Chereads / My Husband's Wife / Chapter 3 - Part 2

Chapter 3 - Part 2

POV Vanya

Bukannya aku tidak tahu, sejak tadi Alto chattingan dengan perempuan sundal itu. Tapi biarkan saja. Aku juga tidak cemburu. Pernikahan ini juga formalitas belaka. Hanya pernikahan bisnis, bukan atas dasar cinta. Kami hanya sedang bersandiwara. Aku memeran peran gadis kaya dan manja, sedangkan Alto memerankan anak penurut yang memenuhi apa pun kehendak orang tuanya.

Ketika kami selesai fitting sekitar jam lima sore, ponselku berbunyi. Aku tahu siapa yang menelepon. Aku mengangkat telepon dan mengangguk satu kali. Setelah selesai, aku memandang ke Alto dengan wajah pura-pura kecewa.

"Maaf ya, Sayang. Tadi Nania telepon, katanya mau ngajak aku keluar. Aku lupa kasih tahu kamu. Nggak apa-apa kan kalo aku nggak diantar sampai rumah?" ucapku dengan wajah pura-pura menyesal.

Aku lihat Alto menghela napas, lalu memandangku selama beberapa saat. "Baiklah, kamu mau ketemu sama Nania di mana? Biar aku antar."

Alto masuk terlebih dahulu ke dalam mobil Porsche metalik itu. Ketika telah duduk, aku menyebutkan tempat bertemu Nania di salah satu kafe mewah di pusat kota. Mobil pun melaju membelah jalanan kota sore itu.

Tidak butuh waktu lama, hanya 30 menit, karena jaraknya tidak begitu jauh. Alto menghentikan mobilnya di parkiran dan memandangku. Aku kembali tersenyum manja sembari mengusap wajahnya.

"Aku turun di sini aja, ya. Nggak usah antar sampai dalam," kataku dengan suara pura-pura manja.

Alto mengangguk sambil mencium puncak kepalaku dan aku balas dengan mencium pipi kanan. "Jangan nakal kalo aku nggak ada, ya," kataku dengan wajah memperingati.

Alto tersenyum. "Nakalnya cuma sama kamu kan nggak apa-apa."

"Asal jangan sama yang lain," kataku memperingati. Walaupun aku tahu, sesudah mengantarku, pasti ia menemui perempuan sundal itu. Jelas sekali dari gerak-geriknya, yang tidak sabaran dan selalu melirik jam tangannya.

"Nggak akan," balas Alto. "Kamu paling cantik dan satu-satunya."

"Ya udah, aku turun dulu, ya." Aku turun dari mobil dan berjalan dari parkiran ke depan kafe. Baru saja aku berjalan beberapa langkah, mobil Alto sudah terlihat meninggalkan parkiran.

"Dasar brengsek! Kalo mau ketemu sundal itu, ngebut banget!" kataku sambil berjalan ke sebelah kafe. Aku tidak jadi mendorong pintu kafe karena Alto sudah pergi. Sandiwaraku cukup sampai di sini. Sebenarnya bukan Nania yang meneleponku, tapi Diego. Pacarku.

Aku berjalan menuju blok di seberang kafe, lalu berbelok ke kiri menuju sebuah galeri seni bernama Dee Art Space. Aku membuka pintu galeri itu, lalu berjalan menuju sebuah ruang pribadi.

Ketika membuka pintu, kulihat Diego sibuk dengan lukisannya. Tangannya penuh warna dan di pipinya ada sedikit bekas cat. Ketika melihat kedatanganku, ia menghentikan kegiatannya.

"Kukira kau takkan datang?" kata Diego sambil berdiri dan memelukku. Aku selalu suka cara Diego bicara. Ada aksen unik bahasa spanyol yang melekat setiap kata yang diucapkannya.

"Kenapa aku nggak akan datang?" tanyaku sambil membenamkan wajah di dada Diego, menghirup aroma parfum dan campuran keringatnya. Aku selalu suka aroma itu, seperti campuran kayu, tembakau, dan aroma yang tidak kukenal.

"Gimana fitting-nya?" tanya Diego sambil melepaskan pelukannya. Lelaki keturunan Indonesia-Spanyol itu memandangku lebih dekat. Aku suka dipandang seperti itu, seperti dilindungi.

"Membosankan," balasku sambil berjalan ke sebuah kursi jengki di dekat lukisan. "Kamu sedang melukis apa?" tanyaku setelah melihat goresan warna-warna aneh di lukisan Diego. Entah kenapa, Diego suka sekali melukiskan sesuatu yang tidak aku pahami. Anehnya, lukisannya itu selalu laku dan terjual mahal. Apa aku yang tidak mengerti seni, atau selera orang-orang memang aneh. Entahlah.

"Abstrak," jawab Diego. "Seperti hubungan kita," tambahnya sambil kembali duduk ke kursi di depan lukisan.

Aku memandang Diego. "Jangan bahas itu lagi. Kamu tahu, aku menikah bukan atas nama cinta. Jauh dari lubuk hatiku, hanya ada satu nama." Aku menghadap Diego, lalu mengusap pipi lelaki yang terkena cat itu.

"Pernikahan tetaplah pernikahan, apa pun dasarnya." Diego mengambil palet lukisan dan mencampurkan berbagai warna dalam satu kuas, lalu menggoreskannya secara acak ke kanvas. Jelas sekali ia sedang marah.

Aku menghentikan gerakan tangan Diego. "Aku janji, setelah misi pernikahan ini berhasil. Aku akan minta cerai dan kita bisa kembali bersama. Kita akan hidup bahagia untuk selamanya. Seperti kisah dalam dongeng-dongeng," kataku sedikit bergurau untuk mencairkan suasana.

Diego memutar wajah memandangku. Entah kenapa, aku selalu suka warna matanya yang coklat hangat itu. "Mengatakannya gampang, melakukannya yang susah. Apakah kau yakin semudah itu meminta cerai?"

Aku mengangguk yakin. "Karena Alto juga nggak suka dengan pernikahan ini, meski ia nggak bilang secara langsung. Jadi, aku dan dia akan mudah untuk menyusun rencana perceraian kami."

"Kenapa tidak ditolak saja sejak awal, kalau pada akhirnya akan bercerai juga. Aku tidak mengerti dengan jalan pikiranmu." Lagi-lagi Diego mengatakan kalimat yang sama. Dan jawabanku juga sama.

"Aku juga nggak mungkin menolak keinginan Papa," kataku pelan. Aku sebenarnya sudah menolak pernikahan ini beberapa tahun lalu, ketika Papa masih sehat. Sekarang Papa sakit dan permintaannya adalah menikahkanku dengan teman bisnisnya agar perusahannya bisa bangkit lagi. Karena salah satu syarat pernikahan adalah kembali menyuntikkan dana dari ayah Alto ke perusahaan Papa.

Diego tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia kembali menekuni lukisan abstrak yang sedang dikerjakannya. Gerakan kuasnya terlihat bertenaga, jelas sekali ia sedang menahan sesuatu. Menahan amarah. Aku tahu dan paham. Lelaki mana yang akan terlihat biasa saja ketika tahu pacarnya akan menikah dengan orang lain.

"Maafkan aku. Aku tahu ini sulit untukmu, tapi ini juga sulit bagiku. Aku yakin, kita akan bisa melewati ini. Bersabarlah ….," lirihku sambil memeluk Diego dari belakang. Aku membenamkan wajah berlinang air mata di punggung kokoh lelaki itu.

Diego tidak langsung menjawab. Ia meletakkan kuas yang dipegangnya, lalu mengusap tanganku dengan lembut. "Jangan menangis. Aku benci melihatmu bersedih karena aku."

Aku semakin mengeratkan lingkaran tanganku di pinggang Diego, sementara tangisanku semakin tidak bisa ditahan. Aku telah melukai hati pria yang kucintai, dan ia masih memikirkan tangisan dan kesedihanku.