Gelap, sunyi tanpa penerangan.
Layaknya dia yang ingin dimengerti tanpa harus menerangkan.
Dimana sosoknya?
Bawa aku menemuimu! Sekarang!
Ara menguk ludahnya berat, saat dia melihat di sekelilingnya menjadi gelap. Tak ada suara apapun di sana. Dimana petugas di terminal ini? Mengapa semuanya sunyi senyap bahkan Ara tak melihat apapun disini. Apakah dia masuk ke dimensi lain? Terlintas di benak Ara pikiran seperti itu. Sontak Ara membulatkan matanya, bagaimana jika iya? Lalu bagaimana Ara bisa kembali?
"Oh tidak! Tidak! Tidak! Tidak!!!" pekiknya dengan menggelengkan kepalanya dengan menutup sepasang telinganya dengan telapak tangannya. Walaupun dia terpejam sama saja, masih gelap gulita.
"Aku belum meninggalkan?" tanyanya pada diri sendiri. Ditepuknya pipinya berkali-kali. Dan dia mencubit pipinya sendiri. Berhayal jika dia hanya mimpi ataupun halusinasi.
"Aduh!" ringisnya saat terasa sakit di pipinya.
Ara memikirkan berbagai banyak hal. Terutama bagaimana cara dia untuk meminta bantuan pada siapapun. Mungkin dengan berteriak jika ada yang mendengar. Tingkat keusilan Ara yang biasanya menguntungkannya tidak bisa ia gunakan di saat seperti ini. Ara mencoba menerawang jauh di depannya walaupun tetap gelap, namun ide sudah pasti menghampirinya.
"Oke, gue akan teriak sekarang," ucapnya seorang diri. Dan ternyata hanay itu yang Ara pikirkan. Kalau hanya seperti itu, kenapa tidak dari tadi saja? Hanya mengulur waktu saja.
Ara menarik napasnya dalam dan menghembuskannya perlahan." Siapapun disini disana ataupun disono! Bantuin gue dong! Nyalain lampunya! Gue nggak bisa lihat apa-apa nih!"
Tak satupun ada yang menyahut. Ara ingin sekali merengek nanun percuma tidak akan bisa membawanya ke alam yang nyata. Yang terang tidak gelap seperti ini. Ara tidak suka kegelapan.
"Iseng banget sih ngerjain Ara kayak gini, Ara nggak suka," ucapnya lagi dengan lirih.
Tubuh Ara menyusut duduk di lantai, matanya menghangat mengalirkan bulir-bulir air mata. Ara baru sadar bahwa dia tadi bersama Sadewa. Namun kemana Sadewa, kenapa belum balik juga menemui Ara. Ara mengusap pipinya dan kembali berdiri. Mencoba mengarahkan tangannya untuk mengarahkan langkah kedepan.
"Sa! Kamu dimana?" teriaknya dengan mencari-cari jalan.
Saat langkahan ke tiga Ara merasakan ada tangan yang menuntunnya. Namun tak ada suara sedikitpun disana. Ara hanya bisa mengikuti kemana dia berjalan. Seperti ditunjukkan arah namun Ara tidak begitu yakin dengannya.
"Sa, ini kamu?" ucapnya pelan namun dia harus memastikan. Jika saja itu Sadewa pasti dia akan menjawab pertanyaan dari Ara.
"Sadewa, jawab dong. Jangan diem aja! Kamu nggak lagi becandakan?" ucapnya lagi saat tak ada jawaban dari seorang yang menuntunnya.
"Plis deh Sa! Ini nggak lucu tau nggak!" rengeknya saat tak ada jawaban lagi. Ara hanya menghembuskan napasnya pelan.
Disisi lain Sadewa yang mencari jalan untuknya keluar hanya berputar-putar di sekitar tempatnya. Dia lewat mana juga tidak ingat, ditambah lagi dengan penerangan yang minim. Bahkan gelap seperti di hutan.
Sepi bahkan hanya suara jangkrik yang dia dengar.
"Duh, ini gimana sih ceritanya kok bisa mati berjamaah lampu satu terminal! Pasti belum bayar tagihan nih," lontarnya dengan mengacak rambutnya sebal.
Belum sempat dia mengganti pakaiannya namun lampu sudah terlanjur padam dengan sendirinya. Sadewa mengurungkan niatnya untuk ke kamar mandi. Bukan hanya tempatnya yang gelap, namun andai saja dia masuk kamar mandi dan tiba-tiba terkunci pintunya rusak lalu ada yang mencekiknya dari belakang bisa habis dia jadi mangsanya. Ingatnya yang selalu dia pikirkan saat mati lampu seperti ini. Mungkin sebab terlalu banyak nonton film horor dengan adiknya dulu.
Huft
Sadewa menghela napasnya saat dia teringat dengan adiknya, Arjuna. Mereka pasti sudah menghabiskan waktu mereka berdua dengan nobar. Kalau tidak, hanya bermain PS. Rindu sekali rasanya Sadewa padanya. Andai saja doa tahu dimana keberadaannya, pasti dia akan menyusulnya saat ini.
Gubrak...
Suara barang terjatuh membuatnya tersadar dari lamunannya. Sadewa mencari-cari di sekelilingnya. Kosong, hanya bangku-bangku yang tak berpenghuni di sana.
Untungnya dia tadi tidak lupa akan kegunaan flash ponselnya. Jadi dia sedikit terbantu dengan adanya. Namun tak begitu mendukung saat baterainya mulai melemah.
Sadewa sudah tak menggubris itu, dia berusaha positive thinking saja. Mungkin kucing yang menjatuhkan barang. Tapi aneh, kenapa tidak ada satupun orang berlalu lalang disana. Bukannya tadi banyak sekali orang lewat semenjak belummati seluruh lampu. Lalu kemana mereka semua?
Saat dia kembali berjalan Sadewa teringat bahwa dia tadi bersama dengan Ara. Namun dia malah meninggalkannya. Payah! Kenapa tadi Ara tidak diajak saja dan suruh menunggu di kursi ini, daripada ditinggal sendiri di sana.
"Ara! Ra," panggil Sadewa dengan mengarahkan lampu flashnya.
"Kamu dimana sih?" Sadewa terus melangkah walau dia tidak tahu dimana dia berjalan.
Dengan berjalan lambat mungkin dirinya bisa mengamati jalan sekitarnya. Tak ada satupun orang disana. Aneh dalam pikirnya, sebelum semua lampu tiba-tiba mati tadi banyak orang yang berlalu lalang disana, kenapa semuanya menghilang begitu saja? Kemana mereka?
Walau rasanya Sadewa berjalan dari lorong ke lorong tapi dia tidak sadar jika di sekelilingnya hanya tembok. Persis seperti labirin, dia tak menemukan jalan keluar untuknya menemui Ara.
Sedangkan Ara yang masih mengikuti kemana arah orang yang membawanya dia tetap diam saja. Biarkan saja dia membawaku kemana, pikir dalam benaknya. Baginya hanya berputar-putar di jalan yang sama menurutnya. Lantas dia sudah jengah dengan semua permainan ini. Ara menghempaskan tangannya dari cekalan orang di depannya dengan berteriak semaunya.
"Stop! Lepasin gue!" teriaknya keras.
Tangan Ara terlepas dan tiba-tiba juga lampu yang semula mati hidup kembali. Seperti ada sesuatu yang mengendalikannya. Ara hanya tercengang melihat di sekelilingnya, masih sama seperti semula saat dia berdiri sebelum lampu mati. Hanya saja kenapa dia tadi dibawa jalan oleh seseorang namun sekarang tak ada orang itu. Jika menghilang cepat sekali rasanya. Dan kalau dia berjalan sedari tadi, bagaimana bisa Ara masih berada di tempat ini dan dengan posisi yang masih sama juga. Sungguh, permainan yang mengejutkan.
Ara kembali menatap seluruh sudut ruangan itu. Masih nampak sama, namun matanya kini tertuju pada sebuah objek yang sangat familiar baginya. Tergeletak begitu saja di sebuah kursi panjang terminal di dekatnya. Lebih tepatnya kursi untuk ruang tunggu. Ara berjalan mendekati kursi itu dengan sesekali melihat ke sekelilingnya. Alih-alih mendapatkan jawaban siapa yang mengirimnya namun dia hampir terjatuh karena tersandung tak melihat kedepan.
Ara bimbang untuk mengambilnya, apa itu untuknya? Atau milik orang lain yang tertinggal?
Ara menggaruk kepalanya yabg sama sekali tidak gatal.
"Bagaimana ini? Gue ambil apa enggak ya?" dialognya dengan dirinya sendiri.
"Ah kok jadi gue sih yang ngerasa dikerjain sekarang! Padahal biasanya gue yang usilin orang, apa karma itu is real?" ucapnya dengan campur aduk.
Ara menggeleng pelan. " Gue ambil aja lah, siapa tahu itu surat buat gue. Bodoamat lah kalau yang punya nyariin," ucapnya lagi dengan mengambil surat itu. Ya surat, surat yang sama seperti yang dikirimkan kepada Ara sebelumnya.
"Demen banget dah orang itu kirim surat ke gue! Udah sama lagi amplop sama kertas isinya, niat banget tuh orang. Kasian juga sih dia, suratnya cuman gue read doang kagak ada balesan," cerocosnya panjang lebar, entah siapa yang dia ajak bicara. "Kayak chat doi!" sambungnya lagi dengan membuka amplop yang tidak di lem itu.
Ara mulai membaca isi surat itu. Kertas yang bertuliskan sebuah kalimat.
TETAP BERSAMANYA APAPUN YANG TERJADI. DIA YANG JAGA KAMU. DIA JUGA BUTUH KAMU. JAGA DIRI.
Isi surat yang setengah bucin tapi serius itu membuat Ara terdiam untuk mendalami apa maksud surat itu. Dari kata tetap bersamanya, maksudnya apa? Bersama dengan siapa? Lalu dia jaga kamu dia juga yang butuh kamu.
"Dia yang jagain gue kenapa dia juga yang butuh gue?" tanyanya pada diri sendiri.
Ar menghembuskan napasnya pelan."Plis deh, kalau nulis surat itu jangan setengah-setengah kenapa? Nggak paham gue! Walaupun gue udah kuliah semester 4 tapi gue juga nggak paham buat teka-teki kayak gini! Seketika otak gue ngelag. Kentang kayak ponsel lama," cerocosnya tak henti.
Ara kembali membuka amplop itu. Ternyata isinya bukan hanya sebuah surat tetapi juga dua buah tiket bus yang akan dia tumpangi nanti dengan Sadewa. Namun tadi mereka belum sempat membelinya setelah mereka sampai. Dan sekarang yang Ara tak sempat duga, ternyata ada dua tiket dan ada nama Ara dan juga Sadewa di sebaliknya. Pantas saja, lebih tebal dari surat sebelumnya. Ara seakan tak percaya melihatnya. Namun yang dia lihat itu sangatlah nyata. Dia membolak balik lagi, masih benar tidak ada sedikitpun yang salah atau mencurigakan.
"Gue nggak ngerti sama semua ini," ungkapnya dengan menggeleng pelan.
Kembali lagi pada Sadewa, dia terhenti saat mendengar teriakan yang suaranya sangat ia kenali. Di mengarahkan flash ke sembarang arah.
"Itu pasti suara Ara," ucapnya dalam benaknya.
Hatinya mulai bergemuruh, pikirannya mulai memikirkan hal-hal yang tidak ia inginkan. Dia tidak dapat berpikir cepat saat terlalu cemas, gundah, ataupun resah.
"Ara! Ra!" panggilnya tak kunjung mendapat jawaban. Namun setelah dia mendengar teriakan lagi baru saja dia akan mempercepat jalannya, lampu yang semual padam hidup kembali. Sadewa terhenti, matanya menyesuaikan cahaya lampu yang begitu menyilaukan pandangannya. Setelah dia kembali mengamati seluaruh penjuru ruangan namun dia masih tetap berada di tempatnya semula. Posisinya sama, dia berdiri di samping pilar penyangga disana.
"Aneh, bukannya gue tadi udah jalan ya? Kenapa masih disini saja?" kata Sadewa lirih.
Pikirannya kembali teringat akan Ara. Ara sudah seperti tanggungannya untuk terus menjaganya. Dia juga tidak tahu mengapa. Dia kembali berjalan, kali ini tak setara dengan jalan lagi, namun sudah layaknya berlari. Terminal itu layaknya stadion sepak bola, luas dan begitu besar menurut Sadewa.
Saat sampai di dekat pintu depan dirinya menemukan sosok yang dia cari, yaitu Ara. Dia segera menghampirinya dan menepuk pundaknya yang sontak membuat Ara terkejut karena kedatangannya.
"Aaaaa... Jangan ganggu gue!" teriaknya dengan membalikkan badannya.
Sontak matanya membulat sempurna saat melihat siapa yang ada di depannya saat ini.
"Dewa! Ish, jangan ngagetin gitu kenapa? Bilang-bilang kek kalau mau nyamperin itu!" ucapnya dengan spontan.
Sadewa yang masih ngos-ngosan karena berlari tadi menjawabnya. "Maaf deh maaf, nggak sengaja,"
"Kamu nggak apa-apa kan? Nggak ada yang jahatin kamu lagi kan?" tanyanya beruntun dengan memutar tubuh Ara bolak-balik.
"Aku nggak apa-apa Sa, udah jangan di putar-putar terus! Kan puyeng," jawabnya dengan merengut.
Sadewa hanya terkekeh melihat Ara yang sepertinya malah pusing dia putar-putar seperti kaset. Sedetik kemudian Ara teringat dengan apa yang dia bawa. Baru saja Ara akan memberitahu Sadewa, namun Sadewa sudah terlanjur menariknya pergi dari sana. Alhasil Ara mengurungkan niatnya dan mengikuti kemana Sadewa pergi.
Ara mengamati sekelilingnya, sedari tadi mereka berjalan kenapa tak nampak satupun pengunjung yang datang. Apa mungkin sebab masih malam? Namun biasanya juga sudah banyak yang mengantri, akan tetapi jika Ara lihat bukan hanya pengunjung saja yang tidak ada, juga petugas disana pun tak ada di tempat mereka. Sampai di tempat yang Sadewa membawa Ara dia berhenti disana. Ara hanya memandangnya malas. Kenapa Ara harus dibawa sampai ke sini. Bukannya sedaria awal sebelum mati lampu Ara menunggu di kursi depan.
"Ra, kamu tunggu disini dulu ya! Jangan kemana-mana, duduk manis tunggu aku. Kalau ada apa-apa kamu teriak saja namaku. Sadewa! Gitu ya?" paparnya pada Ara yang masih jengah.
Ara memutar bola matanya malas. "Ih Sa, masak aku tunggu disini sih? Aku kan mau di tunggu di depan, kenapa kamu ajak aku kesini!" jawabnya dengan lelah. "Dah lah aku mau balik kesana!" ucapnya lagi dengan memutar badannya ingin beranjak dari sana.
Sadewa mencekal tangan Ara. Dan melihatnya dengan sorot mata yang teduh.
"Kamu tunggu sini aja Ra, nanti kalau mati lampu kayak tadi gimana? Susah aku nyariin kamu di terminal yang sebegitu gedenya ini," ucap Sadewa.
"Iya iya. Tapi jangan lama-lama, keburu ketinggalan bus nanti!" Ara hanya menghembuskan napasnya jengah.
"Siap, nggak lama kok. Paling cuma tiga puluh menit doang! Nggak lama kan?" ucap Sadewa yang sekaligus Ara ingin menampolnya sekarang.
"Itu lama Sa! Bisa jamuran cuma nunggu kamu ganti doang di kamar mandi, udah kayak berendam aja di kolam," jawab Ara dengan menojok lengan Sadewa.
Sadewa terkekeh. "Iya ya, lama bener! Ya udah deh kapan kelarnya kalau debat mulu," sahutnya dengan beranjak dari sana menuju kamar mandi di sebelahnya.
Ara hanya menunggu di kursi dekatnya. Dia duduk sembari mengamati sekelilingnya lagi. Dia baru teringat jika dia membawa ponselnya yang dia matikan sedari tadi. Ara mengeceknya di dalam tasnya. Ponselnya kembali hidup, tapi belum ada notifikasi pesan chat ataupun panggilan dari kakaknya ataupun ayahnya. Mungkin mereka belum tahu jika Ara sudah pergi dari rumah. Semoga saja mereka mengerti Ara. Pikirnya.
Ara kembali memasukkan ponselnya dan mematikan dayanya. Dia kembali terfokus pada dua buah lembar tiket di tangannya. Tiket yang sedari tadi dia amati masih saja membuatnya bertanya-tanya bagaimana bisa dia mendapatkannya, dan siapa yang mengirim surat untuknya. Sudah berkali-kali namun Ara tak pernah menemukan sosok pengirim itu.
Pintu yang terbuka membuat fokusnya teralih pada asal suara itu. Sadewa sudah berganti mengenakan pakaian yang kering. Lama sekali rasanya Ara menunggunya, mungkin saja Sadewa tak sadar bahwa sudah lebih sepuluh menit dia di dalam toilet. Padahal hanya berganti pakaian tapi sudah seperti berendam saja seperti apa yang dikatakan Ara tadi.
Dia melihat ke arah dimana Ara berada. Dia menghampirinya dan duduk disampingnya.
"Hei, nungguin siapa Ra? Diem aja dari tadi!"
"Emang mau ngomong sama siapa? Kamu aja lama banget ganti doang. Udah sepuluh menit lebih aku nunggu disini," jawabnya dengan memutar bola matanya malas.
"Ah, nungguin aku ya? Duh Ara baik banget deh kamu," ucapnya dengan terkekeh.
"Terserah deh, terserah! Kamu mau tahu nggak aku tadi dapat apa pas lampu mati?" kata Ara yang membuat Sadewa penasaran.
"Apa?" tanyanya dengan terheran.
"Tapi kamu jangan kaget ya!" ucap Ara.
Sadewa mengangguk paham dan memperhatikan apa yang Ara ingin katakan.