Seperti biasa, aku terbangun pukul dua dini hari dan melaksanakan sholat malam yang dilanjut dengan membaca bersama Noval di meja makan. Kali ini tidak ada mie, hanya dua mangkuk berisi aneka buah yang sudah dipotong kecil.
"Kak," panggil Noval.
Aku menusukkan garpu ke potongan melon lalu menjawab dengan deheman.
"Kemaren Noval dikasih tugas prakarya. Katanya harus bikin sesuatu," balas Noval membuatku mengernyit dan menoleh. "Bantuin Noval ya? Soalnya hari ini harus dikumpulin."
"Boleh, tapi mau bikin apa?" Tanyaku sambil membuka lembar buku. "Di kasih tema nggak? Atau di kasih tau contohnya bikin apa?"
Noval menaikkan bahu tak acuh. "Nggak tau, Kak. Gurunya nggak bilang apa-apa. Ngasih tugas aja. Katanya bikin prakarya buat ngisi nilai harian."
"Udah gitu doang?" Tanyaku menatap Noval tidak percaya. Noval mengangguk.
Aku menghela napas. "Intinya bikin prakarya bebas? Mau apa juga boleh 'kan?"
Mata Noval menyipit menatapku curiga. "Jangan bikin yang aneh-aneh, Kak. Yang normal-normal aja, jangan kayak waktu itu, bikin boneka salju dari kaos kaki warna pink. Kan Noval jadi malu. Masa cowok warna pink."
Aku menghiraukan tatapan Noval padaku. "Asal kamu tau ya. Dulu warna pink tuh umum banget buat cowok. Di Amerika, tahun 1927 warna pink pernah mendominasi toko baju cowok. Nah terus, tahun 1940, warna pink tuh masuk kategori warna cowok karena masih berelasi sama warna merah yang identik keras sama maskulin. Sedangkan dulu, warna biru tuh buat cewek loh."
"Terus kenapa jadi identik sama cewek?"
"Tahun 1953, waktu pelantikan Presiden Amerika, Dwight D. Eisenhower, istrinya, Mamie Eisenhower pake gaun warna merah muda. Jadi itu dianggap sebagai titik balik di mana warna pink jadi identik buat cewek. Secara gitu 'kan, istri presiden yang pake, ya jelas jadi tren. Ada juga beberapa teori lain tentang warna pink kenapa jadi identik buat cewek, tapi yang jelas, dulunya warna pink itu malah termasuk kategori warna maskulin."
Noval mengangguk-angguk setelah mendengar penjelasan. Kuharap dia mengerti dan tidak lagi membeda-bedakan. Lagipula warna apapun yang dipilih dan bagaimana masyarat berkomentar, seharusnya itu tak menjadi urusannya. Toh kita hidup bukan untuk menjadi boneka masyarakat.
"Tetep aja Noval nggak suka," desah Noval seraya menopang dagu memutar bola mata jengah. "Warna item kalo bisa."
"Tapi kamu dapet nilai paling gede. Terus bonekanya juga diambil sama guru kamu kan? Meskipun kata kamu aneh, tapi menurut guru kamu nggak. Kalo kamu bikin sesuatu terus buatan kamu di cibir karena aneh, tanyain mereka bisa nggak bikin yang kayak gitu?"
"Iya deh iya, maafin Noval," ucap Noval seolah mengalah, ingin mengakhiri perdebatan. Aku hanya mendengkus dan menutup mulut. "Terus Kakak sekarang mau bikinin Noval apa?"
"Bikin bunga mau nggak?" bibirku bergetar menahan tawa ketika Noval melotot, menatapku kesal. "Apa melotot? Kakak tusuk pake garpu mau?"
"Jangan bunga dong, Kak," desah Noval. "Yang laen gitu. Yang kerenan dikit."
"Bunganya dari sabun, diukir gitu, Val. Kakak jamin, nggak bakal ada yang sama. Nilainya pasti paling gede, tapi nggak bentuk bunga juga bisa, kayak kura-kura, lumba-lumba juga bisa. Kalo mau, kakak mau beli dulu sabunnya ke minimarket depan."
"Yaudah deh mau, tapi Noval ikut."
Aku mengangguk sambil mengusap puncak kepala Noval. "Boleh, tapi kamu yang bilang sama Mama ya?"
Noval mengangguk seraya turun dari kursi melangkah menuju kamar Mama. Aku menatap punggung Noval lalu beranjak menuju kamarku untuk mengambil uangku yang masih tersisa.
---
"Kak, pengen ciki."
Aku melayangkan tatapan tajam pada Noval yang tengah menyengir sambil mengangkat sebuah makanan ringan berukuran sedang. "Janjinya beli sabun bukan snack. Kebiasaan, kalo di ajak ke minimarket pasti mata kamu jelalatan liat makanan. Taro balik!"
data-p-id=146efce20c6664260917b1fd2f6ce653,Noval memberikan cengiran khasnya, berusaha memohon dengan gaya khas anak-anak. "Satu aja, Kak," bujuk Noval menatapku penuh permintaan dengan mata puppy eyes. Mungkin jika di film kartun, akan terlihat ekor yang mengibas-ngibas dan sepasang telinga yang terkulai. "Yang rasa keju. Satu."
Aku memijit pelipis dan menghela napas panjang. Dia kira kakaknya ini bandar uang apa? "Yaudah ambil sana. Eh tunggu!" Cegahku menarik kerah baju Noval saat ia hendak langsung pergi mengambil snack di rak lain. "Mau bikinnya berapa?"
"Berapa apanya?"
"Ukirannya, Noval," ucapku gemas, memutar bola mata. "Satu sabun bisa dibikin dua. Kebetulan ini ada sabun yang lagi diskon. Beli tiga gratis satu, jadi kalo mau bikin banyak, belinya dua bungkus."
"Satu aja deh Kak. Noval butuhnya cuma dua. Nggak usah banyak-banyak," ucap Noval seraya berlalu pergi, menuju rak makanan ringan. Gercep.
Aku mendesah melihat kelakukannya, lalu kembali mengalihkan atensi untuk memilih sabun. Sebenarnya ukiran sabun ini pernah aku buat untuk prakarya ujian praktek saat masih di SMP. Disaat orang lain membuat rumah-rumahan dan bunga dari koran, aku sendirian membuat bunga dari sabun. Out of the box. Tentunya aku mendapat nilai tertinggi karena perbedaan itu, meski begitu, jelas selalu ada suara sumbang yang mencibir mengatakannya aneh.
Aku lalu meraih sebungkus sabun yang lunak sehingga untuk diukir beraroma anggur. Pandanganku mengedar mencari Noval dan menemukan bbocah itu tengah bingung memilih dua snack yang di tangannya.
"Rasa keju atau barbeque? Mau barbeque, tapi mahal. Rasa keju, murah tapi asin. Keju aja deh, biar murah, biar Kakak nggak terlalu banyak ngeluarin uang. Kasian," ucap Noval seraya hendak menaruh snack berbungkus warna coklat.
Aku mengusap puncak kepala Noval membuatnya terperanjat kaget dan menoleh. "Ambil aja yang barbeque, nggak papa."
"Tapi kan kakak nggak punya duit banyak."
"Nggak papa. Ambil aja. Uang Kakak masih ada kok," ucapku membuat Noval tersenyum cerah.
"Makasih Kakak!" Seru Noval senang dan mengambil Snack berukuran sedang tersebut dan berjalan lebih dulu ke kasir.
Aku menggeleng sambil tersenyum kecil menatap Noval. Namun aku lalu merogoh saku jaketku, mengambil selembar uang biru yang aku ambil dari tabunganku. Apa cukup? Ya seharusnya cukup.
---
"Berapa, Mbak?" Tanyaku pada kasir perempuan berjilbab biru yang tampak ramah. Cantik sekali, jauh berbeda denganku yang bahkan begitu polos. Rasa insecure melonjak tajam melihatnya.
"Semua jadi tiga puluh delapan ribu lima ratus," jawabnya sembari tersenyum menyodorkan kresek putih berisi sabun dan snack barbeque Noval.
Aku hendak memberikan uang. Namun seseorang menyela dari belakang seraya menaruh minuman kaleng. "Sekalian sama ini, Mbak."
Aku hendak protes tapi laki-laki asing bertopi hitam yang membuat wajahnya tidak jelas itu memberikan uang selembar seratus ribu, membuatku tak berdaya dan kembali menelan ucapan. "Berapa semua?"
"Jadi enam puluh delapan tiga ratus rupiah," balas perempuan tersebut. Aku hanya bisa melongo saat melihat laki-laki asing itu membuka penutup kaleng dan meminumnya begitu saja sambil menunggu kembalian.
"Eh, Mas! Ini—"
Noval menarik tangan kiriku sambil berbisik. "Kakak kenal orang aneh ini? Kok baik banget mau bayarin, kalo tau gitu tadi Noval ngambil dua."
Kedua mataku membola, memberikan pelototan. Dasar tidak tahu malu! Noval mencebik, mengalihkan pandangan cemberut.
"Terimakasih." Aku menoleh saat kasir bicara dan laki-laki asing itu pergi membawa minumannya.
Aku bahkan belum sempat berterimakasih, tapi laki-laki itu sudah lebih dulu keluar. Hanya sedikit ciri fisik yang bisa kutangkap; berkulit hitam manis dan bola mata coklat terang yang terlihat tajam dinaungi alis agak tebal. Hanya tarikan napas berat yang bisa kulakukan, aku lalu meraih kresek putih dan pergi setelah mengucapkan terimakasih pada kasir tersebut. Ternyata masih ada orang baik diluar sana. Uangku selamat.
---
Pukul setengah tiga, aku menyelesaikan ukiran berbentuk kura-kura dan bunga. Awalnya Noval sempat protes karena aku membuatkannya bunga, tapi karena aku menambahkan batang dan juga tangkai yang membuatnya tampak seperti bunga mawar sungguhan, akhirnya Noval menyerah dan membiarkanku melakukan apapun sesuka hati.
"Kak."
"Hm?"
"Nanti kita ke minimarket lagi ya? Siapa tau ketemu lagi orang baik tadi, terus dibeliin snack lagi," ucap Noval sembari terus melahap snack kentangnya.
"Mana ada yang kayak gitu? Kalopun ketemu, Kakak bakal ganti uangnya. Kakak nggak mau punya hutang."
"Emangnya Kakak tau siapa orangnya?" Tanya Noval membuatku mendengus. "Nggak kan? Yaudah nggak usah dibalikin. Salah dia sendiri sok-sokan bayarin orang,"
"Harusnya kamu bilang makasih, bukannya ngehujat. Barang yang dibayar sama orang itu kamu makan. Aneh kamu tuh. Toh ini semua juga buat kamu."
"Cewek selalu benar. Ok. Terserah."
Aku hanya bisa terkekeh melihat wajah Noval yang mengalah dan terlihat kesal, tapi terus mengunyah. Membuatnya terlihat lucu.
---
Setengah lima pagi, azan subuh terdengar membuatku dan Noval terdiam menghentikan semua aktifitas sejenak untuk mendengarkan. Setelah selesai, kami cepat-cepat mengambil wudhu dan bersiap sholat subuh, tapi aku lihat Mama tidak kunjung keluar dari kamar. Tidak biasanya Mama begini, mungkin ia begitu karena lelah bekerja. Namun tetap saja sholat itu wajib. Aku mencoba mengetuk pintu, membangunkan Mama. Melihat pintu tak terkunci , dengan pelan aku masuk untuk membangunkan Mama.
"Ma, sholat dulu. Ayo sholat sama Nova sama Noval."
Mama menggeliat dan keningnya berkerut dalam. "Kamu nggak liat Mama capek abis kerja? Udah! Jangan gangguin Mama. Mama masih mau tidur."
"Ma—"
"Nova!" suara Mama meninggi, membuatku tersentak mundur. " Mama capek. Kamu aja yang sholat. Jangan ganggu Mama!"
Mengatupkan bibir, aku lantas memilih tak mau mengusik Mama lagi dan berjalan ke luar dari kamar lalu menghampiri Noval yang duduk bersila di atas sajadah, lengkap dengan sarung, baju koko, dan peci hitam yang membuat Noval lebih tampan. Tidak heran jika ia mengatakan kalau teman perempuann menyukainya. Aku baru sadar kalau memiliki adik yang begitu tampan.
"Kak, Mama mana?"
Aku tersenyum, berusaha menutupi keengganan Mama dan mencari alasan lain. "Mama lagi capek, jadi nanti sholatnya."
"Kalo gitu tungguin aja dulu bentar lagi, biar bisa sholat berjamaah," usul Noval.
"Kata Mama kita duluan aja.���
Sorot mata Noval meredup. Bibirnya menipis seraya mengalihkan pandangan. "Yaudah, kita sholat aja duluan."
Aku menatap Noval prihatin. Dalam hati aku bertanya, kenapa Mama sedikit berubah? Biasanya Mama tidak pernah melalaikan sholat. Meskipun ini bukan kali pertama aku melihat Mama marah, tapi kali ini Mama tampak berbeda. Namun, semoga saja anggapanku ini hanya perserpsi. Mungkin Mama begitu karena lelah. Ya, mungkin begitu.