POV Vanya
"Gimana persiapannya?" tanya Om Broto sambil meletakkan cangkir teh yang dipegangnya, lalu menyandarkan tubuh ke kursi.
Aku tersenyum. "Hampir selesai, Om. Tinggal beresin yang kecil-kecil aja," jawabku setenang mungkin.
"Undangan udah disebar?" Sekarang Papa yang bertanya.
"Belom, Pa. Sebentar lagi, masih ada yang perlu diselesain. Takutnya ada yang belum masih list tamu undangan," jawabku semakin tidak sabaran. Rasanya seperti diintrogasi sejak tadi, mereka menanyakan ini itu. Aku harus menjawabnya dengan sabar dan memasang wajah ceria.
"Kok belum juga? Nanti kececer dan nggak sempat gimana? Tinggal seminggu lagi resepsinya, lho," jawab Papa lagi.
"Iya, Pa. Besok akan disebar," balasku sambil memandang pintu kafe. Berharap Alto datang. Setidaknya, pertanyaan Papa dan Om Broto tidak selalu tertuju padaku. Alto setidaknya bisa membantu menjawab pertanyaan yang diajukan.
"Kamu udah telepon Al kalo kita ketemu di kafe ini?" tanya Om Broto lagi setelah mengajukan beberapa pertanyaan yang tidak penting seputar pernikahan.
"Udah, Om. Katanya lagi di jalan. Sebentar lagi sampai." Aku memandang layar ponsel. Berharap Alto muncul. Aku sudah lelah menghadapi pertanyaan dua bapak-bapak ini.
Beberapa menit kemudian, Alto datang dengan pakai kasual, baju putih polos, kemeja denim, celana chinos, dan sneaker putih. Alto terlihat tampan, harus kuakui. Kukira ia memakai pakaian kerja. Ternyata ia pulang dulu, makanya lama. Pasti ia sengaja mengulur waktu biar pertanyaan-pertanyaan tertuju padaku.
"Kok lama, amat, Sayang?" tanyaku sambil memandang wajah Alto dengan cemburut.
Alto tersenyum. "Tadi aku pulang dulu sebentar," katanya mengedipkan sebelah mata.
"Maaf Al telat Pa, Om." Alto mencium tangan papaku dan papanya secara bergantian. "Maaf, kalo aku telat, ya Sayang," kata Alto kemudian sambil mengacak-acak rambutku.
Aku pura-pura memasang wajah cemburut. "Pasti kamu sengaja, 'kan? Kamu tahu, rasanya aku seperti diintrogasi sejak tadi!"
Alto semakin melebarkan senyumannya, lalu duduk di sebelahku. Sementara Papa dan Om Broto hanya tersenyum melihat kami. Sepertinya mereka senang sekali melihat kami. Kalo seandainya mereka tahu, bahwa kami hanya bersandiwara, aku tidak tahu apa yang akan terjadi.
"Vanya emang sering ngambuk seperti ini, ya, Om?" tanya Alto sambil tersenyum.
"Bukan lagi. Kalo di rumah lebih parah," kata Papa dengan disambut gelak tawanya.
Aku memasang wajah semakin cemberut. "Papa, jangan bongkar-bongkar. Malu sama calon mertua," kataku sambil melirik Om Broto di sebelah Papa yang sedang tersenyum.
"Nggak apa-apa, Vanya. Alto di rumah juga masih seperti bocah, kok. Masih suka disuapin mamanya," jawab Om Broto.
"Itu tiga tahun yang lalu, Pa." Alto sepertinya tidak terima. Ia melirikku yang baru saja tertawa membayangkan Alto yang manja pada mamanya.
Pertemuan itu berakhir dengan membongkar aib masing-masing. Percakapan begitu seru dan penuh gelak tawa, sehingga aku dan Alto lupa bahwa kami sedang bersandiwara. Seakan lupa bahwa kami memiliki kehidupan masing-masing. Meski aku lebih sering memasang wajah cemberut, dalam hati aku merasa senang ketika melihat senyum lepas Papa. Sudah lama sekali Papa tidak tertawa seperti itu, sejak kepergian Mama. Seakan senyum Papa dibawa Mama pergi ke alam sana.
"Jadi, gimana?" tanya Papa sambil memandang wajah Om Broto ingin tahu. Mereka sedang membahas pertamakali Alto merokok dan ketahuan oleh mamanya.
"Ya, gitu, Al yang sedang merokok di kamar mandi langsung terkejut. Ia tidak sempat menghilangkan asap rokok saat pintu kamar mandi terbuka. Kau tahu bagaimana reaksi istriku?" kata Om Broto bersemangat.
"Gimana?" balas Papa tidak sabar.
"Istriku ngomel panjang lebar seharian. Kau tahu sendiri, melihatku merokok aja udah membuatnya ngomel, apalagi lihat Al yang waktu itu masih SMA ketahuan merokok. Rumah seperti neraka karena omelannya, sampai-sampai aku yang hanya diam, juga kena imbasnya karena secara tidak langsung mengajari Al merokok. Begitu yang dituduhkan padaku."
Kedua orang tua itu tertawa. Seakan lupa dengan umur. Mereka selalu seperti itu ketika sudah berjumpa. Merasa masih muda seperti zaman sekolah dahulu. Padahal rambut keduanya sudah mulai menipis dan memutih.
"Udah dong, Pa. Jangan diungkit-ungkit lagi. Waktu itu kan masa pubertas, ingin coba hal-hal baru," jawab Alto pasrah, karena tidak berhasil menghentikan ocehan kedua orang tua itu.
Percakapan semakin berlanjut, sementara aku hanya diam. Pikiranku kembali pada Diego. Aku masih belum dapat kabar apa-apa mengenainya. Bibi Yana pun tidak. Aku cemas sekali mengenai Diego, ingin sekali aku menyusul ke Spanyol, tapi pernikahan ini tidak bisa kutinggalkan begitu saja.
"Sayang ... Sayang … kok ngelamun aja?" Alto menyenggol tanganku.
"Eh, ada apa?" tanyaku kaget.
"Kamu nggak apa-apa, Sayang?" tanya Alto khawatir.
Aku menggeleng sambil berusaha tersenyum. "Aku nggak apa-apa. Emang ada apa?"
"Itu papamu nanya, kamu mau pulangnya bareng aku? Soalnya papamu dan papaku mau bertemu klien dahulu. Ada beberapa hal penting yang perlu mereka bahasa," kata Alto menjelaskan.
"Ya udah, aku sama kamu aja," jawabku singkat. Aku tidak tahu kalau pembahasan mereka udah berganti. Kukira masih membahasa nostalgia masa lalu. Aku tidak sadar sudah berapa lama melamunkan Diego, kukira hanya beberapa detik. Tapi setelah melihat wajah Papa dan Om Broto yang hanya memandangku tanpa berkomentar apa-apa, aku tahu, bahwa ada yang salah dengan wajahku.
Keadaan berubah agak canggung. Tidak ada yang bicara. Hingga Papa mendeham dan membuka pembicaraan. "Alto," ucap Papa yang berubah serius. "Om mau ngomong sesuatu sama kamu."
"Ya, Om," balas Alto memandang wajah Papa.
"Titip Vanya. Kamu jangan sakiti hatinya. Dia tidak punya siapa-siapa lagi. Hanya kamu yang dia punya," ucap Papa yang seketika wajahnya tampak lelah. Hatiku terasa hancur melihat Papa demikian. Setidaknya, di hari tuanya aku hanya ingin membahagiakan Papa.
Alto mengangguk singkat. "Pasti, Om. Saya akan jaga Vanya sebagaimana Om menjaganya. Om nggak usah khawatir, Vanya akan aman bersama saya. Mungkin saya bukan yang terbaik, tapi saya akan melakukan yang terbaik."
Aku harus mengacungi jempol untuk sandiwara Alto. Kata-katanya terlihat meyakinkan. Hampir saja aku percaya yang diucapkan lelaki itu. Andainya saja tidak ada perempuan sundal itu di hidupnya.
Sebenarnya, aku tidak menyalahkan si Sundal itu, karena pada dasarnya Alto memiliki kehidupan pribadi, sebagaimana kehidupan pribadiku. Ketika kehidupan aku dan Alto disatukan secara mendadak, maka pasti akan menimbulkan masalah. Kehidupan kami berdua jadi kacau. Kami terpaksa menyatu, meski menyakiti kehidupan kami yang sebelumnya. Diego dan si Sundal itu hanya korban dari perjodohan kami. seandainya kami tidak dijodohkan, mungkin aku akan bahagia dengan Diego, dan Alto bahagia dengan si Sundal itu.
Terkadang hidup memang sudah ditebak. Aku hanya berharap kami bisa menemukan titik terang dan jalan keluar dari masalah ini. Aku hanya berharap tidak ada yang tersakiti. Hanya saja, aku tidak begitu yakin pernikahan kami akan berdampak baik bagi semua orang.
Ketika pertemuan itu selesai dan aku sudah di mobil Alto, lelaki itu memandangku tajam. "Vanya," ucapnya serius. Baru kali ia menyebut namaku, biasanya selalu memanggilku Sayang.
"Ada apa, Sayang?" tanyaku memutar wajah menghadapnya.
"Lepaskan topengmu, maka akan kulepaskan juga topengku!"
Deg!