gemas sambil melayangkan ciuman di pipinya yang membuat Noval tertawa geli. "Setan Valak? Nih cium setan Valak biar jadi boneka Chukky,"

"Hahaha.. ampun Kak. Ampun. Hahaha," Noval terus tertawa renyah.

Jangan aneh dengan aku dan Noval, meski Noval sudah terbilang remaja, tapi aku selalu menganggapnya adik laki-lakiku yang dulu ompong dan merengek minta permen. Noval tidak pernah menolak ataupun canggung jika aku mencium pipinya, itu sudah kebiasaan di keluargaku. Bahkan dulu saat Papa ada, Noval sering mencium pipi Mama dan Papa. Begitupun Noval yang juga sering mencium pipiku, tapi akhir-akhir ini kebiasaan itu sedikit menghilang.

"Kakak udah! Perut Noval sakit. Hahaha,"

Aku menciumi pipi Noval bertubi-tubi. "Hayo mana yang setan Valak? Masih nyebut Kakak setan Valak? Cium terus nih."

Ampun Kak. Kakak yang paling cantik," ucap Noval menyerah membuatku berhenti mencium pipinya dan melepas pelukan. Noval tampak terengah dan sisa tawanya meninggalkan senyum sumringah.

"Apa? Nih tolong simpenin tas Kakak ke kamar. Kakak mau masak dulu," ucapku seraya menyodorkan ransel yang aku lepas dari punggungku.

Noval menerimanya suka rela. "Oke siap."

Aku menggeleng sambil terkekeh kecil melihat Noval yang bersemangat menaiki tangga untuk menaruh ranselku. Sangat sederhana yang di inginkan semua anak di dunia ini, kebersamaan bersama anggota keluaga, terutama orangtua. Tapi karena Papa sudah tiada dan Mama bekerja, aku ingin memberitahu Noval kalau ia masih punya aku sebagai tumpuan hidupnya.

---

Malam telah tiba, Noval sudah lebih dulu tidur sementara aku tengah menonton TV di ruang tengah sambil menunggu Mama. Mataku melirik jam yang menunjukkan pukul sepuluh. Baru saja aku mendesah karena Mama belum pulang, deru mobil yang berhenti di depan rumah terdengar. Keningku berkerut dalam, kalau tidak salah tadi pagi Mama pamit pergi bekerja tanpa mobil. Lalu siapa?

Rasa penasaran mengantarku berjalan ke depan pintu, ingin tahu dengan siapa Mama pulang. Niatnya, aku hendak membuka pintu dan langsung mencari tahu tapi tanganku berhenti di depan gagang pintu saat mendengar adanya suara seorang laki-laki. Gemuruh mulai menerjang hati. Aku terdiam, bergeser dan mengintip dari jendela.

Itu Mama, berdiri menghadap laki-laki asing itu – memungungiku. Di depannya, berdiri seorang laki-laki muda yang mungkin usianya tak jauh dariku. Berperawakan tinggi kusur memakai kemeja biru dongker dan terusan celana bahan hitam. Rambutnya tampak lepek sedikit menjuntai ke depan. Kira-kira, berapa banyak minyak rambut yang dia pakai.

Senyum dan matanya terus mengarah pada Mama.

"Makasih ya udah nganterin tante," ucap Mama. Jelas terdengar ia malu-malu saat bicara, suara yang lembut.

"Nggak papa, Tante. Aku ikhlas kok nganter tante. Aku takut nanti kalo tante pulang sendiri ada yang gangguin. Nanti kalo tante kegoda, aku sama siapa?" Tanya laki-laki asing itu dengan nada sedih dibuat-buat.

Aku berdecih tak suka saat melihatnya. Apa maksudnya ini? Apa laki-laki itu punya sindrom Oedipus Complex?

Mama tertawa malu-malu. "Ah kamu suka bikin tante malu. Yaudah kamu pulang ya? Hati-hati di jalan. Kamu bawa aja mobil tante, kasian kalo kamu pulang jalan kaki."

"Nggak ah, nanti Tante perginya gimana?"

"Kan kamu bisa jemput Tante, tapi kalo mau jemput jangan di sini, takutnya anak-anak tante tau tentang hubungan kita. Kamu jemput tante di pertigaan depan aja ya?"

"Kenapa takut? Biar aku kenal sama anak-anak tante. Kan nanti juga aku jadi Papa mereka."

Papa?

Laju jantungku terasa berderu lebih keras menimbulkan nyeri untuk beberapa saat. Shock. Tubuhku terhuyung mundur. Sejenak masih diraup emosi negatif aku memejamkan mata, meredakannya. Bukan saatnya untuk mengutamakan emosi itu. Aku masih harus mengamati, dan tidak bertindak gegabah. Meski sedari tadi kedua tanganku terkepal di kedua sisi.

"Emangnya kamu mau punya anak seusia kamu? Anak tante yang paling gede udah umur dua puluh satu loh."

"Apa salahnya? Justru karena seusia, aku bisa jadi temen anak tante nantinya. Kenalin dong tante. Cewek cowok?" Tanyanya antusias.

Ingin rasanya aku merobek bibirnya yang menyunggingkan senyum manis dibuat-buat. Akan ada hari dimana tanganku menghantam wajah laki-laki itu. Firasatku mengatakan laki-laki ini memiliki maksud terselubung sampai mendekati Mama. Entah apa dan kenapa. Apa karena harta? Ayolah, Mama bukan seorang janda taipan yang punya perusahaan ataupun berkendaraan mobil mercy.

Ah, atau mungkin hanya ingin main-main?

"Anak tante yang paling gede cewek, cantik pinter. Yang kedua cowok baru kelas satu SMP, ganteng banget," puji Mama. Syukur kalau ia masih memujiku dan Noval.

Laki-laki itu tertawa. "Jadi nggak sabar pengen kenalan."

"Kamu tuh." Mama menepuk pundak laki-laki itu dan mengacak rambutnya seolah memperlakukan anak kecil, membuat laki-laki itu merengut dan mengambil tangan Mama lalu mencium punggung tangan.

Kedua mataku berputar muak saat melihatnya. Sebetulnya aku tak suka memiliki Papa baru, siapapun itu. Aku masih belum rela.

---

Dalam kamar, aku mencoba tidur tapi sangat sulit. Bayangan percakapan Mama bersama laki-laki itu membuatku geram. Hasrat untuk meninju wajah laki-laki memenuhi otakku, tapi aku sadar dan cepat-cepat beristigraf. Aku harus kuat. Ada Noval yang membutuhkanku. Kalau aku sampai lepas kendali dan bertengkar dengan Mama yang menjadi korban adalah Noval. Dan sebisa mungkin aku harus menyembunyikan ini dari Noval.

Suara pintu kamar terbuka memenuhi kamarku. Aku mendengar langkah kaki mendekat.

"Va? Kamu udah tidur?" Suara Mama terdengar pelan, mungkin takut jika aku sudah tidur, akan mengganggu.

Aku berdiam di posisi tidur menyamping memunggungi pintu, tak bergerak. Langkah Mama kian jelas mendekat lalu ranjangku terasa sedikit goyah karena Mama duduk di pinggirnya. Entah apa niatnya. Entah apa maksudnya. Gemuruh dalam hati kembali menyala, mulutku rasanya gatal ingin menyemprot Mama dengan pertanyaan yang berkaitan denga laki-laki asing itu.

Apa Mama berniat menghapus kenangan Papa dan menjadikan orang lain sebagai kepala keluarga di keluarga yang pincang ini?

Penuh berpikir mengenai kedekatan Mama dengan laki-laki asing itu, aku teringat sikap Mama tempo hari yang berbeda. Lebih sensitif.

"Menurut kamu, salah nggak Mama jatuh cinta sama laki-laki yang lebih muda dari Mama? Mama kenal dia di kantor waktu lagi magang. Awalnya Mama jijik sama dia, tapi Mama malah suka. Dia bisa manjain Mama. Kamu tau, Va? Tiga tahun di tinggal Papa, Mama ngerasa kesepian. Hidup Mama seakan monoton." Henti sejenak. Aku menelan ludah menanti kelanjutan.

"Mama mau nikah sama dia."

Cukup! Aku tak lagi mampu menahan diri.

"Mama, Nova pengen nikah sama bocah dua belas tahun, Mama ngijinin nggak?" Tanyaku seraya menyingkap selimut dan duduk.

Mama berbalik menatapku kaget. Kedua matanya melebar dan mulutnya terbuka. Tak menyangka aku masih bangun. "No-Nova? Kamu masih bangun?"

Aku terdiam menatap Mama datar. Pertanyaan bodoh. "Nova tanya, Nova minta ijin sama Mama buat nikah sama anak usia dua belas tahun, Mama ngijinin nggak?"

"Nova, itu beda. Mama sama—"

"Mama ngijinin nggak?" Tanyaku menekankan setiap kata yang aku ucap, berniat menyindir Mama. Aku tak suka. "Nova pengen nikah sama anak usia dua belas tahun."

"Nova! Jangan gila kamu! Apa yang dibisa sama bocah dua belas tahun? Bukannya suami-istri malah anak-ibu. Kamu gila?!"

Aku mengatupkan bibir terus menatap Mama dengan intens. "Mau Nova ambilin cermin?"

"Nova," panggil Mama lirih, memohon. "Mama kesepian. Mama butuh seseorang yang bisa ngertiin Mama. Mama bosen hidup sendirian. Kalian juga masih butuh figur ayah."

"Hidup sendiri ya?" Monologku tersenyum pahit. "Yaudah, Nova mau bunuh diri aja."

"Nova! Jangan, sayang. Jangan ngomong gitu," teriak histeris dan menangis seraya mencoba memelukku. "Jangan, Nova!! Jangan tinggalin Mama."

Aku bergeming menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. "Nova kangen, Papa. Mungkin kalo Nova nyusul Papa, Papa bisa lebih ngehargain Nova. Papa nggak akan nyebut hidupnya sendirian padahal punya Nova sama Noval. Papa baik. Nova pengen ikut Papa aja."

"Nova, maafin Mama. Jangan ngomong gitu!!" Mama menangis histeris sambil memelukku.

Aku terus menatap langit-langit kamar lalu tertawa. Sakit. Dadaku sakit dan aku tidak suka. Kenapa Mama egois? "Mama hidup sendiri. Nova nggak ada. Nova mau sama Papa aja. Nova nggak kuat. Nova lemah. Nova nyerah aja. Nova mau bilang sama Allah kalo Nova nggak kuat,"

"Kamu kuat, sayang. Maafin Mama. Mama nggak akan nerusin hubungan Mama sama Fero. Mama sayang kamu, Va. Mama nggak sendirian. Mama nggak kesepian. Mama punya kamu sama Noval," ucap Mama terburu-buru berusaha menyakinkan, tapi aku terdiam menatap langit-langit sambil tersenyum. "Nova! Dengerin Mama!"

"Nova nggak ada. Nova nggak ada."

"Kamu ada, sayang. Ini Mama. Maafin Mama, Nova. Maafin Mama," jerit Mama histeris.

Aku tertawa kecil saat air mata mengalir di pipiku. "Mama, ada Papa."

"Nggak! Papa kamu udah nggak ada! Papa udah meninggal, sayang. Ini Mama. Hei liat Mama!" Mama menarik wajahku hingga Papa yang tengah tersenyum dan mengulurkan tangannya buyar.

Itu hanya bayanganku, halusinasi yang pernah dulu kugenggam hingga hampir terjebak tak bisa keluar. Tak sanggup menghadapi kenyataan dan sekarang, aku siap menceburkan diri ke dalam halusinasiku jika Mama begini.

Tatapanku berubah ketika melihat wajah Mama. Mama kesepian kan? Hidupnya monoton? Itu artinya aku dan Noval tidak ada. Jadi untuk apa jiwa ini menempati raga ini jika tidak pernah dianggap?

"Nova mau tidur. Mama keluar. Nova pengen sama Papa," ucapku datar.

Mama menggeleng dengan air mata yang tidak kunjung berhenti. "Nova sama Mama. Jangan sama Papa. Nova sayang kan sama Mama?"

Aku terdiam kembali menatap ke langit-langit kamar. Maaf, Pa.

"Papa," lirihku sedih. Tidak bisa lagi aku tahan perasaanku, aku menangis. Mama memelukku tapi aku masih kecewa padanya dan mendorong Mama jauh. "Jangan peluk Nova! Nova cuma mau Papa!"

"Nova, ini Mama sayang. Maafin Mama. Mama janji nggak akan berhubungan lagi sama Fero," bujuk Mama dengan matanya yang sudah sangat sembab.

Aku mengabaikan Mama lalu meraih selimut dan merebahkan tubuh. Aku lelah. Kedua kelopak mataku tertutup. Tolong, biarkan aku tidur. Telingaku masih mendengar Mama yang menangis terisak. Apa aku keterlaluan? Tapi rasanya begitu indah tak seperti dunia yang kuhadapi sekarang.

Dulu saat Papa meninggal, aku merasa duniaku runtuh dan enggan bicara, hanya terus menangis sampai akhirnya aku lelah dan terdiam saat orang-orang mengajak bicara. Mama mengangap kejiwaanku terganggu hingga akhirnya aku dalam pengawasan seorang psikiater.

Aku seratus persen sadar, tapi siapa yang mau terus-menerus disuguhi air mata. Saat Papa meninggal, Mama tidak ada. Aku tidak tahu ia dimana. Dan saat Papa pergi dan aku menangis, Mama malah menganggapku gila. Dan oleh karena itu untuk pertama kalinya aku menggunakan riwayat gangguan jiwaku itu memberi sedikit Mama tamparan.

Aku tahu ini salah, tapi aku juga tahu watak Mama. Jika tidak menggunakan ini, aku yakin Mama akan menikahi laki-laki itu besok hari. Mungkin ini tidak akan begitu saja membuat Mama memutuskan hubungannya. Mama pasti akan menjaga jarak seolah benar-benar putus, tapi nyatanya masih berhubungan. Tenang saja, belum saatnya untuk menghajar laki-laki itu. Tunggu sampai waktu yang tepat.