Aku kembali menunggu bus di halte usang yang kemarin, tempat pertemuan dengan pria menyebalkan yang ternyata dosenku sendiri. Mengabaikan fakta itu, dari kemarin sampai hari ini, tidak ada orang di halte ini, hanya aku yang berdiri sendirian seperti orang bodoh. Lama menunggu, tidak ada satupun bus yang lewat. Aku menarik lengan bajuku melihat arloji, masih pukul delapan, ada dua jam lagi untuk ke kampus.
Tin! Tin!
Tubuhku tersentak saat mendengar bunyi klakson dari sebuah mobil hitam mengkilap yang berhenti di depan. Keningku berkerut dalam bertanya dalam hati siapa yang membawa mobil lalu berhenti di depanku.
Kaca mobil perlahan turun, menampakkan wajah seorang laki-laki yang tersenyum lebar padaku, menunjukkan serangkaian gigi putih bersih. Kalau tidak salah, dia laki-laki yang kemarin berbincang denganku di bawah pohon. Kulit kuning langsat dan senyumnya yang cerah. Euh ... namanya siapa?
"Ngapain lo disini, Va? Nungguin bus hantu? Gila jam segini udah rapi banget," Ucapnya terkekeh. "Lo mau kemana? Ayo masuk. Gue anterin."
Aku menggeleng. "Nggak usah. Gue nunggu bus aja. Nggak enak nebeng sama lo, Des,"
"Des?" Keningnya berkerut. Namun lalu ia tertawa. "Nama gue Nando, Va. Bukan Des. Haduh-haduh. Otak lo itu, bikin gue ngenes dengernya. Ayo masuk."
Nah itu! Nando. Aku lupa namanya tapi hanya ingat ciri fisiknya saja.
"Oh iya maaf, gue lupa." Aku tersenyum kikuk sambil mengusap tengkuk. "Nggak deh, gue nunggu di sini aja."
Nando berdecak. "Lo ngeyel banget ya jadi cewek. Emang lo mau kemana pagi-pagi begini?"
"Ke kampus."
"Hah?!" Kedua mata Nando melebar sama seperti mulutnya yang juga terbuka, menatapku tak percaya seolah aku telah memberitahu kode nuklir. "Pagi-pagi begini? Lo waras nggak sih? Kelas mulai jam sepuluh. Emang lo nggak tau Pak Farda nggak ada kelas?"
"Tau kok."
"Terus?" Sebelah alis Nando terangkat tinggi. "Jangan bilang lo berdiri di sini mau minta-minta."
"Nggak lah, semiskin-miskinnya gue. Pantang buat gue ngemis. Selagi gue masih punya tenaga buat kerja, kenapa nggak?"
"Lo kerja, Va?" Tanya Nando tidak percaya. "Salut deh sama lo. Lo kuliah sambil kerja. Lo kerja apaan?"
"Gue nggak kerja, tapi dulu waktu di Jakarta, gue pernah bantu-bantu temen gue jualan baju. Secara online sih, gue jadi yang nganter-nganter bajunya."
"Oh.." gumam Nando seraya mengalihkan pandangan. Entah kenapa di matanya terlihat sorot kesedihan. Kenapa?
"Eh iya, lo mau kemana? Mending lo pergi, takutnya nanti lo telat. Gue mau nunggu bus aja. Nggak enak kalo nebeng sama lo," ucapku memutus lamunan singkat Nando.
Nando mengulas senyum. "Cuma mau ke toko buku doang. Lo mau ikut nggak? Nanti sekalian ke kampus bareng sama gue. Gue juga mau minta saran buku yang bagus sama lo. Ya.. kalo bisa sekalian ngasih tau, soalnya jujur ada beberapa hal yang nggak gue ngerti kemaren."
"Tapi..."
"Udah nggak usah banyak tapi, buruan masuk. Gue jajanin," ucap Nando keluar dari mobil dan mendorong tubuhku mengelilingi mobil dan masuk. Nando ikut masuk, duduk di sampingku sambil memasang safety belt dan melajukan mobil.
Aku hanya bisa mendesah, tapi ada untungnya juga, aku bisa menghemat uang.
---
Aku tidak mau terlihat norak, tapi rasanya sulit menahan untuk terus mengedarkan pandangan melihat Mall mewah yang ada di depanku saat ini. Ke atas, aku bisa melihat ada beberapa lantai.
"Lo nggak pernah liat mall?" Tanya Nando membuatku menoleh ke arahnya.
"Pernah, tapi nggak segede ini. Gue jarang keluar rumah waktu di Jakarta," jelasku pada Nando.
Nando mengangguk-angguk seolah baru memahami sesuatu. "Kayaknya lo tipe-tipe mahasiswi kupu-kupu."
Keningku mengernyit bingung. "Kupu-kupu?"
"Iya, kuliah pulang-kuliah pulang. Pastinya di Jakarta lo jarang maen kan? Pernah ikut organisasi nggak?"
"Nggak."
Nando malah tertawa seraya menarik tanganku. "Toko bukunya di lantai empat. Kalo lo nggak mau telat, mendingan buruan jangan liatin mall mulu oke?"
Aku tertunduk malu, ternyata Nando melihat tingkah memalukanku tadi. Tapi ya sudahlah.
---
,Lantai empat, hampir saja bibirku terbuka lebar melihat banyaknya buku yang tertata rapi di rak maupun yang tersimpan di bawah. Banyak orang yang duduk sambil membaca. Pemandangan seperti ini, sangat membuatku gembira. Entah kapan terakhir kali aku ke tempat seperti ini, dulu memang aku pernah melihat tempat yang sejenis seperti ini, tapi itu dulu saat aku masih SMP kelas dua dan saat Papa masih ada.
Aku menoleh menatap Nando. "Lo mau beli buku apa?"
Nando menaruh telunjuknya di dagu memasang wajah berpikir. "Gue mau beli novel deh. Coba-coba, kata temen gue ada novel keluaran baru yang seru katanya,"
Aku terdiam sejenak. "Novel apaan?"
"More Than You See. Gue juga nggak tau itu buku apaan, tapi temen gue bilang itu seru banget. Yaudah gue coba-coba mau beli. Katanya itu buku tentang cewek yang punya kekuatan hydrokinesis dan ya gitulah," ucap Nando sambil mengendik.
"Seru banget?"
"Gue nggak tau, tapi temen gue sampe jerit-jerit seneng," ucap Nando berjalan lebih dulu dariku.
Tanpa Nando sadari, kedua sudut bibirku terangkat menunjukkan senyum puas. Ternyata tidak sia-sia usahaku tidur larut sambil terus menatap laptop hanya untuk mengetik.
---
"Udah belom? Udah jam sembilan nih," ucapku kesal sambil terus melihat arloji.
Tangan kanan Nando terangkat. "Nanti dulu. Lagi seru. Ternyata bener apa kata temen gue. Ini seru banget."
"Apanya sih yang menurut lo seru?" Tanyaku sambil menopang dagu dan mengedarkan pandangan pura-pura acuh padahal telingaku tengah bersiap mendengarkan dengan seksama.
"Seru aja. Gaya bahaya yang gampang di pahami, alurnya, ceritanya, terutama tokoh utamanya. Mungkin tokoh utamanya cewek, tapi ini terkesan beda dari yang lain. Gue sebagai cowok acungin jempol sama yang bikin nih novel."
Perasaan senang membuncah hadir di dadaku. Aku tersenyum bahagia mendengarnya.
"Tapi sayangnya, yang bikin novel ini, Zlata Arina. Nggak nulis apapun. Kesel gue. Biodatanya dikit banget. Misterius."
"Lo marah kayak cewek yang nggak dapet apa yang dia mau. Terus aja ngomel," ucapku terkesah tak acuh, menyembunyikan kegembiraan hati. Ternyata novelku diterima dengan baik, meskipun sengaja aku tidak menaruh identitas secara jelas.
Nando tidak menjawab. Membuatku menoleh padanya. Ia tengah melihat sesuatu dan mengikuti arah pandanganya yang tertuju pada seorang laki-laki berkulit sawo matang yang tengah membaca buku.
"Kenapa lo liatin?" Tanyaku. "Suka?"
Tubuh Nando bergidik. "Jangan sampe. Najis gue suka sama sesama. Gue masih demen cewek kali."
"Terus kenapa lo liatin mulu?"
"Dia temen gue waktu SMA, sebenernya juga satu kampus, cuma dia beda jurusan. Dia jurusan matematika. Namanya Agmar Asegaf. Pinter tuh bocah. Tapi dia gay," ucap Nando berbisik di akhir.
"Gay?" Aku mengernyit lalu beralih menatap ke arah laki-laki yang berekpresi datar, kemudian kembali menatap Nando. "Masa sih? Jangan fitnah lo."
"Serius. Dari SMA sampe sekarang gue belom pernah denger dia punya pacar atau deket sama cewek. Kalaupun ada yang deket, itu cuma temen biasa."
Aku menggeleng tidak percaya. Sungguh nahas jaman sekarang. Men-judge buruk dengan mudah tanpa mengetahui seseorang dengan baik. Mataku menatap Nando dengan dingin. "Gue belom pernah pacaran. Sumpah. Gue juga nggak pernah punya kedekatan khusus sama cowok kayak temen lo itu, terus lo juga mau bilang gue lesbian?"
Nando menggaruk tengkuknya. "Nggak sih."
"Terus kenapa lo bisa ngomong temen lo gay cuma karena nggak pernah punya pacar? Lo punya bukti nuduh dia gay?"
Nando terdiam lalu menggeleng pelan.
Aku menghela napas berat. "Jangan gampang nilai orang dari luarnya. Lo nggak tau apa yang dia rasain atau apa yang dia lakuin sampe nggak pernah punya pacar. Mungkin aja dia punya urusan yang lebih penting daripada pacaran. Terus, gimana rasanya kalo lo juga di anggap gay cuma karena nggak punya pacar? Atau di anggap bencong cuma karena sering bareng sama cewek?"
"Kok lo yang marah sih? Gue nggak ngomongin lo, gue ngomongin si Agmar," ucap Nando terlihat kesal.
Aku menghembuskan napas kasar. "Emang, tapi gue pernah di posisi temen lo. Dianggap nggak normal cuma karena sering sendirian, nggak pernah keliatan jalan sama cowok. Dan lo tau, meskipun gue selalu coba nutup telinga sama masang sikap masa bodo, tapi tetep aja itu nggak enak. Kalopun ada orang yang gue suka atau yang suka sama gue, nggak bakal nganggap gue karena anggapan nggak bener itu."
Nando menatapku seakan bersalah.
"Coba deh lo bayangin di posisi dia. Udah sendiri, di judge nggak bener. Beruntung nggak gila. Terus belom lagi problematika hidup yang dia hadepin. Mungkin aja di terus sendiri sama buku, buat ngebahagiain orangtuanya, atau bantu orangtua dapet uang dengan cara jual otaknya. Siapa yang tau?"
"Iya-iya. maafin gue," ucap Nando dengan nada rendah bersalah. "Gue salah nih."
"Jangan minta maaf ke gue, minta maaf sama temen lo," ucapku seraya menghela napas dan menyandarkan punggung di sandaran kursi.
Nando terdiam menunduk. Aku mengedarkan pandangan enggan untuk melihatnya. Namun saat aku mengedarkan pandangan, tanpa sengaja mataku bertemu dengan mata hitam milik laki-laki yang tadi menjadi bahan perbincanganku dengan Nando.
Laki-laki itu terus menatapku, aku balik membalas terus menatapnya. Dan hal yang tidak aku duga adalah kedua sudut bibirnya yang tertarik ke atas membentuk senyum. Tidak lebar tapi tidak juga tipis. Senyum yang terlihat sangat tulus.
Hal yang sangat membuatku tertarik adalah sepasang mata coklat terang yang menimbulkan perasaan familiar. Dia cukup tampan, meski sedikit kurus dan matanya yang dalam.
Entah apa maksudnya tersenyum seperti itu padaku, tapi aku meraskan kehangatan di sana dan aku balik membalas tersenyum.