Chereads / True Dream / Chapter 5 - Lingkungan baru, cibiran yang baru

Chapter 5 - Lingkungan baru, cibiran yang baru

Berjalan memasuki kelas, aku mengekor di belakang dosen yang masih belum diketahui namanya itu. Ia menghentikan langkah saat tepat berdiri di depan kelas, bertolak pinggang menunjukkan kuasanya. Dalam hati aku mencibi, apakah ahrsu memasang pose seperti itu? untuk apa?

Aku berdiri di belakangnya, sedikit menunduk enggan melihat banyaknya orang asing yang sekaligus aku temui dalm satu waktu. Dapat aku rasakan banyaknya tatapan yang tertuju, menjadikan kakiku terasa lemas dan lututku bergetar, sekalipun saat SMP dan SMA aku punya sedikit catatan buruk dengan guru BK, tapi sejujurnya aku tak terlalu suka menjadi bahan perhatian.

"Oke, kita kedatangan teman baru," ucapnya lalu duduk membiarkanku berdiri sendirian di depan kelas. Dari ekor mata, aku melihatnya menatapku seraya tersenyum miring, mungkin merasa menang karena menempatkanku dalam posisi menjadipusat perhatian. "Silakan perkenalkan diri."

Aku memberanikan menatap ke depan, seperti biasa ekspresiku datar dan tak acuh. "Perkenalkan nama saya Nova Aurum Gauri. Pindahan dari—"

"Nama lo Aurum? Tapi kok lo nggak terbuat dari emas?" Cibir seorang laki-laki yang duduk di bangku terdepan dan disambut gelak tawa seisi kelas. Ah, hanya beberapa yang tidak tertawa.

Dosen itu lantas memberikan isyarat untuk diam lalu kembali menatap ke arahku, mempersilakan untuk mengulangi perkenalan.

Jeda beberapa saat, aku menarik napas panjang mengawali perkenalanku yang kedua. Semoga kali ini tidak ada yang usil membuka mulut, mengeluarkan kata-kata tak berguna. "Nama saya Nova Aurum Gauri. Pindahan dari Jakarta."

"Kenapa kamu pindah ke sini?" Tanya dosen itu, memusatkan atensi padaku.

"Saya ikut ibu saya. Beliau mendapat pekerjaan disini, karena itu saya pindah," paparku secara singkat. Aku berusaha menahan diri agar bersikap biasa, tak memasang wajah judes saat melihat ujung bibirnya terangkat membentuk senyum culas yang masih ada.

"Terus bapak lo kemana sampe ibu lo kerja disini? Kawin lagi sama cewek yang lebih bohai? Wah kasian banget," cibir seorang perempuan berkucir dua. Bibirnya tampak melengkung jelek, mengejek sembari memilin anak rambut di jari telunjuknya.

Aku terdiam sejenak, memperhatikan perempuan itu yang kini tengah menatap kukunya yang di beri kutek merah muda, terkesan meremehkan. Setelah penyataannya, tatapan orang-orang lebih terpaku seolah meminta jawaban. Aku menghela napas panjang, mengalihkan pandangan. Hari baru dimulai, dan rasanya sudah begitu melelahkan.

"Kenapa lo diem? Jangan-jangan bener ya?" Seorang laki-laki berponi samping menyahut, "bokap lo nelantarin—"

"Maaf, tapi ayah saya sudah meninggal." Aku menyela, mengeraskan suara memberi penegasan dan karena itu suasana kelas menjadi hening. "Tolong, jangan samakan ayah saya dengan tipe laki-laki yang ada dipikiran kamu. Ayah saya bertanggung jawab, tapi tanggung jawab itu terputus karena beliau sudah meninggal dunia."

"Tapi kalo masih hidup, nggak nutup kemungkinan buat—"

"Anita Hadi!" Dosen itu menyela, suaranya menggelegar menggaung di dalam ruangan, menciptakan atmosfer berat dan hening. Perempuan berkucir dua itu terdiam, mengalihkan pandangan, namun ekor matanya melirikku kesal. Dosen itu lantas melanjutkan, "silakan keluar dari kelas saya."

Aku menoleh, menatap dosen itu yang tampak acuh tak acuh. Kemudian mataku bergulir menatap perempuan yang tadi siapa namanya itu, keluar dari kelas dengan memberikan tatapan tajam dan menggeram seperti anjing. Apa salahku?

"Bukan saya disini untuk membela Nova, tapi saya tidak suka orang yang tidak punya etika dan kesopanan hingga merendahkan orangtua apalagi orang tersebut sudah tiada. Jika ada yang keberatan silakan keluar dan mengulang kelas saya tahun depan," ucapnya di antara keheningan kelas yang melingkupi. Ia lalu menoleh padaku dan mengangguk pelan. "Kamu boleh duduk."

"Terimakasih, Pak," aku mengangguk pelan padanya lalu berjalan ke arah kursi paling belakang.

Dosen itu bangkit berdiri di depan kelas sambil menyunggingkan senyum yang anehnya membuat semua mahasiswi yang berada di kelas ini memekik riang. Apa yang aneh? Hanya senyum, tidak ada yang membuat tercengang, tapi kenapa mereka terlihat begitu... euh entahlah apa namanya itu. Memekik riang dan sebagian lainnya mendesah senang seperti habis BAB yang ditahan lama.

"Baik! Kita mulai pembelajarannya," ucapnya lantang. Namun lalu menatap tajam ke arahku. "Kamu, mahasiswi baru. Semoga bisa mengikuti pembelajaran dengan baik."

Aku mengangguk, sementara hampir semua termasuk seorang laki-laki di depanku mendesah frustasi. Ada apa dengan orang-orang ini?

---

Kelas sudah usai, aku memilih duduk menyendiri di bawah pohon rindang sambil membaca buku untuk menunggu kelas selanjutnya. Pikiranku melayang teringat tadi. Ternyata apa yang membuat semua orang di kelas mendesah frustasi adalah tes dadakan yang di adakan oleh dosen itu. Padahal tadi dosen itu menyebutkan namanya, tapi aku lupa. Sudahlah, tidak penting.

Aku tengah menekuni buku yang dibawa dari rumah saat ada seseorang yang mendekat dan duduk di depan. Pandanganku terangkat melihat seorang laki-laki yang tersenyum ramah, menyengir lebar, menunjukkan deretan gigi putihnya.

"Hai," sapanya tersenyum. "Lo Nova kan?"

Kedua alisku bertautan melihat laki-laki asing yang so kenal ini. Bahkan melihat wajahnya tidak pernah. "Lo siapa? Kok tau nama gue?"

Alis laki-laki itu terangkat tinggi. "Masa lupa sih? Gue yang duduk di depan lo."

Aku terdiam sejenak, menggali kembali ingatan mengenai wajah laki-laki di depanku ini, tapi tak ada yang muncul. "Yang duduk di di depan gue emang laki-laki, tapi nggak inget mukanya. Emang itu lo?"

"Iya!" Serunya tampak gemas. "Jangan bilang lo juga lupa nama gue?"

"Emang nama lo siapa?"

Laki-laki itu tampak tersenyum kaku dan mengusap tengkuknya. "Ingatan lo buruk banget ya? Tapi tadi pas tes, lo bisa jawab semua. Otak lo tuh gimana sih mekanismenya?"

Memang banyak yang mengatakan aneh tentang cara kerja otakku, tapi kusadari kekuatan mengingatku buruk. Aku berhasil mengingat semua materi karena seringnya aku mengulang. Aku memandang wajah laki-laki itu yang menatap penuh penasaran, enggan menjelaskan panjang lebar, akhirnya hanya gelengan kepala yang kuberikan.

"Masa nggak tau, bagi tipsnya dong. Gue juga mau pinter kayak lo. Lo hebat, Va!" laki-laki berkulit kuning langsat dengan senyum manis itu kembali menyengir, mengacungkan jempol." Salut deh. Meskipun baru tapi kayaknya lo lebih hebat."

"Makasih, tapi kalo boleh tau, nama lo siapa?"

"Masih belom inget juga?" Tanyanya tidak percaya. Namun sedetik kemudian ia tertawa. "Lo unik ya? Masalah pelajaran aja inget, tapi yang sederhana kayak nama nggak inget."

Aku hanya terdiam menatapnya sebentar lalu tertunduk menekuni buku.

"Nova!"

"Apa?"

Bibir laki-laki itu mencebik. "Mau tau nggak nama gue?"

Aku menutup buku bersampul merah itu dan menaruhnya di pangkuan. "Buat gue nama nggak penting, yang penting itu baik-buruknya sifat orang tersebut."

"Bener juga, tapi gimana lo bisa punya prinsip begitu? Kan kalo lo punya temen nantinya teh suka panggil nama kan? Kalo misal mau manggil, pake nama kan? Bukan manggil sama sifat? Nanti gini, 'hei baik sini, jelek bantuin ini'. Masa mau gitu?"

Ujung bibirku tertarik membentuk senyuman. "Nggak lah. Gue panggil nama, tapi sering salah."

"Dimarahin?" tebaknya dengan seulas senyum geli yang muncul.

Aku mengangguk.

Ia terkekeh. "Yaiyalah dimarahin, siapa yang nggak kesel punya temen nggak apal nama. Berasa gimana gitu," ucap laki-laki tersebut seraya memutar bola matanya. "Eh! Lo udah inget nama gue?"

Aku terdiam menatap wajahnya lekat, menjadikannya sebagai kata kunci untuk meraup memori dalam kepalaku yang berhubungan dengan laki-laki ini, tapi hasilnya nihil. Tak ada nama yang muncul sekalipun aku mencoba mencarinya. Akhirnya, setelah lama melihat, hanya gelengan tanda tak tahu.

Ia menepuk jidatnya. "Aduh ieu budak! Nama gue Nando! Inget N.A.N.D.O. Nama depan aja, takutnya kalo sama nama lengkap, malah bikin otak lo kebakaran. Anehnya, nama orang lupa tapi nama sendiri nggak lupa. Emejing."

Oke, Nando. Nando. Nando. Laki-laki berambut sedikit ikat dengan poni menutupi jidat, kulit kuning langsat dan giginya yang rapi putih bersih. Bajunya modis dan aroma parfumnya segar tak terlalu menyengat.

Nando hendak bicara, membuka mulut. Namun ekor matanya menangkap sesuatu yang membuatnya tidak jadi bicara. Penasaran apa yang membuat Nando terdiam, aku mengikuti arah pandang. Cukup jauh dari kamu, dosen tadi mengajar alias pria menyebalkan itu tengah berdiri, berbincang dengan seorang perempuan.

Perempuan itu tampaknya bukan seorang mahasiswi sini, terlihat dari pakaiannya yang kolot berwarna merah terang dan agak mencetak tubuhnya, mirip lemper. Rambutnya hitam agak bergelombang hasil rombakan salon.

Aku mengalihkan pandangan, kembali menatap Nando saat laki-laki itu mendengkus. Ia tampak kesal, memalingkan wajah. "Kenapa?"

"Gue kurang respek suka sama Pak Ares."

Pak Ares? Keningku berkerut dengan kedua alis yang bertautan. Yang di maksud Nando itu pria menyebalkan itu? "Pak Ares?"

Nando menoleh pelan sambil melotot, tak percaya sekaligus gemas. Entah gemas atau memang kesal, entahlah. Bukan salahku aku tak ingat namanya. "Dosen kita, Nova! Dosen yang tadi kayaknya belain lo dari si nenek lampir Ani. Bukan kayaknya sih emang belain elo."

"Siapa lagi itu si Ani?"

"Au ah, njir! Gue nyesel ngajak temenan sama lo. Gue pergi nih." Nando bersiap pergi, tapi aku tidak mengucapkan apapun dan kembali tertunduk membaca.

"Woi!"

"Apa?"

"Gue mau pergi nih."

Sekali lagi keningku berkerut dalam. Memangnya kenapa kalau Nando mau pergi? Aku bukan ibunya. "Kalo mau pergi silakan. Hak lo mau pergi, nggak perlu ngasih tau gue."

"Nova!" kedua mata Nando melebar, tangannya terangkat dengan jemari yang menekuk ke dalam seolah ingin menghancurkan sesuatu. "Astagfirullah, bisa-bisa boga panyakit jantung. Gue bilang mau pergi tuh ya lo tahan gue kek, apa kek. Ini mah anteung we,"

"Terus gue harus gimana?"

"Lo kejar gue!!"

"Oh lo mau di kejar?" Geli menyelinap. Senyum hampir tak bisa kutahan. "Boleh. Ayo ulang lagi, biar gue kejar,"

"KAGAK USAH! LARINYA NGGAK JADI!"

---

Aku berada di perpustakaan, menyusuri setiap rak yang penuh dengan buku tipis hingga tebal dan berat. Mataku menelisik mencari buku mana yang menarik perhatian. Namun aku memekik saat seseorang menarik bahu, memaksa tubuhku berbalik dan melayangkan tamparan di pipi. Mulutku terbuka, sembari memegangi pipi yang terasa kebas.

Ini orang punya masalah apa?

"Jangan pernah deketin Nando lagi! Dia punya gue!" Seorang gadis berbaju merah muda yang bahkan lebih pendek dariku melotot marah. Agak lucu juga, dia mirip anak kecil yang marah karena diganggu.

"Lo cewek kegatelan. Baru masuk aja belagu. Jauhin Nando!"

Tapi tunggu, Nando itu yang mana? Perasaan geli tergelitik seketika sirna digantikan kebingungan. Aku memandang gadis itu dengan tatapan tidak mengerti. "Maksud lo apa? Nando itu siapa?"

"Nggak usah pura-pura bego lo! Muka so polos lo bikin gue jijik. Inget ya! Sekali lagi lo deketin Nando. Tau rasa lo nanti!" telunjuknya melurus, menunjukku. Membiarkan kuku runcing berkutek pink begitu jelas terlihat.

Setelah bicara tidak jelas dan marah-marah dengan alasan yang tidak aku pahami, gadis itu pergi. Mencak-mencak sendiri dan menggerutu seraya menghampiri teman-temannya yang ternyata menunggu di ujung rak buku. Sebelum pergi, mereka lebih dulu melayangkan tatapan sinis.

Ini apa sih? Kenapa aku merasa goblok di sini? Apa salahku?

"Makanya, kalo jadi maba itu jangan caper. Tau etika sedikit."

Aku menoleh pada seorang perempuan berpakaian serba merah. Rambutnya hitam agak bergelombang dan memakai kacamata berbatang hitam. Ia tengah menunduk membuka buku. Namun sangat jelas ucapannya mengarah padaku karena di bagian rak buku ini, tidak ada orang lain. Dia terlihat cantik, tapi sedikit hancur oleh senyum miring yang ditampilkan.

Bibirku mengatup mengindahkannya dan kembali melihat buku di rak.

"Belom sehari masuk, tapi udah berani godain dua cowok sekaligus. Nggak malu? Di ajarin orangtua nggak?"

Kembali, dia bersuara menyindir. Dadaku bergemuruh dipenuhi gumpalan kekesalan. Kalau bukan teringat pesan Mama untuk menjaga sikap dan jangan sampai ada panggilan lagi, mungkin saat ini aku sudah mendatanginya dan menutup mulutnya.

"Ibu ngomong sama siapa?" Tanyaku pura-pura polos. Aku memanggilnya ibu karena melihat dari wajahnya yang terlihat sudah berusia. "Lagi latian drama, Bu? Ibu dapet peran apa? Bagus loh bu dialognya."

Perempuan itu melirik sini. Ia mengembalikan buku pergi sambil menghentakkan kaki. Namun saat ia pergi, aku masih dapat mendengar cibiran yang ia tunjukkan padaku. "Bego bener sih."

Aku menghela napas berat, mencoba melupakan apa yang terjadi. Anggapan orang tidak menentukan anggapan Tuhan pada umatnya.