Chereads / True Dream / Chapter 3 - Kegiatan Pagi Hari

Chapter 3 - Kegiatan Pagi Hari

Jarum jam menunjuk pukul sebelas. Langit di luar sudah berubah menjadi gelap ditaburi bintang yang terlihat lewat jendela yang belum ditutup gordengnya. Semilir angin malam merasuki, meniup hawa dingin memasuki kamar. Aku masih aktif menyala, duduk menghadap meja seraya membuka buku apapun yang bisa ditemui. Kebiasaan begadang memang susah dihilangkan.

Aku pengingat yang buruk, bahkan saat SMA, hanya ada lima orang yang aku ingat namanya, itupun hanya nama depannya saja. Karena ingatanku yang buruk, nilaiku sempat turun saat SMP kelas 7, oleh karena itu, aku sering tidur larut hanya untuk kembali membaca dan menguatkan ingatan untuk setiap materi yang telah di pelajari, hingga akhirnya tanpa sadar, kebiasaan itu menjadi suatu rutinitas yang tidak bisa diubah. Jika belum pukul 12 malam, mataku tidak bisa diajak kompromi untuk tidur.

Helaan napas panjang mengakhiri ritual membaca, aku menyandarkan punggung di kursi seraya menutup buku dan mendorongnya jauh. Lelah, aku memilih bangkit dan membanting tubuh ke atas ranjang. Aku menoleh, menatap jendela.

Besok, aku harus menghadapi dunia baru, lingkungan sosial yang baru dengan beragam orang yang mungkin saja bisa mengusik ketenangan hidupku. Aku kembali memutar leherku, berbaring tertelungkup.

Gugup? Sedikit.

Merasa pengap setelah beberapa saat berbaring tertelungkup, aku membalikkan tubuh berbaring terlentang. Otomatis pandanganku tertuju pada langit-langit kamar berwarna putih pucat. Senyum terulas pedih, ketika sebuah kenangan pahit menyeruak, membentur tajam. Kelopak mata tertutup rapat, kenangan saat jeritan dan tangisan bersama perasaan cengkraman keras di kepala. Aku memegangi kepala, berusaha menghalau sensasi itu.

Menyingkirkan semua kenangan kelam itu, aku bangkit terduduk di atas ranjang. Napas terengah dan beberapa kali memejamkan mata. Itu sudah berlalu, tidak perlu lagi ada yang diingat.

Baiklah. Aku tidak akan lagi mengalami hal buruk seperti waktu itu. Semua akan baik-baik saja.

---

Kelopak mata terbuka, tangan kanan terulur mematikan alarm ponsel yang berada di atas nakas samping ranjang. Beberapa kali kelopak mata naik turun, masih diraup kantuk, tapi aku sadar hari di mana aku akan memasuki lingkungan baru sudah di mulai.

Aku menyibak selimut dan menurunkan kedua kaki menyentuh ubin. Sensansi dingin seketika menyebar, seperti listrik yang menyengat, menjalar dengan cepat. Ada bagusnya, rasa kantuk sedikit hilang oleh dingin yang menyengat. Aku terdiam sejenak duduk di pinggir ranjang seraya meraup wajah dan melangkahkan kaki ke kamar mandi. Kebetulan terdapat kamar mandi sendiri di dalam kamar jadi tidak perlu repot-repot ke luar.

Meski beruntung tak harus berebut kamar mandi dengan Mama atau Noval, tapi tetap saja ada kekurangannya; tidak ada air hangat.

Mau tidak mau, aku akhirnya mengguyur tubuh dengan air dingin. Bisa dibayangkan berapa banyak hawa dingin yang harus ditahan saat air dingin mengucur, menyentuh kulit. Di pagi buta, pukul tiga dini hari, aku harus menahan getaran yang muncul meraup tubuh.

Aku keluar dengan tubuh mengigil dingin, berjalan terbungkuk-bungkuk mencari sisa kehangatan di sela-sela rasa dingin. Gemelatuk gigi yang beradu sebagai hasil gemetar yang menjalar. Dalam hati aku terus berdzikir agar rasa dingin mereda, tapi sampai aku memakai pakaian dan mukena, rasa dingin masih menyergap hingga dada terasa nyeri. Kemudian aku baru bisa mendesah lega saat bacaan sholat mulai aku baca dan dingin perlahan sirna.

Rasa dingin itu hilang dalam setiap gerakan sholat. Hingga diakhir, aku menengadahkan tangan merendah sambil memanjatkan doa, terutama doa untuk Papa. Aku merindukan Papa. Tiga tahun berlalu, tapi tidak pernah sekalipun aku memimpikan Papa. Dalam setiap ucapan doa, air mata meleleh menyusuri kedua pipi. Sesak rasanya mengingat aku tidak bisa memeluk Papa lagi.

Selesai sholat, aku melipat kembali mukena dan sejadah. Aku meraih dua buku setebal tiga inci lalu berjalan keluar untuk makan.

Langkahku terhenti sejenak saat melihat Noval tengah duduk, dihadapannya ada tiga buku dan semangkuk mie instan. Sepertinya Noval tidak menyadari kedatanganku dan tersu fokus terlarut dalam bacaan. Aku mengusap kepalanya, membuatnya terkesiap dan menoleh.

"Kakak?"

"Udah sholat belom?" Tanyaku seraya menaruh buku di sampingnya. Aku tidak lantas duduk, tapi berjalan ke depan kompor dan menyalakannya untuk memasak mie instan.

"Udah. Kakak udah?" Tanya Noval.

Aku membalasnya dengan anggukan seraya bertanya kembali, "Mama udah bangun?"

"Tadi sih udah. Malah tadi sholat berjamaah sama Noval, tapi udah sholat katanya Mama mau tidur lagi."

Keningku berkerut lalu berbalik menatap Noval yang tengah melahap mie sambil membaca. "Kenapa nggak nungguin Kakak? Kalo Kakak tau, Kakak juga mau ikut sholat berjamaah."

Noval memberikan cengiran sambil terkekeh kaku. "Kirain Kakak belom bangun. Lagian tadi Noval sama Mama sholatnya setengah dua. Kakak sih tidurnya ngebo."

Bibirku mencebik, mengalihkan pandangan kesal. "Emang kamu mau punya Kakak kebo?"

"Bukan Kakak kebo, tapi tidurnya kayak kebo." Noval memutar bola matanya. "Lagian siapa juga yang mau punya sodara kebo."

"Kamu mungkin mau punya sodara kebo. Tinggal kebo kamu angkat jadi adek," godaku terkekeh kecil.

"Apaan sih Kak? Jangan ganggu Noval. Ish! Mau belajar aja susah," gerutu Noval sambil memasukkan mie ke dalam mulutnya dengan kesal.

Mie yang ia masukkan dalam mulut begitu banyak, sampai-sampai kedua pipinya menggelembung dan ada sebagian mie yang menjuntai ke luar di mulutnya.

Aku terkekeh, kembali berbalik menghadap kompor dan melihat mie sudah masak. Aku mematikan kompor, mengambil mangkuk lalu menuangkan mie dalam mangkuk dan membawanya ke atas meja setelah di beri bumbu. Noval masih terlihat ngambek saat aku menarik kursi di sampingnya dan duduk.

"Cie marah sama Kakak." Aku menggodanya dengan menyenggol siku. Noval bergeming, dan malah balik melotot. "Apa melotot? Mau di congkel itu mata?"

Noval mengalihkan pandangan, kembali menekuni bacaannya seraya bicara, "Psycho."

"Nggak kok. Kalo misal ada orang yang nyakitin ya diem aja. Nanti juga ada balesan. Kamu mau tau cara ngasih balesan yang paling top?" kedua alisku bergerak naik-turun, memberi penawaran.

"Nggak-nggak!" Noval menutup kedua telinga menggunakan tangan seraya menggeleng. "Jangan racunin pikiran Noval sama yang begituan."

Aku tertawa keras. Respon Noval justru kian memancing niatku untuk terus bicara. "Gini ya Kakak ceritain, bales dendam paling ngena itu penyesalan."

"Kenapa?" Ekspresi Noval berubah polos, heran, mungkin jawaban yang akan muncul dariku berbeda dari perkiraannya. Ia menurunkan tangan dari telingnya. "Kalo ada yang nyakitin, sakitin balik lah. Enak aja tinggal nunggu balesan. Makin nggak tau diri."

"Nah! Sekarang siapa yang psycho?" Tanyaku sambil tersenyum penuh kemenangan, membuat Noval mendengus. "Penyesalan. Balas dendam paling top, karena apa? Karena penyesalan menyangkut hati. Nggak perlu pake piso, cukup kata-kata."

"Bener sih, tapi kan waktu disakitin juga pake perasaan, Kak. Dia nyakitin entah karena benci atau apa, terus yang jadi korban juga pasti sakit hati. Sama-sama pake perasaan."

"Iya, emang bener, tapi coba kamu liat orang yang banyak pikiran karena merenungi kesalahannya, cenderung fisiknya bakal lemah kan? Kurang makan, kurang minum. Nah! Disitu baru jadi revenge. Tunggu dia mati secara perlahan-lahan. Mati dalam penyesalan." Aku terkekeh, sengaja mengukir senyum lebar, berakting seolah menjadi penjahat dalam film.

Noval menatapku horor sembari bergidik ngeri, tubuhnya spontan menjauh, mengambil jarak. Telunjuknya melurus, tertuju padaku. "Tuh kan! Noval bilang juga apa? Kakak psycho!"

Aku terkekeh geli melihat raut wajah Noval yang seakan melihatku seperti melihat hantu sadako yang merangkak ke luar dari layar datar televisi. Tanganku terlambai acuh, menjadikannya seolah angin lalu candaan.

"Nggak lah, kakak masih normal, tapi emang sih. Kalo ada yang nyakitin Kakak, kakak nggak akan bales. Kakak cuma bakal diem. Tungguin aja, nanti juga dapet balesannya."

"Kakak kenapa sih ngomongin kayak gini sama Noval? Unfaedah banget tau?" Noval berdecak kesal.

Kedua bahuku terangkat acuh. Aku lantas meraih sendok berisi potongan mie lalu memasukkanya ke dalam mulut. "Cuma pengen ngasih tau aja pendapat Kakak doang."

"Ya-ya terserah Kakak, asal jangan sampe mutilasi orang aja," balas Noval tak acuh, menggerakkan kepala ke kanan dan kiri mirip boneka goyang yang sering ditempel di dashboard moil seraya mengangkat tangan setinggi dada.

Aku menjentikkan jari membuat Noval menoleh. "Ide bagus. Mending mutilasi langsung kan?"

"KAKAK!!"

---

Fajar menyingsing dan matahari mulai menampakkan cahaya di celah-celah ranting pohon. Setelah sholat subuh dengan Noval dan Mama aku kembali ke kamar untuk bersiap pergi ke kampus baru.

Aku meniti tangga lalu melangkah ke dapur dan melihat Mama tengah berkutat dengan roti dan selai, mempersipkan sarapan. Tadi subuh Mama berkata belum membeli beras, jadilah hari ini kami sarapan dengan roti.

Deritan halus terdengar saat kursi ditarik mengalasiku duduk di samping Noval yang sedang melahap roti dengan selai coklat. Mungkin faktor rakus, kelaparan dan juga roti yang mengandung selai favoritnya, menjadikan adikku itu tak peduli akan selai yang belepotan di bibirnya karena kecepatan makan yang tak terkontrol.

"Pengen campur blueberry, Ma," ucapku pada Mama seraya mengulurkan tangan mengambil gelas kosong dan menuangkan air putih ke dalamnya.

Mama mengangguk kecil sambil mengoleskan selai unggu tersebut di satu bagian roti. "Mau bekel nggak?"

"Boleh, Ma. Biar nanti di kampus nggak jajan," balasku.

"Noval juga mau, Ma!" Sahut Noval cepat, agak kesusahan saat ia menelan makannya terlebih dahulu. "Tapi yang Noval pengen coklat aja. Biar nggak kayak Kakak. Serakah."

"Suka-suka dong. Masalah buat kamu? Mama juga nggak komplain, kenapa kamu yang malah sewot?" Dengusku lalu mengigit roti yang berisi dua macam selai tersebut.

Noval mencebik. "Iyalah, terserah Kakak. Yang lebih tua pasti selalu bener. Apalah daya Noval yang masih bau kencur. Nggak tau apa-apa," sindir Noval membuatku mengangkat sebelah alis. Ia menjulurkan lidah, mengejel dan mungkin merasa hebat setelah mengejekku.

Bibirku terbuka hendak menjawab, tapi Mama lebih dulu menyela. "Cepetan abisin. Malu kalo hari pertama telat.

"Iya, Ma," balasku dan Noval berbarengan.

"Ma," Noval memanggil.

"Hm?"

"Anterin Noval ya?" Tanya Noval membuatku mengernyit. Tak biasanya bocah itu meminta untuk diantar Mama.

"Iya."

"Loh kok dianterin?" Protesku. kedua mataku membola, tak menyangka Mama akan setuju. Ekor mataku menangkap senyum penuh kemenangan yang ditolarkan Noval, membuatku mendelik padanya. "Kemaren malem katanya diralat, nggak bisa nganterin, kok sekarang diralat lagi sih, Ma? Ih Mama nggak adil."

Mama meraih gelas lalu minum sebelum akhirnya menatapku. "Sekolah Noval kebetulan searah sama tempat kerja Mama. Sedangkan kampus kamu berlawanan arah. Paham?"

Aku hanya bisa terdiam sambil mencebik.

"Kasian yang nggak dianterin. Nangis nih," cibir Noval dengan nada menyebalkan. Ia bahkan tertawa keras— tertawa yang dibuat-buat untuk meledekku.

Aku melirik Noval yang masih tertawa lewat sudut mataku, lalu bibirku melengkung membentuk senyuman. "Oh gitu ya? Terus aja ketawa, nggak papa kok asal nanti jangan minjem laptop Kakak lagi."

Tiba-tiba tawa garing Noval berganti cengiran canggung. "Kak Nova, yang baik, yang cantik. Jangan dong. Noval nggak gitu lagi. Serius. Jangan marah ya?"

Aku hanya mendengus tanpa menjawab.

"Kalo kalian ngobrol terus, Mama kunciin dari luar ya?" Ancam Mama yang membuat kami buru-buru makan dan berakhir dengan aku yang tersedak.

Sial sekali.