POV Vanya
Aku yang baru saja sampai di rumah dan hendak ke kamar, mendengar sekilas perkataan Papa yang bernada tinggi. Karena penasaran, aku mendekat dan menguping. Aku tidak tahu kenapa Papa sampai marah-marah seperti itu di kamar kerjanya. Tidak pernah Papa seperti ini. Apa yang membuatnya sampai seperti ini? Biasanya, ia selalu ramah kepada klien maupun karyawan.
Kudengar kursi bergeser. "Lancang sekali kau! Itu suara Papa.
Aku semakin menempelkan telinga ke daun pintu yang sedikit terbuka. Aku tidak bisa melihat ke dalam karena radius penglihatan terbatas. Yang terlihat hanyalah deretan buku di rak paling ujung.
"Keluar!" Suara Papa kembali menggelegar. Aku menahan napas, menerka-nerka apa yang sebenarnya jadi pemicu kemarahan Papa seperti itu. Aku hanya takut, akan berdampak buruk bagi kesehatannya.
"Saya benar-benar mencintai Vanya, Om!" Aku langsung kaget mendengar suara berat dan aksen aneh itu. Suara Diego.
"Berani sekali kau berkata seperti itu! Punya apa kau sampai berani meminang anakku? Kau hanya seniman jalanan yang tidak memiliki apa-apa. Apa bisa kau membahagiakannya dengan kertas-kertas yang kau jual?"
"Saya memang tidak sekaya lelaki itu, tapi saya bisa membahagiakannya. Kebahagiaan tidak bisa dibeli dengan materi." Diego berkata dengan mantap. Suaranya tetap tenang meskipun suara Papa begitu mengintimidasi.
"Tahu apa kau urusan membahagiakan anakku? Lancang sekali kau mengajariku soal membahagiakan." Papa semakin tidak mengontrol perkataanny. Tidak pernah aku mendengar Papa bicara sekasar ini.
"Vanya tidak bahagia dengan pernikahan itu! Apa Om tidak pernah menyadari itu?" Diego menaikkan suaranya. Kata-katanya penuh penekanan agar yang mendengar mengerti kalau ia sedang tidak main-main.
"Keluar!" hardik Papa.
Terdengar keheningan sebelum pintu terbuka dengan cepat. Aku hampir terjatuh karena kaget mendapati pintu mengayun ke belakang. Segera aku menguasai diri dan berdiri dengan ketenangan yang berusaha kupertahankan.
"Vanya?" ucap Diego tidak kalah kaget saat melihatku berdiri di balik pintu. Kulihat wajah Diego memerah karena menahan amarah. Alisnya bertaut, rahangnya mengeras, dan tangannya terkepal.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyaku refleks. Tidak tahu harus bertanya dan melakukan apa. Masih shock dengan barusan yang kudengar.
Diego memandangku sesaat. "Kau kira apa yang aku lakukan di sini"
"Aku bisa selesaikan," ucapku cepat tanpa berpikir.
Tiba-tiba kemarahan Diego semakin menjadi-jadi. Aku sadar, sudah salah ucap. Diego tidak menjawab perkataanku, ia hanya berjalan keluar dengan langkah lebar dan cepat. Aku segera mengejarnya.
"Diego, tunggu!" teriakku. Diego tetap berjalan tanpa menoleh.
Aku semakin mempercepat ayunan langkah. Ketika sampai di depan mobil Diego, aku berhasil mengejarnya dan menahan tangan lelaki itu. Kupeluk erat-erat tangan itu agar tidak pergi.
Diego membalikkan tubuh. "Jika itu keinginanmu, baiklah, aku terima. Setidaknya aku sudah berjuang sampai tidak tahu lagi harus melakuan apa. Jangan salahkan aku dan bilang tidak pernah berjuang untukmu. Kau sendiri yang tidak mau aku perjuangkan dan malah menerima saja semuanya. Jika kau suka pernikahan itu, bilang saja, aku bisa terima. Aku memang tidak bisa memberikan materi sebagaimana calon suami. Aku kalah soal itu."
Aku ridak tahu harus mengatakan apa. Takut salah ucap dan akan melukai perasaannya lagi. Dari sudut pandang Diego, mungkin aku terlihat santai dan biasa saja menerima pernikahan ini. Namun, dia tidak pernah tahu bagaimana perjuanganku menolaknya.
"Mungkin ini terakhir kalinya kita bersama." Diego tidak memendang wajahku saat mengatakan itu.
"Apa maksudmu?" tanyaku kaget.
"Aku tidak mau bertemu dengan wanita yang akan menjadi istri pria lain," kata Diego cepat.
"Jangan pergi," kataku mulai menangis. "Ini menyakitkan."
"Kau kira aku tidak sakit?" Diego tersenyum miris dan melanjutkan langkahnya. Tidak peduli meski aku mati-matian menahan dirinya agar tidak pergi.
"Apa pun yang terjadi, jangan pergi," kataku sambil mengusap air mata. Aku tahu, kalau aku egois. Tapi urusan cinta dan perasaan, tidak ada seorang pun yang tidak egois.
Diego berhenti dan membalikkan tubuh. "Jangan menangis. Aku tidak suka tangisanmu. Kau sudah memilih, dan pilihannya bukan aku. Kini saatnya aku sadar diri dan pergi dari hidupmu. Selamat menempuh hidup baru."
"Kamu pernah bilang, jangan pernah ucapin selamat tinggal, tapi sekarang kau ninggalin aku." Aku mengingatkan ucapannya beberapa bulan lalu yang pernah diucapkannya.
"Aku tidak pernah meninggalkanmu. Kau yang lebih dahulu melepaskan genggamanku." Saat mengatakan itu, jelas sekali terpancar kesedihan di matanya. Ia pun melangkah pergi. Rasanya, separuh jiwaku juga ikut pergi. Ada lubang dalam hatiku yang tiba-tiba menganga begitu saja. Sangat dalam, sampai aku tidak tahu dasarnya.