Chereads / True Dream / Chapter 4 - Pria Asing Menyebalkan

Chapter 4 - Pria Asing Menyebalkan

Aku berjalan di trotoar sambil mendengarkan musik dari earphone yang mengantung di kedua telinga. Tidak ada yang istimewa dari penampilanku. Rambut terikat tinggi, jaket parka hitam menutupi kaos putih polos, celana jins biru dongker, dan syal rajut coklat yang melilit leher, serta tentunya tidak lupa ransel abu-abu di punggungku.

Setelah cukup jauh berjalan dari rumah, aku berhenti di halte untuk menunggu bus. Halte yang tidak ada kursinya, penuh coretan tidak jelas dan sampah yang berserakan. Pantas tidak ada yang mau naik bus, mengingat haltenya saja sudah begini. Atau mungkin karena aku yang terlalu pagi? Saat aku menarik lengan jaketku, arloji menunjukkan waktu pukul lima lebih lima belas.

Lama aku menunggu, sampai rasanya pegal terus menoleh kanan-kiri melihat kedatangan bus. Sedari tadi yang kulihat hanya mobil pribadi, motor dan becak. Masa harus naik becak? Sesekali aku melangkah mundur saat beberapa kendaraan muncul karena terdepat genangan yang entah darimana datangnya.

Aku menghela napas seraya menunduk menatap sepatu. Deru mobil terdengar, aku hanya diam tak acuh sudah mengira jika itu mobil pribadi yang akan lewat. Namun tiba-tiba air terciprat mengenai wajah. Mataku melebar lalu melihat sebuah mobil sport merah yang menjadi sumber alasan air kotor itu mengenai wajah.

"Woi! Bawa mobil tuh liat-liat!! Airnya nyiprat kena muka gue!" Aku berteriak, mengangkat tangan yang terkepal ke atas. Benar-benar, di kira siapa dia? "Jangan mentang-mentang mobil bagus, bisa seenaknya gitu aja!!"

Entah teriakanku terlalu keras sehingga menarik atensi si pengemudi, tanpa disangka mobil merah itu berhenti cukup jauh. Kedua alisku terangkat, terkejut tak menyangka tapi tak mengapa, aku bisa meluapkan emosi pada si pengemudi menyebalkan itu.

Pintu mobil terbuka. Pertama kali yang kulihat adalah kaki berbalut celana kain yang begitu rapi seolah disetrika berulang kali dan sepatu pentopel yang mengkilap.

Digosokin tiap hari kali ya? Orang kaya bebas.

Tatapanku jatuh pada pria pengendara mobil. Pria dewasa yang tampaknya lebih tua dariku beberapa tahun. Dia memakai kemeja putih bergaris abu-abu tipis yang digulung hingga siku. Rambutnya tersisir rapi diberi gel, hidung mancung, mata tajam dan rahang rahang yang tegas. Intinya seperti bayangan lelaki sempurna novel-novel kebanyakan.

Hanya saja, begitu kuat terasa aura kesombongan yang menyertainya. Sorot mata pongah menunjukan senyum sinis.

"Kamu tadi ngomong sesuatu?" Tanya pria itu datar. Dagunya sedikit terangkat, menatap seolah aku adalah lalat di dalam air minum.

Aku berdecih, kesal. "Mas, lain kali kalo bawa mobil pelan-pelan. Air di jalan ke muka saya. Mikir nggak sih? Jangan mentang-mentang bawa mobil bagus, asal srobot aja."

"Oh kena kamu?" senyum culasnya terangkat. "Ya pantes lah buat orang kayak kamu."

Aku mengerutkan kening. Orang sepertiku? Memangnya aku orang seperti apa?

"Maksudnya?" Namun lalu aku mengerti kemana arah pembicaraan pria itu. sombong sekali. "Gitu ya? Orang miskin nggak bisa apa-apa meskipun bener, tapi orang kayak bebas meskipun salah. Haram gitu ngomong minta maaf?"

Pria itu tertawa sinis. "Emangnya saya ngomong kamu miskin? Tapi baguslah, jadi nggak perlu saya ingetin. Terus tadi kamu ngomong apa? Haram minta maaf? Nggak juga. Saya bisa minta maaf, tapi maaf saya cuma buat yang seharusnya aja."

Kedua tanganku mengepal kuat. Baru pertama kali aku melihat orang sesombong ini. Apa karena aku orang asing dia bersikap menyebalkan seperti ini? Tapi bagiku, meski pada orang asing, maaf harus selalu dikatakan jika berbuat salah. Aku yakin betul pria itu sengaja memacu kecepatan untuk membuat genangan air terciprat mengenaiku karena sebelumnya, aku mendengar deru mobilnya pelan dan normal.

"Kok anda nyolot? Harusnya saya yang gitu sama anda. Karena anda yang bawa mobil sok, muka saya jadi kotor keciptaran—"

"Apa itu urusan saya?" Selanya mengangkat sebelah alis. "Justru saya yang marah karena kamu nanya saya punya mata atau nggak, ya jelas saya punya mata dong."

Hampir-hampir mulutku terbuka, tak percaya dengan apa yang dikatakan pria ini. Astaga, ini semakin menyebalkan.

"Terus kalo anda punya mata, kenapa mobil anda bisa lewat jalan yang becek? Nggak takut kotor? Banyak kuman? Nanti sakit loh kalo kena banyak kuman sama virus," sindirku.

Ia tersenyum kecil. "Nggak papa, uang saya banyak. Kalo mau saya bisa ganti mobil sekarang juga."

Kali ini mulutku benar-benar terbuka, mengaga. Biasanya perempuan yang sombong dengan uang, tapi kali ini laki-laki. Hebat sekali. Malas berdebat, aku memilih pergi. "Terserah. Silakan anda ganti mobil anda sebanyak yang anda mau."

Aku memekik saat tanganku ditarik dari belakang dan memaksaku berbalik, kembali menghadap pria menyebalkan itu sekali lagi.

Pria itu menatapku jengkel. "Siapa yang bilang kamu boleh pergi? Minta maaf!"

"Buat apa? Gantiin mobil anda yang nyipratin air comberan ke muka saya? Nggak kebalik, Mas?"

"Nggak." Dia menggeleng berpura-pura polos. "Kamu nanya saya punya mata atau nggak, jadi itu secara nggak langsung kamu ngehina penglihatan saya, dan saya merasa tersinggung karena pertanyaan kamu."

Aku tersedak mendengar ucapannya. Aduh gila. Ini makannya apa sih? Micin?

Dengan sangat terpaksa dan mengingat hari ini pertama masuk kuliah, aku menghela napas dan berusaha menekan emosi untuk merendahkan diri, minta maaf. Aku bahkan dengan sukarela membungkuk dalam ketika mengucapkan kalimat yang seharusnya dia katakan.

"Saya secara pribadi meminta maaf kepada anda, karena pertanyaan saya yang menyinggung perasaan anda, dan hal-hal yang telah saya ucapkan hingga menimbulkan ketidaknyamanan. Terimakasih!"

Niatnya aku ingin menyindir, tapi sepertinya orang asing ini punya kulit wajah yang tebal dan tidak merasa. Malah tersenyum puas dengan dagu yang terangkat kian angkuh.

"Oke, saya terima permintaan maaf kamu. Jangan diulangi lagi ya? Kalo kamu ulangi lagi, saya bisa masukin pasal tindakan tidak menyenangkan."

Setelah itu ia pergi dengan santainya, tanpa memperdulikanku. Aku masih membungkuk saat suara mobil menyala terdengar hingga menjauh. Setelah tidak terdengar lagi, barulah aku menegakkan tubuh. Aku bersumpah jika melihat pria menyebalkan itu, aku akan menutup bibirku rapat-rapat dan hanya membukanya untuk menjawab seadanya. Tapi aku akan bersyukur jika tidak pernah melihatnya selamanya.

Si sombong menyebalkan.

---

Pukul enam tiga puluh, aku sampai di kampus. Aku tidak bisa menahan diri untuk berdecak kagum. Bukan karena bagunannya, tapi karena perpustakaannya yang penuh dengan buku dari lantai satu sampai tiga. Namun bukan saatnya untuk mengagumi ruangan ini, aku harus mencari kelas.

Ada hal yang membuatku malas ketika melihat kampus ini, tempatnya luas sekali. Bisa-bisa kakiku berubah sebesar talas bogor kalau mengitarinya seharian untuk mengenal kampus baruku ini, tapi ya sudahlah, nikmati.

---

Aku berlari-lari menyelinap di antara mahasiswi dan mahasiswa lainnya. Karena sibuk melihat dan mengagumi bangunan kampus hingga tersesat aku tidak kalau kelasku sudah mulai, sekitar dua menit lagi.

"Maaf! Permisi! Permisi!" Ucapku karena beberapa kali menyenggol orang lain. Penuh sesak, mirip pasar saat ada diskon akhir tahun.

Dari kejauhan aku sudah melihat kelasku, dan saat itu keningku mengernyit kala melihat seorang pria berkemeja putih dengan buku di tangan kirinya berjalan menuju kelasku. Rasanya aku pernah melihatnya tapi dimana.

Mengabaikan praduga yang ada, kedua mataku melebar dilanda ketakutan dan detak jantung yang meningkat ketika melihat pria itu menyentuh kenop pintu yang spontan membuatku berseru, "PAK TUNGGU!!"

Pria itu menoleh dan aku membeku di tempat. Napasku masih terengah, tapi kali ini ketakutan masuk terlambat digantikan oleh rasa jengkel dan keluhan yang melilit hati.

Kenapa aku begitu sial?

"Halo ketemu lagi," sapa Pria itu dengan senyum manisnya, yang jelas berselimut ancaman serta seolah mengejekku yang berada di bawah cakarnya. Jelas, aku mahasiswinya. "Jadi kamu mahasiswi baru itu? Kamu telat satu menit. Masih baru udah telat, gimana ke depannya? Darimana kamu? Nggak usah masuk lah ya?"

"Pak jangan! Saya telat gara-gara kesasar. Kan saya sama bapak datengnya barengan," bujukku memelas. Masa bodo dengan masa lalu dan kesan menyebalkannya beberapa saat yang lalu. Yang penting aku bisa mengikuti kelas. "Pak ..."

Pria yang masih tidak aku ketahui namanya itu lalu melipat tangan sambil tersenyum miring. Puas melihatku yang sebelumya marah-marah padanya dan katanya menyinggungnya ini, lemah bagaikan anak kucing. "Terus apa?"

"Saya jangan dikeluarin kelas. Ini hari pertama saya, Pak," cicitku mengangkat bahu, mengubur leher, persis seperti kura-kura yang bersembunyi di balik tempurung saat elang hendak menyambar.

Pria itu terdiam, memperhatikan.

"Pak, saya mohon." Aku menangkup kedua tangan sambil memelas menyedihkan. Ini bukan kotaku, bukan tempatku bisa membalas dan juga, ini hari pertama. "Saya boleh ikut kelas ya?"

"Peraturannya harus datang tepat waktu, kalo nggak, datang lebih awal."

Napasku yang masih belum normal sehabis berlari hanya bisa kembali mengap-mengap mendengar penuturan pria itu. "Pak ..."

"Saya nggak suka liat orang nggak tepat waktu." Aku menunduk sambil mengigit bawah bibir, menurunkan tangan ke sisi tubuh.

"Kenapa nunduk? Kemana ucapan kamu tadi yang nggak sopan sama saya? Karena tau saya dosen kamu, kamu baru bisa ngasih kesopanan? Harusnya sama siapapun kamu harus sopan. Jangan memandang penampilan atau kelas sosial."

What?! Apa kupingku tidak salah dengar? Sopan sama siapapun? Jangan memandang penampilan atau kelas sosial? Teru tadi apa? Ah somplak. Sopan ndasmu!

"Kamu mau tetep disitu nunduk, liatin sepatu butut kamu atau masuk kelas saya yang lebih bermanfaat?"

Aku mengangkat pandangan. "Mau, pak," ucapku sedikit menekan, mengingat dosen itu menyebut sepatuku butut. Memang ini bukan sepatu mengkilap seperti miliknya, tapi 'kan harusnya sama siapapun kamu harus sopan!!

Euh! Ledakkin pala dosen kena pidana berapa sih?