POV Alto
Aku sudah tidak sabar untuk sampai di apartemen Ariana. Jaraknya agak jauh, karena terletak di pinggiran kota. Sudah berulangkali aku memintanya untuk pindah ke tempat yang lebih layak dan dekat pusat kota, tapi ia menolak semua fasilitas yang kuberikan.
Sudah hampir 1 jam terjebak macet sialan ini. Mobil hanya beringsut perlahan. Sepanjang jalan, aku terus teringat foto paha dan dada yang dikirim Ariana. Membuatku tidak fokus berkonsentrasi. Rasanya ingin cepat-cepat sampai dan melampiaskannya.
Ketika sampai di apartemen Ariana, malam sudah turun. Aku memencet bel dan Ariana membukakan pintu. Gadis itu terlihat menggoda memakai lingerie kimono berwarna hitam dengan belahan dada rendah. Ketika aku melangkah masuk, Ariana mencium tanganku, seperti menyambut suami yang baru pulang kerja. Entah kenapa, aku suka hal-hal sederhana yang dilakukannya.
"Saya udah siapin air hangat dan pakaian bersih. Bapak mandi dan ganti baju dulu," katanya sambil membantuku melepaskan blazer yang kukenakan.
"Terima kasih," balasku tulus sambil mengusap puncak kepala Ariana. Sekali lagi, aku tersentuh saat ia menyambutku dan menyediakan kebutuhanku ketika pulang kerja. Hal yang mustahil aku dapatkan dari Vanya, gadis manja itu.
"Selagi Bapak mandi, saya akan siap-siap dahulu," kata Ariana lagi sambil mengikat rambutnya yang panjang. Sehingga lehernya yang jenjang terkespose. Aku tidak tahu, apa ia sengaja melakukan itu.
"Kirain semuanya udah siap," jawabku sambil merebahkan diri di sofa. Aku memijit-mijit kepalaku yang rasanya berat sekali.
Ariana berjalan mendekat, melepaskan dasiku. "Saya udah siapin semua sejak tadi, tinggal eksekusi aja. Sekarang Bapak mandi dulu supaya segar. Jangan membuang waktu lagi."
Aku mengangkat tubuh dari sofa. "Oke, aku mandi dulu. Udah nggak tahan juga, nih. Aku mau paha dan dada itu. Dan semua yang kamu foto tadi siang."
"Dasar!" Ariana tersenyum penuh arti.
Aku berjalan ke kamar mandi dan mulai merendam diri di bathtube. Ketika masuk bak mandi dan mencium aroma rileksasi, saraf-sarafku yang tegang mulai kendur. Aku berendam sekitar 15 menit, setelah itu mengenakan pakaian yang sudah disiapkan Ariana. Baju kaus putih lengan panjang dan celana pendek biru.
Ketika baru saja keluar kamar mandi, kudengar Ariana muntah-muntah. Aku segera berlari ke dapur untuk mengecek keadaan gadis itu. Kulihat kompor menyala dan wajan yang mengeluarkan asap. Aku segera mematikan kompor, lalu menuju Ariana yang muntah-muntah di wastafel.
"Ada apa?" tanyaku dengan wajah khawatir sambil mengusap-usap punggung Ariana.
"Nggak tahu. Tiba-tiba saya muntah saat mencium bau amis ayam."
"Ya udah, kamu nggak usah masak dulu. Kita pesan makanan, aja." Aku tadi siang meminta Ariana memasak coq au vin—makanan ayam asal Perancis yang dimasak dengan wine. Ariana mengirimkan foto dada dan paha ayam, menanyakan aku suka yang mana. Aku bilang suka keduanya. Aku janji akan datang setelah selesai fitting, dan tidak makan di luar dahulu. Makanya sepanjang jalan aku tidak tahan menahan lapar dan ingin cepat-cepat sampai.
"Tapi saya udah janji akan masakin, Bapak," kata Ariana dengan napas pendek-pendek. Sepertinya ia mau muntah lagi.
Aku berjalan ke meja, mengambil gelas, lalu menuangkan air putih. "Ini minum dulu," kataku sambil menyerahkan gelas ke Ariana. Ia meminumnya beberapa teguk, lalu menggeleng.
"Nggak apa-apa. Kita pesan aja kalo kondisimu tidak sehat." Aku mengusap puncak kepala Ariana. Selain pintar dalam urusan pekerjaan, Ariana juga pandai memasak dan mengurus rumah tangga. Itu menjadi salah satu daya tariknya yang membuatku terpikat.
"Nggak apa-apa?" tanya Ariana lagi dengan wajah tidak enak.
Aku mengangguk dan membimbingnya menuju meja makan. "Nanti kita ke dokter ya, buat periksa," kataku sambil mengelap keringat Ariana dengan ujung lengan bajuku.
"Saya nggak apa-apa, Pak. Nggak usah repot-repot ke dokter. Cuma beberapa hari ini saya sering pusing dan mual-mual mencium yang amis. Mungkin saya hanya…, astaga!" Ariana tidak meneruskan kata-katanya. Ia berdiri dengan tiba-tiba, lalu berlari menuju lemari di dekat televisi. Aku mengikutinya dengan bingung. Ia mengacak-acak isi lemari, setelah tidak menemukan apa yang dicari, ia menuju kamar.
"Ada apa?" tanyaku semakin bingung sambil mengikuti ke kamar.
Ariana tidak menjawab. Ia membongkar isi lemari dengan panik. Setelah itu, mengeluarkan kotak obat-obatan. Kulihat Arina mengambil sesuatu, lau berlari ke kamar mandi dan mengunci pintu.
Aku mengedor-ngedot pintu dengan panik. "Ada apa? Riana? Kamu kenapa? Jangan buat saya panik seperti ini? Buka?" teriakku.
Aku tidak tahu berapa lama mengedor-ngedor pintu sebelum Ariana membukanya. Gadis itu berjalan keluar kamar mandi dengan wajah tertekuk.
"Ada apa?" tanyaku sambil memegang bahunya lembut.
Ariana menyerahkan sesuatu dengan tangan gemetaran. Butuh beberapa detik untukku tahu benda apa itu. Testpack. "Saya hamil, Pak," kata Ariana menangis keras dan memukul-mukul perutnya.
Aku segera menangkap tangan Ariana. "Hentikan!" teriakku marah. Entah kenapa, instingku untuk melindungi datang begitu saja.
"Saya nggak mau hamil , Pak! Saya mau gugurin kandungan ini." Ariana menangis sejadi-jadinya di bahuku.
"Jangan pernah kamu bunuh anakku! Aku memang berengsek, tapi aku tidak akan membunuh calon anakku," kataku geram. Perasaan cinta itu datang begitu saja, meluap-luap. Meski aku belum tahu bentuk dan rupa janin itu, yang jelas aku sudah mencintainya sebelum bayi itu mengenalku. Mungkin seperti itu perasaan seoarang ayah kepada anaknya.
"Itu satu-satunya jalan, Pak" isak Ariana. "Saya tidak mau bayi ini menanggung beban di kemudian hari. Menanggung dosa-dosa kita yang tidak diperbuatnya."
Aku memandang Ariana sungguh-sungguh. "Aku akan bertanggung jawab," kataku sambil mengusap air mata gadis itu. Bisa-bisanya aku menghancurkan masa depan gadis sebaik ini. Kalau saja waktu itu aku tidak mabuk, mungkin semua ini tidak akan terjadi.
Aku merasa di titik terendah saat Papa dan Mama memaksaku untuk menikah. Aku tidak bisa menolak, karena aku berutang budi pada mereka. Aku bukan anak kandung mereka, aku diangkat dari panti asuhan bobrok di pinggiran kota. Kehidupanku yang semulanya melarat, dalam sekejap menjadi tuan muda pewaris tunggal perusahaan.
Malam itu aku sangat mabuk. Sampai-sampai tidak bisa berdiri. Penjaga pub kebingungan mengantarku pulang dan tidak memperbolehkan menyetir sendirian. Penjaga yang bingung karena aku semakin teler, akhirnya mengecek handphoneku dan menelepon panggilan terakhir. Ariana. Sekretarisku.
Ariana membawaku ke apartemennya, karena ia tidak tahu rumahku. Dan setelah itu, aku tidak ingat. Yang kuingat esok harinya saat bangun, tubuhku tanpa pakaian sebenang pun dan Ariana menangis di sudut ranjang dengan selimut menutupi tubuhnya.
Sejak kejadian itu, Ariana tidak masuk kantor lagi. Aku meminta maaf dan selalu mengunjungi apartemennya setiap hari, meski Ariana tidak pernah membukakan pintu. Hingga akhirnya Ariana pun luluh dan memaafkanku. Setelah itu, kami menjadi dekat dan mencurahkan segala permasalahanku padanya.
"Aku akan bertanggung jawab," ulangku dengan sungguh-sungguh.
Ariana menggeleng. "Tidak. Saya dan Bapak berbeda. Kita tidak mungkin bersama, tidak ada satu orang pun yang akan mendukung hubungan kita. Terlebih lagi, Bapak akan menikah. Saya tidak mau dicap wanita murahan dan jalang yang merebut calon suami orang lain."
"Pernikahanku hanya keperluan bisnis. Aku tidak mencintai calon istriku sama sekali. Aku hanya mencintaimu, tidak ada yang lain."
"Tidak, Pak. Bapak tidak bisa meninggalkan keluarga Bapak hanya demi saya. Gadis sebatang karang dari kampung ini tidak sebanding dengan keluarga besar Bapak. Satu-satunya jalan, menggugurkannya." Ariana kembali terisak dan aku memeluknya sambil berusaha menenangkan.
"Riana, kamu harus ingat ini. Aku memang berlumuran dosa, tapi bayiku suci. Aku tidak akan membunuh bayiku. Tidak akan pernah. Apa pun yang terjadi, meski keluarga besar membuangku sekalipun, aku tidak akan pernah membunuh darah dagingku." Aku berhenti sesaat untuk menghela napas. "Masih ada satu jalan lagi agar bayi kita selamat. Aku akan menikahimu."
"Tidak, jangan lakukan itu, Pak. Saya tidak mau semuanya semakin rumit."
"Kita akan menikah!" kataku mutlak tanpa bisa dibantah lagi.