Chereads / Arabella / Chapter 10 - Tumbang

Chapter 10 - Tumbang

Masih dengan Ali, dia melihat pada tangan kanannya yang masih dicekal dengan gadis itu. Ali membalikkan badannya dan memandangnya lagi. Dia melepas kaca mata yang dia pakai.

"Lepas," ucap Ali singkat namun penuh dengan penekanan.

Gadis itu seketika melepas pegangannya pada Ali. Dan terlihat takut melihat Ali memandangnya datar. Rahang tegasnya memperlihatkannya seperti orang yang sangat familiar dengan ketegasannya.

Dengan lirih gadis itu berkata. " Ma maaf kan saya,"

Ali hanya mengagguk sekali. "Permintaan maaf diterima, tidak seharusnya kamu sembarangan mencekal tangan orang yang sama sekali belum kamu kenal. Kamu tidak tahu kan siapa saya?" ucapnya dingin.

Seketika gadis itu menggeleng, terlihat sangat imut saat dia mencebik.

"Astaga, apa yang lo pikirin Li? Dia itu cuma gadis biasa," batinnya sendiri.

Tak lama gadis itu mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Ali. Sembari berkata. "Saya Aliya,"

Ali sama sekali tak meresponnya. Ia hanya mengatakan siapa namanya. "Ali," tanpa menjabat tangannya.

Memang seperti itu Ali, pantas saja jika tidak ada wanita yang dekat dengannya. Sikapnya saja cuek, dingin seperti es balokan di kutup, garang seperti beruangnya.

Gadis yang bernama Aliya itu menurunkan tangannya. Padahal ia hanya berniat baik dengannya, hanya ingin berkenalan tapi sikap Ali malah sebaliknya. Aliya mungkin masih seumuran dengan Ali hanya mungkin lebih muda dibandingkan dengannya.

"Saya tidak punya banyak waktu, saya ada meeting hari ini jadi saya akan pergi," ucapnya dengan beranjak kembali.

"Bodoamat terserah kau Pak," batin Aliya dalam hatinya. Namun sedikit kesal, bukannya minta maaf sebab hampir menabraknya malah dia hanya diam tidak peka.

Belum sampai dia di mobilnya Ali terhenti dan berkata. "Saya minta maaf tadi hampir menabrakmu." Hanya itu yang dia ucapkan lalu membuka pintu mobilnya.

Aliya menyunggingkan sedikit senyumnya.

"Dasar oppa oppa kutub utara," ucapnya yang masih terdengar oleh Ali.

Ali yang mendengar kembali menatapnya. "Apa kamu bilang?" tanyanya yang membuat Aliya sontak menahan napasnya.

"Em itu, a... ada kucing lewat bagus banget," jawabnya asal dengan menunjuk kedepannya.

Ali menengokkan pandangannya namun tak melihat apapun disana. "Absurd," ucapnya singkat dan masuk kedalam mobilnya.

Aliya menghela napasnya lega. Untung saja Ali percaya. Walaupun tampang tegasnya seperti Ironman tapi songongnya minta ampun. Setampan apapun tidak akan berpengaruh mengubah Ali yang super duper galak, datar, cuek, dingin. Sepertinya sikapnya lebih dominan dengan stupid.

Ali kembali melajukan mobilnya dan tak menghiraukan lagi gadis yang sudah menepi itu. Yang terpenting dia harus cepat sampai dikantor.

Butuh waktu sepuluh menit untuk sampai di kantornya. Ali memarkirkan mobilnya dan mengambil tas kerjanya. Dia masuk ke dalam kantornya dan menuju ruangannya.

Terdengar sekertarisnya mengetuk pintunya. Dia mempersilakannya untuk masuk.

"Ada apa?" tanya Ali yang melihat sekertarisnya sudah masuk.

"Jadwal meeting nya sekarang Pak, Bapak sudah ditunggu di ruang meeting," ucapnya sopan.

"Baiklah, saya akan segera kesana," jawabnya. Dia sempat lupa jika sudah jadwal meeting.

"Baik Pak," sekertaris itu segera keluar dari ruangan Ali.

Ali bersiap untuk beranjak dari sana menuju ke ruang meeting nya. Tak lupa ia membawa berkas-berkasnya.

Dia masuk kedalam ruangan yang penuh dengan rekan bisnisnya. Dia menyapanya satu persatu dan terlihat ramah pada mereka. Ali duduk dan memulai meeting hari ini. Walaupun belum sempat dia memakan apapun saat berangkat tapi tak membuatnya terlihat lemas ataupun kurang semangat di depan para klien nya.

Hampir sekitar dua jam dia meeting. Akhirnya berakhir dengan kerja sama yang baik. Dia mendapatkan proyek besar untuk perusahaannya.

Satu persatu rekan bisnisnya pamit undur diri. Ali masih nenetap disana dengan memainkan ponselnya. Tak ada kabar dari Ara. Bahkan dia tidak mengirim pesan untuknya hanya untuk sekedar izin. Yang Ali tahu hanya surat yang Ara tinggal di mejanya, itupun tidak membuat Ali puas membacanya. Dia harus meminta penjelasan pada Ara lebih. Bagaimana jika ayahnya menanyakan Ara lagi. Harus berkata apa dia.

Bahkan Ali sendiripun tak tahu berapa lama Ara pergi. Dia tidak aakn marah jika Ara menghubunginya, hanya saja dia terlalu khawatir dengan keadaan adik satu-satunya itu. Andai dia bisa menyusulnya, pasti Ali sudah berangkat sekarang menjemput Ara.

Ali tersadar dari lamunannya saat sekertarisnya sudah berada di sampingnya ia duduk.

"Pak Ali tidak ingin kembali ke ruangan Bapak? Meeting kan sudah selesai," ucapnya dengan tenang.

Ali sempat tersentak saat mendengar sekertarisnya berbicara dengannya.

"Oh, ya ada apa Lai? Maaf saya kurang fokus makanya tidak mendengar tadi," tanya Ali pada sekertarisnya yang bernama Laila itu.

"Bapak belum mau keluar?" ulangnya lagi.

"Iya sebentar lagi. Kalau kamu mau duluan silakan, biarkan saya disini dulu," jawabnya.

"Baik Pak," kata sekertaris itu dan mendahului keluar setelah semua berkas sudah rapi di tangannya.

"Lai, apa nanti ada jadwal lagi dengan perusahaan lain?" ucap Ali sebelum Laila benar-benar keluar.

Laila mengecek agenda untuk Ali hari ini. Dan nampaknya tidak ada meeting lain hari ini.

"Tidak ada Pak," jawabnya dengan tersenyum.

"Ok, baiklah."

Ali kembali memikirkan bagaimana caranya agar dia bisa menyusul Ara. Bukan hanya tempatnya yang jauh tapi juga tempatnya yang belum pernah Ali singgahi. Satu hari saja tidak cukup untuk mencari Ara. Besok dia harus ke kantor ayahnya untuk menggantikan meeting disana, pastinya jika Ali tidak kesana semua tidak bisa berjalan dengan baik. Untung saja Ali bisa menghendel dua perusahaan itu. Dan jadwalnya juga tidak semua bersamaan. Jadi Ali bisa membagi waktunya.

Lama Ali tidak bergeming dari sana. Sampai dia terpikirkan bahwa dirinya harus menyelesaikan semua berkasnya yang belum sempat disentuh sekalipun.

Dia keluar seperti biasanya, disapa setiap karyawan ada pula yang sesekali berbisik dengan temannya membicarakan Ali yang bukan hanya tampan tapi karirnya yang begitu melejit di usia yang tergolong masih muda, tapi masih juga dia jomblo.

Langkah Ali terhenti saat tak sengaja secangkir kopi sudah menumpahi jas mahalnya. Dia melihat ke arah siapa yang membawa kopi itu tidak hati-hati.

"Ma maaf Pak, saya tidak sengaja," ucapnya pada Ali dengan lirih.

Ali memandangnya dengan tajam. Bagaimana bisa dia bisa bekerja dengan nyaman jika pakaiannya saja sudah kotor dan basah dengan kopi. Orang yang didepannya itu sepertinya Ali mengenalnya. Wajahnya masih sangat familiar dimatanya.

Dan sepertinya dia office girl baru di kantornya, sebab dia baru melihatnya kali ini.

"Lihat saya," ucap Ali saat office girl itu masih menunduk tak melihat pada Ali.

Dia melihat Ali dengan ragu. Apakah dia akan dipecat sekarang juga dengan Ali? Padahal baru saja dia diterima di kantor itu.

"Kamu lagi," ucap Ali lagi setelah face nya terlihat jelas.

Dia juga terdiam saat melihat Ali lagi. Kenapa bisa dia bertemu lagi dengannya. Ternyata office girl baru itu gadis yang hampir Ali tabrak saat menuju kantor.

"Sekali lagi saya minta maaf Pak, saya tidak sengaja. Saya baru saja masuk kerja hari ini, tolong jangan pecat saya," ucapnya memohon.

Ali menghela napasnya. "Baiklah, tidak apa-apa," jawabnya dan langsung beranjak dari sana. Meninggalkan Aliya yang masih merasa bersalah dengannya.

Ali tidak akan memperpanjang masalah itu dengan Aliya. Walaupun rasanya ia sudah setengah emosi dengan pertemuannya dengan Aliya.

Aliya masih disana memandang Ali yang kian menjauh darinya. Laila sekertaris Ali menghampiri Aliya disana. Mereka adalah sahabat dekat, dan sebab Aliya bisa bekerja disana itu karena bantuan dari Laila juga walaupun hanya sebagai office girl.

"Aduh Al, kenapa sampai bisa tumpah ke Pak Ali kopinya. Untung dia nggak pecat lo sekarang juga!" pekiknya khawatir jika sahabatnya itu bisa saja di kick langsung tanpa alasan.

Aliya masih cemas dengan kejadian baru saja itu. "Ya mana gue tahu Lai, gue juga nggak sengaja. Baru pertama kali juga gue kerja kayak gini." Bisiknya dengan Laila.

"Iya udah. Nanti biar gue yang bicara sama Pak Ali. Lo masih untung masih bisa kerja disini," tambah Laila.

"Oh, nggak usah Lai, biar gue sendiri aja. Ini salah gue jadi gue yang harus tanggung jawab sendiri. Makasih ya Lai bantuannya. Gue cabut dulu," kata Aliya dengan bergegas untuk pergi dari sana.

"Lo mau kemana Al?" tanya Laila yang melihat Aliya setengah terburu-buru untuk pergi.

"Gue mau kejar Pak Ali dulu. Gue mau tanggung jawab semuanya," jawabnya dengan spontan.

"Tapi Al," belum sampai Laila selesai berbicara Aliya sudah memotongnya.

"Lo tenang aja disini, gue akan terima apapun resikonya nanti. Tenang pasti gue masih bisa kerja disini," ucap Aliya dengan menepuk pundak sahabatnya itu.

Aliya bergegas pergi untuk mencari dimana Ali. Laila yang melihatnya hanya menggelengkan kepalanya heran dengan kelakuan sahabatnya itu. Walaupun sebenarnya Aliya adalah tipe yang penakut tapi dia jika sudah menyangkut soal tanggung jawab pasti tidak tanggung tanggung lagi.

Sebenarnya Ali tidak mempermasalahkannya tapi tetap saja, Aliya tidak enak dengannya. Bertemu dengannya tidak dengan situasi yang mengenakkan.

Ali terlihat mengibas ngibaskan jasnya yang kotor dengan berjalan menuju salah satu lift di kantornya. Mungkin dia akan pulang sekarang. Dia tidak bisa bekerja dengan kondisi jas dan kemejanya yang juga kotor.

Aliya berlarian kecil menyusul dimana Ali berada. Jangan sampai dia kehilangan jejaknya lagi. Sampai di dekatnya Ali membalikkan badannya melihat pada Aliya masih terengah-engah mengejarnya.

"Pak Ali," panggilnya dengan napas tersenggal.

Ali mengerutkan dahinya. "Ada apa?"

Aliya mencoba menetralkan napasnya. "Soal tadi, saya minta maaf ya Pak. Saya akan bersihkan jas Bapak yang kotor karena saya tadi," terangnya dengan tenang. Ah, bagaimana Aliya bisa tenang jantungnya saja serasa akan keluar dari tubuhnya. Bagaimana jika yang dia katakan membuat Ali jengah? Jika Aliya lihat saja dia tipe orang yang tidak suka berlebihan apalagi bertele-tele. Jika sudah tidak ya tidak, tidak bisa dibantah lagi. Padahalkan Aliya tadi sudah mendengar jika Ali sudah memaafkannya.

"Tidak apa-apa, saya bisa pulang untuk berganti pakaian."

"Tapi Pak, saya tidak enak dengan Bapak. Sedari tadi bertemu dengan saya selalu saja Bapak mendapat masalah. Biar sekali ini saja saya bertanggung jawab dengan keteledoran saya tadi. Atau mungkin saya bisa membantu Bapak untuk menebus kesalahan saya," selorohnya panjang lebar.

"Yang penting nggak Bapak pecat," batin Aliya.

"Tidak perlu, saya tidak membutuhkan bantuan. Lebih baik kamu kembali bekerja," balasnya singkat.

Ali beranjak dari depan Aliya dan memencet tombol pada lift. Aliya yang begitu keras kepala tetap saja mengikuti Ali sampai depan lift.

"Pak," baru saja Aliya akan berbicara kembali, Ali sudah memotongnya dengan nada tinggi.

"Kamu tidak dengar ya, apa yang saya bilang tadi? Saya sudah tidak mempermasalahkannya lagi! Dari pada kamu ngurusin saya terus, ngikutin saya terus, lebih baik kamu kembali kerja sekarang!" tegasnya.

Aliya hanya menunduk tak berani lagi melihat pada Ali. Ali berubah menjadi menyeramkan baginya. Apa dia salah jika hanya ingin membantunya saja? Atau caranya yang salah sebab dia terlalu kekeh dengan keinginannya sendiri untuk membantu, sedangkan Ali sudah tidak mempermasalahkan?

Ali menghela napasnya pelan. Tidak seharusnya dia membentak Aliya seperti itu.

Dia terbawa emosi sampai Aliya menjadi sasarannya marah. Mungkin sebab dia terlalu banyak yang dia pikirkan, dari ayahnya yang sakit, Ara yang kabur dari rumah, belum lagi tugasnya yang menumpuk di kantor belum dia kerjakan lagi. Dia juga manusia biasa yang bisa kapan saja lelah.

"Maaf, saya tidak bermaksud membentakmu," ucap Ali. Walaupun dia terkenal dinginnya dan sekali saja dia membentak seperti singa yang mengaung tapi dia tidak tega melihat orang yang di depannya ini. Apalagi jika perempuan, hatinya yang lembut tak ingin Ali melukainya. Jangan sampai dia menangis. Sebab sama saja dia akan menyakiti hati bundanya.

"Sekali lagi saya minta maaf Pak," jawab Aliya dengan tersenyum tipis. Matanya sempat berkaca-kaca saat menunduk, tak pernah dia dibentak seperti itu. Mungkin dia belum bisa beradaptasi dengan dunia kerja, dia baru kali ini bekerja. Semenjak keluarganya bangkrut semua hartanya terkuras habis untuk membayar hutang papanya yang sudah terlanjur banyak. Sebelumnya Aliya hidupnya sangat mewah dengan fashion yang selalu glamour.

Kini semuanya berbanding terbalik. Dia harus bekerja membantu papanya untuk mencukupi kebutuhan keluarganya.

Ali hanya mengangguk dan tersenyum padanya. Walaupun senyum yang dipaksakan agar tidak terlalu datar. Dia masuk kedalam lift yang sudah terbuka.

Tak menyangka Aliya juga mengikutinya lagi.

Dia melirik Aliya yang sudah berada di sampingnya.

"Kenapa kamu ikut masuk? Mau ngikutin saya lagi?" ucapnya kali ini dengan nada yang biasa saja.

Aliya menautkan alisnya. "Saya mau kebawah juga Pak, saya ada kerjaan di bawah untuk bersih-bersih. Bukan saya mau ngikutin Bapak,"

"Kenapa tidak setelah saya saja?" tanya Ali lagi.

Aliya mendesah pelan. "Memangnya tidak boleh ya Pak, kalau misalkan saya satu lift sama Bapak? Lagi pula saya tidak bisa menunggu terlalu lama lagi."

"Oh seperti itu," tanggapan Ali yang hanya dibalas anggukan oleh Aliya.

Ali memalingkan wajahnya dengan mendongakkan kepalanya ke atas. Tubuhnya yang tegap berdiri dia sandarkan di dinding lift yang masih berjalan turun.

"Bapak belum jawab satu pertanyaan dari saya," ucap Aliya lagi.

"Pertanyaan apa?" tanya Ali dengan memiringkan kepalanya melihat pada Aliya.

Aliya lama-lama gemas dengan Ali, tanpan-tampan tapi pikunan.

"Memangnya tidak boleh saya satu lift dengan Bapak?" ulangnya lagi.

"Boleh saja, tapi nanti takutnya jadi fitnah. Banyak yang mengira saya ada apa-apa sama kamu dimana-mana selalu bareng berdua," terangnya.

"Lah, baru sekali kan bareng sama Pak Ali, ya cuma sekarang ini yang sebelum-sebelumnya cuma kebetulan saja," bantahnya lagi.

"Sudahlah tidak usah dibahas lagi."

Mereka sama-sama diam beberapa menit hening. Namun lift yang mereka diami sekarang ini tiba-tiba bergoyang tak jelas. Lampunya juga berkedip seperti akan mati. Aliya sontak melihat pada kanan kirinya.

"Loh, kenapa ini?" ucap Aliya panik.

Mereka berdua seperti oleng. Entah apa yang terjadi pada lift ini. Tidak biasanya seperti ini. Mereka menjaga keseimbangan masing-masing tak ada pegangan untuk mereka tetap seimbang. Ali tak sengaja menyenggol Aliya dan hampir terjatuh tidak bisa menyeimbangkan dirinya. Dengan sigap Ali menangkapnya seperti pada drama di film-film. Pandangan mereka sempat bertemu beberapa detik. Lift berhenti dengan goncangannya. Ali membantu Aliya agar tidak terjatuh lagi.

"Maaf," ucap Ali, yang entah sudah berapa kali dia mengatakan maaf. Walaupun jarang sekali dia mengatakannya.

Lift yang tiba-tiba berhenti tak bergerak lagi membuat Ali kembali memencet di salah satu tombol lift itu. Sialnya tak ada lagi yang bisa ia lakukan. Dia memandang pada Aliya yang masih setia berdiri di belakangnya.

"Kenapa Pak?" tanya Aliya.

"Sepertinya liftnya mati Al, bagaimana ini?" ucapnya dan pertama kalinya dia memanggil Aliya dengan namanya. Biasanya kalau tidak hanya kamu atau anda dengan bahasa yang sangat formal.

Aliya juga tahu jika liftnya mati. Tapi apa yang bisa dia lakukan, hanya bisa menunggu sampai sistemnya diperbaiki oleh petugas di kantor.

Ali membuka ponselnya. Dan ternyata signal di ponselnya juga menghilang. Tidak tepat sekali dengan waktunya.

"Sudah Pak, kita tunggu saja sampai semuanya selesai diperbaiki," lontarnya yang melihat Ali mondar-mandir di dalam lift.

Lima menit di dalam lift mati seperti sudah satu hari bagi Ali. Dia tidak bisa menunggu terlalu lama.

Ali yang melihat Aliya duduk bersandar di lift dia ikut duduk juga disampingnya.

Aliya memandangnya dan tersenyum agar tidak terlihat semburat cemasnya terjebak di dalam lift seperti ini.

"Kamu karyawan baru disini ya?" ucap Ali mengawali percakapannya lagi.

"Iya Pak. Ini hari pertama saya," jawabnya.

"Pantas saya baru melihat kamu."

Aliya hanya terkekeh pelan mendengarnya.

Ali bukan tipe orang yang banyak topik dalam mengobrol biasa seperti ini. Dia tidak tahu apa yang akan dia tanyakan. Mungkin hanya itu saja.

Sudah sekitar lima belas menit mereka di dalam lift, namun tak kunjung juga lift kembali berjalan.

Oksigen didalamnya juga semakin menipis. Udaranya juga terasa panas. Membuat Ali ingin melepas saja jasnya, lagi pula dia memakai kemeja panjang.

Baru saja Ali akan melepas jasnya namun terhenti saat Aliya sudah angakat bicara lagi.

"Pak Ali mau ngapain?" ucapnya dengan berjaga jarak. Seperti social distancing saja.

"Jas saya terlalu panas, jadi saya lepas saja dari pada tambah panas tidak jelas seperti ini," jawabnya dengan melepas jasnya.

"Kenapa kamu menjauh dari saya? Kamu takut dengan saya? Saya ini orang baik, saya tidak akan macam-macam," tambahnya lagi dengan mengibaskan jasnya untuk mengipasi dirinya.

"Tidak, saya cuma geser sedikit saja. Lagi pula lift ini kan luas tidak ada salahnya saya bergeser," alibinya yang sempat dia salah paham.

Ali tidak menanggapinya lagi. Dia sudah lelah berbicara terlalu banyak. Bukan tipenya untuk berbicara panjang lebar.

Keringatnya sudah meluncur di pelipisnya. Kepalanya sedikit pusing dengan lambung yang serasa digelintir. Sepertinya perutnya yang belum terisi sedikitpun pagi ini sudah bereaksi.

Ali masih kuat manahannya. Hanya sesekali ia menggelengkan kepalanya yang terlihat sangat berkunang. Aliya yang memperhatikan Ali yang wajahnya mulai memucat menanyainya lagi.

"Pak Ali kenapa? Pak Ali sakit?" tanyanya sedikit khawatir.

"Tidak, saya baik-baik saja," jawabnya tak ingin terlihat lemah.

"Tapi wajah Pak Ali pucat sekali," ucapnya lagi.

Ali menggelengkan kepalanya.

Lama-lama tubuh Ali mulai melemas. Seperti tak ada tenaga lagi. Dia mulai terhuyung membuat Aliya sontak menahannya agar tidak terjatuh ke lantai.

"Pak, Bapak kenapa? Jangan-jangan Bapak sakit?" ucapnya dengan menempelkan tangannya ke dahi Ali. Terasa sangat panas dan keringat dingin membasahi pelipisnya.

Aliya tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Jika Ali tak sadarkan diri bagaimana? Liftnya tak kunjung juga terbuka. Dia menopang tubuh Ali dengan mendekapkan tangannya.

"Saya tidak apa-apa Al, tidak usah khawatirkan saya," ucap Ali dengan lirih. Masih sempat-sempatnya dia berbicara baik-baik saja.

"Pak Ali pasti belum makan dari tadi pagi? Makanya Pak Ali jadi seperti ini," celetuknya.

"Iya, memang dari kemarin malam saya tidak makan sama sekali. Dan pagi ini saya tidak sempat sarapan. Ayah saya sakit jantungnya kambuh jadi saya harus merawatnya dulu," ungkapnya.

Aliya menghela napasnya. "Harusnya Pak Ali juga ingat kesehatan sendiri, semuanya tidak akan jalan kalau Pak Ali sakit. Sekarang bagaimana jika sudah seperti ini? Pak Ali juga kan yang tanggung," cemasnya.

Sebenarnya dia juga salut dengan Ali yang begitu sayang dengan keluarganya, apalagi dengan ayahnya. Bahkan sampai tidak memikirkan dirinya sendiri.

Tak berselang lama, pintu lift sudah mulai bergerak melebar membukakan jalan untuk mereka menampakkan cahaya dari luar.

Semua yang ada di balik pintu lift tercengang melihat Aliya dan juga Ali berada di dalamnya. Sementara Ali dalam kondisi yang sedang sakit. Mereka semua sontak membantu Ali untuk memapahnya berjalan keluar setelah lamunan mereka terbuyar dengan Aliya yang bersuara.

Mereka membawa Ali diikuti Aliya dibelakangnya. Oksigen di dalam lift yang minim membuatnya sedikit sesak napas. Bagaikan ikan terbang ke daratan tanpa air.

Aliya terkejut saat ada yang menepuk bahunya dari belakang. Dia menoleh untuk mengetahui siapa yang menepuknya.

"Oh kamu Lai, kenapa?" tanyanya santai.

"Al, kamu nggak apa-apa kan? Kok bisa terjebak satu lift sama Pak Ali?" ucapnya dengan memutar tubuh kawannya itu.

Aliya memijat pelipisnya saat Laila berhenti memutar dirinya.

"Gue nggak kenapa-kenapa Lai, Pak Ali tuh tadi yang hampir semaput. Duh pusing gara-gara lo puter gue kayak gangsing," jawabnya.

"Maaf Al, soalnya gue khawatir banget sama lo. Gue kaget pas lihat lo ternyata di dalam lift. Gue kira lo udah pulang."

"Gimana ceritanya Pak Ali sampai mau pingsan gitu? Lo nggak di apa-apain kan sama Pak Ali? Lo nggak dipecatkan sama dia?" tanya Laila lagi.

Aliya menghela napasnya jengah. " Ceritanya panjang Lai, nanti aja gue ceritain. Gue mau cari minum. Haus banget kejebak lift mati," jawab Aliya dengan berjalan lelah meninggalkan Laila disana.

Sedangkan Ali, sekarang dia dibawa ke rumah sakit untuk memeriksa keadaannya. Beberapa karyawan mengantarnya dengan membawa mobilnya. Tak perlu waktu lama mereka sampai dir rumah sakit dekat dengan kantornya.

Ali dibaringkan di atas brankar didorong menuju ruang periksa oleh beberapa perawat. Kebetulan dokter disana adalah temannya sewaktu SMA dulu jadi sudah lumayan dekat dengan Ali.

Setelah ia diperiksa namun Ali harus menjalani perawatan disana. Untuk istirahat beberapa waktu saja agar kembali pulih.

"Lo kenapa sih Li? nggak biasanya lo sampai tumbang kayak gini," tanya seorang dokter yang memeriksanya. Septian namanya.

"Gue kecapekan aja Sep," jawab Ali dengan tersenyum tipis ke arahnya.

Septian terkekeh melihatnya. "Pasti bukan cuma itu, lo juga banyak pikiran kan? Apa yang lo pikirin sih? Cerita aja sama gue," tebaknya.

Ali mendesah lemah. "Gue emang banyak pikiran sekarang. Dari mulai rumah sama kantor semua harus gue kerjain. Ditambah lagi Ayah gue yang sekarang penyakit jantungnya kumat, adik gue yang kabur dari rumah. Sedangkan kantor juga butuh gue, Gue nggak bisa jagain Ayah, gue juga nggak bisa jagain adik gue."

"Lo tenangin pikiran lo, jangan buat beban semua itu. Pikirin baik-baik, Ayah lo masih butuh lo, adik lo pasti bakalan balik kok," ucap Septian.

"Nggak guna banget gue!" keluh Ali.

"Jangan pernah ngerasa hidup lo nggak guna. Masih banyak orang diluar sana yang pengen kayak lo. Lo itu udah sukses, mapan, tajir melintir, apa yang kurang dari lo? Orang tua lo beruntung banget punya anak kayak lo!" jawab dokter sekaligus kawannya itu.

"Gue punya segalanya, tapi gue nggak punya waktu. Waktu buat mereka, kerjaan buat gue jauh dari mereka," terang Ali.

"Yang lo pikirin kerja terus Li, nggak capek apa?"

"Capek banget gue,"

"Itu namanya efek karena lo terlalu lama sendiri. Cepat-cepat lo itu cari pendamping hidup lo. Yang bisa ngurusin lo dan juga bisa bantuin lo ngehendel rumah. Lo terlalu sibuk ngurusin kerjaan sampai lo lupa kalau sebenarnya diri lo capek," ungkap Septian merembet topik pendamping.

"Kok jadi ke situ yang lo omongin?"

"Gue cuma ngingetin. Apa jangan-jangan lo belum juga cari doi?" tanya dokter itu dengan to the point.

Ali tersenyum ke arahnya. " Gue udah ada," jawabnya mantap. Siapa dia?

"Mantep. Siapa? Cepetan halalin keburu disaut orang," ucapnya dengan terkekeh.

"Nanti, tunggu aja undangan dari gue, nanti juga lo tahu. Kalau emang jodohnya nggak bakalan kemana,"

"Bisa aja lu. Gue tunggu pokoknya."

Setelah lama Septian berbincang dengan Ali, dia pamit undur diri sebab ada pasien yang harus dia tangani.

"Gue cabut dulu bro, ada tugas menanti. Lo cepet sembuh," pungkasnya mengakhiri percakapan mereka.

"Yah, lo ninggalin gue?" canda Ali dengan Septian.

"Ya masak iya gue harus nungguin lo," jawab Septian.

"Iya deh, sibuk banget lo," papar Ali padanya.

"Udah tugas bro," jawabnya dengan terkekeh.

"Ya udah sana lo keluar."

"Iya iya nggak sabaran banget sih lo. Pokoknya gue tunggu undangan dari lo. Anak gue aja udah dua mau nambah satu malah lo belum nikah. Kan nggak lucu banget," ucapnya dengan menepuk pundak Ali.

Ali hanya tersenyum miring mendengarnya. "Nggak asik lo!"

Septian menggelengkan kepala melihatnya. Dia keluar dengan masih terkekeh pelan melihat Ali. Seperti ini rasanya kembali bertemu dengan teman SMA nya dulu.

Ali hanya memandang Septian yang kini tengah keluar dari ruangannya. Ali hanya terdiam menghela napasnya panjang. Memandangi infus yang tertancap di tangan nya.