Perpustakaan adalah pilihan terakhir mahasiswa di sini untuk mendudukkan diri di waktu senggang, tidak berbeda sebenarnya dengan Katy. Tapi sayangnya, ini tempat terbaik untuknya yang sedang ingin menyendiri.
Minimarket depan kampus dipenuhi orang kasmaran semacam Harsa yang masih belum menyerah untuk meruntuhkan kerasnya hati Ghina. Sementara Yura sendiri juga selalu ada di mana-mana di kampus. Entah untuk kelasnya sendiri, atau untuk menunggu Orland selesai kelas. Itu pun mereka akan sibuk ngobrol sampai lupa waktu.
Katy sedang tidak baik-baik saja, perasaannya begitu kacau. Ingin sekali melakukan banyak hal yang terpikirkan di dalam kepalanya. Ingin juga membalaskan dendamnya ke Jidan yang tidak mau merespon cintanya.
Tapi sialnya, Katy justru kembali tidak sengaja bertemu dengan Jidan. Entah kenapa rasanya Jidan juga selalu ada di mana-mana. Saat Katy ada di sini, beberapa saat setelahnya Jidan juga ada di sini. Saat Katy di sana, Jidan juga akan mengikutinya. Tapi mungkin ini hanya perasaan Katy saja, karena dia tidak ingin berharap hal-hal romantis bisa masuk di kepala Jidan yang tidak peka.
Setelah berhasil mengambil buku yang dicari, Jidan duduk di bangku kosong samping Katy.
Katy sendiri bergerak tidak tenang sejak Jidan masuk. Ia sebetulnya sedang ingin menjauhi si kakak tingkat ini.
"Apa kabar, Katy?"
Inilah kenapa Katy tidak pernah suka saat Jidan ada di dekatnya, karena Jidan selalu saja mengobrak-abrik hati Katy lewat suaranya. Suara yang sesungguhnya selalu Katy rindukan.
"Baik, kak."
Katy tidak bertanya balik tentang kabar Jidan, karena Katy yakin Jidan pasti baik-baik saja setelah berhasil menyakiti perasaan Katy seperti tempo hari.
"Eum, Katy,"
Melihat gelagat Jidan yang tidak biasa, Katy berhenti sebentar dari membaca buku. Lagipula ini bukan buku favoritnya, jadi Katy tidak punya kewajiban untuk terlalu fokus pada bacaannya.
"Kenapa, kak?"
Jidan melirik ke arah Katy ragu-ragu. "Tentang Carlos, ah, tidak jadi."
Kalimatnya digantung lagi, seolah tidak bisa melanjutkannya. Entah karena takut merusak mood Katy lebih jauh lagi, atau karena merasa bersalah.
Huh, bisa merasa bersalah juga rupanya orang ini.
"Tidak apa-apa kalau kau mau menanyakannya, kak."
Jidan langsung menghela napas lega. "Jadi, bagaimana? Berjalan baik?"
Katy buang muka sejenak. "Tidak tahu."
"Kenapa tidak tahu? Dia jahat padamu, ya? Sudah kuduga, dasar anak kecil. Biar kuberi pelajaran dia." Jidan mengepalkan tangannya dan memukul pelan meja.
Katy tidak tahan untuk tidak terkekeh. "Tidak, kok, kak. Carlos anak yang baik. Menyenangkan rasanya punya orang yang selalu peduli padaku, walaupun aku tidak pernah tahu siapa dia sebelumnya."
Jidan tersenyum. "Aku lega kalau kau bahagia."
Selang beberapa detik, Jidan menyandarkan kepalanya di meja. Wajahnya menghadap ke arah Katy, namun matanya terpejam. Tumpukan buku yang ia ambil tadi diabaikan begitu saja.
Katy tersenyum melihatnya. Sesekali ia curi-curi pandang ke arah Jidan, lalu ikut menyandarkan kepala di meja. Ditatapnya wajah orang yang selama ini ia perjuangkan sendirian.
Seandainya Jidan tahu, bahwa mau sebaik apapun orang yang mencoba mendekati Katy, mereka belum bisa menggantikan posisi Jidan di hati Katy hingga hari ini.
Tidak lama Jidan membuka mata, membuat Katy terkejut dan buru-buru duduk tegak lagi.
Sial, hampir saja.
"Aku benar-benar bahagia kalau kau bahagia, Katy."
Mendengarnya, hati Katy terasa sakit lagi. Karena yang terdengar di telinga Katy bukan ketulusan Jidan yang ikut berbahagia atas kebahagiaannya, tapi keinginan Jidan untuk menendang Katy keluar dari kehidupannya.
Jidan bahagia karena Katy tidak perlu lagi mengganggunya.
"Kau sendiri, apa sudah bahagia, kak?"
Jidan mengernyit. "Maksudmu?"
Katy mengendikkan bahu singkat. "Yah, apa setelah menjodohkan orang lain, kau juga sudah bahagia dengan pilihanmu?"
"Pacar maksudmu?"
Katy mengangguk tanpa ragu. Tapi Jidan justru tertawa pelan.
"Aku belum punya pacar."
"Kenapa? Padahal aku yakin banyak yang suka kau, kak."
Jidan menggeleng. "Aku justru tidak percaya diri, karena aku takut orang yang kusukai tidak menyukaiku."
"Kenapa tidak coba kau tanya dulu ke orangnya?"
Jidan terkekeh lagi, lalu mengusak pelan kepala Katy. "Tidak usah. Kebahagiaan orang yang kusuka jauh lebih penting. Aku tidak mau memaksakan perasaannya, karena aku tidak ingin dia menganggapku egois."
Katy menatap tepat ke mata Jidan, pun sama halnya dengan Jidan yang masih menatap Katy dengan senyuman yang tersisa setelah beberapa kali tertawa. Katy merasa bahwa Jidan terlalu lemah untuk memikirkan segala hal yang berbau tentang cinta. Wajar kenapa ia tidak pernah peka selama ini.
"Katy,"
"Ya, kak?"
"Aku minta maaf, ya."
Katy mengedip beberapa kali. "Tentang apa, kak?"
"Sudah menyebarkan nomormu tanpa izin kemarin."
"Tidak apa, jangan dipikirkan. Lagipula sudah lewat." Katy meyunggingkan senyumnya.
Sekali lagi Katy merasa bahwa setiap perlakuan, ucapan, dan tatapan mata Jidan bisa menghancurkan dinding pertahanan yang telah Katy bangun selama ini. Rasa bencinya luruh begitu saja.
"Tapi aku benar-benar minta maaf, Katy. Kau mau memaafkanku, kan?"
Jidan menatap begitu memohon ke arah Katy, bahkan wajah mereka kian dekat. Tapi Katy menjauhkan diri, terlalu terkejut dengan gerakan Jidan yang tiba-tiba. Ia malu sekali berdekatan seperti ini.
Katy tertawa tertahan. "Mau, tapi aku punya permintaan."
"Apa itu?"
"Beritahu aku nomormu. Supaya aku bisa menyebarkan nomormu ke orang lain nanti. Jadi, kita impas."
Itu hanya alibi Katy saja yang sangat menginginkan nomor Jidan, karena kalau tidak begitu, Jidan tidak akan pernah paham keinginan Katy sampai kapan pun.
"Jahat juga kau rupanya." Jidan tertawa.
Katy tersenyum angkuh setelahnya. "Kalau kau tidak mau, aku juga tidak akan memaafkanmu, kak."
---
Dering telepon masih sangat mengganggu, dan masih berasal dari nomor yang sama. Katy sudah berusaha menyimpan nomornya, tapi tidak ada kontak whatsapp yang terhubung di nomor itu. Entahlah, mungkin memang hanya nomor yang khusus digunakan untuk panggilan iseng saja.
Tapi kalau panggilan iseng, kenapa berlangsung begitu lama? Apa yang sebetulnya ingin orang ini katakan pada Katy? Lebih penting lagi, dia siapa?
Saat Katy mengecek nomor Jidan dan berusaha mencocokkannya dengan nomor asing itu, ternyata tidak sama. Padahal Katy sudah berharap banyak selama ini, tapi tetap saja akhirnya hanya ia dapatkan harapan kosong.
Terserahlah, mau siapapun itu, tidak terlalu berguna untuk dipikirkan sekarang. Karena Katy punya hal yang lebih penting untuk diurus, yaitu janjinya pada Carlos untuk mencarikannya kenalan baru.
Walaupun Carlos menolak, tapi Katy tetap ingin mencarikannya. Karena ini satu-satunya jalan agar Katy bisa terbebas dari orang lain yang berusaha menghalangi langkahnya.
Ini adalah jalan yang ia pilih untuk bisa tetap dekat dengan Jidan, dan Katy tidak akan ragu-ragu lagi. Ia tidak akan berhenti hanya karena rasa kasihan atau bersalah.
"Naomi,"
Katy sudah memikirkan hal ini sejak Naomi sering berkunjung ke rumahnya. Yah, meskipun anak itu bukan bermaksud menemuinya, tetapi Wanja, adiknya.
Wanja ini begitu kuliah jadi kerap membawa Naomi yang merupakan teman barunya ke rumah, kadang sampai menginap.
"Iya, kak Katy?"
Katy juga tahu kalau Naomi ini belum punya pasangan, karena Wanja yang bercerita padanya. Ditambah, Naomi selalu ada waktu untuk mendengar keluh kesah Wanja yang tiada akhir tentang gebetannya.
"Kau mau kukenalkan pada temanku, tidak?"
Naomi memiringkan kepalanya. "Maksudnya, kak?"
Katy menggaruk kepalanya, bingung mau menjelaskan dengan cara apa.
"Itu, seseorang yang aku kenal sedang butuh teman ngobrol. Kau mau kukenalkan padanya?"
"Ah, maksudnya untuk pacaran?"
Katy mengangguk senang, Naomi ternyata cepat juga membaca situasi. "Ya, kurang lebih begitu."
"Kenapa kak Katy tidak mengenalkannya ke Wanja saja? Dia kan adikmu."
Katy merotasikan bola matanya sambil menghela napas panjang. "Orang yang menyia-nyiakan masa mudanya demi cinta sepihak itu, mana mau menerima orang baru di hidupnya?"
Katy bangga sekali bisa mengatakannya, dalam sekejap lupa akan situasi percintaannya sendiri.
Naomi tertawa di depan tv yang menyala. "Sudah cinta mati dengan kak Jonathan lebih tepatnya, kak."
"Aku masih punya telinga kalau kalian lupa!" Suara Wanja melengking dari dalam kamar.
Katy dan Naomi hanya geleng-geleng kepala saja saat mendengar lantunan suara yang tidak merdu itu.
"Sebetulnya aku belum tertarik untuk pacaran. Tapi boleh aku lihat fotonya dulu, kak?"
"Ah tentu, aku punya nomor whatsappnya."
Begitu Katy membuka aplikasi chat yang ia sebutkan, ia langsung menyodorkan foto profil Carlos yang sedang tersenyum menghadap kamera.
Mata Naomi langsung berbinar bahagia. "Wah, boleh juga."
Katy diam-diam menatap Naomi yang nampak terpana. "Bagaimana? Kau mau?"
Naomi mengangguk cepat. "Mau, kak!"
---
Belum lama sejak Katy mendudukkan diri di depan minimarket seperti biasa, ditemani Ghina yang baru saja menyelesaikan shift kerjanya, dan Yura yang sedang tidak ada jam kuliah. Lalu ada Harsa juga yang sedang mengajak Ghina mengobrol tanpa kenal lelah sedari tadi.
Tapi pembicaraan berubah seru saat Yura dan Harsa bertemu, karena mereka ini sama-sama suka bicara. Ghina hanya menyimak saja karena tidak terlalu paham apa yang dibicarakan.
Harsa dan Yura sendiri kini sibuk membicarakan rumor pasangan baru di kampus yang katanya sedang ramai dibicarakan akhir-akhir ini.
Katy tertarik dengan pembicaraan mereka saat ada nama Jidan yang disangkut pautkan dengan masalah ini.
"Siapa itu kalau boleh tahu? Apa hubungannya dengan kak Jidan?"
"Kenapa memangnya? Katy cemburu, ya?" Yura mengelus pelan dagu Katy berulang kali.
Tapi Katy langsung menepis tangan Yura, karena dia sedang panik saat ini. Apapun itu, Katy harus tahu rahasia tentang Jidan yang belum pernah ia dengar selama ini.
"Cepat katakan apa hubungan pasangan itu dan kak Jidan."
Harsa dan Yura langsung menggeleng keras, takut Katy mengamuk.
"Bukan masalah besar kok, Katy. Hanya saja rumornya Jidan yang menjodohkan Gerry dan Emily, tapi Emily justru ketahuan jalan dengan Jidan." Harsa menjawab takut-takut.
Katy tersenyum getir. "Jadi kak Jidan menyelingkuhi temannya sendiri?"
"Belum tentu juga. Semua orang kan tahu kalau Jidan dan Emily memang berteman sejak jadi mahasiswa baru." Harsa menjelaskan lagi.
Yura lantas berbisik ke arah Harsa, yang ternyata masih bisa didengar Katy.
"Tapi kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi dalam sebuah pertemanan kan, kak? Bagaimana kalau mereka memang selingkuh?"
Harsa menggeleng. "Aku justru lebih yakin kalau Gerry yang terlalu cemburuan. Makanya sebentar-sebentar curiga pada pacarnya."
Yura mengangguki perkataan Harsa, walaupun kentara sekali kalau masih ragu. Bagaimanapun juga kan Yura tidak mau sahabatnya ini disakiti Jidan.
"Yura, aku ini sudah kenal Jidan sejak lama. Orang sepertinya yang tidak bisa mengekspresikan perasaannya sendiri, mana mungkin punya niat jelek begitu? Apalagi pada temannya sendiri?" Harsa menambahkan.
Sejujurnya, Harsa takut Katy benar-benar membenci Jidan hanya karena masalah yang masih belum jelas kebenarannya ini.
Tapi Katy lebih memilih menjadi anak muda yang dibutakan cinta. Ia masih pada pendiriannya untuk balas dendam. Bahkan sekarang keinginannya kian membara.
Jadi apa yang harus ia lakukan sekarang? Haruskah Katy mencelakai Emily saja?
-To be continued-