Pov Vanya
Aku sedang memasukkan barang-barang untuk dibawa ke Barcelona ketika Papa masuk ke kamarku. Aku yang sedang memasukkan baju, langsung menghentikan kegiatan ketika melihat Papa berdiri dan memandangku dengan wajah yang sulit diartikan.
"Papa," sapaku sambil berjalan mendekat. Aku berusaha bersikap setenang mungkin, meskipun yakin akan gagal. Aku tidak ahli berbohong seperti itu. Tapi udah berhasil sedikit-sedikit bagaimana mengontrol situasi.
"Kamu yakin akan pergi sendiri?" tanya Papa sembari duduk di kasur.
Aku mengangguk. "Iya, Pa."
Kemarin malam aku sudah bilang kepada Papa akan pergi ke Bercelona. Papa tidak setuju karena terkesan mendadak dan mengada-ada. Papa beranggapan kalau aku pergi ke luar negeri hanya untuk mencari alasan agar tidak melanjutkan pernikahan. Namun, setelah aku meyakinkan Papa dan akan melanjutkan pernikahan sepulang dari Barcelona, Papa akan mempetimbangkan untuk memberi izin.
Papa memandangku lebih serius. "Kenapa kamu tiba-tiba ingin pergi? Papa nggak habis pikir, kamu tiba-tiba batalin pernikahan lalu ingin ke luar negeri. Coba cerita sama Papa, apa yang sebenarnya terjadi?" Papa masih penasaran dengan sikapku yang demikian.
"Nggak ada apa-apa, Pa," kataku berbohong. Aku tidak tahu bagaimana meyakinkan Papa tentang kepergianku ini. Mungkin kalau ada Alto di sini, ia bisa meyakinkan Papa. Tapi kenapa aku tiba-tiba ingat Alto? Aku segera membuyarkan harapanku. Alto sekarang pasti sedang bahagia dengan istrinya. Sial!
Rasanya tidak rela calon suamiku sedang berbahagia dengan wanita yang dicintainya. Meskipun aku tahu tidak ada perasaan sama sekali kepada laki-laki itu. Sesuatu yang kumiliki, meskipun tidak suka, aku tidak ingin berbagi dengan orang lain. Tidak, aku benci itu.
"Alto yang kasih ide batalin pernikahan ini?" tanya Papa tiba-tiba dan membuyarkan lamunanku tentang Alto.
Aku gelagapan menjawab. "Bu—Bukan, Pa. Vanya pergi ke luar negeri murni keputusan sendiri. Nggak ada paksaan dan suruhan siapa pun, apalagi Alto. Vanya ingin lakuin perjalanan dulu seorang diri sebelum terikat dengan orang lain," jelasku sembari duduk di sebelah Papa.
"Bukannya sesudah menikah lebih bagus? Kalian bisa ke luar negeri sambil berbulan madu. Kalo perginya sekarang malah aneh. Seperti menyembunyikan sesuatu," sahut Papa sambil memandangku lebih dekat.
Aku menahan napas, pandangan Papa mengintimidasi. "Rasanya akan beda, Pa," jawabku mencoba mencari alasan, tapi tidak kutemukan alasan yang tepat. "Pokoknya, sebelum aku menjadi istri siapa pun, aku ingin melakukan perjalanan ini seorang diri."
"Ini bukan karena dia, kan?" tanya Papa memandangku tajam.
Rasanya darahku membeku ketika pandangan Papa terhujam padaku. Aku langsung ingat kemarahan Papa ketika Diego datang menemui Papa beberapa bulan lalu. "Dia siapa, Pa?" tanyaku pura-pura tidak mengerti.
"Lelaki yang datang kepadaku dan meminta putriku satu-satunya untuk menjadi miliknya," kata Papa yang masih memerlihatkan ekspresi tidak suka ketika mengingat Diego. "Dasar manusia lancang dan nggak tahu tempatnya!"
"Vanya nggak akan lama, kok," kataku berusaha menenangkan Papa dan berusaha mengganti topik pembicaraan. Entah kenapa, aura Papa begitu menyeramkan ketika marah.
Tiba-tiba Papa mengusap puncak kepalaku. "Papa tahu, kamu bisa jaga diri. Papa bolehin kamu pergi, tapi kalo ada apa-apa, langsung hubungi Papa, ya?"
Aku mengangguk dan agak bingung kenapa Papa memberi izin dengan sangat mudah. Padahal semalam, aku yakin tidak akan diizinkan pergi. Ya, meskipun Papa tidak memberi izin, aku akan tetap pergi diam-diam. Ada sesuatu kah yang sudah kulewatkan? Kenapa Papa bersikap demikian? Beberapa hari kemudian baru aku tahu kenapa Papa melepasku pergi dengan begitu mudah.
"Kamu udah siapin dokumen perjalanan?" tanya Papa lagi.
"Udah semuanya. Tinggal berangkat aja." Aku berusaha bersikap seceria mungkin karena kulihat wajah Papa kembali muram. Aku tahu, sejak kepergian Mama, Papa begitu takut kehilanganku.
"Besok Papa antar ke bandara, ya?" pinta Papa.
"Nggak usah, Pa. Biar diantar Pak Karman aja," balasku berusaha menolak merepotkan Papa.
"Yakin?" tanya Papa penuh selidik.
"Udah dong, Pa. Jangan perlakuin aku seperti anak kecil. Sebentar lagi aku akan menikah, lho," kataku memperingati Papa. Aku kadang tidak suka sikap Papa yang demikian. Masih menganggapku gadis kecil yang tidak bisa apa-apa.
"Ya udah kalo begitu." Papa bangkit dan berjalan menuju pintu. Sebelum keluar, Papa berhenti dan membalikkan tubuh. "Nanti kalo kamu berubah pikiran dan nggak jadi pergi, hubungi Papa secepatnya."
Aku tidak menjawab, hanya diam terpaku. Entah kenapa, kata-kata Papa mengingatkanku pada kejadian bertahun-tahun silam. Ketika Mama akan pergi ke Jepang dan pesawatnya mengalami kecelakaan. Waktu itu Papa menahan Mama juga untuk pergi. Meski begitu, Mama tetap pergi dan kecelakaan itu terjadi.
Aku berjalan menuju Papa dan mememeluknya. "Vanya janji, Vanya akan kembali dan nggak akan ninggalin Papa seorang diri. Papa harus percaya itu."
Papa tidak menjawab, ia hanya mengangguk sambil memandangku, lalu melangkah ke luar. Aku tahu, Papa tidak pernah mau menangis di depanku. Papa selalu berusaha bersikap tegar, walaupun aku tahu kadang ia menangis seorang diri merindukan Mama.
***
Aku memandang ke luar jendela mobil dengan perasaan bersalah. Aku sudah membohongi Papa pergi ke Barcelona untuk menemui Diego. Sebelum pergi tadi, Papa masih berusaha membujukku untuk berubah pikiran. Namun, pikiranku sudah bulat. Aku akan pergi untuk menyelesaikan ini. Aku tidak mau hubunganku dengan Diego berakhir dengan cara seperti ini. Aku harus menuntaskannya.
Ketika Pak Karman menurunkan koper dan berpamitan padaku, aku hanya mengangguk sekilas, lalu berjalan seperti orang bingung menuju pintu keberangkatan. Aku masih melamun ketika check in dan masih melamun ketika antri untuk pemeriksaan imigrasi. Sehingga orang di belakang menyandarku.
"Mbak, jangan ngelamun terus."
Aku terkesiap kaget ketika mendengar suara itu. Segera kubalikkan tubuh untuk memandang orang yang barusan bicara. Orang itu mengenakan kemeja putih, celana hitam, dan jaket bomber yang senada dengan celana. Ia tersenyum ke arahku dan aku tidak bisa berkata-kata saking kagetnya.
"Alto?