Berjalan tanpa arah akan tersesat. Jalan tanpa tujuan tak akan dapat.
(Arabella)
Saat pandangannya menyapu jalanan yang ada disana. Tak sengaja matanya tertuju pada sosok yang dia lihat.
"Arjuna!" ucapnya tertegun melihatnya.
Namun yang didapatinya sekelebat bayangan itu kembali menghilang setelah dia melihat dengan jelas.
"Apa yang aku lihat tadi? Juna?" pikirnya dengan mencari sosok yang muncul di depannya.
Namun tak ada satupun orang disana. Masih sepi dengan guyuran air hujan yang masih deras disana. Sadewa semakin gemetar melihat bayangan Arjuna. Pasalnya jika dia benar-benar dinyatakan menghilang kenapa dia bisa melihat dengan nyata di depan matanya. Namun disaat yang bersamaan saat Sadewa ingin memastikannya kembali dia kembali menghilang. Apa ada yang ingin dia sampaikan? Atau dia akan kembali?
Ara yang merasakan senderan kepalanya sedikit bergerak perlahan membuka matanya. Pandangannya masih mengabur untuk menyesuaikan dengan pancaran sinar lampu jalan. Saat dirasanya seperti bersender di pundak seseorang dia mendongakkan wajahnya ke atas. Sontak Ara menegakkan tubuhnya saat melihat Sadewa yang ternyata dia jadikan topangan kepalanya. Ara yang melihat raut wajah Sadewa yang sedang mencari-cari sesuatu dia hanya mengamatinya sepintas.
"Sad, kamu kenapa?" ucapnya dengan menautkan kedua alisnya.
Sadewa yang merasa Ara memanggilnya kini sudah terfokus kepadanya.
"Aku?" jawabnya kembali bertanya.
"Iya, siapa lagi? Kamu kenapa sih, kok aneh?"
"Hah, enggak. Aku nggak apa-apa," jawabnya dengan gugup. "Kok kamu udah bangun sih?" tambahnya lagi mengalihkan pembicaraan mereka.
"Iya," jawab Ara singkat. Sadewa hanya mengulum senyum. Namun bagi Ara seperti ada sesuatu yang Sadewa sembunyikan dari nya. Entah apa, atau hanya perasaan Ara saja. Namun Sadewa seperti mencari-cari sesuatu. Ingin sekali Ara tanyakan namun urung saat Sadewa kembali mengentak dari tempat duduknya dan berlari di bawah guyuran hujan. Alih-alih pakaiannya yang hampir mengering basah kembali. Ara terkejut saat Sadewa beranjak dari sana. Ara sempat ingin melarangnya namun Sadewa tak menggubris apa kata Ara.
"Kenapa Sa?" tanya nya saat Sadewa kembali mengedarkan pandangannya.
"Ada apa sih?" tanya nya lagi saat tak dijawab oleh Sadewa.
"Sadewa! Kamu mau kemana?" teriakinya saat Sadewa pergi dari sana.
Ara juga beranjak dari duduknya dia akan mengejar Sadewa, namun kakinya terhenti di pinggiran trotoar yang masih terlindungi dari guyuran hujan. Ia memandangi rintik hujan, kakinya mundur beberapa langkah saat tetesan-tetesan itu mengenainya. Dia tidak boleh terkena hujan. Jika saja dia nekat menerobos lebatnya hujan, dia pasti tidak akan bisa melanjutkan perjalanannya. Ara sangat lemah dengan hujan. Dia masih setia untuk berteduh disana.
Ara hanya bisa memandangi Sadewa yang sudah basah kuyup saat ini. Walaupun jaraknya tidak begitu dekat namun Ara tahu pasti Sadewa melihat sesuatu yang amat berharga baginya. Namun Ara tak melihat apapun disana. Hanya ada Sadewa yang berdiri mematung dibawah rintiknya hujan.
Sadewa yang berdiri mematung disana terus saja mencari. Dia melihat bayangan adiknya yang terus mendatanginya. Dia tidak sanggup jika tidak mencari. Dia hanya berputar-putar di sekitarnya dengan sesekali meneriaki namanya.
"Juna! Jun, Abang kangen sama lo! Lo dimana?" teriaknya sendiri dengan suara parau. Walaupun dia menangis tak ada yang tahu, hujan menutupi tangisnya. Walau hujan selalu menitikkan air matanya namun hujan tak ingin memperlihatkan Sadewa yang lemah.
"Balik Jun, lo harus bisa pulang! Gue nggak mau kehilangan lo!"
"Kita semua sayang sama lo!" tambahnya lagi dengan nanar.
"Kalau lo nggak ada gimana sama Ibu, gimana sama gue?"
"Lo harus tahu, Ibu selalu nyariin lo! Selama ini lo salah kalau lo ngira cuma gue yang Ibu sayang, tapi lo juga Jun," ucapnya namun hanya dia dengarkan sendiri.
"Gue akan cari lo sampai lo ketemu. Tunggu gue, lo baik-baik disana," ucapnya setelah dia terdiam.
Sadewa kembali melihat ke belakangnya, disana Ara sudah berdiri dengan menatapnya penuh tanda tanya. Dia berjalan menghampirinya lagi dengan mengusap wajahnya yang penuh dengan air.
Sampai di tempat Ara berteduh Sadewa menatapnya terdiam. Ara juga belum bergeming dari sana dengan melihat Sadewa yang basah kuyup.
"Ara," panggil Sadewa dengan lirih.
"I iya, kenapa Sa?" jawab Ara terbata-bata.
"Kamu mau kan bantu aku?" ucapnya penuh harap.
Ara mengerutkan dahinya. "Bantu apa?"
"Bantu aku buat cari adikku."
"Aku?" balasnya berbalik bertanya pada Sadewa seolah tak percaya bahwa dia yang akan membantu Sadewa.
"Iya, kamu mau kan?" jawab Sadewa. "Tapi kalau kamu keberatan aku nggak maksa kok," ucapnya lagi.
Ara berpikir sejenak. Bisakah dia membantu Sadewa, lalu bagaimana dengan tujuannya saat ini? Jika dia ikut dengan Sadewa lalu Ara akan melupakan misinya itu? Tapi jika Ara tidak membantu Sadewa, Ara tidak tega melihatnya yang begitu berharap pada Ara untuk membantunya. Kalau Ara tidak ikut dengan Sadewa Ara juga tidak tahu nantinya kemana dia akan pergi. Dia juga tidak tahu kenapa dia bisa pergi sekarang.
Ara menarik napasnya panjang."Oke, Ara mau bantu Sadewa," ucapnya dengan spontan. Akhirnya Ara memutuskan untuk membantu Sadewa, mungkin dari sana juga Ara bisa menemukan apa yang dia cari. Kalau tidak juga Ara menemukan, mungkin Ara bisa mencarinya lagi setelah membantu Sadewa nanti. Walaupun Ara tidak begitu yakin dengan dirinya.
Sadewa yang mendengar jawaban dari Ara sontak menarik kedua sudut bibirnya. Seulas senyum mencuat di wajah tampannya. Bagai melihat bulan dari dekat, Sadewa amat senang mendengarnya. Arapun membalas senyum dari Sadewa. Tidak biasanya dia bisa melihat orang lain tersenyum karna dirinya.
"Makasih ya Ra!" ucapnya dengan menarik Ara kedalam pelukannya.
Ara tidak bergeming, Ara merasakan air yang begitu dingin menetes di pipinya. Tetesan air dari rambut Sadewa yang basah sisa hujan-hujanan.
"Beginikah rasanya air hujan? Dingin," ucapnya dalam benaknya.
"Iya Sa. Kamu itu udah aku anggep seperti kakak aku sendiri. Kamu yang membawaku untuk kesekian kalinya merasakan bagaimana air hujan itu," jawabnya menanggapi Sadewa.
"Kenapa?" Sadewa menatap Ara.
Melihat Ara yang masih terdiam Sadewa meralat kata-kata nya.
"Em, maksudnya kenapa kamu bilang kesekian kalinya? Bukannya sudah tidak heran lagi ya bagaimana hujan itu, kehujanan, kedinginan, basah kuyup seperti ini," ucapnya lagi.
Ara tersenyum kecut mendengarnya. "Kamu tidak tahu bagaimana aku dengan hujan. Aku menyukainya, namun keadaan mengatakan lain," jawab Ara yang sama sekali Sadewa tak mengerti apa maksudnya.
"Beneran deh, aku nggak paham apa maksud kamu," sambungnya dengan terkekeh.
"Udahlah lupain aja."
Sadewa hanya mengangguk pelan menanggapinya. Mungkin Ara masuk angin kalau hujan-hujanan, pikir Sadewa.
Mereka kembali duduk di kursi panjang halte. Rasanya menunggu pagi lama sekali. Jam baru menunjukkan pukul 23.00 WIB.
Ara sudah jengah menunggu, dia kembali melihat pada Sadewa yang nampaknya matanya sudah menyipit kali ini.
"Sa!" panggil Ara setelah beberapa menit mereka terdiam.
"Hmm," jawab Sadewa.
"Nggak ada bus lewat ya?" tanyanya dengan lesu.
"Nggak ada lah Ra, udah malam mana mungkin ada."
"Kalau taxi?"
"Apalagi itu," jawabnya
"Angkot? Ojek?" tanya Ara lagi, dia tidak tahu bahwa yang dia ajak bicara sudah menahan kantuknya berat.
"Enggak ada Ara sayang!" jawabnya asal. Alih-alih agar tidak kena semprot Ara Sadewa menutup matanya seolah sudah tertidur walaupun kepalanya ia senderkan di tiang halte.
Sontak Ara membulatkan matanya. "Sayang?"
Namun tak ada jawaban yang terdengar dari Sadewa. Ara melihatnya, rupanya dia tertidur.
"Dasar ngigo aja ni Abang satu," ucapnya lagi.
Sadewa yang mendengarnya hanya mengulas senyumnya. Ara terdiam sembari mengetuk-ngetukkan kakinya. Matanya mengamati jalan disekitar sampai sebuah sorot lampu mobil dari kejauhan menyilaukan pandangannya. Ara mengguncang tubuh Sadewa agar dia bangun. Saking kencangnya sebab Ara begitu senang Sadewa hampir terjungkal karenanya.
"Sa, bangun Sa!"
"Ada apa sih Ra?" ucapnya dengan suara serak khas bangun tidur. Baru saja dia akan memejamkan matanya sudah Ara ganggu lagi dengan suara toanya.
"Itu lihat, ada angkot kita bisa ke terminal sekarang," jawabnya dengan girang.
"Mana sih?" tanya Sadewa lagi dengan mengucek matanya. "Oh iya, bentar aku stop dulu," ucapnya lagi setelah terlihat sebuah angkutan umum lewat.
Sadewa beranjak dari duduknya dan berdiri tepat dipinggir jalan. Dia melambaikan tangannya agar si sopir melihatnya dan berhenti. Ara sudah disampinya, mereka sudah siap dengan menggendong ransel.
Angkutan umum itu berhenti tepat di depan mereka. Baru saja Ara akan mendahului masuk kedalam namun cekalan tangan Sadewa membuatnya kembali terhenti.
"Eh bentar Ra!" ucapnya dengan spontan. Ara memundurkan langkahnya kembali.
"Kenapa sih?" tanyanya bingung pada Sadewa.
"Tunggu biar aku cek dulu," jawabnya dengan mendongakkan kepalanya kedalam angkot.
Matanya menelusuri di dalam angkot. Isi didalamnya terdapat lima orang yang terlihat sangar membuat Sadewa mengurungkan niatnya. Dia kembali keluar dan tidak jadi menumpangi angkot itu. Bukan sebab dia takut dengan orang yang ada di dalamnya, namun Sadewa hanya tidak ingin nanti ada masalah lagi ataupun nanti membahayakan Ara.
"Maaf Bang, nggak jadi." ucapnya pada supir di depan.
"Gimana sih Dek, kirain mau naik. Buang-buang waktu aja," jawab seorang paruh baya yang mengemudi di depan.
"Maaf ya Bang," ucapnya lagi dengan menangkupkan tangan nya sebagai tanda maafnya.
Ara yang melihatnya terheran, bukannya naik dan sampai di terminal namun Sadewa malah mengusirnya begitu saja. Padahal sudah lama mereka menunggunya. Dan jarang sekali ada angkutan umum yang lewat semalam ini.
"Sa kenapa malah suruh pergi?" tanya Ara setelah angkot itu kembali berjalan melewati mereka.
Sadewa menghembuskan napasnya jengah. "Kamu nggak lihat tadi, didalam banyak orang kayak gitu. Nggak takut kamu? Kalau terjadi apa-apa lagi gimana? Kamu mau kaya tadi?" ucapnya panjang lebar dengan Ara.
"Ya nggak sih, siapa juga yang mau. Tapikan nanti kita cepat sampai," jawabnya dengan mengerucutkan bibirnya.
"Kayak nggak ada yang lain aja, lagi pula sikap kamu yang kayak gini itu yang bisa ngebahayain diri kamu sendiri!" ucapnya kali ini sudah ngegas.
"Iya maaf aku ngerti kok. Biasa aja kali nggak usah ngegas juga," jawabnya dengan sewot saat mendapati wajah Sadewa yang kesal.
Ara kembali mendudukkan dirinya di kursi panjang dengan merengut kesal. Sadewa yang melihatnya hanya mengikutinya untuk duduk di sampingnya.
"Lo harus tahu Ra, gue ngegas gini karena gue perhatian sama lo. Gue cuma nggak mau lo kenapa-kenapa lagi. Andai lo tahu itu," ucapnya yang hanya di batin.
Selang beberapa menit mereka duduk cahaya lampu mobil kembali menyorot. Sadewa yang melihatnya kembali memberitahukan Ara, padahal Ara juga sudah tahu.
"Ra, ada yang lewat lagi tuh!" ucapnya dengan spontan.
Ara yang melihatnya hanya menipiskan bibirnya, padahal dalam hatinya merasa sangat senang namun ia sembunyikan.
"Cek dulu sana!" ucapnya menanggapi.
Sadewa mengerutkan keningnya. Kenapa Ara nggak se semangat kayak tadi ya? Pikirnya saat ini.
"Kamu kenapa sih Ra? Marah sama aku? Kesel gara-gara aku ngomong gitu tadi?" tanyanya beruntun yang membuat Ara tak menggubrisnya.
"Nggak apa-apa," jawabnya singkat.
Sadewa terkikik. "Baru gitu aja udah ngambek. Gimana kalau nanti denger aku ngomong lebih pedes dari cabe?"
"Hmm," jawab Ara tanpa menoleh.
Sadewa hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah Ara. Dia kembali terfokus untuk menyetop angkutan umum lagi.
Sampai di depannya Sadewa memberhentikannya dan kembali lagi, dia mengecek keadaan didalamnya. Dan ternyata aman. Tidak ada penumpang di dalamnya.
"Ra ayo naik. Aman nih!" perintahnya pada Ara. Dia naik dan juga Ara mengikutinya dari belakang. Mereka duduk di kursi paling belakang agar dapat melihat ke depan.
"Jalan Bang, ke terminal ya!" ucap Sadewa dengan supir angkotnya.
"Iya Mas," jawab Pak supir dengan penumpangnya itu.
Angkot sudah berjalan menembus rintik hujan yang belum juga mereda. Semua hanya terdiam tak ada suara, hanya terdengar suara deru mesin yang terdengar. Sebelum Sadewa kembali berucap.
"Ra," ucap Sadewa lagi.
"Apa?" jawab Ara dengan melihat ke arahnya.
"Kamu ngambek ya sama aku? Maaf deh, " ucapnya lagi.
"Enggak kok. Siapa juga yang ngambek," jawabnya dengan terkekeh.
"Kan tadi," ucapnya lagi.
"Perasaan kamu aja,"
Sadewa hanya menjawabnya dengan ber oh saja. Angkot sudah berjalan hampir sepuluh menit namun tak kunjung sampai juga.
Ara dan juga Sadewa tak mendengar sepatah katapun dari supir angkot itu. Suasananya hening, namun berjalan sesuai dengan rata-rata.
"Ra, kok lama banget sih sampainya? Mana Abang angkotnya diem aja," ucap Sadewa dengan berbisik.
Ara yang melihatnya langsung meledek Sadewa. "Kamu takut ya," jawabnya dengan senyum yang menyerigai.
Sadewa menonyor kepala Ara pelan."Enak aja kalau ngomong, siapa juga yang takut. Orang cuma bilang kok!" jawab Sadewa.
"Halah ngaku aja kalau kamu itu sebenarnya penakut," kata Ara sambil menjulurkan lidahnya mengejek.
"Pengen tak hih kamu itu," ucap Sadewa dengan ekspresi gemas.
"Coba aja, nanti aku jadi hantu disini terus gentayangin kamu." Ara berlagak seperti hantu yang akan mencekik mangsanya.
Terus aku panggil "Sadewa," ucapnya lagi dengan suara seraknya.
"Bodoamat deh Ra! Gue nggak denger!" jawabnya dengan menutup telinganya dengan kedua telapak tangannya.
Ara hanya terkekeh geli melihatnya. Ara kembali mengamati jalanan yang mereka lalui. Hanya ada pepohonan rimbun di pinggir jalan. Rumah pun juga berjarak sangat jauh dari jalanan itu. Menurutnya sangat sepi namun cahaya lampu jalan membuatnya tak seseram yang dibayangkan.
Dua puluh menit berlalu, mereka sampai di tempat tujuan. Ara dan juga Sadewa turun dari angkot itu. Namun Sadewa lupa jika belum membayarnya.
"Eh bentar Ra, kayaknya kita tadi belum bayar deh!" ucap Sadewa saat mereka baru melangkahkan kakinya.
"Iya Sa. Aku juga lupa. Buruan gih bayar! Nanti Abangnya nungguin," jawab Ara dengan mendorong pelan bahu Sadewa.
Baru saja Sadewa melihat ke belakangnya namun tak ada satupun angkutan umum disana. Bahkan mereka tidak mendengar suara deru mesin yang menyala. Sadewa menyapukan pandangannya ke segala arah namun tak ada satupun disana.
"Kemana tadi angkotnya? Perasaan disini tadi?" ucapnya dengan menggaruk kepala nya yang sama sekali tidak gatal melainkan bingung.
"Kok nggak dibayar sih," ucap Ara saat kembali menyusul Sadewa.
"Mana angkotnya?"
"Lah, perasaan tadi masih disini, kok cepet banget ngilangnya. Bukannya kita baru satu meter ya jalan?" bukannya ikut mencari namun Ara berbalik bertanya pada Sadewa.
Sadewa hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Aneh yang ada di pikirannya.
"Udahlah, mungkin Abangnya nggak sabar nunggu," terang Ara pada Sadewa.
"Masa sih?" tanyanya lagi.
"Anggep aja iya. Ya udah yuk tunggu disana!" ajak Ara dengan berjalan meninggalkan Sadewa.
" Ara, aku mau ke toilet dulu, mau ganti baju biar nggak basah mulu," ucap Sadewa.
Ara hanya mengangguk. Dan kembali berjalan.
"Aku tunggu disana ya?"
"Ok," jawab Sadewa dengan membentuk jarinya seperti tanda ok.
Belum sampai Ara di tempat duduknya.
Tiba-tiba lampu yang sekian banyaknya fi terminal mati begitu saja.