POV Alto
Hujan turun di penghujung sore itu, membawa udara segar dan sejuk setelah siang yang gerah. Aku turun dari mobil dan disambut gerimis yang mulai lebat. Sambil menutupi kepala dengan tangan, aku berlari dari parkiran menuju dalam kafe. Udara hangat dan bau kopi segera menguar dari dalam ketika aku melangkah masuk. Seperti biasa, kafe Triad tidak pernah sepi. Malahan aku dengar dalam minggu ini Triad buka cabang lagi di beberapa kota.
"Akhirnya, pengantin baru datang juga," sindir Triad ketika melihatku menuju ke arahnya.
Aku memandang sekeliling. "Sialan, lu! Mana suaranya nggak dikontrol, lagi!" kataku sambil melepaskan blazer, lalu mengempas tubuh ke kursi.
"Gimana rasanya menikah dua kali dalam satu bulan?" tanya Triad semakin menjadi-jadi.
Aku membaca buku menu. Mengabaikan Triad. Kalau ditanggapi, makin menjadi-jadi. Aku sudah tahu kebiasaannya sejak dulu.
"Kok bisa, ya, lu nikahin dua cewek dalam satu bulan?" tanya Triad lagi sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Aku menyandarkan tubuh pada kursi sambil mengusap-usap wajah dengan kedua tangan. "Nikah gua sama Vanya batal," kataku sambil memandang Triad.
Mulut Triad ternganga selama beberapa saat. "Kok, bisa?"
"Sebenarnya bukan batal, cuma ditunda aja," koreksi sambil mengeluarkan ponsel dari saku blazer. Aku mau mengabari Vanya kalau sudah membatalkan hotel, meski kami harus membayar kompensasi cukup besar karena pembatalan itu.
"Jangan bilang lu ketahuan sama Vanya." Triad memandangku penuh selidik.
"Gue bilang sendiri malah."
"Gila, lu! Trus reaksi Vanya gimana?" Jiwa kepo Triad seketika menggebu-gebu. Dikiranya kisah percintaanku hal yang menarik apa? Kalau saja Triad tidak jadi pengusaha, mungkin ia sudah jadi admin akun gosip di instagram.
"Biasa aja," balasku sambil mengetikkan pesan.
"Ha?" Triad semakin penasaran. Ia menarik kursinya agar lebih dekat.
Aku pun menceritakan semuanya agar Triad menggangguku lagi. Kalau tidak, ia pasti akan bertanya terus sepanjang waktu. Ketika selesai bercerita, pelayan datang, aku memesan macchiato dan nachos sebagai camilan.
"Jadi gimana menurut lo masalah ini?" tanyaku meminta pendapat.
"Ya, lebih baik lo tunda aja dulu. Lagian sama Ariana juga belum jelas. Kalo semuanya udah jelas, baru lu ambil langkah berikutnya. Gue takutnya masalah Ariana akan menjalar ke mana-mana," kata Triad sambil memulai nasihat-nasihat darinya yang sering tidak kuperlukan.
Sebenarnya, ketika aku hendak menikahi Ariana, Triad paling keras menentang keputusanku. Ia sangat yakin kalau semua ini hanya permainan Ariana. Aku juga merasa seperti itu. Hanya saja, aku tidak bisa membiarkan Ariana menyakiti bayi itu, meski bukan anakku sekalipun.
"Lu yakin mau nikahi Ariana?" tanya Triad waktu itu. Ia yang hendak menyuap makanan, tidak jadi. "Pikir-pikir lagi, deh. Ini soal menikah lho, bukan pacaran, apalagi one night stand."
"Ya …, gue harus nikahi Ariana secepatnya," jawabku sambil terus memainkan ponsel. "Mungkin keputusan ini nggak tepat, tapi hanya ini satu-satunya."
Triad mengelap mulutnya dengan serbet. "Lu nggak merasa aneh dengan sikap Ariana? Gua liat dia cuma bersandiwara. Lu jangan terlalu bodoh deh, udah jelas tu cewek kayak ular. Masalah lu ngehamilin dia aja belum jelas, sekarang malah minta dinikahi."
"Gue ngerasa janggal juga, kok. Bukan lu aja. Hanya saja, gue mikirin bayinya. Takut bayinya kenapa-kenapa."
"Bukannya semuanya belum jelas kalau itu anak lo atau bukan?" kata Triad agak sedikit menaikkan suaranya.
"Meski itu anak gua atau anak orang lain, tapi itu tetap punya nyawa. Sebuah nyawa, sangat berharga meski hanya dalam bentuk janin. Lu tahu sendiri, gue paling benci orang yang menelantarkan anaknya sendiri," jelasku agar Triad paham alasan aku menikahi Ariana.
Triad tahu kalau aku sangat benci kepada kedua orang tuaku yang tidak pernah kutahu wajahnya. Mereka meninggalkanku di panti asuhan hanya beralaskan selembar selimut usang. Jika aku menelantarkan Ariana dan bayinya, rasanya aku mengulang perilaku orang tuaku. Ibarat menjilat ludah sendiri, aku yang paling benci terhadap perbuatan itu, malah aku sendiri yang melakukannya.
Biarlah aku bertanggung jawab terhadap bayi dalam kandungan Ariana. Meski bukan anakku sekalipun. Aku tidak ingin yang kualami, juga dialami bayi itu. Bayi itu tidak akan mengulang nasib sama yang terjadi di hidupku.
Aku tidak sadar sudah melamun, ketika Triad menyenggol lenganku saat pelayanan mengantar makanan, baru aku mengerjapkan mata. Aku memandang sekeliling dengan cepat.
"Ngelamun aja lu, nanti kesurupan," kata Triad. "Tapi jangan kesurupan di sini, nanti ganggu bisnis gue dan nggak mau lagi pelanggan datang."
Aku tertawa mendengar lelucon Triad yang garing.
Baru saja aku menyesap macchiato yang disajikan, pandanganku teralih pada lelaki jangkung yang berjalan ke meja kami. Triad berdiri dengan wajah tersenyum lebar menyambut lelaki itu. Aku hanya memasang wajah malas harus bertemu manusia itu di sini.
"Hei, Alto. Apa kabar? Udah lama nggak ketemu, ya …," kata Pieter van Vollenhoven.
Aku memandang lelaki setengah Indonesia setengah Belanda itu dengan wajah datar. Entah mimpi apa aku semalam, kenapa harus ketemu sama bunglon ini. "Oh, apa kabar," jawabku sambil terus menikmati macchiato. Sejak di bangku sekolah, aku memang tidak bisa akur dengan pria setengah bule yang sok kece ini.
"Kudengar kau akan menikah dengan Vanya, ya?" kata Pieter lagi dengan logat-logat sok bule. Padahal sepanjang hidupnya, ia tinggal di Indonesia.
Aku memutar wajah dan memandangnya dengan tajam. Aku menunggu ucapan yang keluar selanjutnya. Ia tidak akan berhenti sampai di situ. Aku sudah tahu sejak dulu.
Pieter tersenyum mengejek. "Selamat ya, kamu berhasil menikahi Vanya," kata Pieter dengan ekspresi yang membuatku ingin menonjok wajahnya. "Ya, meskipun aku orang pertama yang membuat Vanya jatuh cinta dan mencicipinya. Sejak dulu, kau tidak pernah berubah, masih suka dengan bekas-bekasku."
Seketika, darahku naik ke ubun-ubun, aku berdiri dan menggebrak meja. Aku mendorong tubuh Pieter hingga terjajar beberapa langkah ke belakang. "Apa mau maksud kau, bangsat!" raungku. Aku memang tidak mencintai Vanya, tapi jika calon istriku direndahkan, aku tidak akan diam begitu saja.
Melihat aku yang lepas kendali, wajah Pieter langsung ciut. Namun, aku tidak akan berhenti sampai di situ. Aku berjalan menuju Pieter hendak menghajar lelaki jahanam itu. Tiba-tiba Triad mencegat langkahku dan mendorong dadaku kuat-kuat.
"Jika lo masih hargai gue sebagai teman, lo berhenti sekarang!" desis Triad sambil menahanku agar tidak mendekati Pieter yang tersudut ke dinding. Sementara para pelangan beringsut menjauh, sebagian malah sudah kabur keluar.
"Gue harus kasih pelajaran sama si bangsat itu! Sejak dulu gue tahan-tahan! Sekarang gue nggak bisa nahan lagi ketika dia ngehina calon istri gue!" Amarahku masih naik ke ubun-ubun. Rasanya perlu dilampiaskan agar reda.
"Alto, tolong! Lu jangan bikin keributan lebih lanjut! Hargai gue sebagai tuan rumah di sini!" Triad menakankan satu per satu katanya.
Aku memandang Triad yang memasang wajah memohon. Seketika aku sadar sudah lepas kendali, aku mencoba mengambil napas agar amarahku sedikit reda. Tapi rasanya sulit sekali, apalagi ketika melihat wajah bangsat itu.
Triad menarikku menuju ruangan kerjanya agar terhindar dari pandangan orang-orang. Sementara Pieter langsung keluar kafe. Namun, sebelum pergi, mataku dan mata Pieter bertemu. Pandangan kami mengisyaratkan kalau masalah ini belum selesai.