Chereads / Nomor Asing / Chapter 7 - 7. Apapun Untukmu

Chapter 7 - 7. Apapun Untukmu

Pagi-pagi sekali Katy sudah mandi, ia akan segera pergi ke perpustakaan lagi. Kali ini, bukan untuk berdiam diri, melainkan mencari bahan tugas yang penting untuk kelangsungan hidupnya sebagai mahasiswa.

Tapi kegiatan Katy berganti baju terhenti saat Wanja melongok ke dalam kamarnya. Katy bisa saja pura-pura tidak melihat adiknya itu, tapi Wanja nampaknya ingin mencari tahu sesuatu lewat tatapan mencurigainya.

"Apa?" Tanya Katy datar, wajahnya masih setia menatap pantulan dirinya sendiri di cermin.

"Kakak mau ke mana pagi-pagi begini?"

"Perpustakaan."

"Tidak ikut sarapan dulu?" Wanja bertanya lagi sembari melangkah masuk ke kamar Katy, dan kini sudah duduk nyaman di pinggir ranjang.

"Tidak. Aku bisa makan di luar nanti."

Wanja masih saja memandangi Katy tanpa henti, matanya nampak mengintimidasi. "Kau benar-benar akan pergi ke perpustakaan, kak?"

Katy mengangguk. "Seperti yang kubilang."

"Bukan untuk kencan dengan Carlos?"

Katy membelalak, lalu berbalik badan untuk manatap wajah Wanja yang sedang tertawa riang. Seperti anak kecil yang baru saja dibelikan boneka favoritnya.

"Kau," Katy menatap kaget pada adiknya itu.

"Aku hanya dengar suara panggilan teleponmu tadi malam, kak. Hari ini kau mau bertemu Carlos, kan? Wah, apa Naomi tahu tentang semua ini?"

Katy buru-buru membekap mulut Wanja sebelum gadis ini bicara kemana-mana dengan suaranya yang terlalu keras.

"Jangan keras-keras. Bukankah Naomi menginap di sini?"

Wanja tertawa lagi. "Naomi masih tidur, kok. Dia tidak akan bangun sebelum jam delapan, kecuali ada kelas pagi."

Bekapan tangan Katy di bibir Wanja terlepas, kini ia memutuskan untuk duduk di samping Wanja.

"Wanja, aku tidak berkencan dengan Carlos. Justru karena aku tidak bisa bersama dia, aku berniat mengenalkannya dengan orang yang lebih baik."

"Lalu kenapa harus Naomi?"

"Karena mereka sama-sama belum punya pasangan, kan? Kurasa mereka cocok."

Detik jarum jam memenuhi ruangan yang mendadak hening. Baik Katy ataupun Wanja sama-sama terdiam. Dalam situasi seperti ini, yang Katy khawatirkan adalah jika Wanja mengira bahwa ia punya niatan buruk terhadap Carlos dan Naomi.

"Kau bertanya seperti ini, memangnya kau ingin berdiri di pihak siapa, Wanja?"

Wanja agak terkejut saat Katy mengajukan pertanyaan semacam ini. Tapi Wanja memilih tersenyum lembut dan meletakkan telapak tangannya di atas tangan Katy.

"Aku tidak tahu seberapa besar masalahmu, kak. Tapi aku akan selalu berada di pihakmu."

Katy balas menatap lembut ke arah adiknya. Entah mengapa Katy baru sadar kalau selama ini ia dikelilingi oleh orang-orang yang pengertian, tapi ia memilih jalannya sendiri untuk menjadi orang jahat.

"Tapi aku akan lebih senang lagi kalau kau tidak punya maksud buruk pada Naomi, karena dia sahabatku." Wanja menambahkan.

Katy mengusak kepala Wanja pelan. Mungkin belum waktunya bagi anak kecil untuk tahu, dan belum pula saatnya untuk Katy memberitahu. Persoalan hatinya ini cukup dirinya saja yang memahami, entah dilalui dengan jalan yang benar atau salah.

---

Wanja memang mendengar yang sebenarnya. Tadi malam memang Carlos menelepon, namun nada bicaranya sedih sekali. Jadi semalam suntuk Katy terjaga hanya untuk menghibur hati si adik tingkatnya.

Carlos sendiri meminta untuk bertemu di cafe agak jauh dari kampus siang ini, setelah Katy selesai dengan urusannya di perpustakaan. Carlos bilang ada yang ingin ia sampaikan pada Katy. Berita bagusnya, Carlos mulai menampakan diri setelah 15 menit Katy menunggu seorang diri.

Carlos membuka topi hitamnya dan langsung duduk di depan Katy tanpa banyak bicara.

"Carlos..."

"Kak Katy, aku minta maaf sudah membentakmu di bioskop kemarin. Sungguh aku tidak berniat seperti itu. Aku bahkan tidak tahu kalau hal itu akan jadi bumerang untuk diriku sendiri."

Wajah Carlos nampak sedih, sesedih suaranya yang masih belum berubah sejak semalam. Mungkinkah Carlos begitu terbebani memikirkan semua ini? Padahal Katy sendiri baik-baik saja dan masih berkeinginan kuat untuk menyingkirkannya.

Kenapa semua orang terus merasa bersalah pada Katy di saat ia sudah tidak mengenal hal itu lagi?

"Aku jadi semakin memikirkanmu, kak."

Katy menghela napas panjang. Ia tahu Carlos pasti akan mengatakan hal ini. Bahkan anak ini sudah mengatakannya berkali-kali semalam.

"Dengarkan aku, Carlos. Orang yang ingin kukenalkan pada-"

"Aku sudah memikirkannya seharian ini, kak." Ucap Carlos memotong kalimat Katy yang belum berakhir.

"Seperti yang kukatakan tadi, aku masih memikirkanmu. Tapi kalau menurutmu dengan mengenalkanku pada temanmu bisa membuat perasaanmu lebih baik, aku akan menerimanya."

Katy jadi tidak sanggup berkata-kata lagi setelahnya.

---

Malam ini, Katy mendapati dirinya termenung sendirian sambil berbaring. Ditatapnya langit-langit kamar yang begitu bersih, dan di saat yang sama terasa begitu kosong.

Mengapa hati Katy masih saja kosong setelah berhasil membereskan satu masalahnya? Apa yang ia inginkan sebetulnya?

Ditatapnya ponsel yang tidak memunculkan notifikasi apapun, sama kosongnya.

Ia melakukan apapun agar bisa terus dekat dengan Jidan, tapi Jidan sendiri tidak tahu apa yang Katy lakukan selama ini.

Ah, benar juga. Jidan harus tahu apa yang terjadi pada Katy dan Carlos, karena dialah yang membuat mereka berdua bisa dekat meski hanya dalam waktu yang singkat.

Katy memutuskan untuk mencari nomor ponsel Jidan, menatapnya beberapa kali sebelum memutuskan untuk benar-benar mendial nomor itu.

Sesungguhnya, Katy tidak pernah punya keberanian yang cukup untuk menghubungi Jidan, tapi malam ini adalah pengecualian.

"Halo, Katy?"

Katy terduduk setelah Jidan menerima panggilan teleponnya.

"Halo, kak."

"Ada apa, Katy?"

"Tidak terlalu penting sih, kak. Aku hanya ingin bilang sesuatu tentang Carlos."

"Carlos? Kenapa lagi dia? Sekarang benar-benar menyakitimu?"

Katy tersenyum seorang diri, hatinya menghangat saat mendengar Jidan mengkhawatirkannya lagi.

"Bukan, kak. Justru aku yang menyakitinya."

Ada hening yang terjadi beberapa saat setelah Katy mengatakannya. Mungkin Jidan ikut bingung dengan Katy yang jalan pikirannya tidak bisa ditebak.

"Kenapa bisa begitu, Katy?"

"Aku sudah berusaha seperti yang kau minta untuk menerimanya. Tapi nyatanya beberapa hal tidak berjalan dengan semestinya."

Singkatnya, Katy tidak suka dengan Carlos.

"Kukira kau sudah menemukan kebahagiaanmu, Katy. Maaf kalau kehadiran Carlos justru membuang-buang waktumu."

"Kenapa kau terus minta maaf, kak? Aku hanya ingin bercerita saja, supaya kau tahu."

"Tapi akulah yang menyebabkan kalian saling mengenal."

"Sudahlah, kak. Aku baik-baik saja sekarang."

Malam makin larut, tapi Katy belum ingin menyudahi panggilan teleponnya. Entah apa yang terjadi juga pada Jidan hingga tidak berusaha memutuskan sambungan telepon terlebih dulu.

Mereka sama-sama saling diam dan hanya bisa mendengarkan deru napas masing-masing.

"Tapi, Katy, kenapa kau menolak dia? Maksudku, apa yang membuatmu tidak suka Carlos? Padahal kau pernah bilang kalau dia anak yang baik."

"Yah, dia memang baik. Tapi bukan tipeku. Itu saja."

Jidan tergelak untuk beberapa saat di seberang telepon, tidak habis pikir dengan Katy yang kelewat jujur.

"Lalu seperti apa tipemu, Katy?"

"Seperti orang yang kusukai, kak."

"Oh? Kau sudah suka dengan orang lain? Sejak kapan?"

"Sejak sebelum Carlos mendekatiku."

"Benarkah? Harusnya kau katakan padaku tentang itu, jadi aku tidak akan izinkan dia meminta nomormu."

Katy hanya tertawa lirih mendengarnya. Ia bahagia akhirnya bisa mendengar suara Jidan saat malam-malam begini, karena bisa mengobati rasa sedih dan kesepiannya. Tapi dengan kenyataan bahwa bukan Jidan lah yang berinisiatif meneleponnya dulu, membuat Katy semakin sadar akan banyak hal.

Salah satunya, bahwa hanya Katy lah yang menganggap Jidan istimewa. Tidak sebaliknya.

"Lalu, kalian sudah pacaran?"

"Belum."

"Kenapa?"

"Karena dia tidak menyukaiku. Jadi, agak sulit bagiku untuk berjuang sendirian."

Dan entah sampai kapan Katy akan berjuang sendirian. Meski Jidan sudah ada di depan mata, masih saja sulit bagi Katy untuk mengatakannya secara langsung.

Katy ingin sekali bertanya tentang surat dalam origami bintang itu, tapi tidak bisa. Katy tidak bisa menanyakannya. Bagaimana kalau Jidan sudah membukanya dan memang tidak memiliki jawaban apapun atas perasaan Katy?

Tapi kalau memang demikian, kenapa Jidan masih bisa bicara dengannya seolah tidak terjadi apa-apa? Seolah ungkapan cinta Katy hanya candaan saja.

"Aku tahu kau perempuan yang kuat, Katy. Jadi, jangan menyerah."

Jidan benar. Katy memang tidak boleh menyerah. Paling tidak untuk saat ini saja. Katy masih harus melanjutkan apa yang telah ia susun rapi di kepalanya.

Akan ia lakukan apapun untuk mendapatkan hati Jidan.

-To be continued-