Chereads / Nomor Asing / Chapter 3 - 3. Hati yang Beku

Chapter 3 - 3. Hati yang Beku

Katy merasa cintanya sia-sia. Sepertinya ia telah salah mengartikan perasaannya selama ini. Mungkin ini bukan cinta pada pandangan pertama, mungkin hanya obsesi saja.

Obsesi Katy untuk bisa berkenalan dengan kakak tingkat ganteng di kampusnya.

Kalau bukan, kenapa Katy harus memaksakan diri menunggu telepon masuk dari Jidan? Selama libur semester yang hampir dua bulan ini, Katy tidak mendapatkan apapun selain kotak notifikasinya yang kosong.

Sebetulnya, tidak benar-benar kosong sih. Yura dan Ghina masih setia mengajaknya mengobrol banyak hal, bahkan Harsa pun mulai mengiriminya pesan sekarang karena tahu Katy berteman dengan Ghina. Harsa minta saran untuk bisa mendapatkan hati Ghina.

Katy bukannya bilang kalau libur semesternya tidak berjalan dengan baik. Tapi tidak mendapat informasi satu pun dari orang yang baru dia sukai rasanya sangat hampa. Katy merasa hampa tanpa melihat Jidan sama sekali.

Tapi karena semua itu sudah terjadi, maka satu-satunya hal yang bisa Katy lakukan adalah menyerah pada perasaannya. Hari ini, tepatnya di hari pertama masuk semester baru, Katy memutuskan untuk berhenti menunggu notifikasi dari Jidan. Move on mungkin singkatnya.

"Salahmu sendiri suka dengan batu." Ucap Ghina cuek.

"Jahat sekali, kau. Tapi benar, sih." Yura menimpali sambil menepuk-nepuk bahu Katy.

"Memang benar, kan? Kalau dia bilang akan merindukanmu, harusnya dia punya perasaan. Masa dia tidak memikirkan resiko dari kalimat ambigunya?"

Katy semakin lesu. Ucapan Ghina seratus persen benar. Jidan membuat perasaannya yang awalnya begitu semu menjadi terombang-ambing karena kalimat sederhananya.

Yura berdecak. "Rindu? Omong kosong. Kalau betulan rindu pasti akan menghubungi meskipun satu kali saja."

"Itu dia maksudku." Ghina mengacungkan jempolnya, setuju dengan Yura.

Mereka bertiga sedang makan siang di kantin kampus. Tidak ada hal aneh yang terjadi kecuali Katy yang tiba-tiba datang dengan wajah ditekuk tadi. Tanpa butuh waktu lama, baik Yura ataupun Ghina mengomel karena bisa-bisanya Katy menyimpan hal seperti ini seorang diri.

Masalahnya, Katy terlalu malu untuk mengatakan bahwa dia sudah move on ke lain hati sekarang. Setelah terakhir kali berpacaran dengan teman smanya sejak kelas satu hingga akhirnya putus saat hari kelulusan, Katy selalu galau dan bilang akan susah move on dari mantannya itu. Karena mereka sudah pacaran 3 tahun lamanya.

Tapi kenyataannya, baru saja masuk kuliah, Katy sudah menambatkan hatinya untuk orang lain. Bukankah kedengarannya agak gila?

Kalau ditanya kenapa tidak menghubungi duluan, jawabannya adalah karena Katy tidak punya nomor Jidan. Kedua, Katy malu kalau harus minta ke Harsa. Ketiga, Katy juga tidak tahu harus membahas apa jika dia memutuskan untuk mengirim chat ke Jidan.

Huft, lagipula kenapa Jidan orangnya aneh sekali, sih? Seolah dia hidup di dunianya sendiri, dan sulit diselami oleh orang lain. Siapapun yang mencoba menyelami hidup Jidan, akan langsung terpental jauh.

Ini aneh, mungkin juga perasaan Katy hanya cinta sepihak saja. Tapi ia terlalu berlebihan memaknainya, terutama ucapan sederhana Jidan di semester lalu.

"Sudahlah, kalian jangan ribut. Aku bukan anak sma yang seperti itu lagi. Aku yakin ini hanya perasaan sesaat saja. Sekarang, tolong carikan aku orang lain. Aku butuh gebetan baru untuk bisa move on."

Yura pun dengan semangat langsung membuka ponselnya, makan siangnya terhenti hanya untuk mencarikan daftar nomor mahasiswa jurusan lain yang Yura kenal.

Bukan berarti Yura ini playgirl kampus, dia bisa punya banyak nomor anak fakultas lain karena pacarnya, Orland, yang mengenalkan Yura pada mereka. Orland sendiri sudah aktif berorganisasi sejak masuk kuliah.

"Nah begitu, dong. Itu baru temanku. Sebenarnya ya, Ghina, Katy ini banyak yang suka saat sma dulu. Jadi orang pasif semacam kak Jidan pasti akan tergantikan dengan mudah."

Katy hanya bisa tertawa mendengarnya, terutama saat Yura membual tentang masa lalu mereka.

"Siang, Katy."

Sebuah suara rendah yang sudah lama tidak Katy dengar, mengalun indah di telinganya. Jidan baru saja lewat, hingga membuat tiga orang yang sedang sibuk berdebat langsung menoleh serentak. Mereka bertiga, terutama Katy tercengang saat Jidan mengerlingkan mata satu kali lalu berjalan menjauh.

"Katy, dia menyapamu." Ujar Yura sambil mengguncang bahu Katy.

Katy sendiri mengangguk kaku. Hatinya yang sudah lama beku perlahan mencair setelah melihat wajah Jidan lagi.

---

Pagi ini mendung, tapi Katy tetap memenuhi kewajibannya untuk pergi ke kampus. Sebetulnya, Katy bukan mahasiswa yang rajin juga sih. Ia bisa semangat ke kampus dalam cuaca dan kondisi apapun karena ingin bertemu Jidan.

Itu adalah motivasi terbesar Katy kuliah sekarang, dan ia bangga.

Katy sudah bisa secara otomatis membaca jadwal kuliah Jidan setelah seminggu ini mengamatinya. Selain itu, Katy sudah mengubah keputusannya untuk tidak jadi move on. Jidan masihlah terlalu berharga untuk dilupakan begitu saja. Ini baru perjalanan awal, dan Katy tidak seharusnya menyerah secepat ini.

Lagipula, perasaan Katy sudah membaik sejak bertemu Jidan lagi di semester baru ini. Jidan ternyata tidak berubah, masih menjadi orang yang ramah seperti sebelumnya. Yah, walaupun untuk mendapatkan nomor Jidan sendiri masih sesulit saat pertama kali mereka berjumpa.

Tidak apa, karena ini baru awal saja. Katy pasti akan melakukan apapun agar hati Jidan yang beku bisa mencair juga.

"Pagi, Katy."

Sebuah suara yang datangnya dari arah belakang agak mengagetkan Katy. Lalu tidak berapa lama setelah Katy melihat senyum Jidan yang merekah, hujan turun begitu deras di bagian luar gedung.

Beruntungnya Jidan karena sampai di kampus tepat sebelum hujan benar-benar turun.

Karena cuaca yang sedang tidak baik ini, ditambah hari yang masih pagi, membuat kampus sepi. Pasti sebagian besar mahasiswa tidak mau memilih kuliah di pagi hari seperti ini.

"Tidurmu nyenyak semalam, Katy?"

"Eum, iya, kak."

"Kau belum menjawab sapaanku tadi." Jidan tersenyum lebar, matanya jadi menyipit.

"Oh, benar. Selamat pagi juga, kak Jidan. Kau ada kelas pagi?" Katy berusaha berpura-pura tidak tahu untuk menutupi rasa malunya.

Masalahnya, Jidan tersenyum terus dari tadi, membuat Katy salah tingkah.

"Ada. Di ruang 108."

Katy diam-diam tertawa kecil. Bahkan tanpa Jidan sebutkan, Katy sudah tahu semua jadwal kuliah Jidan dan di mana saja ruang kelasnya. Hebat kan, Katy bisa menjadi mata-mata dadakan ketika jatuh cinta.

"Apa yang lucu, Katy?"

"Tidak ada, kak. Hanya saja, apa kau tidak bosan menyapaku terus?"

Jidan memiringkan kepalanya, bingung. Entah kenapa tiap kali Katy mengucapkan sesuatu, terus menerus membuat Jidan bingung. Sepertinya Katy menyimpan banyak misteri dalam benaknya yang tidak akan pernah bisa Jidan pahami.

"Kenapa? Kau tidak suka? Bukannya kau yang memintanya?"

Katy menggeleng. "Bukan begitu, hanya saja teman-temanku mulai berpikiran aneh karena kita berdua tidak sedekat itu."

"Aneh bagaimana?"

Katy jadi kesulitan menjawab. Padahal dia sendiri yang sembarangan bicara tadi, tapi sekarang kena batunya sendiri.

"Yah... aneh saja pokoknya. Mereka mungkin berpikiran macam-macam. Begitu lah. Mereka selalu ingin tahu siapa saja yang sedang dekat denganku."

Jidan lalu tersenyum lagi untuk kesekian kalinya. "Kalau begitu, aku ingin dekat denganmu."

Dekat?

Dekat yang seperti apa?

Tolong jelaskan mengapa Jidan kembali mengatakan hal-hal yang memabukkan seperti ini, karena jantung Katy tidak bisa terkendali lagi!

"Katy," Panggil Jidan dengan suara rendahnya yang selalu Katy rindukan tiap hari.

"Ya, kak Jidan?"

"Kau ada kuliah sampai jam berapa nanti?"

"Oh, sebentar."

Katy mengecek jadwal yang ia foto dan simpan dalam galerinya. Ini masih awal semester baru, jadi Katy belum bisa hapal jadwal kuliahnya sama sekali. Tapi kalau mengingat jadwal Jidan kenapa hanya butuh waktu kurang dari seminggu, ya?

"Jam berapa, ya? Oh, jam sebelas sepertinya, kak. Kenapa memangnya?"

Jidan berdehem singkat, senyumnya luntur dan digantikan oleh raut muka serius. Sedikit banyak dia menggaruk tengkuknya.

"Nanti mau makan siang denganku?"

Satu-satunya hal terbaik yang bisa Katy lakukan adalah berpikir bahwa mungkin Jidan sudah bosan menjadi orang yang tidak peka. Yah, semoga saja.

-To be continued-