POV Vanya
"Apa maksud kalian?" tanya Papa dengan wajah memerah. Ia terlihat marah sekali ketika aku mengutarakan akan menunda pernikahan.
"Kami mau menunda pernikahan ini hanya untuk beberapa bulan aja, Om." Alto bicara tenang.
"Tapi kalian tidak bisa menundak seenaknya begitu saja." Sekarang Om Broto yang bicara. "Apa yang akan diberitakan media dan dibicarakan orang-orang. Kita udah terlanjur menyebar informasi kalau kalian akan menikah. Kalau mendadak batal seperti ini, akan muncul banyak tuduhan yang nggak beralasan."
Setelah percakapan kemarin, aku dan Alto sepakat untuk menunda pernikahan. Hari ini, kami mengajak para orang tua untuk berkumpul di kafe kemarin untuk membahas masalah ini. Aku sudah menduga akan begini reaksi mereka, tapi tetap saja membuatku gugup.
"Apalagi kalian membatalkannya secara mendadak seperti ini. Di minggu akan diadakan resepsi. Gedung, undangan, dan segala macamnya gimana?" Papa memandang aku dan Alto bergantian.
"Untuk urusan gedung dan sebagainya bisa ditunda, Pa. Dan mengenai undangan, sebenarnya kami belum sebar dulu. Kami bukan membatalkan, tapi menunda, jadi terserah orang berkomentar apa, karena kita yang jalani," jelasku kepada Papa dan Om Broto. Mereka hanya memandangku dengan kening berkerut.
Om Broto menyesap teh jeruk nipis sebelum bicara. "Apa alasan kalian tiba-tiba menunda pernikahan ini?" Om Broto langsung bertanya pada inti pertanyaannya. Ia memandangku penuh selidik, lalu memandang Alto.
Aku memutar wajah ke arah Alto.
"Kau selingkuh, Alto?" tanya Om Broto pada anaknya.
Alto menggigit kentang goreng dengan lahap. "Selingkuh apanya? Papa, ada-ada aja," jawab Alto cepat tanpa mengubah ekspresi wajahnya. Aku patut mengacungkan jempol untuk ketenangan Alto menjawab itu. Malah ia menjawab sembari makan seperti itu.
"Lalu, apa kamu Vanya, punya cowok lain?" Sekarang mata Om Broto beralih padaku.
Aku yang hendak menuangkan gula cair ke dalam minuman, langsung tidak jadi. "Engga. Itu nggak mungkin, Om," jawabku agak terburu-buru. Papa hanya memandangku dengan tajam. Ia pasti ingat Diego yang datang padanya untuk melamarku beberapa minggu lalu.
"Kalau begitu, apa alasannya?" tanya Om Broto sambil menyandarkan tubuh pada kursi.
Aku mengembus napas. Entah kenapa, rasanya seperti disidang. "Kami hanya butuh waktu, Om. Rasanya terlalu tergesa-gesa aja pernikahan ini. Kami ingin melakukan persiapan dengan sempurna dahulu."
"Tergesa-gesa gimana?" Papa menyela. "Papa udah siapin semuanya secara matang."
"Kami butuh saling mengenal lebih dalam lagi. Orang tua mana tahu yang seperti itu. Mereka Cuma tahu dijodohkan seperti zaman Situ Nurbaya," jawab Alto berusaha mencairkan suasana.
Aku bernapas sedikit lega, karena Alto yang menjawab. Aku sendiri tidak yakin akan menjawab apa. Kalau aku sendiri saja menghadapi ini, pasti sudah selesai. Semua pasti akan terbongkar karena aku tidak terlalu lihai berbohong.
"Kalian kan emang dijodohkan?" jawab Papa tepat sasaran. Aku memandang wajah Alto untuk melihat reaksinya. Aku kaget ketika Alto tersenyum. Kukira dia akan panik mendengar perkataan Papa.
"Kami memang dijodohkan, tapi kami tidak mau menikah tanpa cinta. Makanya kami butuh waktu menumbuhkan rasa itu," jawab Alto penuh penekanan.
"Jadi, waktu selama ini nggak cukup buat kalian?" tanya Papa memastikan.
Kami serentak menggeleng. "Aku perlu mengenal Alto lebih dalam lagi, Pa, Om."
Papa mengerutkan kening sambil memajukan tubuhnya. "Tidak ada yang kalian sembunyikan?"
"Atau jangan-jangan kamu hamilin anak orang, Al?" tebak Om Broto yang sialnya, tepat sasaran.
"Astaga, Om, kenapa nuduh anak sendiri seperti itu?" jawabku kaget. Dan lebih kaget lagi aku membela Alto.
"Om hanya menguji, untuk melihat reaksi Alto," jawab Om Broto sambil memandang anaknya. Pasti reaksiku terlihat berlebihan di mata Om Broto.
Ketika kulirik Alto, malah ia tidak peduli mendengar ucapan papanya. Ia sibuk mencolek kentang goreng dengan mayones. "Biarin aja, Sayang. Papa emang suka berkhayal yang bukan-bukan. Aku udah kebal dengan tuduhannya yang nggak beralasan sejak dulu. Bagusnya ia jadi penulis daripada pengusaha."
"Jadi gimana, Pa, Om? Kami boleh menundanya untuk beberapa bulan?" tanyaku lagi untuk memastikan kalau kami mendapat izin. Papa dan Om Broto tidak langsung menjawab. Mereka saling pandang, seperti meminta pendapat satu sama lain.
"Sebenarnya Papa tidak setuju ini, Nak," kata Papa dengan raut wajah lelah memandangku. Sekita hatiku terasa perih telah membohongi Papa. "Meski begitu, pernikahan ini kalian yang jalani, jadi Papa serahkan aja padamu. Seandainya kami nggak setuju pun, kalian pasti akan menundanya. Kami bisa melihat kemantapan hati kalian untuk itu."
Aku hanya menunduk mendengar ucapan Papa. Sementara Alto mendengarkan dengan sungguh-sungguh.
"Kami juga merasa kalau hubungan kalian ini terlalu dipaksakan. Ini pasti berat untuk untuk kalian. Kami tahu itu. Kami tidak akan memberatkan kalian dengan memburu pernikahan. Kami akan menunggu sampai kalian siap, tapi jangan terlalu lama." Papa memandangku sambil tersenyum. Seketika hatiku terasa lebih ringan.
"Tapi kalian harus ingat satu hal," sela Om Broto.
"Apa, Om?" tanyaku dengan kening berkerut.
"Jangan coba-coba untuk membatalkan pernikahan ini dan mencoreng nama baik keluarga!" Om Broto memandangku dan Alto secara bergantian. Jelas sekali ia sedang mengancam kami. Seketika, ruangan kafe yang ramai, terasa sunyi bagiku. Entah kenapa, pandangan Om Broto tidak main-main. Aku ngeri membayangkan kalau ketahuan, bahwa pernikahan kami hanya sandiwara.