Cukup lama untuknya terlihat kuat, namun sekuat apapun pasti akan rapuh suatu saat.
Ali membuka laci di ruang tamunya. Mencari-cari sesuatu yang biasanya ayahnya simpan disana. Buku catatan yang berisi kumpulan nomor telephone beserta alamatnya.
Tak lama setelah Ali mengobrak-abrik tumpukan kertas-kertas disana dia menemukan apa yang dia cari. Lembar demi lembar ia buka mencari satu nama yang akan akan dia tuju.
"Ah, ini dia ketemu juga," ucapnya dengan mengetikkan satu persatu angka kedalam ponselnya. Ia tekan tombol panggilan di sebelah nomor yang sudah dia simpan.
Panggilan yang Ali tuju masih saja berdering di sebrang sana. Panggilan pertama hanya mbak-mbak operator yang menjawab panggilannya. Namun pada panggilan kedua Ali mencoba bersabar dan akhirnya di angkat juga oleh si pemilik nomor.
"Halo," sapa Ali mengawali percakapan di panggilannya.
"Iya halo," jawab seseorang dalam panggilan itu.
"Apa benar ini dengan dokter Bima Ramadan?" tanyanya memastikan kebenaran nomor yang tercatat pada sebuah catatan buku nomor telephone.
"Iya benar, maaf dengan siapa ini?"
"Saya Radinka Ali Pratama, putra dari Bapak Pratama."
"Oh iya saya ingat. Ada yang bisa saya bantu?" ungkapnya dalam percakapannya dengan Ali.
"Apa benar dokter yang menangani penyakit jantung Ayah saya dulu?"
"Iya benar saya yang selalu menangani Ayah anda dulu. Tapi saya sudah lama tidak melihat beliau cek up ke rumah sakit. Bagaimana keadaan beliau? Keadaannya sudah membaik?"
Ali menghela napasnya hingga terdengar di panggilannya.
"Kenapa? Apa ada masalah lagi dengan keadaannya?" tanya dokter Rama lagi saat Ali tak menjawabnya.
"Sebenarnya keadaannya selama ini tidak begitu membaik. Ayah hanya meminum obat yang saya rasa hanya menghilangkan sakitnya sementara saja. Dan sekarang Ayah saya kambuh lagi, itu kenapa saya menghubungi dokter. Bisa kan dokter datang kerumah saya sekarang? Saya mohon," terangnya pada dokter Rama.
"Baiklah saya akan kesana sekarang," jawabnya.
Ali menyunggingkan senyumnya. "Baik, sekali lagi terimakasih dok,"
Ali mengakhiri panggilannya dan beranjak menuju kamar Ayahnya. Sekilas dia melihat pada jam dinding di tembok putihnya. Sontak Ali teringat bahwa dia ada meeting pagi ini di kantornya. Dia membuka ponselnya lagi dan menghubungi sekertarisnya.
"Iya halo," ucapnya setelah panggilan terjawab.
"Tolong kamu atur lagi jadwal meeting pagi ini. Ayah saya sakit, saya akan datang ke kantor setelah keadaan Ayah saya sudah begitu membaik. Kabari saya jika sudah kamu atur jadwalnya," lanjut Ali lalu ia akhiri setelah mendengar jawaban dari sekertarisnya itu.
Dia kembali berjalan menghampiri ayahnya. Ali membuka pintu dengan pelan. Ternyata ayahnya sudah tidur setelah meminum obatnya. Sepertinya dia juga kelelahan karena terlalu memaksakan dirinya bekerja menangani setiap proyek besar sampai dia lupa jika dirinya begitu ringkih.
Ali duduk di sofa dekat dengan tempat tidur sang ayah. Dia menatapnya iba, Ali mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia sudah gagal menjaga adiknya, dia juga gagal membujuk ayahnya untuk memeriksakan keadaannya yang kurang baik itu.
Ara, dia teringat adiknya itu. Dimana dia sekarang? Bagaimana jika terjadi sesuatu padanya?
Ali ingin mencarinya sekarang juga, tapi kondisi ayahnya yang kurang baik membuatnya mengurungkan niatnya. Dan lagi pekerjaannya yang tidak bisa ia tinggal begitu saja. Sungguh, kesibukannya membuatnya jarang memperhatikan keluarganya apalagi dengan Ara.
Ali mencoba menelphone Ara. Jika Ara tahu kalau ayahnya sedang sakit pasti Ara akan cepat kembali dan Ali tidak perlu mencarinya lagi.
Namun nihil, pertamanya sudah ada notif berdering di ponselnya namun tak juga di terima oleh Ara. Sampai ia ulang berulang kali hingga kini ponsel Ara sepertinya sudah dimatikan.
Sampai lamunan Ali terbuyarkan dengan suara klakson mobil di halaman rumahnya. Dia melihat pada jendela di sampingnya. Itu pasti Ara, pikirnya. Namun yang keluar dari mobil itu nampak seorang dokter muda dengan setelan jas putihnya.
Ali segera turun dan membukakan pintu. Sampai di ruang tamu terlihat asisten rumah tangganya yang terlihat tergesa-gesa ingin membukakan pintu setelah mendengar pencetan bel berulang kali.
"Biar saya saja yang membukanya Bi," ucapnya.
"Oh, iya Den," jawab asisten rumah tangga itu dan kembali lagi ke dapur.
Ali membukakan pintu dan terlihat di depannya seorang dokter tersenyum padanya.
"Selamat pagi, Pak Ali?" sapanya dengan menanyakan apa benar jika itu Ali yang menelphone nya tadi.
"Selamat pagi juga dok. Mari silakan masuk," jawabnya dengan mempersilakan masuk dokter Rama.
Dokter Rama mengikuti kemana Ali berjalan ke kamar ayahnya. Mereka belum nampak akrab satu sama lain. Dokter Rama yang memiliki nama lengkap Bima Ramadan itu adalah salah satu dokter yang dulu memeriksa ayahnya jika cek up di rumah sakit. Mungkin mereka berdua masih seumuran, namun sepertinya dokter Rama lebih muda dari Ali. Karirnya menjadi seorang dokter juga membuatnya semakin lebih dewasa dibandingkan dengan umurnya.
"Oh iya, kita lupa berkenalan. Saya Bima Ramadan, anda bisa memanggil saya dengan sebutan Rama," ucap dokter Rama dengan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Ali.
Ali tersenyum ramah dengan membalas uluran tangan dokter muda itu. "Saya Ali. Senang bisa bertemu dengan dokter."
Dokter Rama terkekeh. " Ah iya, panggil saja nama saya. Sepertinya kita seumuran."
"Tetap, walaupun saya sudah kenal dengan anda, saya akan memanggil dengan sebutan dokter," jawabnya dengan bergurau.
Sepertinya mereka sudah saling membuka untuk pertemanan. Hingga tak sadar jika sudah berada di dekat pintu kamar ayah Ali.
Ali membukakan pintunya dan mereka masuk dengan melihat ayahnya yang masih beristirahat.
Dokter Rama meletakkan tasnya di sofa dan mengambil peralatan medisnya untuk memeriksa keadaan Pak Tama. Baru saja dia membuka tasnya suara Pak Tama membuat mereka menengok ke arahnya.
"Ali, kok kamu belum berangkat ke kantor?"
"Belum Yah, Ali mau jagain Ayah dulu. Ali sudah panggilkan dokter Rama untuk memeriksa Ayah," jawabnya dengan melihat ke arah dokter Rama.
Dokter Rama tersenyum ramah dengan ayahnya saat namanya disebut oleh Ali.
"Kan Ayah tadi sudah bilang sama kamu, kalau Ayah baik-baik saja. Tidak ada yang perlu kamu risaukan."
"Sebaik-baiknya kondisi Bapak sekarang, Bapak juga harus diperiksa lebih lanjut agar Bapak tahu bagaimana perkembangan kesehatan jantung Bapak," ucap dokter Rama setelah mendengar apa yang diucapkan oleh pria paruh baya itu.
"Ya sudah jika kalian memaksa," lanjut ayahnya sebab Ali tetap saja tidak bisa dibantah olehnya.
Mereka tersenyum mendengar apa kata Pak Tama. Dan sekarang dokter Rama memeriksa keadaan ayah Ali. Mereka mungkin sudah begitu akrab sebab dulu sering kali mereka bertemu sebulan sekali atau mungkin seminggu. Dokter Rama sudah dianggap seperti anak sendiri dengan Pak Tama, jadi sudah tak heran lagi jika Pak Tama memanggilnya hanya dengan namanya saja.
"Ah, jadi merepotkan Rama saja harus jauh-jauh datang kesini," ungkapnya dengan terkekeh.
"Tidak masalah Pak, lagi pula rumah saya sekarang dekat, masih satu kompleks malah, jadi tidak butuh waktu lama."
"Benarkah? Bukannya dulu kamu tinggal di kompleks sebelah?"
"Iya itu dulu, sekarang saya sudah pindah kesini," terangnya dengan masih memeriksa.
"Oh seperti itu. Kenapa tidak berkunjung kesini?" tanya Pak Tama lagi.
"Saya kan belum tahu kalau ternyata rumah Bapak di kompleks ini juga."
"Sudah, keadaan Bapak baik-baik saja. Hanya perlu istirahat beberapa waktu. Jangan terlalu banyak bekerja dulu, apa lagi terlalu syok. Dan sebaiknya Bapak harus rutin cek up lagi," ucap dokter Rama setelah memeriksa Pak Tama.
Ayah Ali hanya bisa menghela napasnya dan tersenyum dengan Rama. "Baiklah." Ia menyanggupi apa yang dikatakan dokter Rama.
Mereka lama dalam perbincangan hangat di rumah Ali. Sampai akhirnya dokter Rama memutuskan untuk undur diri dari sana untuk melanjutkan tugasnya di rumah sakit.
Hari ini Pak Tama ayah Ali harus mengambil cuti untuk beberapa waktu kedepan, sebab kondisinya yang belum begitu pulih. Semua kerjaan di kantornya terpaksa haruslah Ali yang menyelesaikannya. Dia harus datang pagi ini di kantornya untuk meeting yang sempat tertunda. Ali bergegas untuk berangkat sebelum waktu semakin membuatnya terlambat.
Dia membuka pintu kamar ayahnya untuk sekedar pamit, namun saat ia buka ternyata ayahnya sudah istirahat dengan nyenyaknya dan Ali tidak tega untuk membangunkannya.
Ali berjalan menuruni tangga rumahnya dengan sesekali melirik jam tangan yang melingkar di pergelangannya.
Pandangannya tertuju pada ruang tamu yang sedang di bersihkan oleh asisten rumah tangganya. Ali mempercepat langkahnya dan menghampirinya.
"Bi, nanti kalau Ayah bangun tolong siapkan obat yang harus Ayah minum siang ini ya," ucapnya .
Asisten rumah tangga itu membalikkan badannya menoleh pada sumber suara dibelakangnya. "Baik Den, nanti saya siapkan."
Ali mengangguk dan kembali beranjak dari sana. "Oh iya, nanti kalau Ayah tanya saya kemana bilang saja ke kantor," ucapnya sebelum benar-benar keluar dari rumahnya.
"Iya Den," jawab asisten rumah tangga itu. Dia nampak heran dengan anak majikannya itu, tidak biasanya dia mendengar Ali berbicara sepanjang itu. Mungkin kata terpanjang dari Ali.
Mobil yang terparkir di garasi kini sudah melesat keluar dari pekarangan. Pintu gerbang yang terbuka kini sudah tertutup lagi. Nampaknya Ali harus bergegas untuk melajukan mobilnya. Jangan sampai rekan bisnisnya nanti harus menunggu dirinya terlalu lama atau tidak malah membatalkan kerja sama dengannya.
Ali mengemudi dengan kecepatan rata-rata, mobilnya sudah menembus keramaian jalan raya didepannya. Tidak sempat sarapan pagi ini membuatnya kurang fokus menyetir. Di depan sana ada seseorang yang ingin menyebrang di tengah ramainya jalanan. Hampir saja dia menabrak orang itu. Rem yang dia pijak sampai berbunyi nyaring di telinga. Nyaris orang itu tertabrak.
Mobil ia hentikan tepat di depan orang itu, mungkin jaraknya hanya kurang satu meter saja dari orang itu. Dan ternyata dia seorang gadis. Ali turun dari mobil dengan menghentak kasar. Pasalnya ada-ada saja pagi ini yang menghalanginya untuk ke kantor, padahal dia buru-buru sekali. Dia melihat gadis itu masih menutupi wajahnya dengan kedua tangannya dengan terpejam. Mungkin dia kira sudah tertabrak oleh Ali.
"Ngapain di tengah jalan?" ucap Ali dengan melepaskan tangan gadis yang menutupi wajahnya sendiri.
Gadis itu membuka matanya dengan takut-takut. Melihat sosok Ali di depannya membuatnya terkejut, apakah dia sudah berpindah ke dunia dongeng dan diselamatkan oleh pangerannya. Wajah tampan Ali sangat jelas dimatanya. Apalagi sekarang dia sedang menatap gadis itu, walaupun tanpa ekspresi yang membuat setiap orang berkata bahwa dirinya pasti orang yang sangat angkuh. Jauh dari kata itu, namun aslinya sosok Ali adalah pria yang sangat perhatian walaupun jarang dia menunjukkan nyata pada orang lain dan mungkin orang lain hanya tidak menyadari akan hal itu.
"Kenapa diam?" ucapnya lagi dengan ekspresi datar, terlihat cuek, dingin, dan ketus.
Gadis itu tidak bersuara sedikitpun membuat Ali berpikir hanya membuang-buang waktunya saja. Ali memutar badannya dan berjalan kembali ke tempat mobilnya berada.
Belum sampai beberapa langkah, dia merasa tangannya di cekal oleh seseorang.