POV Alto
"Ada apa lagi, Bik?" tanyaku kaget ketika Bik Nong menelepon saat jam istirahat di kantor. Aku segera berjalan keluar ruangan kerja dan mengatakan pada asisten kalau aku mau keluar dengan isyarat tangan. "Aku akan segera ke sana," kataku mengakhiri pembiacaraan dan menuju parkiran.
Ini sudah kedua kalinya Ariana melakukan tindakan nekat. Beberapa hari yang lalu ia mencoba mengiris pergelangan tangannya, beruntung Bik Nong melihat sebelum ia melakukannya. Sejak Ariana hamil, aku sudah melarangnya bekerja, lebih baik istirahat saja di rumah. Aku juga menyewa asisten rumah tangga untuk mengurus segala kebutuhannya. Meski Ariana bersikeras bisa melakukan sendiri, aku tetap tidak bisa membiarkan begitu saja dan nanti terjadi sesutau pada bayinya.
Aku sudah membawa Ariana ke dokter untuk diperiksa. Kata dokter, Ariana menderita depresi antepartum atau pre-baby blues. Gangguan suasana hati pada ibu hamil sebelum melahirkan. Kata dokter, gangguan itu tidak bisa dianggap remeh, karena akan menganggu perkembangan bayinya. Aku cemas sekali kalau bayinya kenapa-kenapa ketika dokter mengatakan itu.
Perasaanku tidak karuan sepanjang jalan. Aku mencoba mencari cara bagaimana mengatasi depresi Ariana. Jika belum terpecahkan, rasanya aku tidak konstentrasi bekerja. Setiap beberapa jam sekali aku harus menelepon Ariana dan menanyakan keadaannya. Sebenarnya, aku tidak terlalu mencemaskan Ariana, lebih mencemaskan kandungannya. Karena mereka masih satu nyawa, jadi nyawa bayi itu masih bergantung padanya.
Aku sampai di apartemen Riana dan Bik Nong langsung membukakan pintu sebelum keketuk. "Apa yang terjadi, Bik?" tanyaku untuk dapat penjelasan lebih lanjut. Di telepon tadi, Bik Nong hanya mengatakan secara singkat.
"Itu tadi Bu Ariana teriak-teriak di kamar, terus keluar sambil nangis dan langsung pergi ke dapur. Pas saya liat, ternyata dia bawa cairan pel lantai," kata Bik Nong dengan terbata-bata.
"Sekarang dia udah tenang?" tanyaku sambil berjalan ke kamar Ariana.
Bik Nong mengikuti. "Udah, tadi saya sampai rebutan cairan pembersih. Beruntung saya lebih cepat merebut cairan itu sebelum diteguknya. Langsung aja saya tumpahin ke kloset semuanya."
Aku membuka sedikit pintu kamar Ariana. Terlihat wanita itu tidur dengan wajah damai. Seiring berjalan hari, perut Ariana sudah mulai terlihat. Walaupun tidak mencolok, tapi sudah terlihat perubahan tubuh Ariana.
"Ya udah, Bik. Kumpulin semua benda tajam, cairan pembersih, deterjen, apa pun yang bisa membahayakannya, lalu simpan dalam lemari terkunci," kataku memberitahu.
"Baik, Tuan," kata Bik Nong dan bergegas menuju dapur.
Setelah kepergian Bik Nong, aku membuka pintu kamar Ariana dan melangkah masuk. Aku berjalan menuju tempat tidur, lalu mengusap perut Ariana dengan lembut. Di dalam sana, ada anakku. Aku sudah tidak sabar ingin melihatnya. Berharap anakku kuat, meski ibunya lemah.
"Pak …," sapa Ariana ketika aku mengusap perutnya. Sepertinya ia terbangun karena sentuhan tanganku.
"Kamu udah baik? Udah makan?" tanyaku pelan. Aku tidak membahas persoalan bunuh diri. Dokter sudah bilang kalau aku tidak boleh menyalahkan dan memarahi Ariana, karena akan memperparah depresinya.
Ariana mengangguk. "Udah agak baik. Bapak kenapa ke sini? Kan masih jam kantor?" tanya Ariana lagi sambil duduk, tapi aku menahan bahunya agar tetap berbaring.
"Lagi nggak ada kerjaan yang perlu aku tangani," kataku berbohong. "Lagian aku kangen sama dede bayi," tambahku sambil mengelus perut Ariana.
Ariana tersenyum sedikit. "Pasti Bik Nong yang nelepon suruh ke sini, ya?" tebak Ariana tepat sasaran.
Aku menggeleng. "Engga, karena aku kangen aja," kataku dengan wajah cuek.
"Kangen saya apa kangen bayinya?" balas Ariana sambil tersenyum.
Aku menaikkan kedua alis. "Dua-duanya aja, deh," jawabku bercanda.
Ariana tersenyum dan tiba-tiba menundukkan wajah. "Maaf, kalo saya udah repotin Bapak," katanya dengan lembut, ia mulai menangis terisak-isak. Aku hanya menghela napas. Dokter sudah mengatakan kalau perubah suasana hati Ariana bisa mendadak. Hal yang lumrah bagi ibu hamil yang mengalami depresi.
"Nggak merepotkan, kok. Siapa yang bilang?" tanyaku berusaha menenangkan.
"Tapi saya emang ngerepotin. Saya malu pada orang-orang sekitar dan lebih malu lagi pada diri sendiri. Hamil tanpa suami, apa yang dikatakan orang-orang? Pasti mereka anggap saya perempuan yang nggak betul." Ariana semakin terisak.
"Nggak, kok, kan ada aku di sini." Aku mengusap-usap puncak kepala Ariana.
"Tapi Bapak bukan suami saya," balas Ariana sambil mengangkat wajahnya.
Aku tersenyum lembut. "Nanti kita menikah kalo bayinya udah lahir."
Ariana menggeleng cepat. "Tapi saya nggak pantas jadi istri Bapak."
"Siapa yang bilang?" tanyaku mengerutkan kening.
"Semua orang akan bilang seperti itu. Saya nggak mau jadi istri Bapak. Malu. Terlebih lagi menikah setelah bayinya lahir. Apa kata orang? Lebih baik saya pergi jauh aja dari sini, daripada nikahnya setelah lahiran." Tangisan Ariana semakin keras.
"Kan aku udah janji," kataku berusaha sabar. Kalau saja tidak ada anakku dalam perutnya, sudah kutinggali dia. Pada kenyataannya, ia seperti gadis kebanyakan, membuatku penasaran sesaat, lalu lenyap begitu saja. Aku memang orang yang gampang bosan, terlebih dalam urusan wanita.
"Saya nggak percaya Bapak akan nikahi saya kalo bayinya udah lahir. Lebih baik saya mati aja kalo Bapak nggak berniat nikahi saya sejak awal. Kalo Bapak serius, apa bedanya nikah sekarang sama nanti?" Ariana menghentikan tangisannya, sekarang wajahnya terlihat marah.
"Jadi kamu mau nikah sekarang?" tanyaku agak kaget melihat perubahan suasana hatinya yang begitu cepat. Tadi tidak mau menikah, sekarang malah memaksa menikah.
Ariana mengangguk. "Saya mau nikah sekarang. Saya takut saat bayinya lahir, Bapak tidak mau nikahi saya. Hanya mau bayinya aja."
"Siapa yang bilang?" tanyaku agak menaikkan suara.
"Tidak ada yang bilang. Saya hanya merasa seperti itu. Lebih baik saya mati aja sama bayinya sekalian. Biar bapak bebas, nggak mikirin apa-apa lagi." Ariana berhenti bicara dan memandangku. "Itu yang Bapak mau, 'kan?"
"Nanti kita menikah, kalau aku udah beresin semuanya," jawabku lagi semakin mengurut dada.
"Beresin apa lagi?" balas Ariana cepat. "Beresin saya? Mau beresin saya di hidup Bapak? Kalau saya ini hanya sebuah kesalahan? Begitu?"
"Aku tidak bilang seperti itu, kamu yang bilang," kataku mulai tersulut emosi.
"Saya mau mati aja kalo Bapak nggak mau," lirih Ariana dan mulai terisak lagi. "Lebih baik saya mati aja. Saya mau mati sekarang juga! Saya mau mati!" Ariana hendak memukul perutnya dengan tangan, dengan sigap, aku menangkap tangan itu.
"Apa-apaan kau ini? Besok kita menikah. Puas?" Aku terpaksa menyetujui pernikahan itu. Keputusan yang kusesali kemudian hari dan berdampak besar bagi hidupku.
Beberapa hari kemudian, pada sabtu pagi yang cerah, aku dan Ariana pun menikah. Setelah pernikahan itu, segala bentuk depresi Ariana sembuh total. Tidak terlihat ia pernah mencoba bunuh diri dan menangis terisak-isak meratapi nasib. Terkadang aku merasa bahwa Ariana hanya pura-pura depresi agar aku menikahinya.