POV Alto
Senja baru saja turun. Langit terlihat cantik dengan gradasi warna biru, jingga, oranye, dan ungu. Sambil memandang langit, aku melangkah masuk ke salah satu kafe yang cukup terkenal di kota ini, Institute Coffee. Kafe ini cukup unik karena bertema game. Jadi jangan heran jika segala properti, dimulai meja, bangku, hiasan dinding, semuanya bertema game, seperti Assasins Creed, PUBG, Mobile Legend, dan sebagainya.
Aku berjalan menuju meja paling pojok sambil mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Seperti biasanya, kafe ini ramai. "Kenapa wajah lu kusut gitu?" tanya Triad ketika mengempas tubuh di kursi sebelahnya.
"Pening gue," kataku sambil mengusap-usap wajah dengan kedua tangan.
"Pening kenapa lagi? Udah punya calon istri kaya, cantik, terkenal, masih aja pening. Gue yang jomlo gini aja bahagia." Triad selalu bicara apa adanya. Mungkin karena kami sudah dekat sejak SMA, jadi kamu selalu mengutarakan apa yang dipikirkan.
"Nah, itu masalahnya," ucapku sambil mengeluarkan rokok dari sling bag, mengambilnya sebatang, lalu menyalakannya.
"Masalah apa? Vanya atau Ariana?" Triad memandangku lebih dekat. Jelas sekali ia ingin tahu lebih lanjut masalah ini. Kemarin aku sudah ceritakan masalah yang sedang aku hadapi, baik tentang Vanya maupun Ariana.
"Keduanya. Gue nggak tahu harus gimana," kataku sambil mengembuskan asap rokok perlahan.
"Masalah apalagi?" tanya Triad semakin penasaran. Ia terlihat terganggu dengan asap rokokku, tapi tidak berkomentar apa-apa.
"Bentar, gua mau pesan dulu. Haus, nih. Banyak tanya lu, kayak akun gosip," kataku sambil meraih buku menu, lalu menyebutkan beberapa minuman dan camilan kepada Triad.
Triad melotot. "Sialan, lu. Gua pemilik kafe, bukan pelayan. Enak aja nyuruh-nyuruh gua," katanya menunjukkan wajah pura-pura marah.
"Kan gua tamu spesial, jadi bos sendiri yang turun tangan," balasku bercanda.
Triad lah pemilik kafe ini. Dia termasuk pengusaha muda yang cukup sukses mengembangkan usahanya dan memiliki setidaknya delapan cabang di tiga kota. Salah satu keunikan kafe ini, selain menunya yang beragam dan enak, tentu saja fasilitas game-nya. Selain memiliki fungsi kafe pada umumnya, juga memiliki fasilitas penyewaan konsul permainan. Sehingga dalam waktu singkat, kafe ini jadi tempat asyik untuk nongkrong bagi remaja dan orang dewasa.
"Kalo lu bayar tiga kali lipat baru gua turun tangan," balas Triad juga bercanda. Ia memanggil pelayan, lalu menyebutkan menu yang aku pesan. Setelah itu, ia memandangku dengan penuh minat. "Sekarang ceritakan, apa yang terjadi?"
Aku tidak langsung menjawab. Tidak tahu harus mulai dari mana. Setelah tiga kali helaan napas, baru aku membuka suara. "Ariana hamil dan gua harus nikahi dia," kataku agak pelan. Takut seseorang mendengarnya.
"Apa? Wah, gila lu. Udah lu gitu-gituin anak orang, bukannya berhenti, kalian malah semakin lengket. Udah mau nikah, malah hamilin orang lain. Lu parah banget!" Triad tidak memelankan suaranya. Sehingga beberapa orang yang mejanya berdekatan, memandang kami dengan aneh.
"Gua cuma lakuin sekali. Itu pun ketika mabuk," balasku tidak terima kalau Triad menuduhkan melakukan macam-macam.
"Jadi selama ini lu belum …?" tanya Triad tidak percaya.
Aku menggeleng.
"Jadi lu nggak tahu rasanya gimana?" tanya Triad lagi penasaran.
Aku kembali menggeleng. "Ya, nggak tahu lah. Gua aja nggak ingat pas lakuinnya. Jadi nggak tahu rasanya seperti apa."
"Apa ini nggak aneh?" tanya Triad setelah terdiam cukup lama. "Lu lakuinnya ketika mabuk dan lu nggak ingat apa-apa. Rasanya agak janggal aja. Gua bukan mau jelek-jelekin Ariana, tapi lu harus hati-hati juga tentang masalah ini."
"Maksud lu?" tanyaku, walaupun aku mengerti arah pembicaraan Triad.
"Ya, siapa tahu aja Ariana bukan hamil anak lu. Kemungkinan itu tetap ada. Sebaiknya lu periksa betul-betul dulu sebelum nikahi dia," saran Triad yang sekarang berubah serius.
"Jadi menurut lu harus nunggu bayi itu lahir?" tanyaku meminta saran sambil mematikan api rokok di asbak.
"Kalo saran gua, ya lu tunggu sampai lahir. Setelah itu, baru tes DNA untuk buktiin itu anak lu apa bukan. Kalo terbukti anak lu, baru nikahi dia. Kalo enggak, berarti lu bebas. Lagian lu nggak apa-apain dia juga, kecuali pas mabok itu. Anggap aja itu sebuah insiden, kecelakaan, atau ketidaksengajaan."
Kami terdiam cukup lama, sampai aku membuka suara. "Jadi pernikahan gua sama Vanya harus ditunda juga?"
"Ya, sebaiknya begitu sampai semuanya jelas. Tiba-tiba lu nikahi Ariana dan ternyata itu bukan anak lu, dan lebih parahnya lagi ketahuan sama Vanya, urusannya jadi semakin ribet. Gua saranin lu tunda dulu semuanya. Baik pernikahan sama Vanya maupun sama Ariana. Atau sebenarnya lu emang niat nikahi dua-duanya?" Triad menaikkan kedua alisnya sambil memberikan kode angka empat dengan jarinya.
"Yang bener aja, satu aja bikin gua pening, apalagi dua." Aku menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.
"Dasar lemah lu. Yang empat aja nggak ada pening dan ribet kayak lu." Triad tersenyum mengejek.
"Udah deh, nggak bahas nikah-nikah lagi. Gua ke sini untuk tenangin otak, bukan ributin masalah ini. Ayo, log in. Mabar kita," kataku sambil membuka handphone dan siap-siap bermain game.
"Eh bentar, gua ambil handphone dulu," kata Triad sambil berjalan menuju ruangannya. Aku hanya memandang kepergian Triad menuju salah satu sisi kafe yang bersebelahan dengan dapur.
Satu hal yang tidak pernah berubah sejak bangku sekolah, sampai mau menikah, aku dan Triad selalu menyempatkan ketemu untuk bermain game. Walaupun dikatakan kekanakan, biarkan saja, pada dasarnya, seorang lelaki tidak akan pernah dewasa. Ia akan selalu membawa hal-hal di masa kecilnya yang menyenangkan. Jadi jangan heran jika melihat lelaki yang selalu bermain game meskipun sudah punya anak, atau mengoleksi mobil-mobilan, robot, action figur, dan sejenisnya.
"Sebenarnya lu cinta nggak, sih, sama Ariana?" tanya Triad ketika ia kembali dari ruangannya.
Aku memandang Triad, lalu tersenyum. "Gua kira lu udah tahu jawabannya."
Triad tertawa. "Lu masih belum berubah sejak SMA. Baru kali ini gua temuin orang yang nggak pernah jatuh cinta. Meski lu nembak dan pacaran sama cewek, pada kenyataannya lu nggak pernah jatuh cinta, hanya sebatas nyaman. Sesekali lu harus rasain jatuh cinta biar tahu indahnya dunia."
"Cinta bagi gua sesuatu yang asing. Gua bisa hidup dengan seseorang tanpa cinta. Itu nggak masalah," jawabku apa adanya.
"Tunggu aja, suatu saat lu pasti akan jatuh cinta, dan akan meruntuhkan semua prinsip yang lu pegang teguh itu."
"Udah deh, nggak bahas yang serius begituan," kataku berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
Triad hanya tertawa.