POV Vanya
Hampir dua minggu sejak kedatangan Diego ke rumah untuk menemui Papa, sejak itu, ia tidak pernah menghubungiku lagi. Kupikir, kemarahannya hanya sesaat dan akan menghilang seiring berjalannya hari. Nyata tidak, kabar-kabar yang kutunggu tidak pernah datang.
Aku mencoba menghubungi melalui telepon, tapi nomornya di luar jangkauan. Begitu juga melalui media sosial, tidak ada satu pun yang dibalasnya. Kalau begini caranya, aku harus menemui Diego secara langsung dan minta maaf. Mohon pengertiannya untuk masalah ini.
Mengenai pernikahanku, tersisa dua minggu kurang, segala persiapan juga sudah hampir selesai, mulai dari konsep, lokasi, bridesmaid, daftar undangan, dokumentasi, dekorasi, dan seterusnya. Walaupun dibantu oleh Wedding Organizer tapi keluarga Alto tetap menyuruhku mengawasi secara langsung.
Aku yang baru kembali dari tempat cetakan undangan, mampir dulu ke Dee Art Space, karena jaraknya tidak begitu jauh. Sesampainya di sana, aku menemukan hal mengejutkan, karena galeri itu tutup dan ada tulisan dijual.
"Kenapa Diego menjual galeri ini?" tanyaku tidak percaya. Aku tahu betul arti galeri ini bagi Diego. Satu-satunya peninggalan orang tuanya sebelum meninggal.
Dengan perasaan tidak karuan, aku mencoba menghubungi ponsel diego, tapi nomor itu masih tidak aktif. Pikiranku sudah menjalar ke mana-mana. Apa yang dilakukan Diego? Ke mana dia sekarang? Mengapa dia menjual galeri ini?
Sambil terus menghubungi ponsel Diego, aku berjalan ke mobil untuk menuju rumah Bibi Yana. Di Indonesia, Diego hanya punya satu orang keluarga, Bibi Yana, adik ibunya. Diego tinggal di sana selama ini.
Kurang dari satu jam, aku sudah sampai di rumah sederhana berwarna biru itu. Aku memandang keadaan rumah yang sepi dari dalam mobil. Kelihatannya tidak ada orang, pintu tertutup, lampu belum dinyalakan meski sudah sore. Mobil Diego pun tidak terlihat parkir di garasi. Aku berusaha menenangkan diri kalau Diego mungkin saja keluar, dan alasan ia menjual galeri mungkin karena kesulitan keuangan.
Sebelum turun, aku mencoba menghubungi Diego lagi, tapi sia-sia. Dengan mengembuskan napas panjang, aku turun dari mobil, berjalan menuju rumah yang pekarangannya luas dan asri itu.
Seketika, kenangan bersama Diego hadir begitu saja. Kami sering duduk di bawah pohon ketapang di sudut halaman sana. Diego dengan canvasnya sedang menuangkan imajinasi dalam bentuk lukisan, dan aku duduk di sebelahnya sambil memerhatikan goresan-goresan yang diciptakannya.
Aku mencoba mengalihkan pikiran dari kenangan itu, rasanya menyakitkan kalau tahu tidak akan terulang lagi. Kenangan indah cepat berlalu bagaikan sore yang damai, tiba-tiba malam sudah datang menjelang. Aku berhenti tepat di depan pintu, ragu untuk mengetuknya. Entah kenapa, firasatku tidak enak.
Sambil mengenggam tangan, aku mencoba mengetuk pintu. "Bibi … Diego ….?" kataku dengan perasaan tidak menentu. Aku menunggu beberapa saat, tapi tidak ada jawaban. Aku coba memanggil lagi sambil mengetuk pintu agak keras. Baru ketukan ketiga kulihat pergerakan di dalam rumah. Tidak berapa lama, pintu terbuka.
"Vanya?" tanya Bibi Yana heran melihatku. "Ada apa ke sini?"
Aku mengerutkan kening mendengar pertanyaan Bibi yang demikian. Jadi maksudnya aku tidak ada urusan di sini? "Diego ada Bibi?" tanyaku berusaha bicara setenang mungkin.
"Lho, ada apa ini?" tanya Bibi Yana kaget. Ia memandangku dengan kening berkerut dan kepala menggeleng.
"Kenapa, Bi? Diego nggak apa-apa?" tanyaku semakin tidak mengerti setelah melihat reaksi Bibi Yana yang demikian.
"Sini kamu masuk dulu. Ini kok sampe seperti ini," kata Bibi Yana entah kepadaku atau mengomel pada diri sendiri. Aku pun melangkah masuk mengikuti Bibi Yana ke ruangan tamu sederhana itu. Tidak terlalu besar, tapi nyaman.
"Kamu mau minum?" tanya Bibi Yana setelah aku duduk.
Aku menggeleng. "Nggak usah repot-repot, Bi."
"Jadi kamu nggak dikasih tahu sama Diego?" tanya Bibi Yana ikut duduk di sebelahku.
"Dikasih tahu apa, Bi?" tanyaku cepat sambil berusaha meredakan jantungku yang tiba-tiba berdebar.
"Diego udah pergi," balas Bibi Yana lagi. Sekarang ia memandang wajahku secara terang-terangan.
"Pergi ke mana? Diego nggak pernah bilang kalo dia mau pergi. Tadi aku dari galeri dan sepertinya ada tulisan kalo galeri mau dijual."
"Seminggu yang lalu Diego kembali ke Spanyol," kata Bibi.
"Kok Diego nggak bilang?" tanyaku kaget. "Kapan pulangnya? Diego nggak lama kan di Spanyol?"
"Nah itu masalahnya, dia nggak bilang kapan akan pulang. Sepertinya akan pergi lama, soalnya dia jual galeri sama mobil. Ketika Bibi tanya, kenapa tiba-tiba kembali ke sana, dia tidak bilang apa-apa."
Seketika, perasaanku luluh lantak. Tidak tahu harus bagaimana. Diego benar-benar pergi dari hidupku. Lelaki yang kucintai telah pergi meninggalkanku. Aku hanya melepaskan tangannya sebentar, tapi ia sudah melangkah jauh dari sisiku.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Bibi Yana setelah melihat perubahan wajahku.
Aku mengangguk. "Bibi tahu alamat Diego di Spanyol?"
Bibi Yana tidak langsung menjawab, ia terlihat merenung. "Bibi tahunya alamat rumah yang lama. Kalau yang baru, tidak tahu, karena rumah di Spanyol udah dijual. Kemungkinan Diego juga akan tinggal di tempat yang baru."
"Boleh saya minta?" tanyaku penuh harap. Setidaknya, aku punya alamat dulu untuk mencari jejak keberadaan Diego.
Bibi Yana pergi ke ruangan kelurga, mengambil kertas dan pena, lalu menuliskan alamat rumah Diego yang lama. "Ini alamatnya. Nanti kalo Diego telepon, Bibi akan tanya dia tinggal di mana," kata Bibi Yana sambil menyerahkan kertas itu padaku.
"Diego udah hubungi Bibi selama di Spanyol?" tanyaku lagi sambil menerima kertas yang diberikan.
"Ada sekali, waktu dia baru sampai. Sekali itu aja. Bibi juga nunggu kabar darinya. Bagaimana di sana, udah dapat kerja, udah dapat tempat tinggal yang layak, tapi Diego belum kabari apa-apa. Padahal Bibi cemas sekali dia seorang diri di sana tanpa sanak famili."
"Diego pasti baik-baik saja, Bi. Jangan khawatir," kataku berusaha menenangkan. Aku tahu, Bibi Yana sudah menganggap Diego seperti anak kandungnya. Terlebih, perempuan parah baya itu tidak mempunyai anak. Diego satu-satunya keluarga yang dimilikinya. "Terima kasih Bi, aku harus balik dulu, udah sore juga," kataku berusaha mengakhiri pembicaraan.
"Kalian ada masalah?" tanya Bibi Yana tiba-tiba sebelum aku bangkit dari kursi.
Aku terdiam cukup lama. Bibi Yana hanya memandangku tanpa berkomentar apa-apa. Secara perlahan, aku mengangguk dan tiba-tiba air mataku menetes tanpa bisa ditahan. Bibi Yana langsung memeluk dan menenangkanku.
"Aku rindu Diego, Bi. Bilang padanya kalau aku minta maaf atas segalanya."