Chereads / Nomor Asing / Chapter 1 - 1. Si Menyebalkan

Nomor Asing

🇮🇩starsinbottle
  • 8
    Completed
  • --
    NOT RATINGS
  • 6.8k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - 1. Si Menyebalkan

Tidak semua orang percaya adanya cinta pada pandangan pertama. Hal konyol seperti itu sangat mustahil terjadi, apalagi hanya dengan sekali pandang dan langsung jatuh cinta. Biasanya, para penulis novel pun mengibaratkan si pemeran utama kisah ini adalah orang yang tidak saling mengenal. Bagaimana mungkin ada orang asing bisa tiba-tiba memendam rasa hanya dalam sepersekian detik kedipan mata?

Begitu pula berlaku untuk Katy, si mahasiswa biasa yang hanya sedang duduk di depan minimarket kampus. Ditemani sore menjelang gelapnya malam dengan sepotong es krim di tangan.

Katy tidak percaya cinta pada pandangan pertama itu ada, tapi anehnya dadanya berdesir saat melihat kakak tingkatnya duduk di kursi lain depan minimarket yang sama. Mereka hanya berjarak beberapa senti saja, bahkan bertatapan pun tidak.

Tapi mengapa hanya karena suara rendahnya, tubuh tinggi tegapnya, dan tatapan matanya yang tidak berhenti fokus dari buku sketsanya, Katy jadi tidak tenang sendiri? Seolah ada magnet yang menarik mata Katy untuk tetap melirik ke arahnya.

"Kau punya uang kecil?"

Satu temannya yang baru saja keluar dari minimarket menyodorkan selembar uang lima puluh ribuan. Berniat menukar uang.

Si tinggi yang telah mencuri perhatian Katy menggeleng pelan, hanya melirik ke arah uang yang disodorkan dan fokus pada buku sketsanya lagi.

"Kenapa kau tidak menukarkannya saja di dalam? Mereka kan selalu punya."

Temannya lalu berkacak pinggang, berdecak beberapa kali. "Kasir itu bilang dia tidak punya uang kecil sama sekali. Dasar banyak alasan. Aku jadi tidak bisa bayar!"

Si tinggi tertawa menanggapinya, akhirnya berhenti dari buku sketsanya. "Dia masih dendam padamu mungkin, Harsa. Kau saja tidak berhenti mengejeknya dari kemarin."

"Kapan aku mengejeknya, Jidan? Aku hanya bercanda saja. Aku ini bukan orang yang diskriminatif. Aku hanya bilang dia ini bule nyasar di kota kecil. Apa yang salah?"

"Tentu saja salah. Kau tidak boleh begitu ke orang yang belum kau kenal."

"Justru kulakukan semua ini karena ingin berkenalan dengannya, Jidan!"

Katy diam-diam tersenyum. Ternyata selain tampan, si lelaki yang baru Katy tahu namanya hari ini bisa tertawa lebar juga.

Katy tahu mereka ini kakak tingkatnya karena Katy sudah pernah melihat Harsa di acara malam keakraban mahasiswa baru. Sementara Jidan, entah kemana saja dia, sampai Katy baru melihatnya hari ini. Di saat semester satu perkuliahan hampir menuju ujian akhir.

Sibuk beradu dengan pikirannya sendiri, Katy baru sadar kalau dia dipanggil-panggil sedari tadi.

"Katy, kan?" Tanya Harsa dengan senyum ramahnya.

"Eh, kau kenal aku, kak?""

Harsa tertawa kecil. "Tentu saja kenal, aku kan panitia malam keakraban. Aku kenal hampir semua anak semester satu sepertimu."

Katy tersenyum mendengarnya, sambil sesekali melirik ke arah Jidan yang justru sibuk lagi dengan buku sketsanya. Sayang sekali, harapan Katy bisa dilirik balik tidak pernah terjadi.

"Katy, kau punya uang kecil? Boleh aku pinjam dulu?"

"Ada, kak. Berapa?"

"Sepuluh ribu saja. Kalau ada sih."

Katy pun merogoh dompetnya, memeriksa lembaran uang yang mungkin tersisa setelah membeli makan tadi siang.

Setelah nominal uang yang diinginkan Harsa diberikan, Katy hanya bisa geleng-geleng kepala saat Harsa justru berlarian ke dalam minimarket selayaknya anak kecil. Seolah sudah tidak sabar untuk mengganggu lagi si kasir minimarket bule yang juga merupakan mahasiswa baru kampus mereka.

Katy kini hanya duduk seperti semula, menghabiskan sisa es krimnya dan membuang stiknya ke tong sampah. Sesekali Katy curi-curi pandang ke buku sketsa Jidan yang penuh gambar gedung kampus.

Hanya dalam beberapa detik, rintik hujan turun. Tetes demi tetes hujan berjatuhan begitu cepat, Jidan langsung kebingungan karena peralatan menggambarnya ada banyak di pangkuan.

Katy yang melihat semua itu dengan sigap mengambil payung yang dia bawa sedari tadi. Dibentangkannya payung biru itu dan diulurkan untuk menutupi kepala Jidan.

Jidan sendiri mungkin tidak sempat mengatakan apapun, dia buru-buru membereskan peralatan menggambarnya dan berlari bersama Katy untuk meneduh di teras sempit minimarket ini.

"Terima kasih bantuannya, err-"

"Namaku Katy, kak."

"Terima kasih bantuannya ya, Katy. Aku Jidan."

Katy tidak menjawab lagi karena belum siap bicara panjang lebar dengan orang yang dia perhatikan sejak tadi. Jadi hanya anggukan yang dia berikan ke Jidan.

Hari berangsur gelap. Hujan turun masih lebat. Harsa entah sedang apa di dalam sana sampai memakan waktu begitu lama. Katy tidak tahu apapun kecuali wajah si kasir minimarket yang terus menerus marah, kontras dengan wajah Harsa yang dipenuhi binar bahagia.

"Oh, hujan ternyata." Ucapan Harsa membuat Jidan berdecak malas beberapa kali.

"Harsa, kau bawa payung?"

Harsa menggeleng setelah mendengar pertanyaan Jidan.

"Kalau begitu beli sana. Aku tidak bisa biarkan peralatanku basah kalau hujannya awet sampai malam."

"Tapi minimarket ini tidak jual payung, Jidan."

Katy yang mendengar percakapan itu langsung menjulurkan payungnya lagi di depan Jidan dan Harsa.

"Kalian bawa saja payungku."

Mendengarnya membuat Jidan bertatapan sebentar dengan Harsa, lalu menatap payung di tangan Katy dengan ragu.

"Lalu kau pakai apa nanti, Katy?"

"Rumahku dekat sini kok, kak. Bawa saja, sepertinya kau lebih membutuhkannya."

Tanpa basa-basi, Harsa langsung meraih payung Katy. Habisnya menunggu Jidan menerima payung ini akan menunggu waktu satu abad lamanya, karena Harsa sendiri tahu kalau Jidan tidak pernah suka merepotkan orang lain.

"Katy, uangnya aku kembalikan besok, ya? Oh, sekalian payungnya juga." Ucap Harsa yang sekarang sudah membentangkan payung biru itu di tangannya.

"Santai saja kak. Tidak perlu terburu-buru."

Tapi Harsa mengabaikan ucapan Katy, lebih memilih meminta nomor Katy agar bisa segera melunasi hutangnya. Harsa bilang, dia atau Jidan akan mengembalikan uang dan payung Katy besok saat sedang tidak sibuk kuliah.

Di saat yang sama, wajah Katy kembali memanas karena Jidan yang mencatat nomor ponselnya. Sementara Harsa memilih sibuk memegang payung.

---

Esoknya di kampus, Katy berjalan ke gedung tata usaha kampusnya. Saat itu dia sedang sibuk-sibuknya mengurus kartu ujian. Ada banyak mahasiswa lain di dalam ruangan tata usaha, karena perlu mengantri untuk mendapatkan kartu ujian mereka masing-masing.

Di saat Katy baru saja keluar dari ruangan itu, ia tidak sengaja berpapasan dengan Jidan yang hendak masuk ke ruang tata usaha juga. Pasti Jidan akan mengambil kartu miliknya.

Yang membuat Katy terkejut bukanlah pertemuan mereka yang tiba-tiba, melainkan Jidan yang tidak menyapanya sama sekali. Seolah tidak saling kenal. Padahal kan baru kemarin mereka bertemu dan saling bicara.

Katy jadi berang sendiri saat melihatnya. Bagaimana bisa dia dilupakan secepat itu?

Lalu Katy mulai memikirkan rencana-rencana paling masuk akal yang bisa dia lakukan untuk balas dendam. Dia harus buat perhitungan karena berani-beraninya si menyebalkan itu pura-pura tidak mengenal Katy barusan.

Harga diri Katy kan jadi terinjak-injak.

Tapi Katy tidak benar-benar jadi untuk masuk lagi ke ruang tata usaha dan melabrak Jidan, tidak berani mendekat malah. Langkahnya terhenti begitu rencana busuk di kepalanya berubah-ubah lagi.

'Memangnya kenapa kalau dia tidak mengenalku?'

'Bukankah itu bagus? Artinya perasaan ini tidak akan bertahan lama.'

Katy akan tetap menjadi Katy, si gadis muda yang kepalanya belum sampai untuk berpikir bijak ala orang dewasa. Ia ragu apakah benar-benar ingin melabrak Jidan, atau hanya karena sedang kesal saja.

Pasalnya, semalaman Katy menunggu telepon atau pesan masuk dari Jidan, berhubung Jidan sudah menyimpan nomornya. Tapi ternyata tidak ada yang terjadi. Justru hari ini Jidan pura-pura tidak melihatnya.

"Katy,"

Seseorang menepuk pundak Katy dari belakang. Katy sendiri yang sedari tadi sibuk menatapi ruang tata usaha dalam diam, langsung menoleh.

"Oh, kak Harsa? Ada apa?"

Si pemuda yang selalu menampakkan gurat ramah itu mengulurkan selembar uang sepuluh ribuan dan payung biru.

"Ini uang dan payungmu kukembalikan. Terima kasih untuk yang kemarin ya, Katy."

Bukannya tersenyum senang karena barang-barang miliknya telah kembali, Katy justru merengut lesu.

"Kenapa dikembalikan sekarang?"

Harsa yang mendengarnya mengernyit bingung. "Huh? Maksudmu?"

"Kenapa kau minta nomorku kemarin kalau sudah berrencana mengembalikannya sekarang, kak? Harusnya hubungi aku dulu. Percuma minta nomorku tapi tidak ada telepon masuk sama sekali."

Di saat yang sama, Harsa langsung memahami gurat wajah Katy yang kecewa. Entah kenapa dia peka sekali kalau untuk urusan membaca ekspresi orang lain.

"Kau berharap ditelepon Jidan, ya?"

Katy yang ditebak begitu langsung membelalak, hendak berkata-kata untuk menyanggah ucapan Harsa tapi entah mengapa mulutnya serasa terkunci.

"Bu-bukan begitu, kak Harsa."

"Ah sudahlah, kau itu mudah sekali dibaca ternyata. Tidak apa, Katy, tidak usah malu."

Katy tertunduk, justru semakin malu. Melihatnya, Harsa yang masih sibuk terkekeh langsung memajukan wajahnya, ingin melihat wajah Katy lebih dekat.

"Tenang saja, Katy. Aku tidak akan katakan apapun ke Jidan."

Sial sekali rasanya hari ini bagi Katy. Seandainya tahu akan begini, lebih baik Katy pergi saja sedari tadi. Ia jadi tidak perlu berrencana balas dendam yang tidak perlu, ataupun membiarkan perasaannya ketahuan oleh teman terdekat Jidan.

"Semalam, Jidan langsung tidur setelah sampai di kontrakan. Dia memang kurang peka orangnya. Semangat ya, sepertinya kau harus berjuang lebih banyak lagi."

"Kak Harsa, kubilang bukan begitu!"

-To be continued-

.

.

.

A/N : Hai, aku buat cerita ini yang mirip banget sama 'balasan atas cintaku'. Ini adalah versi perbaikan, dan lebih pendek. Semoga suka. Happy reading! ^_^