Sadewa sesekali mengusap wajahnya yang masih basah. Dia melihat pada Ara yang masih tak sadarkan diri. Sadewa menepuk pipi Ara berkali-kali agar Ara sadar. Namun Ara tak sedikitpun membuka matanya.
"Ara, bangun Ra. Lo kenapa jadi kayak gini?" ucapnya tanpa mendengar jawaban dari Ara.
Sadewa semakin mencemaskan keadaan Ara yang sudah sedingin es. Entah apa yang akan dia lakukan agar Ara cepat sadar. Di saat yang mendesak pun otak Sadewa tak sepenuhnya bisa diajak kompromi. Malah dirinya bingung tak karuan.
Sadewa melepas jaket tebalnya yang anti air itu darinya. Dia selimutkan pada Ara agar sedikit menghangatkannya, walaupun sebagian juga basah terkena air hujan. Sadewa merasa bersalah sebab dirinya meninggalkan Ara sendiri disini. Dia sudah berjanji akan menemani Ara dan menjaganya. Tapi dia malah tega meninggalkannya hanya demi egonya saja. Sungguh, Sadewa tak mengerti lagi dengan apa yang ia pikirkan tadi.
Tetesan air hujan masih menetes mengenai Ara dari celah batang pohon tempat mereka berteduh. Hujan semakin lebatnya saja. Bahkan hari sudah semakin siang, namun keadaan serasa masih sama dengan pagi hari. Sadewa duduk disamping Ara dengan merengkuhnya kedalam pelukannya agar Ara tidak begitu terkena air hujan.
"Maafin gue Ra, gue yang salah udah ninggalin lo sendiri di sini. Harusnya gue bisa jagain lo, gue malah bikin sakit hati gara-gara omongan gue tadi dan malah bikin lo kayak gini," sesalnya dengan dirinya sendiri.
"Plis Ra bangun, jangan buat gue semakin merasa bersalah. Gue bingung mau gimana lagi. Gue nggak bisa lihat lo kayak gini," ucapnya lagi.
Perlahan Ara membuka matanya dan melihat kembali di depannya lebih tepatnya dibelakang punggung orang yang melindunginya dari hujan. Dia belum sadar jika dia bersama Sadewa lagi. Tatapan Ara masih terfokus dengan sosok bayangan di depannya. Nampak tersenyum dengan wajah putihnya. Ara ingin mengucapkan sesuatu, namun terasa kelu.
Dan selang beberapa menit bayangan yang dia lihat mirip seperti Arjuna menghilang dari hadapannya. Baru dia bisa berucap dengan suaranya.
"Juna," Ara hanya menyebut namanya pelan.
Sadewa yang mendengar Ara bersuara kembali menegakkan tubuh Ara di hadapannya. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Dia bisa bernapas lega melihat Ara kembali sadar.
"Ara, akhirnya kamu sadar juga. Kenapa tiba-tiba kamu pingsan tadi?"ucapnya saat Ara menatapnya.
Ara melihat Sadewa yang ada di depannya ingin sekali dia meninjunya sekarang juga. Dia sudah terlanjur kecewa dengannya. Bukannya tadi dia sudah tidak mempercayainya, tapi kenapa malah sekarang ada dihadapannya lagi.
"Kenapa lo ada disini? Bukannya lo udah nggak percaya lagi sama gue?" bukannya menjawab Ara malah berbalik berucap ketus dengannya.
"Gue yang nolongin lo, gue minta maaf kalau kata-kata gue tadi udah nyakitin perasaan lo. Gue nggak bermaksud," terang Sadewa.
"Kenapa lo yang nolongin gue? Kenapa Sa? Kenapa bukan Arjuna yang gue lihat, kalau dia yang nolongin gue, gue nggak akan biarin dia pergi lagi!" ucapnya dengan sendu.
"Dia nggak ada Ra, yang ada itu gue."
Ara menggeleng, matanya sudah berkaca-kaca sudah ingin menangis.
"Dia ada disini, gue lihat dia," ucapnya dengan air mata yang meluruh.
Hujan hanya tinggal rintik, Sadewa bisa melihat jelas mata sembab Ara yang sudah meluruhkan air matanya yang membasahi pipinya. Apa sampai segitunya Ara memikirkan adiknya? Pikir Sadewa saat ini.
Sadewa menatap intense Ara. "Ra, coba lo lihat gue, yang ada disini itu gue bukan adik gue," ucapnya lirih.
Ara menatap Sadewa bingung. "Apa maksud lo? Gue nggak ngomongin adik lo, yang gue omongin itu_" belum sampai Ara selesai berbicara Sadewa sudah kembali bersuara.
"Juna itu adik gue Ra, dia juga yang gue cari," ungkapnya didepan Ara.
Ara yang baru mendengarnya tidak menyangka bahwa selama ini orang yang selalu dibayangannya adalah adik dari seorang yang ada dihadapannya. Dia tidak bisa berkata apapun. Hanya air matanya yang terus membasahi pipinya. Tak tahu menahu jika Sadewa dan juga Arjuna mereka adalah saudara. Dan kenapa Sadewa baru mengatakannya sekarang.
"Kenapa lo baru bilang kalau ternyata, dia itu adik lo sendiri?"
"Gimana gue bisa jelasin sama lo kalau lo nggak bisa anggep gue ada," jawab Sadewa dengan menatapnya intense.
"Maksud lo apa sih Sa? Gue selalu anggep lo itu ada tapi kenapa malah lo ngomong kayak gitu?" paparnya pada Sadewa.
Sadewa hanya menghela napasnya dan membuang pandangannya ke arah lain.
Dengan menatap Ara lagi Sadewa berucap. "Selama ini kita sama-sama, lo selalu mengambil keputusan sendiri padahal gue selalu ada disamping lo."
"Gue nggak bermaksud buat kayak gitu Sa. Gue cuma mau bantuin lo waktu itu, biar gue berguna buat bantuin lo," ucap Ara yang entah Sadewa akan mempercayainya atau tidak. "Udah lah Sa, emang lo nggak pernah percaya sama gue. Berdebat sama lo nggak akan nyelesaiin masalah, malah nambah masalah!" lanjut Ara dengan dirinya yang berusaha untuk beranjak dari sana.
Sadewa tidak menggubrisnya, dia masih disibukkan dengan apa yang ada di pikirannya. Sampai Ara sudah berdiri sempurna disampingnya.
"Lo mau kemana?" tanyanya dengan bangkit dari duduknya.
"Gue mau pergi sekarang!"
Sadewa terhenyak mendengarnya. "Lo nggak bisa pergi sekarang. Lo aja sakit Ra, kenapa lo paksain diri kayak gini?"
"Gue udah biasa sama sakit ini. Lo nggak usah kuatirin gue lagi," jawabnya dengan tersenyum kecut.
"Nggak, nggak bisa lo pergi sendiri gitu aja. Lo harus pergi sama gue lagi," tegasnya.
"Gue bisa pergi sendiri," ucapnya lalu berjalan meninggalkan Sadewa sendiri disana.
Walaupun kondisi Ara belum sepenuhnya pulih namun tetap ia paksakan. Dia akan kuat sampai tempat yang menjadi tujuannya. Walaupun hanya berjalan lambat mungkin saja. Ara tak sedikitpun melihat atau mendengar Sadewa yang mengejarnya atau menyusulnya lagi. Sekarang dia tahu, Sadewa tidak akan seperti apa yang dia inginkan. Sekuat apapun dia memaksa dia adalah orang lain, bukan Ara.
"Ra tunggu," ucapan disertai cekalan tangan membuat Ara sontak menarik tangannya lagi.
"Kenapa?" tanyanya dengan menatap Sadewa yang sudah berada di hadapannya lagi.
"Gue minta maaf sama lo. Kita cari Juna sama-sama."
Ara sendiri pun juga tidak tahu tujuan dia mencarinya atau ada tujuan lain yang membawanya. Dia hanya menuruti langkahan kakinya kemana dia akan melangkah.
"Gue mau cari apa yang selama ini gue cari, tapi bukan Juna yang buat gue pergi selama ini. Tapi keinginan gue sendiri."
"Apapun itu, lo harus tetap sama gue," ucap Sadewa kekeh.
"Buat apa gue sama lo, kalau lo aja nggak pernah bisa percaya sama gue!"
Sadewa hanya menghela napasnya pelan. "Mulai sekarang, gue percaya sama lo. Jadi, lo mau kan cari Juna sama gue?"
"Kan gue udah bilang, gue pergi bukan buat cari Juna. Jangan paksa gue buat sama lo lagi," jawab Ara dengan melangkahkan kakinya kembali meninggalkan Sadewa.
Sadewa menjajarkan langkahnya dengan Ara. "Plis Ra, kali ini aja lo sama gue," pintanya.
Ara tak menanggapinya sama sekali. Dia berjalan semakin cepat meninggalkan Sadewa. Walaupun ransel yang ia bawa terasa berat dengan kondisinya yang tidak begitu baik Ara tetap melangkahkan kakinya.
Sadewa juga mempercepat langkahnya saat melihat dia tertinggal di belakang Ara. Baru saja dia akan mengayunkan langkah panjangnya namun hal lain terjadi padanya.
Kretek... Kretek...
Bruk...
Batang pohon di tepi jalan patah begitu saja tepat saat Sadewa melintas di bawahnya. Sebelumnya Sadewa mendengar suara patahan itu dan berusaha untuk mengelak. Namun naas, batang pohon rindang itu turun begitu cepat sampai mengenai kaki kiri Sadewa. Kaki Sadewa tertimpa batang itu yang membuatnya mengerang kesakitan.
Ara menghentikan langkahnya saat mendengar suara batang pohon besar jatuh dan bersamaan dengan erangan suara Sadewa yang tepat berada di belakangnya.
Ara melihat kebelakangnya terkejut saat melihat Sadewa sudah terkapar berjarak tidak terlalu jauh darinya. Dengan kaki yang masih terhimpit batang pohon membuat Sadewa tak bisa mengangkatnya.
"Sadewa!" ucap Ara dengan menghampirinya dengan raut wajah panik.
"Ra, tolongin gue!" teriak Sadewa dengan menahan sakitnya.
Ara dengan cepat sampai di dekat Sadewa. Dia memindahkan batang pohon yang besar itu agar tidak menindih kaki Sadewa lagi.
"Sabar Sa, gue pindahin dulu batang pohon besar ini dengan sekuat tenaga gue. Lo bertahan Sa, gue bantu lo!" ucapnya dengan sekuat tenaga memindahkan batang pohon itu. Ara bukan cewek yang mempunyai skil dalam memindah barang berat. Apalagi batang pohon besar seperti ini. Tubuhnya yang kurus membuatnya sedikit kesulitan untuk mengangkatnya tapi dia tidak menyerah begitu saja. Dia mengerahkan seluruh tenaganya agar batang itu bergeser sedikit saja.
Sadewa yang melihat Ara begitu susah payah membantunya membuat kedua sudut bibirnya tertarik keatas. Melupakan rasa sakit di kakinya dengan melihat Ara yang begitu mencemaskannya.
Ara berhasil menggeser batang pohon itu dari kaki Sadewa. Dia melepaskan napasnya lelah.
"Akhirnya, Sa angkat kaki lo," ucapnya dengan mengalihkan pandangannya pada Sadewa.
Ara terhenyak saat melihat Sadewa yang tak kunjung menjawabnya. Matanya tertutup tak ada suara apapun yang terlontar dari Sadewa. Ara mendekat pada Sadewa yang entah tak sadarkan diri atau bagaimana.
Ara mengangkat kepala Sadewa dan menyandarkannya pada ransel yang sudah tergeletak begitu saja disampingnya.
Dia melakukan seperti yang Sadewa lakukan saat dia pingsan tadi. Menepuk pipinya berkali-kali walaupun tak ada respon.
"Sa, bangun. Kok malah pingsan sih? Sadewa lo sadar dong jangan kayak gini! Ara takut sendirian. Nggak tahu minta tolong sama siapa," ungkapnya dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
Ara menunggu Sadewa hingga beberapa menit lamanya. Tak ada satupun kendaraan yang lewat, tak ada tanda-tanda kehidupan disana. Jalan itu begitu sepi walaupun masih siang hari. Mungkin sebab cuaca yang mendung membuat sebagian orang enggan untuk keluar rumah apalagi harus melewati jalan sesepi ini.
Angin berhembus semakin kencangnya membuat Ara sedikit bergidik ngeri melihat pepohonan yang begitu rimbun di setiap bahu jalan.
Dia melihat pada Sadewa yang tak kunjung sadar. "Sa, gue takut banget. Anginnya kenceng banget disini, cepet sadar biar kita bisa cepet pergi dari sini," ucapnya lagi.
Namun air matanya tak dapat dia tahan. Biarkan jika nanti Sadewa lihat dia menangis seperti ini atau malah menganggapnya cewek cengeng dia tak lagi peduli.
"Harusnya gue nggak pergi gitu aja, harusnya gue nggak ninggalin lo, harusnya gue_" celotehan Ara terhenti saat mendengar Sadewa bersuara.
"Kenapa nangis?" ucapnya berdamage bagi sebagian orang yang mendengarnya, tapi tidak dengan Ara. Dengan senyum tipis yang dia sunggingkan Sadewa merubah posisinya duduk walau sebelah kakinya masih memar.
Ara yang melihat Sadewa bangun segera mengusap pipinya kasar. Sadewa terkekeh melihatnya.
"Ih kok malah ketawa!"
"Abis lo kenapa malah nangis. Cengeng banget sih jadi cewek, gue kan nggak beneran pingsan!" ucap Sadewa dengan mengacak rambut Ara.
Ara mencebik dan menepis tangan Sadewa.
Menatapnya dengan tatapan horor tak sedetik pun dia lepas.
Sadewa menghentikan tawanya saat melihat Ara menatapnya intense.
"Lah, kenapa nih bocah. Kok jadi berubah kayak zombie begini. Jangan-jangan tadi yang nolongin gue Anabel bukan Arabella," batinnya yang sudah parno duluan.
Tanpa Sadewa sadari Ara menimpuk dirinya dengan ransel yang ia bawa. Sadewa yang tengah berpikir dengan apa yang dia pikirkan membuatnya terhenyak tak bisa mengelak dari serangan Ara. Ara terus saja meninjukan pukulannya pada Sadewa yang mungkin tak sesakit di timpuk dengan ranselnya tadi.
"Ra, kenapa lo?" ucapnya dengan menghentikan tangan Ara agar berhenti memukulinya.
"Gue emang cengeng, yang apa-apa nangis. Tapi gue nangis juga sebab khawatir sama lo! Tega banget lo malah prank gue kayak gini!"
Sadewa menghela napasnya pelan dengan tersenyum simpul. "Maafin gue. Gue cuma mau tahu seberapa khawatir nya lo kalau gue nggak ada," jawabnya dengan lagi-lagi mengacak poni Ara.
"Jangan ngacak rambut gue. Ngingetin gue sama Kak Ali tahu nggak!" terangnya kesal.
"Lo kangen sama Kakak lo?"
"Nggak usah tanya juga tahu jawabannya,"
Sadewa merentangkan kedua tangannya dan lagi-lagi dengan senyum khasnya. " Sini, ada Kak Dewa disini," ucapnya.
Ara membrengut kesal. "Yang gue kangenin Kak Ali! Bukan orang yang nyebelinnya tingkat dewa kayak lo!"
Ara bangkit dengan membenarkan ranselnya. Sadewa menurunkan tangannya pegal terlalu lama ia rentangkan.
"Nama gue kan Dewa, Ra."
"Terserah!" ketusnya dengan meninggalkan Sadewa.
"Lo ninggalin gue lagi? Kalau gue kenapa-kenapa lagi gimana? Gue kan nggak bisa jalan!" ucap Sadewa agar Ara tidak merajuk lagi padanya.
Namun Ara tak membalikkan badannya. Dia masih saja tetap berjalan walaupun tak melangkah panjang.
Sadewa menghela napasnya berat. Ara sudah terlanjur kesal padanya. Dia tetap akan mengikuti kemana Ara pergi. Sadewa akan beranjak dari duduknya, susah payah akan berdiri dengan merasakan kakinya yang masih membiru.
"Sini gue bantu. Nyusahin gue buat pergi sendiri aja lo." Tanpa Sadewa sadari ternyata Ara kembali ke tempat dimana Sadewa berada. Sadewa menyunggingkan senyumnya walaupun pernyataan Ara terdengar ketus tapi terlihat Ara yang tidak tega jika harus meninggalkannya.
Ara membantu Sadewa berdiri dan memapahnya agar bisa berjalan. "Makasih ya Ra, lo bantuin gue lagi," ucapnya saat berjalan pelan dengan bantuan Ara.
"Iya," jawab Ara dengan singkat.
"Lo masih marah ya sama gue?" tanyanya lagi.
"Nggak kok."
"Iya udah deh. Jangan tinggalin gue lagi ya?"
"Iya, bawel banget lo kayak Kakak gue."
"Gue juga Abang lo kalik," timpal Sadewa dengan terkekeh. Ara hanya memutar bola matanya malas. Disaat dirinya sedang sakit Sadewa masih saja bisa bercanda seperti itu.
Saat mereka berjalan tiba-tiba Ara melihat seseorang yang sangat familiar dimatanya.