Dering panggilan dari nomor asing masih setia memecahkan heningnya keseharian Katy selama di kamar seorang diri. Katy bersumpah itu dering paling banyak yang selama ini ia dapatkan. Kira-kira si penelepon iseng itu menghubunginya tiap dua detik sekali. Awalnya mungkin ada sekitar 10 detik, lalu begitu Katy angkat justru dimatikan. Atau kadang sudah Katy sapa 'halo' berkali-kali, tapi orang di seberang telepon diam saja.
Sebetulnya siapa sih orang ini?
Katy kira tadinya jawaban atas nomor asing itu sudah jelas, yaitu Carlos yang kemarin menghubunginya. Tapi ternyata bukan. Anak itu bilang tidak mudah untuk mendapatkan nomor Katy selama ini, dan baru kemarin dia dapatkan nomornya lewat Jidan setelah berkali-kali bertanya ke banyak orang.
Gigih juga rupanya si mahasiswa baru ini. Katy jadi iri karena dia tidak berani berbuat sebanyak itu untuk orang yang ia sukai. Katy masih saja bersembunyi di balik kata 'teman'.
Katy hanya bisa membuat origami bintang saja untuk Jidan, itu pun memakan waktu lumayan lama. Tutorial demi tutorial sudah ia baca berulang kali, tapi ternyata mempraktikannya secara langsung tidak semudah itu.
Sekarang, setelah mendapatkan balasan yang meretakkan hatinya dari seseorang yang ia sukai, Katy jadi sadar bahwa mungkin inilah tandanya jika perjuangannya sia-sia. Jika Jidan juga menyukainya, harusnya dia ikut berjuang untuk Katy. Setahunya, hubungan asmara itu milik dua orang yang saling jatuh cinta. Jika hanya salah satunya saja yang kuat, tetap saja pondasi hubungan itu akan runtuh.
Katy buru-buru mengabaikan seluruh pikiran acaknya, ia juga mengabaikan dering telepon yang makin lama ingin ia singkirkan dari hadapannya.
Sekarang ada hal yang lebih penting yang harus Katy lakukan, apalagi kalau bukan bicara empat mata dengan Jidan. Kebetulan Harsa memberitahunya kalau Jidan sedang ada di halaman belakang kampus, sibuk lagi dengan buku sketsanya.
"Oh, hai, Katy. Sudah selesai kelas?"
Tangan Katy terkepal di balik saku sweaternya.
"Siapa orang itu?" Tanya Katy balik.
"Maksudmu?"
Jidan langsung menutup buku sketsanya, fokusnya beralih pada Katy yang nampak tidak bersahabat hari ini.
"Kutanya siapa yang kau beri nomorku? Aku tidak mengenalnya, kenapa aku harus terus membalas chatnya?"
Halaman belakang kampus sedang sepi, tidak banyak mahasiswa yang duduk-duduk seperti biasanya di sore hari karena ini hari jumat. Biasanya mereka lebih sibuk untuk pulang ke rumah cepat-cepat.
"Oh, jadi Carlos sudah menghubungimu?"
Katy diam saja.
"Dia bilang naksir denganmu sejak hari pertama kuliah. Aku bisa apa, Katy?"
"Kenapa kau memberikan nomorku padanya, kak? Apa hakmu?"
Jidan agak terlonjak mendengar suara Katy yang meninggi. "Memangnya kenapa, Rin? Itu kan hanya nomor telepon."
Sudut mata Katy sudah panas rasanya, dan Katy tidak tahu kapan air mata akan terjun bebas melewati pipinya. Hatinya sangat hancur mendengar jawaban paling tidak bertanggung jawab dari mulut Jidan.
"Kau sendiri tidak pernah memberikanku nomor teleponmu, padahal aku berikan sejak hari pertama kita bertemu. Tapi bisa-bisanya kau sebarkan nomorku tanpa izin begini?"
"Itu kan beda, Katy. Aku butuh bantuanmu saat itu."
Katy menghela napas lelah. Disekanya air mata yang dengan kurang ajar mulai keluar tanpa diminta. Katy tidak punya waktu untuk menangis sekarang.
"Lalu kau pikir aku bersedia berkirim pesan dengan siapa saja?"
"Apa?" Jidan mengerutkan dahinya.
"Aku tidak mau menerima pesan dari orang asing. Aku tidak kenal dia."
"Memangnya kau sealergi itu dengan orang baru yang ingin masuk ke hidupmu?"
Katy langsung merasa tenggorokannya tercekat. Kenapa Jidan jadi pintar sekali membolak-balikkan kalimatnya?
"Aku tidak bermaksud seperti itu."
"Tapi kelihatannya begitu." Lirih Jidan yang masih mampu didengar Katy.
"Kak Jidan, apa kau ingin aku dekat dengan Carlos?"
Sekali lagi Katy bertanya, hanya untuk memastikan bahwa perasaannya bukanlah tipuan selama ini. Perasaan yang mengatakan kalau Jidan juga menaruh perasaan yang sama padanya.
"Kalau itu tidak mengganggumu, kenapa harus ditolak? Dia tampan, kok. Banyak yang suka juga padanya." Jidan menjawab dengan kalem.
"Oh, itu yang kau mau?"
Jidan menarik senyum canggungnya karena suasana yang mendadak tidak menyenangkan.
"Kau benar-benar ingin aku dekat dengan Carlos?" Lagi-lagi Katy bertanya tanpa lelah.
Jidan mengangguk setelah tidak ia temukan jawaban yang lebih baik dari itu.
"Berikan aku alasan kenapa aku harus dekat dengannya."
"Eum, karena dia sering memikirkanmu mungkin?"
Kilat kemarahan di mata Katy mereda, digantikan oleh sorot putus asa. Ada bunyi retak juga yang mungkin hanya bisa didengar oleh telinga Katy saja.
Ternyata benar, perasaannya yang selalu yakin bahwa Jidan punya perasaan yang sama hanyalah tipuan semata. Katy hanya dibutakan oleh cinta sepihaknya dan merasa memiliki dengan tidak tahu diri.
"Kau sendiri," Katy meraih pundak Jidan, namun cengkeramannya begitu lemah.
Hening menyelimuti keduanya.
"Apa kau pernah memikirkan aku?"
---
Hari berangsur petang. Dengan kaki dan tangan yang menggigil, Katy berjalan seorang diri ke tempat yang Carlos sebutkan tadi setelah ia keluar dari kelas. Sepertinya hujan akan turun, makanya angin bertiup begitu kencang.
Tujuan Katy adalah bioskop, seperti yang Carlos inginkan. Mereka akan menonton film thriller favorit Carlos.
"Hai, kak Katy."
Katy mau tidak mau langsung tersenyum saat wajah Carlos menyapanya di salah satu meja luar bioskop, sedang menikmati cola sendirian.
"Sudah lama, ya? Kelasku mendadak diundur tadi." Ungkap Katy tidak terdengar menyesal sama sekali.
"Tidak masalah, kak. Aku sudah beli tiket yang baru karena film yang tadi sudah selesai diputar."
"Ah, begitu? Sayang sekali kau jadi buang-buang uang. Nanti kuganti saja, ya?"
Tapi Carlos mengibaskan tangannya di depan wajah. "Tidak perlu kok, kak. Aku yang mengajakmu nonton, jadi aku yang akan bayar semuanya."
Setelah dilihat-lihat, sepertinya Carlos ini anak orang kaya. Mungkin akan lebih bagus jika Katy suka dengan Carlos saja sejak awal. Sudah kaya, baik hati, dan mau memperjuangkan cintanya dengan gigih.
Bukankah orang pengertian seperti ini tidak akan menyulitkan Katy? Tidak seperti orang lain yang masih saja menolak untuk peka.
Sejak menonton film yang sebelumnya tidak ia sukai, Katy mulai berfantasi seorang diri. Ia tiba-tiba saja begitu kagum saat menyaksikan aksi heroik yang pemain film itu lakukan demi memerangi kejahatan si antagonis. Hanya saja, Katy justru kagum dengan peran si antagonis.
Setiap masalah yang ditimbulkan si pemeran antagonis selalu saja berawal dari sakit hati. Mereka berubah menjadi jahat agar bisa membalaskan dendamnya di masa lalu. Katy ingin melakukannya juga, ia ingin balas dendam, karena balas dendam adalah tindakan paling adil untuk menyembuhkan sakit hatinya.
Matanya yang berkilat senang dengan tiap adegan mengerikan di layar bioskop, dan tangan yang bergetar karena tidak sabar untuk mempraktikkan semua itu ke dalam kehidupan nyata, agaknya membuat Carlos takut.
Katy yang tersenyum jahat seorang diri lebih mengerikan daripada film yang Carlos tonton saat ini.
"Kak Katy, kau baik-baik saja?" Carlos menggenggam tangan Katy yang justru ditepis.
"Aku baik-baik saja." Katy menatap Carlos, kini raut wajahnya sudah normal kembali.
Selesai memikirkan segala rencana busuk yang tiba-tiba saja bermunculan, Katy menatap orang di sampingnya lagi. Ada rencana lain yang baru saja terlintas di kepalanya.
Rencana untuk menolak Carlos.
"Carlos, temanku ada yang ingin berkenalan denganmu. Apa kau mau bertemu dengannya?"
Katy hanya bohong saja saat mengatakannya, karena akan sulit baginya menolak Carlos jika tanpa alasan pasti. Lagipula, ini baru pertemuan pertama mereka.
Yang ditanya balik menatap kaget. "Tidak mau. Kenal dengan kak Katy saja sudah cukup bagiku."
Diam-diam Katy merotasikan bola matanya. Sudah ia duga pasti akan sulit.
"Tapi dia seumuran denganmu. Siapa tahu kalian bisa akrab."
Carlos jadi semakin kaget bercampur marah. "Kak Katy berniat menolakku?"
"Tidak, kok. Aku hanya berpikir saja, siapa tahu kau akan lebih nyaman dengan orang yang seumuran. Kau jangan terlalu serius naksir kakak tingkat begitu masuk kuliah, karena biasanya mereka hanya ingin main-main saja dengan anak baru sepertimu."
Katy kembali menghela napas panjangnya. "Yah, itu hanya sedikit nasihat dariku sebagai kakak tingkat yang baik. Supaya kau bisa lebih berhati-hati ke depannya."
Carlos mengenakan kembali topi yang sempat ia lepas tadi. "Kalau ingin menolakku, kau
bisa katakan dengan lebih jelas, kak."
Setelahnya, Carlos diam saja. Hanya fokus pada film yang diputar hingga selesai.
-To be continued-