Aku mengetuk pintu beberapa kali, tapi tidak ada jawaban membuatku kesal dan hampir berbalik pergi. Apa Ire berbohong dengan mengatakan dosen itu memanggilku ke ruangannya? Tapi rasanya tidak mungkin. Sebelum ini aku tidak pernah bertemu dengan Ire, jadi tidak ada alasan Ire mengerjaiku. Satu yang terlintas dibenakku, alasan kenapa dia memanggilku mungkin karena masalah aku dan Agmar. Tapi, aku merasa itu sedikit berlebihan.
Tok! Tok!
Dengan keras aku mengetuk pintu. Jika masih tidak ada jawaban setelah ini, aku akan pergi.
"Masuk!"
Ditengah emosi yang memuncak akhirnya ada suara dari dalam. Aku pikir ruangan ini kosong, ternyata tidak, hanya penghuninya yang sedikit mengalami gangguan pendengaran sampai mengabaikan ketukan yang aku hadirkan.
Aku memutar kenop seraya mendorong pintu. Hal pertama yang aku lihat adalah ruangan luas bernuansa elegan dengan barang-barang yang tampak mahal. Di sofa berwarna abu, ada dua orang pria dewasa bersetelan jas yang duduk menatap ke arahku. Ah aku melupakan dosen itu yang duduk di balik meja. Ia menautkan jemari di atas meja sambil menatapku tajam.
"Tutup pintunya, Nova," ucapnya dingin.
Tanpa mengatakan apapun aku menutup pintu lalu berjalan dan duduk di kursi depan meja, tepat berhadapan dengannya. Mengabaikan tiga pasang mata yang sangat jelas aku rasakan terarah padaku.
"Kamu tau kesalahan kamu?"
"Nggak, Pak."
Tatapan dosen di depanku semakin tajam menyorot. Ia menurunkan tangan yang menghalangi wajah, memperlihatkan paras yang aku akui cukup tampan dan jauh lebih muda dari kebanyakan dosen yang pernah aku lihat. Meskipun menurutku yang paling tampan adalah Papa.
"Menurut kamu buat apa kamu kuliah?"
"Belajar, Pak. Biar bisa mikir sama nggak di bohongin orang," balasku seraya mengalihkan pandangan.
Terdengar geraman dari arah depan. Keningku mengerut. Kenapa dosen ini? Sedang mempraktekan peran anjing yang menggeram? Tapi anehnya dari belakang, aku mendengar suara tawa yang tertahan.
"Kamu tau buat apa kampus dibangun?" Tanyanya dengan nada rendah.
"Tau, Pak. Buat tempat ngajar anak SMA yang udah lulus sama yang nyari ilmu,"
"Terus kenapa kamu pacaran di area kampus?" Tanyanya menyindirku. Aku paham. Jadi dosen ini memanggilku ke sini karena masalah tadi?
Aku menghela napas berat lalu menatap ke arahnya. "Pak, ini terserah bapak mau percaya atau nggak. Saya nggak pacaran."
"Tapi kenapa kamu duduk berdua? Berdekatan?"
Aku memperbaiki dudukku, menegakkan punggung. "Gini deh saya mau tanya, misal ada dua cowok duduk berdua, deket-deketan. Apa bapak juga mau ngangap mereka pacaran?"
"Tapi kamu perempuan, dan Agmar laki-laki. Itu berbeda kasus. Perempuan harusnya bisa menjaga jarak dengan laki-laki apalagi cuma berdua duduk berdekatan. Apa kata orang? Sekilas orang akan beranggapan kalian punya hubungan. Dan hal itu akan mencoreng nama kampus. Seolah kampus tidak bisa mendidik dengan benar,"
"Kan tadi saya udah minta maaf, Pak," desahku lelah. Sungguh rasanya aku ingin segera keluar dari sini. "Lagian saya nggak pacaran sama Agmar. Kenal juga baru tadi."
"Kalau minta maaf bisa ngulang lagi waktu, nggak akan ada penyesalan," ucapnya membuatku tidak paham.
Aku menghela napas panjang. Rasanya aku lelah sekali. Aku ingin pulang. Papa..
Kenapa kamu diam? Merasa bersalah? Harusnya kamu mikir dulu konsekuensi apa yang bakal terjadi sebelum kamu bertindak. Perempuan harus punya etika, harga diri, sama martabat. Kalau begini, laki-laki mana yang mau sama perempuan murahan seperti kamu? Saya heran, kamu anak kuliahan tapi kelakuan kayak anak jalanan. Apa kamu tau tata krama? Aturan norma sosial? Pikir Nova Aurum Gauri, bukan hanya diam menunduk."
Murahan? Anak jalanan? Aku mengigit bawah bibirku menahan gejolak dadaku. Belum pernah aku direndahkan seperti ini, tapi aku harus kuat. Manusia bermental lemah tidak akan diterima oleh semua orang, aku harus kuat.
"Sekarang kamu mau apa? Skors atau DO?"
Seketika aku mendongak menatap dosen di depanku. Skors? DO? Kenapa sampai separah ini? Lidahku terasa kelu tidak mampu berkata dan hanya bisa melihat. "Jangan, Pak." hanya itu yang bisa aku katakan dengan nada serak.
"Jangan apa?" Kedua tangannya melipat di dada dan sebelah alisnya terangkat tinggi. "Jangan skors? Langsung DO aja gitu?"
Aku menggeleng lemah. Rasanya saat ini aku berada di titik rapuhku. Tubuhku melemas tidak bertenaga. Aku tertunduk dalam. Keheningan melanda ruangan tersebut. Aku berulang kali harus mengatur napas agar air mataku tidak jatuh. Aku paling sensitif jika menyangkut masalah seperti ini. Kalau aku di DO atau Skors, bagaimana dengan Mama? Mama dengan susah payah menguliahkanku, tapi kalau harus berakhir seperti ini, aku tidak mau.
"Saya mohon jangan, Pak. Saya minta maaf. Saya minta maaf. Saya akan terima hukuman lain asal jangan skors atau DO. Saya minta maaf, Pak. Saya minta maaf," ucapku bergetar sambil mengepalkan tangan di atas paha.
Mama, kalau aku dikeluarkan lalu bagaimana dengan Mama? Papa yang menaruh harapan besar padaku dan Mama yang bekerja keras demi kuliahku.
Papa, Mama, Noval. Aku mengigit bawah bibirku dan terus terunduk. Air mata tidak bisa aku tahan ketika bayangan wajah Papa yang tersenyum lebar melintasi pelupuk mataku. "Maaf. Maaf. Maaf," berulang aku menyebutkan kata itu ketika memori bersama Papa hadir. "Maafin Nova."
Tubuhku bergetar hebat. Kalau aku di DO, artinya aku sudah mengecewakan Papa dan Mama. Aku akan jadi anak yang durhaka[WU1] .
Aku merasakan sebuah tangan besar menepuk puncak kepalaku. Tangan yang begitu hangat yang membuat kedua mataku melebar dan berhenti menangis.
Aku memekik saat kursi yang aku duduki di putar pelan ke samping. Mataku terpaku melihat dosen yang tadi memarahiku, berjongkok di depanku dengan tatapan sendunya. Tangan besarnya menutupi kedua tanganku yang terkepal di atas paha.
"Udah, jangan nangis. Saya nggak akan skors atau DO kamu. Maaf buat kata-kata saya yang nyakitin kamu. Saya salah. Saya minta maaf sama kamu," ucapnya lembut. Mata tajamnya menatapku lembut dengan senyuman penyesalan.
Sisa tangis masih ada. Aku mengusap ujung mataku yang berair dan terasa perih.
"Kamu mau kan maafin saya?"
Secara tidak sadar aku mengangguk. Mana berani aku menggeleng pada pemilik kampus? Cari mati.
Aku semakin menunduk dalam saat dosen itu meraih sejumput poni depanku yang panjang menutupi wajahku dan menyelipkannya ke belakang telingaku. Apa ini? Apa ini termasuk pelecehan? Kalau iya, sudah terlalu banyak yang ia lakukan, dari mulai menyentuh tanganku sampai menyentuh rambutku.
"Kamu boleh keluar." Aku tersenyum kecil dan menghembuskan napas lega. "Tapi, angkat dulu wajah kamu terus senyum setulus mungkin,"
Aku masih tertunduk, memejamkan mata sejenak sambil mengatur napas mendengar permintaan aneh dosen itu. Apa dalam hatinya ia tengah berniat mempermainkanku? Menjadikanku bahan lelucon di depan orang-orang berjas hitam yang masih duduk di sofa.
"Ayo, senyum dulu. Baru kamu boleh keluar,"
Aku menghela napas berat, sebenarnya susah untukku tersenyum tulus pada orang asing, tapi aku mencoba. Aku menutup mataku, mengingat Papa dan Noval. Senyum dua laki-laki yang paling berharga dalam hidupku.
Aku mengangkat wajahku. Perlahan kedua sudut bibirku terangkat membentuk senyum. Dalam bayanganku, aku membayangkan yang ada di depanku adalah Papa. Papa yang tengah tersenyum ceria. Senyumku mengembang. Papa, Papa ada di depanku saat ini.
Manikku menatap manik dosen itu yang tampak berwarna coklat. Aneh, rasanya aku pernah melihat maniknya, tapi dimana? Entah apa yang ada di wajahku, tapi aku melihat dosenku itu menatapku lekat dan seolah tertegun.
"Sama persis," gumamnya sambil tersenyum kecil. Ekspresinya berubah tampak ramah dan lembut saat menatapku.
Aku tidak tahu kenapa, tapi rasanya aku enggan untuk meninggalkan manik coklat itu sedikitpun. Aku seakan hanyut dan tenggelam dalam manik coklatnya. Manik coklat yang terasa familiar di otakku.