Chereads / Arabella / Chapter 8 - Sepucuk surat

Chapter 8 - Sepucuk surat

Apa yang kamu sembunyikan pasti suatu saat aku akan tahu.

Aku akan tahu apa yang kamu sembunyikan sekarang.

(Arabella)

Ara merasa Sadewa menyembunyikan sesuatu dengannya. Pasalnya sesudah dia mengatakan bahwa Ara nantinya pasti akan menemukan apa yang dia cari.

Kantuknya kembali menyerang. Mata Ara enggan untuk terbuka sebentar saja. Walaupun pagi sudah menyapa namun semalaman ini dia tidak tidur nyenyak seperti biasanya. Dari mulai makan malam bersama Ayah yang ujung-ujungnya dimahari Kakaknya, dikunci dikamar, kabur dari rumah, Ara hampir kerampokan, ketemu Sadewa, dan akhirnya berakhir sampai pagi di terminal. Sungguh membuatnya begitu lelah dan penat. Rasanya ia ingin rebahan, namun dimana? Sedangkan Ara masih berada di dalam bus. Belum berangkat memuncak saja rasanya sudah sempoyongan, apalagi sepulang muncak nanti. Belum juga kalau Kakak dan Ayah nya marah. Tambah sudah beban Ara.

Sadewa melirik kearah Ara yang berada disampingnya. Terlihat Ara yang sedikit memejamkan matanya dengan kepala bersender di kaca bus. Sadewa tak begitu tega melihat nya.

"Ra, kalau ngantuk tidur aja," ucapnya yang membuat Ara sontak membuka matanya.

"Nggak kok Sa, siapa juga yang ngantuk." alibinya dengan menegakkan kepalanya lagi.

Sadewa tersenyum melihat Ara yang mati matian menahan kantuknya yang semakin menjadi. Tak kuasa lagi akhirnya mata Ara kembali terpejam. Sadewa menggeser kepala Ara untuk bersandar di bahunya. Dia mengacak poni Ara dengan gemas. Kedua sudut bibirnya tertarik membuat lesung pipinya kembali mencuat.

Matanya masih tertuju pada objek disampingnya, yaitu Ara.

"Andai lo tahu Ra, siapa yang sebenarnya lo cari," gumamnya pada dirinya sendiri namun hanya dia batin saja.

"Pacarnya ya Mas?" seulas pertanyaan itu membuat Sadewa mencari dimana asal suara. Ternyata orang yang berada disamping kursi yang dia duduki.

Sadewa hanya tersenyum menanggapinya.

"Bukan, dia teman saya," ucap Sadewa.

"Oh, kirain pacarnya soalnya sweet banget," ucap orang itu dengan terkekeh.

Sadewa hanya ikut tersenyum mendengarnya. Mungkin yang dikatakan orang itu benar. Mereka terlihat seperti sepasang kekasih namun pada realitanya memang bukan. Ara hanya menumpang bahu saja pada Sadewa, tidak lebih. Walaupun Sadewa tidak tahu dengan perasaan Ara saat ini. Sadewa mengulum senyum melihatnya. Tak pernah dia bisa seperhatian ini dengan orang lain. Apakah Sadewa mulai merasakan jatuh cinta? Dengan Ara kah perasaan itu ditujukan?

Jika iya pasti Sadewa akan tetap diam sampai waktu tepat untuk mengungkapkannya.

...

Disisi lain, tepatnya di rumah Ara. Ali dan juga Ayahnya belum mengetahui jika Ara sudah kabur semenjak tadi malam. Mereka tampak sibuk pagi ini dengan persiapan mereka untuk ke kantor.

Ali yang masih membenahi dasinya yang masih terlihat berantakan itu tak kunjung juga selesai. Sesekali ia melirik jam tangannya yang jarumnya menunjukkan waktu sarapannya dengan keluarga kecilnya. Ralat, tapi keluarga kecil Ayahnya yang terdiri dari dirinya, Ayah, dan juga adik kesayangannya, siapa lagi kalau bukan Ara.

Tidak butuh waktu lama untuknya memasang dasi dengan baik agar terlihat rapi, sepertinya sudah terlalu lama sendiri membuatnya lihai dalam hal sekecil itu. Walau terkadang jika Ara melihatnya kesulitan memakai dasi pasti akan dia pakaikan. Ah dia jadi rindu dengan Adiknya itu.

"Kemana dia sudah sepagi ini belum juga mendengar suaranya yang biasanya sudah memenuhi rumah," ujarnya pada diri sendiri kala teringat Ara.

Ali segera menyisir rambutnya dan bergegas untuk turun ke bawah. Menikmati sarapan dengan keluarganya. Baru saja dia akan menuruni tangga rumahnya namun langkahnya terhenti saat teringat bahwa dia lupa membawa kunci mobilnya. Hmm, sepertinya dia butuh sosok seorang istri untuk pendamping hidupnya. Selain itu ada yang mengingatkannya saat barangnya tertinggal. Lagi pula umurnya juga sudah cukup untuk segera menikah.

Lagi-lagi Ali menepis semua itu. Menikah bukanlah hal yang sepele, tapi ia harus persiapkan matang-matang dan dia niatkan untuk ibadah. Lagi pula dia belum ada yang diajaknya untuk menuju pelaminan. Siapa yang suka dengannya, orang yang terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan sampai lupa jika dirinya juga butuh seorang pendamping.

Jika terus terusan dia mengandalkan Ara untuk membantunya setiap saat, pasti di kemudian hari Ara juga akan memiliki kehidupan baru dan tidak harus selalu bersamanya.

Kenapa Ali sudah memikirkan hal itu sepagi ini. Toh masih ada Ara, adiknya.

Dia berjalan dengan membawa tas di tangannya. Nampaknya kediamannya masih terasa sepi. Tidak seperti biasanya di jam seperti ini pasti Ara sudah berada di meja makan dan memanggilnya juga Ayahnya untuk segera sarapan. Dia paling tidak betah kalau harus lapar dan menunggu terlalu lama.

Ali tidak menghiraukannya. Dia duduk dikursi sembari memainkan ponselnya. Ayahnya datang dan mengikuti duduk di kursi depannya. Ayahnya juga merasa ada yang kurang di paginya. Dia melihat ke arah Ali yang masih sibuk dengan ponselnya.

"Li," panggilnya menyadarkan Ali jika dirinya sudah berada di sana.

Ali mendongakkan wajahnya. "Pagi Yah," sapanya saat melihat sosok Ayahnya di depannya.

"Ara mana? Kok dia belum kelihatan sepagi ini, biasanya dia yang paling semangat buat sarapan," tanyanya pada putranya itu.

Ali hanya mengendikkan bahunya. "Nggak tahu Yah, mungkin dia nggak ada mata kuliah di kampus pagi ini," jawabnya santai.

Ayahnya hanya mengiyakan jawaban dari Ali. Sementara mereka akan menunggu Ara sembari mengoleskan selai pada roti tawar yang kini sudah berada dihadapannya.

Sudah hampir sepuluh menit mereka menunggu Ara, namun tak kunjung juga mereka melihat batang hidungnya. Apakah Ara masih merajuk dengannya perihal tadi malam? pikir Ali dengan dirinya sendiri.

Ayahnya juga nampak gelisah saat Ara tak juga turun dari kamarnya untuk sarapan pagi ini. Dia menanyakan lagi pada Ali yang jelas-jelas tidak tahu apa-apa. Yang mereka tahu, Ara dirumah.

"Li, coba kamu cek Adik kamu. Nggak biasanya dia belum sarapan jam segini," ucapnya memerintah Ali.

Ali hanya menghela napasnya. "Biarkan saja Yah, mungkin Ara mau sarapan nanti," jawabnya seolah tak peduli walaupun hatinya berkata untuk segera beranjak.

"Ayah suruh kamu, bukan tanya kenapa Ara nggak turun Ali! Nanti kalau terjadi sesuatu sama Ara gimana? Kamu mau adik kamu sakit atau kenapa-kenapa? Siapa nanti yang ngurusin, kamu juga kan?" tambah ayahnya lagi.

Ali hanya menurut apa yang ayahnya perintah, dia beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah dimana kamar Ara berada.

Sampai di depan pintu Ali nampak enggan untuk mengetuknya dahulu. Apa Ara akan membukakan pintu untuknya? sedangkan tadi malam saja dia kasar dengan adiknya itu. Ah, mungkin ini waktu yang tepat untuknya juga meminta maaf pada Ara. Mumpung masih pagi juga, mood Ara pasti masih dalam level baik. Jadi pastinya dia akan memaafkannya.

Kini tangan Ali mencoba untuk mengetuk pintu di depannya. Percobaan pertama mungkin Ara belum dengar. Dia mencoba lagi mengetuk, benar dugaan Ali pasti Ara tidak akan membukakan pintu. Namun Ali mencoba berpositive thinking, mungkin saja Ara belum bangun. Dia kan kebo banget kalau molor. Sekali lagi dia akan coba dan menambah volume ketukannya. Kali ini lebih keras agar Ara juga terbangun kalau masih tidur. Nihil, tidak ada jawaban sama sekali. Ali meraih knop pintu dan membukanya, namun yang dia dapatkan pintu tidak bisa dibuka alias dikunci dari dalam. Bagaimana bisa Ara menguncinya dari dalam, seingat Ali kunci masih dia bawa tapi dia lupa kalau dia mengunci adiknya di dalam kamarnya.

Ali merogoh kantong celananya. Dia mendesah saat dia lupa menaruh dimana kuncinya. Terpaksalah Ali harus mendobrak pintu dengan tenaganya sendiri dari pada nanti adik kesayangannya harus kelaparan di dalam sana. Sekalian olahraga pagi sebelum ngantor, biasanya dia tidak sempat.

Bruk... Bruk... Bruk...

Percobaan terakhirnya Ali bisa membuka pintu itu dan nyaris terjungkal.

Kamar Ara tak terlihat berantakan hanya gorden panjang untuk menutup pintu balkon saja yang terlihat sedikit membuka.

Ali melihat Ara di tempat tidurnya. Benar dugaan Ali, pasti Ara masih meringkuk di king size nya. Ali berjalan mendekat pada tempat tidur Ara. Sudah beberapa kali ia panggil namanya namun tak juga menyahut.

Tangan Ali meraih ujung selimut yang menutupi sampai kepala Ara dan membukanya.

"Ra! Kebo banget sih jadi cewek!" ucapnya dengan kesal.

Sontak mata Ali membulat sempurna saat yang dilihatnya bukanlah Ara. Ternyata hanya guling yang Ara buat agar nampak seperti dirinya yang masih tertidur. Pantas saja Ali memanggilnya sedari tadi tidak ada jawaban.Ali mendengus sebal melihatnya.

Dia mencoba mencari Ara di sekeliling kamarnya dari kamar mandi sampai ruang belajar Ara. Namun tak ada sosok yang dia cari.

"Ra, kamu dimana? Ara! Jawab Kakak!" teriaknya di dalam kamar Ara. Dia masih berfikir jika Ara hanya mengerjainya saja.

Dia mencari Ara lagi di setiap sudut kamarnya. "Ara!" teriaknya lagi. Dia kini terduduk di tepi ranjang Ara.

"Kemana anak itu? Nggak mungkin kan kalau dia keluar dari kamar, pintunya saja masih terkunci," gumamnya dengan dirinya sendiri.

Ali beranjak ke meja belajar milik Ara. Disana banyak tumpukan buku-buku tebal dengan secarik kertas di atasnya. Mata Ali menangkap objek di atas buku itu, kertas yang dilipat menyerupai sebuah surat membuatnya ingin membukanya.

Dia membaca isi surat yang ternyata ditujukan untuknya dan juga ayahnya.

Untuk Ayah dan Kak Ali.

Maafin Ara pasti sudah buat cemas kalian. Ara terpaksa harus nekat berangkat dan pergi tanpa sepengetahuan kalian.

Ara mohon kali ini saja, Ara pasti akan cepat pulang. Ara akan baik-baik saja.

Ara sayang kalian,

Ali teringat pada pintu balkon yang sedikit terbuka. Dia menyibakkan gorden yang menutupinya. Ali melihat ada tali panjang yang menjulur ke bawah. Pantas saja Ara bisa keluar dari rumah.

Raut wajah tegasnya memandang surat itu dengan penuh amarah. Kenapa Ara bisa senekat ini untuk pergi. Kalaupun itu terlalu penting untuknya kenapa dia tidak meminta Ali untuk menemaninya?

Ara sungguh sudah membuat kecewa dirinya. Ia tak tahu harus bagaimana. Dan aap yang harus Ali lakukan saat ini. Untuk sekedar memberi tahu ayahnya saja dia belum berani. Bagaimana reaksi ayah nnati saat mendengar Ara pergi dari rumah. Keadaannya begitu tidak begitu baik sekarang, jantungnya lemah jika dia syok.

Terlalu banyak yang Ali pikirkan hingga tak lama sosok sang ayah datang dan menghampirinya dengan raut wajah yang sulit di terka, dia terlihat bertanya-tanya pada Ali tentang kemana Ara, kecemasannya yang dia sembunyikan nampak saat melihat seisi ruangan hanya dirinya dan putranya itu.

"A Ayah," ucap Ali terbata-bata melihat Ayahnya datang.

"Li, kemana Ara? Kenapa Ayah tidak melihatnya?" tanya ayahnya dengan memutarkan pandangannya keseluruh penjuru ruangan.

Ali hanya menatap ayahnya lalu menghela napas. "Ara." Dia bingung akan mengatakan apa.

"Ara dimana Li? Ara kenapa?" ucapnya lagi dengan menatap putranya itu.

Ali hanya terdiam. Mulutnya terasa kelu saat ingin berbicara.

"Jawab Li! Katakan pada Ayah, dimana Ara? Kenapa Ayah tidak melihatnya?" desak ayahnya lagi pada Ali.

Ali hanya menatap ayahnya lalu menghela napas. "Ara." Dia bingung akan mengatakan apa.

"Ara dimana Li? Ara kenapa?" ucapnya lagi dengan menatap putranya itu.

Ali hanya terdiam. Mulutnya terasa kelu saat ingin berbicara.

"Jawab Li! Katakan pada Ayah, dimana Ara? Kenapa Ayah tidak melihatnya?" desak ayahnya lagi pada Ali.

"Ara nekat pergi Yah dari rumah," jawabnya lirih dengan sedikit rasa takut jika nanti ayahnya syok mendengarnya.

"Apa kamu bilang? Ara pergi? Bagaimana bisa dia keluar dari rumah?" serunya seolah tak percaya.

"Dia turun lewat balkon semalam,"

Sontak ayahnya berjalan ke arah pintu balkon kamar Ara dan melihat seutas tali panjang disana. Ayahnya nampak khawatir dengan keadaan Ara.Putri kesayangannya itu sering sakit-sakitan selama ini, bagaimana dia bisa tenang sekarang.

"Ayah tidak perlu mencemaskan keadaan Ara dia pasti baik-baik saja," ujarnya mencoba menenangakan sang ayah.

"Gimana Ayah bisa tenang Li, Adik kamu itu penyakitnya sering kambuh! Gimana kalau terjadi sesuatu sama Ara? Siapa yang jagain dia sekarang?" Terlihat raut wajah ayahnya semakin gusar mencemaskan keadaan Ara. Ali hanya menghela napasnya.

"Kamu dimana Nak?" ucap ayahnya dengan berjalan lambat meninggalkan Ali disana.

Belum sampai di ambang pintu ayahnya merasa sakit pada bagian jantungnya. Tiba-tiba dia terhenti di tempatnya dan memegangi dadanya yang terasa sakit akibat terlalu syok dan membuat jantungnya yang lemah kambuh lagi. Dia mengerang kesakitan, membuat Ali cepat-cepat menghampirinya.

"Arggg," erangnya kesakitan.

"Ayah tenang, jangan buat penyakit jantung Ayah kambuh lagi," ucapnya menenangkan. Ali membawa ayahnya ke kamarnya dan membaringkannya di atas ranjangnya.

Dia mengambil air mineral yang ada di nakas. Dan mencari obat yang biasa ayahnya minum.

Ayahnya masih mengerang kesakitan dengan penyakit yang dia derita selama ini. Tidak ada yang tahu selama ini tentang ayahnya yang memiliki riwayat jantung, hanya Ali dan juga Ara yang tahu. Semenjak Bunda Ali dan Ara meninggal tak ada lagi yang membuat ayahnya untuk selalu rutin cek ke dokter selama ini. Walaupun Ali dan Ara sering sekali membujuk ayahnya untuk selalu memeriksakan jantungnya namun hal itu tidak berpengaruh apa-apa untuk ayahnya, dia tetap tidak mau. Dia hanya mengatakan yang terpenting Ali dan Ara tidak akan meninggalkannya dia akan tetap sehat.

"Ayah minum dulu obatnya, biar Ali panggilkan dokter untuk Ayah," ucapnya dengan memberikan obat dan juga segelas air pada ayahnya.

Ayahnya yang mendengar jika Ali akan memanggilkan dokter untuknya membuatnya mencegah Ali untuk itu. "Ali, Ayah nggak apa-apa. Ayah baik-baik saja, tidak usah kau panggilkan dokter untuk Ayah," sergahnya walaupun terlihat pucat di wajahnya.

Ali menggeleng tidak menyetujui apa yang ayahnya katakan. " Nggak, pokoknya Ayah harus diperiksa dokter. Kali ini saja Yah, Ayah nggak bisa selalu memaksakan terlihat kuat di depan anak-anak Ayah. Ali tahu kalau keadaan Ayah tidak begitu membaik selama ini, walaupun Ayah selalu kerja ke kantor setiap hari," jelasnya dengan menatap ayahnya nanar.

Ayahnya menghela napas pelan. "Ayah pasti sembuh setelah minum obat Li. Kamu nggak usah khawatir lagi sama Ayah," terangnya lagi.

Namun Ali sudah jengah dengan sikap ayahnya yang tetap kekeh tidak mau memeriksakan dirinya. Ali keluar dari kamar ayahnya tanpa menjawab lagi apa yang dikatakan ayahnya.

Ali merogoh saku jasnya mengambil ponsel dan menelphone dokter spesialis jantung untuk ayahnya. Walaupun ayahnya tidak mau, jika dokter sudah sampai di rumah pasti dia tidak akan bisa mengelak lagi. Ini demi kebaikan ayahnya, dia ingin melihat ayahnya kembali sembuh seperti dulu lagi.