Chereads / Nomor Asing / Chapter 2 - 2. Perasaan Ini Nyata

Chapter 2 - 2. Perasaan Ini Nyata

Katy menghembuskan napas kasar, rambutnya sudah acak-acakan karena ia garuk sembarangan sejak tadi. Di hadapannya ada kasir minimarket yang sudah beberapa hari ini diganggu Harsa.

Dia bernama Ghina, dan merupakan teman Katy sejak ospek. Mereka ada di jurusan yang berbeda. Katy di jurusan seni rupa dan Ghina di jurusan sastra inggris. Kebetulan fakultas seni dan bahasa ada di gedung yang sama, jadi memudahkan keduanya untuk bertemu tiap hari.

"Kenapa kau kelihatan kusut sekali, Katy? Ada masalah?"

Ditanya begitu oleh Ghina, Katy hanya bisa kembali menghembuskan napas lelahnya, lalu menggeleng. Katy pun tidak tahu apa yang benar-benar terjadi padanya, dan mengapa juga semalaman dia menunggu telepon masuk ke hpnya lagi.

Kalau tahu jatuh cinta serumit ini, Katy lebih pilih tidak merasakannya sama sekali. Tapi untuk sekarang sudah terlambat, perasaan ambigu di hatinya, rasa yang awalnya hanya penasaran saja, sekarang benar-benar tumbuh dengan sendirinya.

Sial, ini semua gara-gara Harsa yang tidak berhenti menggodanya tentang Jidan.

Katy pun mencoba mengabaikan pikiran kusutnya, dan hanya ingin fokus membayar untuk minuman dinginnya di meja kasir.

"Kudengar dari kak Harsa, kau sedang suka dengan temannya. Benar?"

Katy hampir saja menyemburkan minuman dingin yang baru saja dia teguk.

"Kenapa dia bilang itu padamu?"

Ghina mengendikkan bahunya cuek. "Ya karena dia ingin bilang padaku."

"Bukankah kalian bermusuhan?"

Ghina mengangguk tanpa ragu. Memang benar kalau mereka masih bermusuhan hingga hari ini. Awalnya sih karena Ghina yang benci sekali karena Harsa terlalu berisik saat di dekatnya. Tapi Ghina sendiri tidak bisa menghentikan Harsa yang entah sejak kapan sudah tahu nomornya, dan mengirimi chat berkali-kali, meski Ghina jarang meresponnya.

"Kak Harsa bilang apa saja?" Tanya Katy yang masih tidak terima.

"Tidak banyak. Dia hanya bilang kalau adik tingkatnya yang bernama Katy sedang suka dengan kak Jidan."

"Apa?!"

Itu bukan suara Katy, bukan pula suara Ghina. Mereka berdua saja kaget saat ada kepala yang menyembul dari balik rak-rak minimarket. Tepatnya dia adalah Yura, teman baik Katy sejak sma. Mereka kuliah di jurusan yang sama sekarang.

"Yura?"

"Ghina, kau bilang apa? Katy sedang suka siapa?"

Katy dan Ghina buru-buru menutup mulut, lalu menahan tawa bersama. Mereka berdua tahu kalau Yura ini rasa ingin tahunya luar biasa. Takutnya, rahasia Katy akan tersebar dengan mudah kalau Yura bicara keras-keras begini.

"Jelaskan padaku!" Yura kini sudah ada di depan meja kasir, membawa dua snack favoritnya.

Yura menatap mata Katy dan Ghina satu persatu, tapi mereka tetap tidak bersedia buka suara. Yura jadi merasa sebal karena dia satu-satunya yang dikecualikan dalam rahasia besar ini.

"Kenapa tidak mau cerita padaku?"

"Diam, Yura." Ucap Ghina dengan cepat.

"Kenapa? Aku mau tahu sekarang." Yura masih tetap keras kepala seperti sebelumnya.

"Orangnya datang. Kita bicara lagi nanti." Ghina langsung membetulkan posisinya berdiri, kemudian mengode Katy untuk melihat siapa yang datang.

Katy yang kurang paham maksud Ghina, hanya bisa ikut melihat ke arah pintu masuk minimarket. Begitu orang yang dimaksud Ghina membuka pintu, Katy terkejut bukan main. Entah untuk alasan apa, kakinya mundur selangkah.

"Hai, Katy."

Katy merasakan seperti ada pacuan kuda dalam dadanya. Semuanya terasa begitu cepat, dan Katy hanya bisa mendiamkan sapaan Jidan barusan.

Katy terdiam seperti patung, bahkan rentetan pertanyaan dari Yura yang mencoba menerka-nerka lagi, hanya dia abaikan. Ghina sendiri hanya bisa berdiri terdiam sambil memperhatikan Katy yang salah tingkah.

Jidan baru saja mengambil satu botol minuman dingin sama seperti Katy, lalu mulai berjalan ke kasir untuk membayarnya.

"Minuman kita ternyata sama." Ucap Jidan diiringi senyum menawannya.

Katy pun menoleh saat Jidan menatap tepat ke matanya, tapi sesuatu dalam pikiran Katy kembali kusut. Tanpa sadar ia mengatakan sesuatu yang tidak perlu, yang terdengar seperti merajuk.

"Kau bicara padaku, kak? Memangnya kau kenal aku?"

Jidan kebingungan saat mendengarnya. "Tentu saja aku mengenalmu. Kita kan sudah berkenalan belum lama ini. Kau lupa?"

Katy mengerutkan dahinya. "Kupikir kau yang lupa."

Jidan yang kaget langsung menunjuk dirinya sendiri. "Aku? Mana mungkin aku lupa padamu. Aku tidak mudah melupakan orang yang sudah berkenalan denganku."

Katy berdecak. Ia sendiri tidak sadar sudah membuat dua temannya bergidik ngeri, seolah Katy jadi orang yang berbeda saat sedang jatuh cinta. Menggelikan sekali.

"Tapi kau tidak menyapaku kemarin, kak."

"Kapan? Di mana?"

"Di depan ruang tata usaha."

Jidan lalu menggaruk pipinya, agaknya makin kebingungan. "Benarkah? Mungkin aku tidak melihatmu. Aku sangat terburu-buru kemarin."

"Tidak apa-apa." Balas Katy singkat.

"Maaf, ya. Lain kali aku janji tidak akan lupa menyapamu."

Katy lalu tersenyum dan mengangguk. Seolah saat sedang jatuh cinta, sejahat apapun orang yang disuka, Katy akan terus memaafkannya.

Jidan mengambil minuman botolnya setelah selesai dibayar dan membukanya saat itu juga.

"Bagaimana ujian hari pertamamu, Katy?"

"Tidak berjalan terlalu baik." Katy terkekeh, meciptakan gelak tawa dari bibir Jidan juga.

"Yah, semoga beruntung dengan hasilnya. Oh, aku harus kembali dulu, ada ujian lagi setelah ini. Dah, Katy."

Jidan kemudian berlalu dari minimarket, meninggalkan Katy yang belum berhenti tersenyum sedari tadi.

Yura yang kini sudah peka, langsung menutup mulutnya dengan telapak tangan.

"Dia orangnya, Katy?"

---

Hari bergulir, ujian akhir semester sudah berada di hari paling akhir. Sebentar lagi libur, dan akan ada banyak mahasiswa yang pulang ke kampung halamannya. Artinya, hanya tinggal beberapa jam tersisa sebelum Katy melihat Jidan untuk terakhir kalinya di semester satunya ini.

Mereka akan berjumpa lagi di kampus setelah libur semester berakhir.

Namun Katy justru mendapati dirinya terjebak oleh pikirannya sendiri. Di hari terakhir ini, Katy justru tidak ujian di kampusnya, melainkan di kampus pusat. Jaraknya yang lumayan jauh dari fakultas seni dan bahasa membuat Katy tidak bisa berbuat banyak untuk memperjuangkan pertemuannya dengan Jidan.

Lagipula, belum tentu Jidan ingin bertemu dengannya juga.

Terakhir kali mereka bertemu memang baru kemarin, dan Jidan selalu memberikan sapaan hangat saat mereka bertatapan muka. Katy sampai malu sendiri karena Jidan benar-benar tidak berhenti menyapanya.

Bahkan ketika jaraknya agak jauh sekalipun, selama tatapan mata mereka bertemu, Jidan akan selalu melambaikan tangan berkali-kali. Ingin memberitahu Katy bahwa Jidan adalah orang yang tidak pernah melupakan janjinya.

Sejauh inikah Katy harus membawa perasaannya? Bahkan ketika mereka baru bertemu sekitar satu minggu saja.

Katy pun masih selalu menunggu telepon dari Jidan, meski dia sendiri tidak pernah meminta secara langsung untuk dihubungi.

Entahlah. Katy juga bingung. Menurutnya, karena mereka sekarang sudah saling kenal, paling tidak mereka bisa memulai sebuah hubungan normal sebagai kenalan, dan salah satu caranya adalah berkomunikasi lewat chat atau telepon.

Semua orang normalnya melakukan hal ini juga, kan? Kenapa hanya Jidan yang sejahat ini pada Katy dan tidak pernah sekalipun memberikan nomornya? Padahal Katy sudah memberikan nomor teleponnya secara cuma-cuma. Tapi dihubungi satu kali pun tidak.

Katy bukannya belum pernah pdkt dan pacaran sebelumnya. Tapi kenapa yang sekarang terasa sulit sekali digapai? Seperti ada sebuah tembok besar yang memisahkan dirinya dan Jidan, yang akhirnya tidak akan pernah bisa menyatukan mereka.

"Katy,"

Sebuah suara yang begitu familiar memasuki pendengaran, dan Katy memutarkan tubuh untuk melihat si pemilik suara indah ini. Ia agak terlonjak.

"Kak Jidan?"

Jidan tersenyum dalam sekejap. "Ternyata benar kau, Katy. Kukira aku salah orang. Kau sedang apa di kampus pusat ini?"

"Aku... aku baru saja selesai ujian di sini. Kau sendiri sedang apa, kak?"

Jidan menatap ke kanan dan kiri untuk menemukan tempat yang dia cari.

"Eum.. aku sedang ada janji dengan dosen. Tapi aku belum tahu di mana ruangannya. Aku akan tanya dulu."

Sebelum Jidan memutuskan pergi, Katy tanpa sadar sudah meraih ujung kemeja Jidan terlebih dulu. Katy tidak ingin membiarkan Jidan pergi begitu saja di hari terakhir pertemuan mereka ini.

"Kenapa, Katy? Aku lupa menyapamu lagi?"

Katy menggeleng. Sekarang genggamannya menguat. Sekuat ia menahan perasaannya agar tidak sembarangan terucap begitu saja.

"Kak Jidan, apa kau akan pulang ke rumahmu libur semester ini?"

Jidan beralih menatap Katy lagi, kali ini memperbaiki posisi tubuhnya untuk berdiri tegak. Ditatapnya Katy lekat-lekat.

"Tentu saja. Kenapa?"

"Ah, tidak. Hanya ingin bertanya saja."

Jidan tersenyum melihat Katy yang murung. "Kau pasti gugup ya karena ini libur semester pertamamu? Tenang saja, semua akan baik-baik saja, Katy. Mungkin waktu liburnya akan sedikit lebih lama dari libur sma. Tapi lama-lama tidak akan terasa, kok."

Tentu. Tentu Katy paham akan hal itu. Namun, satu-satunya hal yang membuat Katy tidak tenang adalah hatinya sendiri, dan Jidan tidak pernah bisa memahaminya. Terkadang Katy menyesali keputusannya untuk menyukai orang yang susah peka seperti Jidan.

"Cepat sekali waktu berlalu. Tiba-tiba saja sudah mau libur semester lagi."

Katy mendongak saat Jidan mencoba bermonolog di depan matanya. Ia juga kembali terlonjak saat tangan Jidan meraih puncak kepalanya, mengelusnya pelan.

"Selamat liburan, ya, Katy. Sampai jumpa di semester baru. Aku pasti akan merindukanmu."

Di sore yang cerah ini, ditemani dengan langkah kaki para mahasiswa lain dan suara mereka yang begitu ramai. Katy merasa tuli untuk sesaat. Hal terakhir yang ia dengar adalah ucapan Jidan yang bilang akan merindukannya, serta senyum menawannya sebelum melangkah menjauh.

Katy tidak sedang bermimpi, kan?

Inikah artinya Jidan akan menghubunginya saat libur nanti?

-To be continued-