Apakah kamu pangeran yang datang untuk menemaniku?
(Arabella)
"Siapa lo?" bentaknya dengan orang yang berperawakan lebih tinggi darinya.
"Serahin barang lo, atau!" ancam orang itu dengan pernyataan yang menggantung.
"Atau apa hah!" ucap Ara dengan waspada.
"Atau nyawa lo habis di tangan gue!"
"Nggak!" Ara mencoba mengamankan ranselnya dalam dekapannya, namun preman itu tetap menarik paksa ransel Ara.
Ara tidak menyerah begitu saja, dia sempat melawan preman itu dengan memukul tangannya. Namun hasilnya malah Ara yang tersungkur kelantai.
Dari arah kejauhan nampak seseorang berlari ke arah halte dimana Ara dihadang oleh preman itu.
"Wah nggak beres nih! Gue harus bantuin cewek itu," ucapnya dengan mempercepat dia berlari. Walaupun hujan masih deras-derasnya namun tak menghalanginya untuk membantu menyelamatkan nyawa orang lain.
"Woi! Berhenti!" teriaknya dengan melayangkan satu pukulan ke wajah preman itu.
Bugh...
Kini preman itu yang bergantian tersungkur. Namun preman itu nampaknya belum puas jika dia mengalah. Dia kembali bangkit dan tersenyum smirk ke arah pria itu. Dengan kesalnya karena telah menggagalkan aksinya malam ini dia berusaha menyerang balik pria yang telah menyelamatkan Ara.
Mereka berdua sempat berduel di balik derasnya air hujan. Cukup lama pria itu untuk mengalahkan preman. Walaupun hanya satu lawan satu namun rupanya preman bertubuh kekar itu nampak sangat kuat.
Ara yang melihat perkelahian kedua orang itu hanya melihatnya dari kejauhan. Entah apa yang akan dia lakukan. Meminta bantuan, tapi dengan siapa? tak ada seorang pun disana. Hanya ada dirinya, pria yang menyelamatkannya dan juga preman kasar itu. Ara hanya merapalkan segala doa, dia berharap pria itu bisa mengalahkan preman dengan selamat tanpa melukai dirinya.
Butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk pria itu menghabisi preman yang mengganggu Ara. Sampai preman itu tersungkur dan melarikan diri darinya. Ara yang nampak sangat khawatir bisa bernapas lega sekarang. Pasalnya ranselnya selamat dan pria itu berhasil mengusir preman itu dari sana. Dilihatnya pria itu masih berada di bawah guyuran air hujan, Ara nampak kasihan dengannya namun beruntung Ara masih ada yang menolongnya di saat seperti ini. Tatapannya belum juga beralih dari pria itu, selang beberapa detik pria itu juga menoleh ke arahnya. Ara mengulum sebuah senyum untuknya. Entah apa yang akan dia katakan untuknya nanti. Pria itu kini berjalan ke tempat dimana Ara berteduh di halte. Walaupun Ara sempat takut dengannya, namun hatinya berkata bahwa dia adalah orang baik buktinya dia telah menyelamatkan Ara dari kejahatan yang menimpanya.
"Kamu nggak apa-apa kan? Atau ada yang terluka?" ucapnya saat sampai di depan Ara, terlihat raut wajahnya walau kedinginan namun terlihat khawatir dengan keadaan Ara. Ara hanya diam mematung menatap wajah pria itu. Pasalnya belum pernah ia dikhawatirkan oleh seorang pria lain selain ayahnya dan juga kakaknya.
Pria itu masih menatap Ara yang belum menjawab pertanyaannya. Terlihat Ara melamun menatapnya. Dia hanya mengerutkan dahinya dan melambaikan tangannya di depan wajah Ara.
"Hei! Kenapa?"
Ara tersentak kaget mendengar suara di depannya. Kenapa dia melamun di saat yang bersamaan dengan orang itu menanyakan keadaannya.
"Eh iya, aku nggak apa-apa kok. Makasih ya udah bantuin aku tadi," jawabnya dengan gugup.
"Iya sama-sama," ucapnya lagi dengan melontarkan senyumnya pada Ara. Terlihat saat pria itu tersenyum pipinya memunculkan lesung pipi yang amat dalam. Terlihat manis sampai Ara mengira dirinya dikirimkan pangeran untuk menyelamatkannya.
Ara hanya mengalihkan pandangannya ke arah lain. Sementara pria itu mengulurkan tangannya untuk berkenalan dengan Ara.
"Kenalin namaku Pangeran Sadewa. Panggil saja Dewa. " dengan tetap memberikan senyum pada Ara.
Ara membalas jabatan tangannya. "Arabella. Panggil saja Ara."
"Salam kenal Ara. Katanya tak kenal maka tak sayang. Jadi kalau sudah sayang jangan ditinggal ya!" pernyataan yang terlontar dari mulut Sadewa membuat Ara terkekeh mendengarnya.
Jantung Sadewa berdegup sangat kencang. Entah kenapa dia seperti ini. Tangannya begitu dingin, tapi menghangat saat bertemu dengan tangan Ara. Ara adalah cewek pertama yang membuatnya berkata aku kamu, padahal jarang sekali dia menyapa dengan sebutan aku kamu, dan lebih sering lo gue.
Namanya saja Pangeran, apa benar dia pangeran yang dikirimkan untuk menjaga Ara. Ara berpikir mungkin ini adalah kebetulan saja. Dia lewat dan tak sengaja melihat Ara yang membutuhkan bantuan. Tinggi Ara yang tidak sebanding dengan Sadewa membuatnya sesekali harus mendongakkan kepalanya, sebab tinggi Ara hanya sampai di pundak sadewa.
Saat mata Ara tak sengaja melihat kebelakang Sadewa, sesosok hadir di sana. Wajahnya yang sangat familiar dengan yang ada banner yang dia foto kemarin.
"Juna," ucapnya lirih dengan matanya terfokus pada sosok itu, diantara rintik hujan yang deras namun tak nampak basah olehnya.
Sadewa yang mendengar Ara menyebut nama Juna membuatnya menautkan kedua alisnya. Pasalnya dia melihat pandangan Ara tidak menoleh ke arahnya tapi di belakangnya. Sadewa mengikuti dimana Ara melihat. Dia membalikkan badannya dan tak nampak apapun disana. Tidak ada seorangpun di belakangnya. Sadewa kembali melihat pada Ara.
"Siapa Juna?" tanyanya yang membuat Ara tersadar.
"Juna?" Ara kembali bertanya dan saat yang bersamaan bayangan yang Ara lihat sudah tidak ada disana saat dia kembali melihat ke belakang Sadewa.
"Iya, siapa Juna itu. Dan kenapa kamu seperti melihat sesuatu di belakangku?" tambahnya lagi.
Ara pun juga tidak tahu, kenapa dia bisa melihat bayangan seperti sosok Juna, dan apa yang dikatakan Sadewa tadi? Dia menyebut nama Juna. Ada apa dengannya saat ini? Ara semakin bingung dengan dirinya.
"Bukan siapa-siapa, aku juga tidak tahu," jawabnya dengan menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal.
Sadewa mengendikkan bahunya, "It's okay. Kita duduk disini."
Ara hanya mengangguk dan mengikuti Sadewa.
Mereka duduk di kursi halte dengan memandang derai hujan yang turun. Tak ada sepatah kata yang terucap kembali. Mereka disibukkan dengan pikiran masing-masing.
Ara melihat pada Sadewa yang sesekali menggosokkan kedua tangannya yang semakin mendingin. Ara tak tega melihat Sadewa yang basah kuyup karenanya. Sebab membantunya tadi Sadewa jadi hujan-hujanan di tengah malam seperti ini. Sadewa yang merasa dirinya diperhatikan oleh Ara menoleh ke arahnya. Tetesan air di pelipisnya dan rambut yang acak-acakan membuatnya terkesan dua kali lipat lebih tampan dari yang biasanya. Ara kembali menatap kedepan saat ketahuan menatap Sadewa di sampingnya.
"Kenapa?" tanya Sadewa memecah keheningan diantara mereka berdua.
"Nggak apa-apa kok," jawabnya singkat.
Sadewa hanya tersenyum tipis ke arah Ara.
"Sadewa," kembali Ara memanggilnya lagi seperti ada yang akan dia katakan padanya.
"Iya kenapa Ra?" jawabnya dengan menoleh Ara.
"Maaf ya, gara-gara aku kamu jadi basah kayak gini. Pasti dingin ya?" tambahnya lagi dengan melihat dengan perasaan bersalah.
Sadewa hanya terkekeh mendengarnya, "Nggak apa-apa Ra, aku tadi sebelum nolongin kamu juga kehujanan di jalan. Kamu nggak usah khawatir, aku baik-baik saja," ucapnya menenangkan Ara.
"Aku nggak tahu gimana nasibku tadi kalau nggak ada kamu. Pasti raib semua barangku diambil preman tadi. Sekali lagi makasih ya Sa," ucapnya dengan tersenyum ke arah Sadewa.
"Iya sama-sama. Udah kali, nggak usah dipikirin lagi. Toh, kamu juga nggak kenapa-kenapa kan sekarang. Tenang aku disini buat kamu. Jagain kamu," ucapan Sadewa membuat Ara sontak menolehnya.
"Eh maksudnya gini_" tambah Sadewa lagi saat Ara seperti tidak mengerti apa maksud perkataannya.
Kini giliran Ara yang terkekeh, "Iya aku tahu kok."
Sadewa juga ikut terkekeh mendengarnya. Dia hanya menggaruk kepalanya, entah kenapa dia berkata seperti itu pada Ara. Ini kali pertamannya Sadewa seperti mengalami gejala bucin. Padahal biasanya dia terkenal sangat dingin bahkan terkesan cuek dengan orang lain. Namun yang dirasakannya sekarang dengan Ara dia ingin saja peduli dengannya. Tak ingin meninggalkannya sendirian begitu saja.
"Hebat kamu tadi." puji Sadewa.
Ara menautkan kedua alisnya, "Hebat apanya?"
"Iya hebat, kamu bisa lawan tadi premannya sebelum aku datang dan bantuin kamu. Belajar dari mana bela dirinya?" terangnya dengan tertawa ringan.
"Biasa aja kali. Tadi juga aku kalah sama dia. Soal bela diri, aku belajar dari Ayah aku. Dulu pas Ayah ngajarin kakakku dia juga minta aku buat belajar juga. Aku kan cewek, jadi kalau di situasi mendesak kaya tadi bisa tuh aku gunain buat ngelawan orang yang mau jahatin aku," jawabnya dengan mengulas senyum nya.
"Ayah kamu sayang banget ya sama kamu."
Ara tak menjawab lagi apa kata Sadewa. Saat dia teringat akan ayahnya rasanya sedih sekali saat Ara harus pergi terpaksa tanpa sepengetahuan dari ayahnya.
Wajah Ara terlihat sendu saat Sadewa lihat. Dia merasa ada sesuatu yang Ara tidak ceritakan dengannya. Sadewa membiarkan Ara kembali bergelut dengan pikirannya sendiri. Dia akan diam sampai waktunya dia berbicara lagi.
"Kamu ada masalah ya sama Ayah kamu? Kalau kamu butuh teman untuk bercerita, silakan bercerita denganku," ucapnya lagi dengan menatap lurus kedepan.
Ara belum juga menjawab. Dia hanya menoleh ke arah Sadewa. Namun air matanya sudah tak dapat dia bendung lagi. Pelupuk matanya sudah penuh, pipinya kini sudah basah dengan air mata. Namun Sadewa tak menyadari itu terus saja berkata dengannya.
"Kalau nggak mau juga nggak apa-apa. Aku nggak akan maksa kamu buat cerita sama aku," tambahnya lagi dengan menghela napasnya. Dia sadar untuk apa Ara menceritakan masalahnya dengannya. Toh dia bukan siapa-siapa nya dan mereka bertemu tanpa sengaja.
"Ara kabur dari rumah," ucapnya dengan suara parau. Sadewa tersentak kaget mendengar jawaban dari Ara. Dia bahkan baru tahu jika Ara berniat kabur dari rumahnya. Sadewa menoleh dan saat yang bersamaan Ara mengusap air matanya.
"Kamu kenapa kabur dari rumah?"
"Ada hal yang harus aku temukan. Ayah sama Kakak aku sebenarnya tidak mengizinkan aku buat pergi. Tapi ini penting banget buat aku tahu semua jawaban dari semua pertanyaan di pikiran aku selama ini," jawabnya terus terang dengan Sadewa.
"Aku nggak tahu gimana caranya aku buat jelasin sama Ayah. Makanya aku terpaksa kabur dari rumah. Ara merasa bersalah banget sama mereka berdua, nggak nurut apa kata Ayah," tambahnya lagi dengan terisak dalam tangisnya.
Sadewa mendekatkan duduknya dengan Ara. Dia mengusap air mata di pipi Ara. Dia memberikan semangat pada Ara dan berusaha menenangkannya. Sadewa membawa Ara ke dalam pelukannya. Ara hanya terisak dalam tangisnya.
"Sudah Ra. Jangan nangis lagi ya. Ayah kamu pasti ngertiin kamu. Dia sayang banget sama kamu," ucapnya dengan mengelus punggung Ara.
"Kamu tahu nggak, kamu itu masih beruntung banget masih bisa bertemu dengan Ayah kamu," ucapnya lagi yang membuat Ara kembali melihatnya.
"Memangnya kenapa?" tanyanya dengan suara seperti orang sedang pilek sebab kebanyakan menangis.
Sadewa menghembuskan napasnya berat, "Karena aku udah nggak bisa lagi ketemu sama Ayah aku."
"Ayah kamu kemana? Kenapa kamu nggak bisa ketemu lagi sama dia?" Ara kembali bertanya sebab penjelasan dari Sadewa kurang dimengerti olehnya.
"Ayahku meninggal semenjak aku masih SMP, dia meninggal sebab penyakitnya yang sudah terlalu parah. Saat itu keluarga sudah tak ada biaya lagi untuk Ayah berobat di rumah sakit. Harusnya dia dioperasi saat itu, tapi Ayahku tetap menolak. Dia hanya ingin di sisa hidupnya waktu itu dia bisa melihat anak-anak nya dan juga istrinya berada disampingnya, nemenin dia kapanpun. Tapi waktu tak berlangsung lama, beliau meninggal saat aku mengikuti lomba bela diri waktu itu. Dan saat aku pulang, beliau sudah tiada, padahal waktu itu aku membawakan piala kejuaraan untuknya. Hal yang sangat aku sesali waktu itu, aku tidak bisa melihat Ayahku untuk terakhir kalinya. Dan sampai sekarang aku hanya hidup dengan Ibuku dan juga adikku. Tapi entah dimana sekarang adikku berada, dia hilang. Dan aku gagal buat ngejaga dia," terangnya pada Ara.
Ara hanya terdiam mendengar cerita dari Sadewa. Ternyata dalam kehidupan ini masih ada yang lebih berat cobaannya dari yang kita alami. Ara tersadar, mungkin yang dia lakukan saat ini salah. Harusnya ayahnya tahu sekarang dia dimana. Semoga dia bisa berjumpa lagi dengan ayahnya setelah dia selesaikan tujuannya.
Ara menepuk pundak Sadewa berusaha memberikannya kekuatan lagi.
"Kamu yang sabar ya. Pasti semua ujian yang kamu alami sekarang bisa membawa kamu di kehidupan yang lebih baik lagi. Dan semoga juga kamu dengan adik kamu segera bertemu," ucapnya denagn mengulum senyumnya.
Sadewa hanya mengangguk untuk merespon apa yang di katakan oleh Ara. Mereka sama-sama terdiam kembali sebelum Sadewa kembali berucap.
"Kok jadi melow gini sih," ucapnya saat menyadari matanya juga sudah berkaca-kaca.
Ara hanya terkekeh mendengarnya. Sadewa adalah orang yang baik. Dia juga membuat Ara kembali tersenyum setelah kesedihannya. Lebih tepatnya Ara menganggap Sadewa seperti kakaknya, sama seperti Ali. Caranya menghibur dan perhatiannya. Namun Ara tidak menyadari jika sebenarnya Sadewa ingin menganggapnya lebih dari seorang sahabat ataupun seorang kakak.
Sadewa merasa senang kembali saat melihat Ara kembali tersenyum. Kedua sudut bibir itu kembali melengkung dengan sempurna menayangkan senyum seorang bidadari.
"Oh iya, kamu mau kemana?" tanya Sadewa.
"Aku mau ke terminal. Kamu?"
"Lah, sama aku juga mau ke terminal. Ya udah sekalian aja. Pasti kamu mau muncak ya?"
"Iya kok kamu bisa tahu kalau aku mau muncak?" tanya Ara dengan penuh selidik.
Sadewa memutar bola matanya malas, "Gimana aku nggak tahu kalau kamu mau muncak, dari ransel kamu aja udah kelihatan. Terus outfit kamu juga kayak mau muncak bukan mau ke kondangan," jawabnya asal.
"Kira-kira aja, masak kondangan pakek sepatu kayak gini. Dikira mau jadi koboy nanti."
"Iya, tinggal bawa kudanya aja," ucap Sadewa dengan tawanya. Mereka berdua sama-sama tertawa. Bahkan sangat bahagia terlihat.
"Udah ah, absurd banget," ucapnya dengan mengakhiri tawanya. Sadewa juga kini tengah menatap langit yang nampak masih muram. Hujannya juga belum mereda, bahkan masih deras.
Sadewa merasa tubuhnya kian dingin. Dia kembali menggosokkan kedua telapak tangannya agar terasa hangat. Namun badannya sedikit menggigil tak biasanya dia hujan-hujanan sampai selama ini.
Ara yang melihat Sadewa nampak kedinginan ia berinisiatif untuk memberikan jaket tebalnya pada Sadewa. Ara sudah terlalu hangat memakainya, jadi biar Sadewa yang memakainya, sekaligus ucapan terima kasihnya sebab membantunya tadi.
Baru saja Ara akan membuka jaketnya, namun Sadewa yang melihatnya langsung berkata padanya.
"Ra, mau ngapain?" ucapnya dengan cepat.
"Mau buka jaket."
"Buat apa?"
"Kamu pakek lah! Biar kamu nggak kedinginan. Lagian kamu basah kayak gini kan gara-gara nolongin aku tadi."
Sadewa tersenyum melihatnya, "Nggak usah Ra. Lagian aku udah biasa kok sama udara dingin kayak gini. Jangankan dingin sebab kehujanan, sikap doi aja yang dingin aku bisa kok tahan. Masak kayak gini doang nggak kuat sih," ucapnya dengan terkekeh. Baru kali ini dia gombal tapi pertamanya gombal garing banget kayak kerupuk. Sekalinya patah langsung remuk.
Ara menonyor kepala Sadewa, "Alah gombal lu!"
"Kok sekarang pakek lo gue sih. Kan tadi aku kamu!" ucapnya dengan menautkan kedua alisnya.
"Lah emang kenapa? Tadi nggak ada aturannya kan buat ngomong pakek aku kamu apa lo gue," jawabnya dengan senyum yang mengejek. Impas bagi Ara satu kosong untuk Sadewa.
"Iya deh iya," jawabnya sekarang mengalah pada Ara.
Ara kembali memakai jaketnya yang tak jadi dia berikan pada Sadewa. Namun kantuknya tak lagi bisa dia sembunyikan. Dia menopang dagunya agar tidak tersungkur sebab kantuknya. Tapi lama-lama kantuknya semakin menjadi, dalam duduknya matanya terpejam. Namun Sadewa tak menyadari bahwa Ara tertidur saat ini.
"Ra, kamu nanti mau naik apa ke terminal?" ucapnya tanpa menoleh ke arah Ara. Tak kunjung mendapat jawaban juga dari Ara, namun tubuh Ara yang terhuyung kesamping membuat kepalanya tersender pada pundak Sadewa. Sadewa yang menyadari pundaknya bertambah beban menoleh ke sampingnya. Senyumnya mengembang saat melihat Ara terlelap tersender di sampingnya.
"Pantes aja nggak nyaut, orang yang di ajak ngomong malah tidur," ucapnya sendiri.
Sadewa memposisikan pundaknya senyaman mungkin agar Ara tidak terjatuh kebelakang saat terbangun nanti. Tangannya kini beralih merangkul lengan Ara untuk menopangnya. Dia melihat wajah lelah Ara, namun dia sangat familiar dengan wajah yang dia kenali saat ini. Namun Sadewa tak ingat siapa, dan pernah bertemu dimana mereka.
Mata Sadewa tetap terjaga, walau rasanya berat matanya untuk terbuka, namun dia tidak akan tertidur sedikitpun. Dia akan menunggu sampai ada angkutan umum yang lewat.
Saat pandangannya menyapu jalanan yang ada disana. Tak sengaja matanya tertuju pada sosok yang dia lihat.
"Arjuna!" ucapnya tertegun melihatnya.
Namun yang didapatinya sekelebat bayangan itu kembali menghilang setelah dia melihat dengan jelas.