Ara melihat pada ponselnya yang dia matikan. Menekan tombol on off untuk menghidupkannya lagi. Dia melihat pada riwayat panggilan. Ternyata sekian banyak dari Ali, kakaknya. Ara menghela napasnya pelan, air matanya ingin sekali menetes namun ia tahan dia tidak ingin orang lain melihat kesedihannya. Biarkan mereka tahu jika Ara tersenyum saja.
Perjalanan Ara belum juga sampai. Mungkin masih sekitar 5 km lagi untuknya sampai di tempat yang dia tuju. Disampingnya masih ada Sadewa. Sadewa tak bergeming sedikitpun untuk meninggalkan Ara. Ara yakin Sadewa orang yang baik, dia juga yang menyelamatkan Ara dan dia juga yang menjaga Ara. Dan sekarang Ara akan membantunya sebagai balasan terima kasihnya. Walaupun tujuan awalnya dia akan mencari seseorang yang Ara pun belum tahu siapa dia. Satu tujuan, semoga saja Ara bisa membantu Sadewa dan juga mencari jawaban dari pertanyaannya selama ini.
Ara melihat pada Sadewa, dia tersenyum tipis saat dilihatnya mata Sadewa masih terpejam. Perjalanan yang jauh dengan menaiki bus membuatnya begitu lelah. Namun bagi Ara mungkin dia akan menikmatinya. Sudah lama rasanya dia tidak bepergian seperti ini. Apalagi menemui alam bebas. Ara sangatlah rindu.
Ara ingin kembali menikmati perjalanan panjangnya. Dia menyandarkan kepalanya pada lengan kekar Sadewa. Dia rindu dengan Kakaknya, Ali. Mungkin dengan bersandar dengan Sadewa membuatnya mengurangi sedikit rindunya. Hal yang sering ia lakukan jika dengan Ali. Jika Ali sedang menyetirpun Ara sesekali menyandarkan kepalanya pada lengan Ali. Walaupun kadang-kadang Ali sering memarahinya sebab dia terganggu karena harus menopang sandaran Ara. Ah, Ara juga rindu saat dia bertengkar dengan Ali.
Saat Ara memejamkan matanya, tiba-tiba angin kencang masuk dari jendela disamping Ara yang sedikit terbuka. Sontak Ara menegakkan tubuhnya lagi. Tapi yang dia rasakan kembali pada kondisi semula, padahal Ara rasa seperti ada angin kencang yang menerpanya.
"Ah, mungkin perasaanku saja," batinnya lalu sedikit menggeser posisi duduknya.
Sebuah surat kecil sama persis seperti yang dia terima sebelumnya jatuh disamping kakinya. Ara memicingkan matanya. Apa itu surat baru? Pikirnya.
Ara sedikit membungkukkan badannya ke depan untuk memungut surat itu. Dia membolak-balikkannya berkali-kali.
Yang dia lihat sama saja tidak ada tanda si pengirim. Tanpa nama ataupun alamat seperti surat pada umumnya.
Ara mulai penasaran dengan isinya lagi. Mungkin surat itu akan membicarakan sesuatu pada Ara. Atau memberikan sebuah petunjuk. Seperti mencari harta karun saja.
Perlahan dia membukanya dan secarik kertas yang dilipat sudah terbuka sempurna didepan matanya. Ara membacanya dalam hati.
Ara tidak terlalu mengerti dengan tulisan surat itu. Dia membacanya berulang kali untuk memahaminya. Seperti teka-teki tapi tidak perlu dijawab.
JIKA BERHENTI, TURUN DAN CEPATLAH LARI. TERLALU BAHAYA HANYA DIAM DITEMPAT.
Isi surat yang menurutnya tidak jelas. Tidak pasti siapa yang mengirimnya. Belum sampai Ara menanyakan pada Sadewa namun tiba-tiba bus yang mereka tumpangi berhenti dengan mendadak sampai bunyi rem terdengar memekak telinga.
Semua penumpang didalamnya berteriak histeris saat tak tahu bus akan berhenti dengan mendadak. Ara dan juga Sadewa terkantuk ke depan untung saja Ara sempat berpegangan pada bangku didepannya jadi sedikit terlindungi kepalanya dari benturan.
Sadewa yang semulanya tertidur pulas sontak membuka matanya saat dirinya merasa terkantuk kedepan. Dia terkejut, kenapa bisa berhenti mendadak seperti ini. Sadewa melihat pada Ara yang juga terkejut dibuatnya.
"Ra, kamu nggak apa-apa kan? Kamu terbentur sesuatu? Ada yang sakit?" tanyanya beruntun saat melihat napas Ara yang naik turun.
Ara melihatnya masih dengan sedikit gemetar. "A... Aku nggak apa-apa Sa,"
"Ada apa sebenarnya?" Sadewa kembali bertanya pada Ara.
Ara menggelengkan kepalanya. " Entahlah, tiba-tiba saja bus rem mendadak. Coba kamu lihat kedepan," jawabnya dengan Sadewa.
Semua penumpang masih riuh di dalam. Si supir dan juga rekannya turun untuk mengecek apa yang menghalangi jalannya.
Sadewa menengokkan pandangannya ke depan. Namun dia tak melihat apapun.
Ara teringat dengan surat yang dia terima.
Saat kata berhenti, mungkin yang dimaksud adalah yang terjadi sekarang ini. Busnya berhenti dan dia harus segera turun dan meninggalkan bus. Tapi apakah iya dia harus melakukannya. Apa benar yang dia pikirkan. Laku untuk apa? Ada apa?
Tanpa pikir panjang Ara mengambil ranselnya yang sengaja tidak dia letakkan di tempat tas seperti biasanya. Ara mengenggam tangan Sadewa agar ikut dengannya keluar dari bus. Keputusan yang Ara ambil mendadak. Dia pikir sebelumnya saja surat itu benar memberi tahunya banyak hal. Mungkin kali ini juga.
Sadewa melihat pada Ara yang sudah ingin menarik tangannya.
"Mau kemana Ra?" tanyanya bingung.
"Kita harus pergi dari sini, bahaya kalau kita tetap berada disini," jawab Ara.
"Maksud kamu apa sih Ra? Bahaya bagimana?" tanya Sadewa belum mengerti.
"Ceritanya panjang Sa, kita nggak punya banyak waktu. Kita harus pergi sekarang. Cepat bawa ransel kamu," ucap Ara meyakinkan Sadewa.
Sadewa yang belum mengerti apapun hanya menyaut ranselnya saat Ara sudah menariknya keluar. Semua orang yang melihat mereka keluar semua terlihat bertanya-tanya. Kenapa mereka keluar padahalkan awan terlihat ingin menumpahkan hujan.
"Pak, saya sama teman saya turun disini saja ya, kita mau mampir dulu ke suatu tempat," ucap Ara saat tepat sampai di depan driver bus itu.
"Kenapa dek, bukannya masih jauh ya perjalanannya? Masih sekitar 5 km lagi," jawab driver itu.
"Tidak apa-apa Pak. Ada urusan mendadak, lagi pula nanti kita akan menyusul," alibinya agar driver itu percaya.
"Baik lah. Tapi hati-hati ya dek. Disini jalanannya sangat sepi," ucap driver itu setengah menakut nakuti Ara. Padahal dia tidak takut sedikitpun.
"Siap. Pasti kok Pak," jawabnya dengan tersenyum ramah.
Ara dan juga Sadewa beranjak dari sana meninggalkan bus. Sadewa tak berkata apapun. Setengah nyawanya mungkin masih melayang-layang.
"Kita ngapain sih Ra jalan kaki kayak gini? Ada apa sih?" tanyanya saat mereka berjalan di pinggir trotoar.
Ara memandangnya setengah ingin menjawab. "Aku juga nggak tau Sa. Aku cuma ngikutin surat yang aku terima tadi sebelum bus ngerem mendadak. Hampir aja kepalaku benjol kena bangku depan."
Sadewa terhenti saat mendengar jawaban dari Ara. Jadi mereka keluar dari dalam bus dan memilih jalan kaki seperti ini hanya sebab sebuah surat? Pikir Sadewa tercengang mendengarnya.
"Jadi kita jalan kaki kayak gini cuma sebab baca surat? Buat apa Ra? Nggak jelas banget!" lontar Sadewa.
Ara seketika membalikkan posisinya saat mendengar Sadewa yang sepertinya tidak suka dengan keputusannya saat ini.
"Kenapa emangnya? Kok kamu kayak nggak suka gitu?" tanyanya dengan menautkan kedua alisnya.
Sadewa tersenyum lelah mendengar pertanyaan yang Ara lontarkan.
"Kenapa? Kamu masih tanya kenapa? Bisa-bisa nya kamu percaya sama surat yang kamu sendiri nggak tahu siapa yang ngirim! Ara, kira-kira aja tempatnya masih jauh! Kamu nggak lihat sebentar lagi pasti hujan turun, terus kita berteduh dimana?" jawabnya.
Sadewa ingin marah, tapi dia tidak bisa. Dia ingin berteriak, tapi tertahan.
"Argg," desahnya pelan dengan mengacak rambutnya frustasi. Kenapa dia harus bertemu dan berhadapan dengan gadis seperti Ara? Dia tidak bisa marah dengannya. Lalu siapa yang bisa Sadewa salahkan? Dirinya? Mana mungkin!
Ara mendekat pada Sadewa lagi. "Sa, kamu nggak percaya sama aku? Sudah berkali-kali surat itu bantu aku," ucapnya menyakinkan.
"Itu cuma kebetulan aja Ra," sanggahnya lagi.
"Kebetulan bagaimana? Nggak cuma sekali dua kali aja Sa. Kamu masih nggak percaya sama aku?"
Sadewa hanya menggelengkan kepalanya. "Nggak, aku nggak percaya sama sekali. Kenapa juga aku tadi percaya aja ngikutin kamu,"
"Sa, gue nggak maksa lo buat ikut juga kok. Kalau emang lo keberatan ya sudah, kita kembali pada tujuan masing-masing!" ucap Ara bertepatan dengan rintik hujan yang turun.
"Kok lo malah balik marah ke gue? Harusnya gue yang marah sama lo," sambungnya.
Ara masih menatapnya nanar. Hujan turun semakin lebatnya. Sampai Ara dan juga Sadewa basah dengan air hujan. Ara tidak menghiraukan kondisinya lagi yang sudah hujan-hujanan.
"Emang ya, dari awal gue ketemu lo, ngajak lo buat bantuin gue, gue ragu banget. Lo selalu ngambil keputusan sendiri, padahal ada gue!" ucap Sadewa lagi.
"Lo yang minta gue buat bantu lo! Kalau emang lo ragu, kenapa masih ngajak gue buat bantuin lo?"
"Sebab gue kira lo nggak kayak gini! Lo itu..."
Sadewa sudah terpancing emosinya dengan Ara. Mungkin sebaiknya dia putuskan untuk mencari adiknya sendiri. Dia sudah terbiasa sendiri.
"Apa Sa? Gue kenapa?" tanya Ara dengan setengah berteriak dibawah rintiknya hujan.
Sadewa masih terdiam.
"Gue nggak nyangka ya ternyata lo kayak gini! Lo nggak seperti yang gue kira, lo itu keras kayak batu! Nggak bisa percaya sedikitpun sama gue!Lo sama aja kayak orang-orang, mandang gue lemah! Nggak bisa apa-apa!" teriaknya dengan air mata yang sudah tak dapat dibendung lagi.
"Cukup Ra! Cukup!" ucapnya menghentikan Ara berbicara.
"Kenapa? Benerkan, yang gue omongin! Kenapa juga gue bisa percaya sama lo gitu aja, gue kira gue bisa bantu lo dan lo bisa bantu gue. Tapi ternyata?" Ara tersenyum kecut sebelum kembali berkata. "Dugaan gue salah," ucapnya lagi.
Sadewa menghela napasnya dan mengusap wajahnya yang sudah terbasahi oleh hujan.
"Oke, sekarang mau lo apa?" ucap Sadewa berterus terang. Dia tidak tahan dengan sikap Ara yang menurutnya terlalu percaya dengan hal-hal yang semacam itu.
"Gue mau kita nggak usah bareng-bareng lagi. Cukup sampai disini aja gue bantuin lo, dan lo nggak usah ngikutin gue lagi kalau lo nggak sedikitpun percaya sama gue, kita kembali sama tujuan masing-masing," terangnya.
Sadewa hanya mengangguk. "Oke, kalau itu mau lo," tegas Sadewa mengiyakan.
Ara juga mengangguk dengan tatapan sendu. Dia melihat pada Sadewa lekat-lekat.
"Gue akan pergi sekarang, kalau lo mau balik. Balik aja," ucapnya setengah tak rela. Begitulah hati, apa yang dia ucapkan dengan apa yang dia harapkan berbeda. Hatinya seolah berkata tidak, bahkan tidak rela walaupun pada awalnya dia mengatakan silakan jika akan pergi.
"Gue harap lo bisa nemuin adik lo tanpa harus adanya gue," ucap Ara dan meninggalkan Sadewa pergi.
Sadewa tak berkata apapun padanya. Dia hanya diam seribu kata. Itu keputusan yang baik baginya dan juga Ara. Dia tidak harus lagi menghadapi sikap Ara yang begitu keras kepala seperti dirinya. Sama-sama keras, tak ada yang bisa mengalah. Semua masih mengedepankan ego mereka masing-masing.
Ara sudah berjalan menjauh dari Sadewa dia tak hentinya meneteskan air matanya. Orang yang dia percaya bisa menjadi teman yang bisa menemaninya ternyata sama saja seperti yang dia pikirkan sebelumnya. Sekarang dia sendiri. Ara harus kuat dan bisa berjalan sendiri tanpa teman.
"Jaga diri lo baik-baik Ra! Gue sayang sama lo," teriak Sadewa dalam derasnya air hujan.
Ara mendengarnya samar-samar. Namun tak menghentikan langkahnya.
"Percuma Sa, lo nggak bisa percaya sama gue," gumamnya sendiri.
Ara melangkah sudah begitu jauh dari Sadewa. Dia menghentikan langkahnya dengan tertunduk. Ara menangis sepuasnya disana. Dia membalikkan badannya dan melihat Sadewa yang berjalan berbalik arah dengannya. Sadewa kembali ke tempat dimana busnya berhenti.
Ara belum bergeming dari sana. Namun dia kembali merasakan sesak napas. Wajahnya sudah begitu pucat dengan tubuh yang menggigil. Dia terduduk di tempatnya dengan tersenyum miris. Ternyata selemah itu dirinya. Baru sebentar saja basah kuyup sudah membuatnya begitu lemah. Ara kembali bangkit dengan susah payah. Dia kembali berjalan menepi dari jalanan yang begitu sepi. Walaupun setengah dipaksakan ia tetap kembali berjalan dengan gontai. Dia menengadahkan wajahnya pada rintik hujan yang semakin lama semakin deras. Ara merentangkan tangannya seraya memejamkan matanya. Ia rasa sedihnya bisa hilang dengan begitu. Air mata yang tak begitu ketara dengan basahan air hujan membuatnya leluasa untuk meluapkan semua yang ada dibenaknya.
Sedangkan Sadewa yang semula sudah berjalan jauh dari Ara terhenti di tempatnya. Dia tidak tahu apa yang saat ini ia pikirkan.
Hatinya berontak untuk kembali tapi langkahannya seraya mengayun menjauh.
Hanya satu hal yang membuatnya seperti ini, yaitu Ara.
"Bodoh lo Sa! Kenapa lo tinggalin Ara sendirian disana? Gimana kalau terjadi apa-apa lagi sama dia?" sesalnya sendiri.
Sadewa mengacak rambutnya frustasi. Dia tidak bisa meningalkan Ara begitu saja. Dia akan merasa sangat bersalah jika suatu hal buruk terjadi pada Ara.
Sadewa memutuskan untuk kembali ke tempat dimana Ara ia tinggal. Ia tak kuasa menahan kemelut hatinya yang merisaukan Ara. Sadewa mempercepat langkahannya menghampiri Ara yang kian ambruk.
Tubuhnya serasa lunglai seperti tak bertenaga lagi. Ara membuka matanya perlahan, namun pandangannya kian mengabur. Ia memegangi kepalanya yang sudah pening tak karuan. Matanya kian lama kian bertambah mengabur. Hanya sedikit bayangan yang dia lihat. Semakin lama tubuhnya akan menghempas begitu saja di tengah jalan.
Sadewa dengan cepat menopang Ara yang sudah terhuyung ke belakang. Sadewa mengingkap rambut panjang Ara yang terurai menutupi wajahnya. Sadewa begitu terhenyak saat melihat wajah Ara yang sudah memucat dengan tubuh yang dingin. Dia membopong Ara yang sudah pingsan ke tepian jalan. Sadewa membawanya kebawah pohon rindang agar sedikit terlindungi dari guyuran air hujan.