POV Alto
"Lepaskan topengmu, makan kulepaskan juga topengku!" kataku memandang Vanya. Gadis itu terlihat kaget ketika aku mengatakan itu.
"Apa maksudmu," tanyanya setelah beberapa kali helaan napas.
"Nggak pura-pura lagi. Kamu dan aku sama-sama tahu, bahwa kita sedang bersandiwara," jelasku. "Sejak di kafe tadi kulihat kamu terus melamun. Sepertinya ada masalah. Apa tentang Diego?" Aku mengaati ekspresi wajah Vanya ketika menyebutkan nama itu.
"Diego? Kamu tahu dari mana?" tanya Vanya kaget.
Aku tersenyum. "Aku udah tahu. Makanya nggak perlu bersandiwara lagi. Aku ingin kita sama-sama jelas sebelum pernikahan ini terjadi. Agar nggak ada lagi yang kita tutupi. Sebenarnya, aku juga mau mengatakan sesuatu," kataku agak sedikit ragu.
Vanya memandangku. "Apa tentang si Sund …, maksudku, Ariana?" tebak Vanya.
Sekarang aku yang terkejut. "Kau tahu tentang Ariana?"
Vanya sedikit tersenyum. "Jika kamu menyelidiki kehidupanku, tidak menutup juga kemungkinan aku menyelidiki kehidupanmu. Anggap aja impas."
Aku tertawa. "Oke, karena sekarang udah sama-sama tahu, mungkin ini akan lebih cepat. Aku tahu, kamu juga nggak nyaman dengan pernikahan ini, sepertinya halnya aku, tapi karena paksaan orang tua kita, mau nggak mau, akhirnya dilakukan juga. Padahal kita mempunyai kehidupan masing-masing sebelumnya."
Vanya diam mendengarkan.
"Vanya," kataku sambil memandangnya serius. "Sebelum kita menikah, aku mau bilang sesuatu yang serius. Aku nggak mau kamu tahu dari orang lain. Apalagi, kamu tahunya setelah menikah."
Vanya terus memandangku.
Aku menarik napas panjang sambil mencari kata yang tepat. Namun, otakku sepertinya berhenti bekerja. Setelah beberapa helaan napas, baru aku membuka suara. "Ariana hamil dan kami baru saja menikah."
Vanya memandangku dengan tajam. Mulutnya bergerak, tapi tidak ada suara yang keluar. Aku hanya menunduk. Membiarkan apa pun terjadi. Seandainya ia menampar dan mencaci maki sekalipun, aku akan terima. Pada kenyataannya, aku yang salah. Aku tidak akan melakukan pembelaan apa pun mengenai ini. Dilihat dari sudut pandang mana pun, tentu aku yang salah. Aku tidak akan melakukan pembenaran dan menyalahkan keadaan.
Kediaman Vanya membuatku semakin bersalah. Seandainya ia marah dan mengeluarkan kata-kata cacian, malah akan lebih baik. Kediaman seperti ini membuat semuanya jadi semakin rumit.
Vanya menyandarkan tubuhnya pada jok mobil. Menutup mata perlahan, lalu membukanya lagi. "Mau gimana lagi, semua udah terjadi. Ya, sudah, lah" kata Vanya.
Aku memandang Vanya. Menunggu apa yang akan diucapkan selanjutnya. Tapi tidak ada lagi yang dikatakannya. Hanya itu? Hanya kata seperti itu keluar dari mulutnya? Jauh sekali dengan perkiraanku. Vanya yang bersikap kekanakan, kenapa begitu tenang mendengar berita seperti ini. Calon suaminya baru saja menikah dengan wanita lain.
"Aku hanya minta satu syarat, jika kita menikah, jangan temui dia lagi," kata Vanya setelah kami cukup lama terdiam.
"Kamu nggak marah?" Aku bertanya hati-hati sambil mengamati ekspresi wajahnya.
Vanya tertawa. "Untuk apa? Pada kenyatannya, kita hanya dua orang asing. Aku nggak berhak nyalahin kamu, karena aku juga nggak sepenuhnya benar. Aku juga mempunyai orang yang kucintai di hidupku, seperti halnya dirimu. Aku nggak mungkin menghalangi cintamu dan Ariana."
"Terima kasih atas pengertiannya. Aku nggak nyangka reaksimu akan seperti ini," kataku dengan jujur. Ternyata Vanya lebih dewasa dari perkiraanku.
"Kamu kira aku akan marah-marah dan menangis? Lalu mengadu kepada Papa? Aku emang bersikap manja dan kekanakan, tapi itu hanya sandiwara. Asal kamu tahu, Alto, aku hidup mandiri sejak remaja. Ketika Mama pergi, semuanya harus kutangani sendiri. Apalagi saat Papa jarang pulang dan di sisiku. Aku harus lewati berbagai masalah hanya ngandalin diri sendiri."
Aku tidak berkomentar apa-apa. Baru kali ini aku tahu kehidupan pribadinya, kecuali tentang Diego. Soal Diego, aku tahu dari Triad, karena mereka berteman. Aku juga pernah bertemu Diego beberapa kali dalam suatu project. "Apakah pernikahan ini akan bertahan? Aku takut, cepat atau lambat, semua akan terbongkar," kataku sambil menghidupkan mobil.
"Entahlah," jawab Vanya. "Aku juga gamang mikirin hari esok. Pernikahan yang seharusnya suci dan sakral, menjadi sandiwara semata. Aku takut, kita akan dapat karma atas kebohongan yang telah kita lakukan. Apalagi berbohong kepada kedua orang tua." Wajah Vanya tampak sedih ketika mengatakan itu.
"Semoga aja," jawabku sambil memikirkan hari-hari berat yang akan dilalui nanti.
"Alto," kata Vanya sambil memandang wajahku. "Bisakah kita menunda pernikahan ini?"
Aku memutar wajah dengan cepat. "Menundanya? Bukankah tinggal beberapa hari lagi sebelum hari H? Kenapa mendadak seperti ini?"
"Aku tahu, tapi aku hanya ingin menyelesaikan masalah ini sebelum menikah. Aku nggak tenang sebelum masalah ini selesai sampai hari pernikahan tiba."
"Ada apa?" tanyaku.
"Diego pergi ke Spanyol. Aku tahu, dia pergi karena kesalahanku. Aku hanya ingin menjelaskan semuanya pada Diego sebelum menikah. Aku nggak mau kami berpisah seperti ini." Vanya berhenti sesaat sebelum melanjutkan ucapannya. "Oleh karena itu, aku harus pergi ke Spanyol untuk menuntaskan masalah ini."
"Apa yang kamu lakukan setelah bertemu dengannya?" Aku menunjukkan wajah tidak suka. Entah kenapa, membayangkan Vanya pergi ke Spanyol menemui kekasihnya, ada satu bentuk perasaan yang tidak aku kenali. Bukan cemburu, tapi perasaan lain.
"Aku hanya memintanya untuk lepasin aku secara baik-baik. Bukan melarikan diri seperti ini. Aku nggak mintanya untuk menunggu, aku tahu diri, kok. Lebih baik dia cari pengganti yang lebih baik." Vanya memandangku cukup lama. "Jadi, bisakah kita menundanya untuk satu atau dua bulan aja?"
Aku mengusap kepala dengan kedua tangan. "Entahlah, karena yang kita hadapi di sini kedua orang tua kita. Ini pasti akan sulit. Meski begitu, aku akan membantu sebisaku."
"Terima kasih," jawab Vanya sambil menggenggam tanganku.
Aku hanya diam. Entah kenapa, sentuhan Vanya kali ini terasa tulus. Tidak seperti sandiwara yang sering dilakukannya