Kau memintaku untuk terus bersamanya, namun kenapa kau memintaku untuk menemukanmu?
(Arabella)
Ara membuka amplop yang berisikan dua tiket itu. Dia akan memberi tahu Sadewa dan mencoba tanyakan, apakah dia tahu siapa yang memberikannya. Ataukah Sadewa kenal dengan tulisan yang ada di dalam surat itu.
Aar memberikannya pada Sadewa yang tidak tahu apa maksud Ara.
"Loh, kamu udah beli tiketnya Ra? Kok cepet banget, kapan kamu belinya? Kan tadi semua lampu matikan? Listrik juga pasti padam semua," tanyanya beruntun pada Ara.
"Iya, makanya dengerin dulu aku mau ngomong. Sebenarnya itu yang mau aku tanyakan sama kamu," ucapnya ingin menjelaskan. "Apa kamu yang beli terus kamu kasih ke aku pas semua lampu mati?" tanya Ara kemudian.
Sadewa menggeleng. "Enggak, aku dari tadi di sekitar sini aja. Bahkan belum sampai aku masuk toilet tiba-tiba lampu mati. Jangankan mau beli tiket, jalan dari sini aja susah," jawab Sadewa setelah itu.
"Terus siapa yang beli ini?"
"Coba cerita deh, gimana kamu bisa dapat tiket itu," cetus Sadewa pada Ara.
"Jadi gini, tadi pas waktu mati lampu aku bingung mau ngapain, nggak ada satu orangpun disana. Bahkan aku sampai teriak-teriak nggak jelas, kukira aku di tempat lain atau dibawa ke dimensi lain," terangnya, namun belum sampai Ara selesai Sadewa sudah tertawa mendahuluinya.
"Bwahahaha, kamu pindah tempat gitu? Ngaco kamu!" ucapnya yang langsung mendapat tonyoran dari Ara.
"Sakit tahu Ra!" ucapnya meringis.
"Lagian, akukan belum selesai cerita! Udah main putus aja kayak doi!" jawabnya kesal.
"Lah emang kamu punya doi?" tanya Sadewa meledek.
"Iya juga sih, mana pernah gue punya doi. Main ngomong kayak doi aja. Lagian kalau tahu gue punya gebetan, bisa kena tampol Kak Ali pasti," paparnya pada diri sendiri namun hanya dia batin.
"Woi Ra! Malah ngelamun lagi! Kenapa, mikirin doi yang udah sama orang lain?" ucapnya dengan mengibaskan tangannya di depan wajah Ara. Ngatain apa ngeledek?
Sontak lamunan Ara terbuyar. Dia melihat ke arah Sadewa datar.
"Mau lanjutin denger cerita nggak nih?"
Sadewa mengangguk tanda mengiyakan. "Lanjutin gimana," jawabnya.
"Beneran mau tahu?" tanya Ara lagi. Walaupun dipastikan Sadewa akan tetap mengiyakan, namun ke usilan Ara tetap dilampiaskan.
"Iya beneran Ara!" jawab Sadewa lagi dengan keras, dia gemas sebab Ara tak kunjung menceritakannya.
"Serius?"
"Dua rius deh!"
"Oke. Setelah pesan-pesan berikut ini," sahut Ara dengan menahan tawanya.
Wajah kesal Sadewa mulai terlihat dengan cara dia melihat ke arah Ara dengan jengah.
"Beneran Ra, kamu mau cerita apa?"
"Oke aku cerita. Jadi gini, pas tadi mati lampu tanganku kayak ada yang narik buat jalan ke suatu tempat. Tapi aku nggak tau dibawa kemana, aku juga nggak lihat apa-apa, cuma gelap semua. Aku coba tanya sama orang itu aku mau dibawa kemana, tapi dia nggak jawab. Ku kira itu kamu tapi nggak dijawab sama sekali. Lama-lama aku kesel sama entah siapa itu, aku teriakin dia dan lepas tanganku. Setelah itu lampunya nyala tiba-tiba," papar Ara.
Sadewa hanya mengerutkan dahinya. Seolah menerka-nerka siapa yang membawa Ara. Dia juga memikirkan apa yang akan dia tanyakan pada Ara lagi. Sepanjang Ara bercerita Sadewa tidak paham dengan apa yang Ara katakan. Dia hanya diam sampai Ara melanjutkan ceritanya.
"Yang lebih anehnya lagi, aku masih di tempat semula saat sebelum lampu mati. Padahal nyata banget tadi aku jalan. Dan nggak sengaja aku lihat surat yang sama persis seperti surat yang sering dikirim ke aku. Sampai saat inipun aku nggak tahu siapa yang ngirim," jalasnya lagi pada Sadewa.
"Terus?"
"Nggak ada terusannya, udah tamat! Teras terus aja dari tadi, ngerti nggak sih aku cerita panjang lebar kayak rumus matematika!"
Sadewa menggaruk kepala belakangnya yang sama sekali tidak gatal itu. Pasalnya Ara menjelaskan terlalu bulat menurut Sadewa, sudah seperti lingkaran.
"Iya ngerti kok. Kata kamu kayak surat yang sering kamu terima, emang ini ada suratnya?" tanya Sadewa.
Ara hanya mengangguk padanya. "Kamu mau lihat?"
"Boleh aku baca?"
Ara menyodorkan selembar kertas yang dilipat ke arah Sadewa. Sadewa menerimanya dengan mengamati kertas yang sangat familiar menurutnya. Kertas yang sama seperti yang dia punya dan yang Juna miliki. Namun Sadewa tidak begitu yakin dengan apa yang dia pikirkan. Bukan hanya mereka saja kan yang punya buku dengan tipe kertas seperti itu, bahkan di toko-toko juga banyak yang menjualnya.
Sebelum dia baca apa isi surat itu Sadewa juga masih terfokus dengan coretan-coretan yang terlihat jelas di matanya. Tulisan tangan yang mirip dengan tulisan tangan Arjuna, adiknya. Dia masih ingat betul bagaimana tulisan adiknya itu. Mengingatnya membuatnya semakin rindu akan sosoknya. Namun pikirannya kembali mengarungi semua fakta yang ada, kenapa semua terjadi begitu nyata di depannya. Terlihat janggal dengan semua yang dia lihat semenjak dirinya bertemu dengan Ara. Dia yang tiba-tiba terlalu peduli dengan orang lain, dia yang nampak begitu jelas melihat sosok Juna di depannya, dia juga merasa harus selalu melindungi Ara dan selalu menjaganya 24 jam padahal dia tidak pernah sedekat ini dengan perempuan. Dan sekarang, dia juga melihat Ara menerima sebuah surat yang tulisan didalamnya persis dengan tulisan Juna. Sungguh, Sadewa tidak tahu apa maksud semua ini.
Ara yang melihat Sadewa yang memikirkan sesuatu dengan surat itu membuatnya sengaja membuyarkannya. Sadewa terhenyak saat Ara mengagetkannya.
"Kenapa Sa? Udah bacanya?" tanyanya dengan terheran melihat Sadewa yang melamun.
"Eh, belum Ra. Bentar aku baca," jawabnya dengan gelagapan.
Sadewa membacanya, namun menurutnya bukan sebuah surat tapi lebih mirip dengan teka-teki.
TETAP BERSAMANYA APAPUN YANG TERJADI. DIA YANG JAGA KAMU. DIA JUGA BUTUH KAMU. JAGA DIRI.
Apa maksudnya? Pertanyaan yang ada dalam benak Sadewa. Siapa yang dimaksud di surat itu. Bukankah Ara hanya bersamanya?
Sadewa menggeleng ke Ara. Tanda dia tidak mengerti. Namun Ara hanya mengendikkan bahunya. Namun dia tidak pikirkan semua itu. Baginya hanya sebuah surat saja menurutnya.
"Menurut kamu apa maksudnya Sa?"
"Aku juga nggak tahu Ra, lebih miripnya kayak teka-teki tapi dia nggak perintah kamu buat ngelakuin sesuatu yang aneh-aneh. Cuma kayak ngingetin kamu apa ngasih tahu kamu buat sesuatu," jawab Sadewa. Kali ini mereka merasa seperti berbicara serius.
"Aneh banget kan?" ungkap Ara lagi.
"Aneh? Iya sih. Kamu dapet surat kayak gini nggak cuma sekali?"
"Iya, bahkan sering banget. Eh, nggak sering-sering banget sih, baru tiga atau empat kali ini. Tapi sama persis dari amplopnya sama kertasnya juga."
Mereka sama-sama menghela napasnya. Sulit diartikan bagi mereka, seperti halnya perasaan. Sulit diartikan jika tidak diungkapkan.
Lama mereka terdiam dengan pikiran masing-masing. Hingga tanda-tanda kehidupan di dalam terminal terdengar kembali. Padahal sedari tadi hanya sepi.
Sadewa dan juga Ara saling memandang dengan pertanyaan-pertanyaan di dalam pikirannya.
"Bukannya tadi sepi nggak ada orang ya Ra?" tanya Sadewa memecah keheningan.
"Pertanyaan yang sama," jawab Ara.
"Jadi penasaran, kita lihat kesana yuk?" ajak Ara dengan mengambil ransel disampingnya.
Sadewa dan juga Ara mencari dimana keramaian itu, mereka bahkan sedari tadi tidak melihat banyak orang disana. Mereka terhenti di bagian depan terminal, dan sekarang sudah banyak orang yang berlalu lalang disana.
"Perasaan tadi sepi banget, kenapa jadi rame?"
"Nggak tahu juga Ra, mungkin mereka baru datang," jawab Sadewa bersikap bodoamat dengan keadaan.
"Udah nggak usah dipikirin, kita duduk disini aja nunggu kapan berangkatnya," perintah Sadewa dengan membawa Ara duduk di kursi yang kosong. Ara hanya mengiyakannya dan duduk bersama Sadewa disana.
Entah berapa lama lagi mereka menunggu, pagi masih sangatlah lama, tapi Ara rasa mereka akan berangkat lebih awal dari yang dia lihat di lembaran tiketnya.
Mereka berdua menunggu dengan banyak calon penumpang disana. Ada hal aneh yang mereka rasakan saat melihat orang-orang yang begitu asing bagi mereka. Namun Ara dan Sadewa menepis hal-hal aneh itu.
....
Lima jam mereka menunggu lamanya. Terdengar suara petugas yang bersuara agar penumpang segera bersiap untuk berangkat.
Masih terlalu pagi, namun bagi mereka lebih cepat lebih baik. Mereka berjalan kearah bus mana yang akan mereka tumpangi nanti. Tepat di ujung Ara melihat bus yang sama dengan nomor yang ada di lembaran yang dia pegang. Mereka berdua naik dan mencari tempat duduk yang berada paling depan.
Ara memang sudah terbiasa untuk naik bus seperti ini. Bahkan sering baginya waktu dia masih traveling dulu. Namun semenjak dia sakit-sakitan kakaknya dan juga ayahnya terlalu overprotective terhadap dirinya. Mereka terlalu menghawatirkan keadaan Ara. Ara selalu ingin terlihat baik-baik saja seperti orang lain biasanya. Walaupun terkadang sakit yang dia rasakan semakin menggerogoti tubuhnya. Tak mudah baginya untuk pergi tanpa obat-obatan yang selalu ia bawa, kemanapun dan dimanapun pasti akan ada.
"Ra, kamu yakin mau bantu aku?" ucap Sadewa di tengah keheningan mereka.
Ara menolehnya dengan tersenyum. "Iya, aku yakin Sa, aku akan bantu kamu semampuku," jawabnya dengan memandang Sadewa yang tengah tersenyum tipis ke arahnya.
"Terus gimana sama rencana kamu sendiri? Bukannya kamu mau cari seseorang juga ya?" tanyanya lagi.
"Oh, masalah itu nggak usah dipikirin. Aku udah putusin buat bantu kamu dulu setelah itu aku baru cari jawaban dari semua pertanyaanku."
"Mamangnya kamu mau kemana sebelumnya?" nampaknya Sadewa belum puas dengan apa yang dia tanyakan.
Ara mengambil ponsel di dalam ranselnya. Dia menscroll layar di menu galerinya.
Ara menemukan sebuah foto banner yang dia foto waktu itu di mading kampus kemarin. Ara menunjukkannya pada Sadewa sebagai jawabannya.
"Apa?" tanya Sadewa tak mengerti.
"Itu yang mau aku cari," jawab Ara dengan menyodorkan ponselnya pada Sadewa. Sadewa menerimanya dan melihatnya. Sontak Sadewa terkejut saat foto yang Ara tunjukkan adalah banner yang tersebar di kampusnya berisi informasi adiknya yang hilang.
"Jadi Ara mau cari Juna juga," ucapnya dalam hati.
Sadewa baru menyadari bahwa yang mereka cari ternyata orang yang sama. Sadewa masih terdiam melihat ponsel Ara. Namun apa Ara tahu kalau sebenarnya mereka satu tujuan?
"Sadewa! Kok malah diem!" ucapnya dengan menepuk pundaknya.
Sadewa terbuyar dari lamunannya, dia kembali terfokus pada Ara. Dia memberikan ponselnya dengan banyak pertanyaan di pikiran Sadewa.
"Kamu kenal sama orang itu?" tanya Sadewa berubah menjadi serius.
Ara menggeleng. "Nggak juga sih, aku ketemu dia cuma sekali yang aku ingat. Dia itu senior aku di kampus. Aku juga nggak tahu kenapa rasanya aku penasaran banget buat ke gunung itu. Kayak ada magnet yang menarikku untuk pergi kesana," jawab Ara dengan menatap ke layar ponselnya.
"Kamu suka sama senior kamu itu?" tanya Sadewa walau ragu jika dia menanyakan itu.
Ara terkekeh mendengarnya. "Gimana aku bisa suka sama dia. Kita aja ketemu baru sekali," jawabnya. "Nggak tahu nanti," lanjutnya dengan menoleh ke arah Sadewa.
Sadewa yang semula bernapas lega mendengarnya sekarang tertunda, kata nggak tahu nanti membuatnya berpikir apakah Ara nantinya akan menyukai orang yang akan dia cari.
"Kamu pasti akan bertemu dengannya," ucap Sadewa dengan mengalihkan pandangannya ke depan.