"Sa, kok gue kayak pernah lihat orang itu ya?" ucap Ara masih terfokus dengan sosok yang ada jauh di depannya.
Sadewa mengerutkan dahinya seraya melihat kearah dimana Ara memandang. Sepertinya dia juga mengenalnya, namun Sadewa tak ingat betul siapa pria paruh baya yang ada disana. Nampak dia sedang mencari-cari sesuatu di sekitar kendaraannya. Lebih tepatnya sebuah angkot biru yang terparkir di pinggir jalan.
"Kayaknya gue pernah lihat Bapak itu, tapi dimana?gue lupa," terangnya pada Ara.
Ara mendongakkan wajahnya melihat pada Sadewa. Saking tingginya perawakan Sadewa membuat Ara harus mendongak saat ingin melihatnya dengan jarak dekat seperti ini.
"Lo kenal?" tanya nya lagi pada Sadewa.
"Kan gue bilangnya pernah lihat Ra, bukan kenalan sama Bapak itu," jawab Sadewa santai.
Ara hanya mengangguk mendengar jawaban Sadewa. Mereka semakin dekat dengan jarak orang itu. Memang benar sosok itu sangat familiar di mata mereka namun mereka tak begitu mengingatnya detail.
"Kita tanya aja Ra. Ngapain dia disini," ajak Sadewa.
Ara menghentikan langkahnya dengan menatap pada Sadewa disebelahnya. Sadewa turut menghentikan langkahnya saat Ara terhenti memapahnya.
"Kenapa?" tanya Sadewa lagi.
"Gue takut. Nanti kalau tiba-tiba Bapaknya bisa ngilang gimana?"
Sadewa tersenyum tipis mendengarnya."Nggak usah takut, kan ada gue."
Ara memutar bola matanya malas. "Seriusan Sa. Kaki lo aja masih kayak gini," ucapnya seraya melihat kaki Sadewa yang masih tampak memar.
"Bapak itu orang biasa Ra. Bukan Ironman!" jawabnya dengan terkekeh.
"Udah yuk. Tenang aja," ucap Sadewa meyakinkan Ara.
Ara pun memapah kembali Sadewa. Sampai di tempat pria paruh baya itu mereka terhenti kembali saat orang itu mengalihkan pandangannya pada mereka berdua.
"Maaf Pak, kenapa berhenti disini?" sapa Sadewa saat mereka sudah berhadapan.
Seketika orang itu menoleh dengan tersenyum tipis ke arah Ara dan juga Sadewa. Ara yang melihatnya masih terdiam walaupun banyak pertanyaan di benaknya. Sedikit bergidik ngeri saat melihat pria itu tersenyum ke arahnya. Pasalnya wajahnya yang sedikit pucat seperti kedinginan. Dan mungkin saja, sebab cuaca yang mendung dengan air hujan yang baru saja turun membuat suhu disekitaran semakin dingin.
"Iya, kebetulan tadi saya nganterin penumpang kesini. Tapi tiba-tiba angin kencang sekali, entah datangnya dari mana. Kemarin saya dapat selembar kertas dari seseorang, tapi saya cari lagi sudah hilang. Mungkin saja sebab angin tadi. Padahal belum sempat saya baca isinya," terang bapak itu dengan menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal.
Sadewa hanya mengangguk paham. Sedangkan Ara juga ikut mengedarkan pandangannya pada sekeliling angkot itu. Sukur-sukur bisa bantu bapak itu.
Ara juga penasaran apa yang bapak itu cari. Seperti penting sekali baginya, tapi jika penting kenapa dibiarkan hilang begitu saja, belum sempat dibaca pula.
Sampai Ara tertuju pada sesuatu yang mirip dengan selembar kertas di samping ban angkot itu.
Ara sedikit berjongkok untuk mengambil benda itu. Sadewa yang melihatnya hanya mengikuti kemana Ara terduduk.
"Ngapain Ra?" tanya Sadewa yang turut berjongkok di samping Ara.
Ara hanya melihatnya sepintas dan tangannya kembali meraih selembaran itu.
"Apa itu?" tanya Sadewa lagi saat pertanyaan pertamanya tak mendapat jawaban dari Ara.
"Coba lo lihat ini," ucap Ara dengan memperlihatkan selembaran kertas itu pada Sadewa. Sedangkan Sadewa hanya mengerutkan keningnya, baginya hanyalah sebuah surat biasa bahkan sedikit noda di pucuknya. Mungkin sebab jatuh di aspal yang masih basah sebab hujan tadi.
"Apa ini yang dicari Bapak itu tadi? Kok Bapaknya nggak lihat kertas segede gini?" lanjutnya dengan membolak balikkan kertas itu.
"Mungkin Bapaknya tadi belum cari di sebelah sini," jawabnya dengan mengendikkan bahunya.
"Nah ini yang saya cari sedari tadi," ucap bapak itu dengan spontan yang membuat mereka terkejut. Mereka bangkit dan menatap bapak itu dengan seksama.
"Jadi ini yang Bapak cari-cari?" tanya Sadewa dengan menunjuk selembaran kertas di tangan Ara.
"Iya itu yang saya cari," tegasnya sekali lagi.
"Kok Bapak nggak lihat kertas ini di samping ban mobil Bapak? Padahal jelas banget tadi." Kini Ara yang kembali berucap.
"Ya mana saya tahu Neng, saya juga baru aja nyari," jawab bapak itu dengan terkekeh.
Ara hanya ber oh dan mengangguk paham. Dia masih ingin menanyakan banyak hal dengan bapak ini, tapi saat Ara ingin kembali berucap Sadewa sudah mengisyaratkannya untuk tidak menanyakan apa pun lagi. Ara hanya menurut dengan menyodorkan selembaran itu pada pria paruh baya di depannya.
"Makasih ya kalian berdua sudah bantu saya buat nemuin surat ini," kata bapak itu setelah dia tersenyum lega saat suratnya telah kembali di tangannya.
"Iya sama-sama Pak," balas Sadewa dengan tersenyum simpul.
"Emm... Apa sebelumnya kita pernah ketemu ya Pak?" tanya Ara sudah tak tahan dengan isi pikirannya.
Bapak itu yang mendengar pertanyaan Ara seperti mengingat-ingat sesuatu. Mungkin mereka pernah bertemu sebelumnya. Dan dugaan Ara ternyata benar bapak itu menjawab seperti apa yang dia pikirkan.
"Oh iya. Saya ingat, kalian berdua yang saya antar ke terminal malam-malam itu kan?"
Sontak Ara menepukkan kedua tangannya. "Iya, ya ampun Pak! Saya lupa kalau Bapak ini yang nganter saya waktu itu! Bener Sa, Bapak ini yang punya angkot malam itu!" ucapnya dengan menepuk lengan Sadewa keras.
Sadewa hanya meringis pelan. Saat Ara terlalu kencang menepuknya dan nyaris menyenggol badan angkot disampingnya saat Ara melakukannya dengan spontan.
"Iya tahu, tapi nggak harus dorong gue juga kali, nyaris kepentok kepala gue," decaknya sebal.
Ara hanya menahan tawanya saat melihat raut wajah melas Sadewa. "Maaf nggak sengaja, beneran deh," ucapnya dengan mengangkat kedua jarinya membentuk piece.
"Oh iya Pak, yang kemarin malam kan kita belum bayar kenapa Bapak sudah pergi gitu aja?" tanya Ara lagi.
"Loh bukannya kalian sudah bayar saya kemarin?" jawab bapak itu.
Ara dan juga Sadewa melihat satu sama lain.
Mengingat kembali malam itu.
"Kamu yang bayar Sa?" tanya Ara pada Sadewa.
Sadewa pun menggeleng. "Kapan gue bayar? Kan gue ada disamping lo waktu itu." Ingat Sadewa.
"Ya sudah lah. Tidak masalah kalian kemarin bayar atau belum, kalian juga sudah bantu saya buat nemuin surat ini. Jadi buat kalian gratis deh," ucapnya menghentikan pertanyaan Ara dan juga Sadewa.
Sadewa menggaruk kepalanya yang sama sekali tak gatal. "Maaf ya Pak, kemarin kita lupa saking buru-buru nya."
Senyuman tipis terbit dari kedua sudut bibir bapak itu. "Sudah lupakan saja," jawabnya.
"Kalian mau kemana? Jalan kaki pula," tanya Bapak itu lagi.
"Kita mau mendaki ke gunung misteri Pak," terang Sadewa dan di angguki Ara.
"Di cuaca yang tidak menentu seperti ini?" tanya bapak itu lagi.
Mereka berdua kembali mengangguk saja.
"Sebaiknya kalian jangan dulu pergi ke sana. Bahaya, banyak pendaki yang hilang akhir-akhir ini," terangnya lagi.
"Tapi kita kesana juga mau cari teman saya yang hilang minggu lalu," ucap Ara.
"Apa harus sekarang?"
"Iya Pak, apa Bapak bisa antar kami kesana?" Kini giliran Sadewa yang menjawab.
"Kamu yakin? Apa tidak sebaiknya kalian menunggu sampai cuaca nya kembali membaik?"
Ara menghembuskan napas pelan. Dengan melihat Sadewa yang terlihat gurat lelahnya.