Kaki ingin melangkah pergi, namun penuh dengan kendali. Tunjukkan bagaimana aku bisa menyusulmu, menemukan sosokmu yang nyata. (Arabella)
Hari sudah semakin petang, tapi Ara belum nampak sama sekali batang hidungnya. Memang sedari tadi Ara masih berada dikamarnya, packing seluruh perlengkapan untuknya mendaki besok. Walaupun Kakaknya belum mengizinkan tapi Ara tetap mempersiapkan segala sesuatunya hari ini. Masalah Kakaknya bisa dia urus nanti.
Ara sudah membulatkan tekadnya untuk mendaki besok. Surat yang dia baca tadi sudah jelas, bahwa dia harus kesana. Selain surat itu pasti ada petunjuk lain nantinya. Walaupun Ara tidak tahu pasti siapa yang dimaksud di dalam surat itu dan apa tujuannya dikirim kepada Ara.
Ara menelitinya kembali, sepertinya sudah dia bawa semua kecuali makanan untuknya disana nanti. Dia cukup heran dengan barang bawaannya saat ini. Padahal belum semua dia bawa, tapi ranselnya sudah penuh bahkan tidak cukup untuk memuat barang lagi.
"Ya ampun! Mau mendaki di gunung apa mau menetap di gunung?" cerocosnya dengan menepuk jidatnya sendiri.
Ara kembali membongkar semua isi ranselnya. Masalahnya jika nanti semua dia bawa bagaimana dia bisa naik ke atas gunung dengan beban yang begitu berat. Mungkin membawa berat badannya sendiri saja Ara sudah ngos-ngosan apalagi membawa barang sebanyak itu. Ara tidak bisa membayangkan itu semua. Belum sampai atas sudah dipastikan Ara sudah kembali turun.
Ara memilah-milahnya kembali. Alhasil yang dia bawa pakaian tebal satu pasang saja. Itupun hanya untuk berjaga-jaga jika kehujanan ataupun kotor.Sudah hampir empat atau lima kali jika dihitung dia membongkar ranselnya.Mungkin jika hanya berlibur ke puncak saja Ara tidak akan serepot ini. Tapi kali ini bukan ke puncak yang bisa naik mobil langsung sampai di tempat tujuan, tapi alam lepas yang hanya beratapkan awan berselimut udara dingin.
Ayahnya mungkin sudah menungguinya beberapa jam lalu untuk bersiap makan malam. Ara sudah dapat menduganya, sebab sudah kebiasaan ayahnya jika makan malam selalu dengannya dan juga Ali kakaknya. Ara terpaksa telat untuk turun kebawah karena persiapannya kali ini tak kunjung juga selesai. Menurutnya jika ia tunda akan semakin terbengkalai, padahal besok pagi sudah harus bisa dia bawa.
Belum juga selesai ia memasukkan kembali perlengkapannya besok sudah ada ketukan pintu yang terdengar dengan suara yang sangat familiar di telinganya.
"Ara, kamu didalam kan Nak? Ayah masuk ya?" ucap ayahnya dari balik pintu kamar Ara.
Ara yang mendengarnya pun sontak membulatkan matanya. Mengedarkan pandangannya ke samping kanan dan kirinya. Kamarnya masih penuh dengan barang-barangnya yang berserakan dimana-mana. Bagaimana Ara bisa merapikannya dengan hitungan detik. Sedangkan ayahnya sudah berada di depan pintunya.
"Gawat!" pekiknya dengan menempelkan tangannya di kepalanya. Ayahnya tidak boleh melihat situasi kamarnya sekarang. Bisa-bisa Ara disidang semalam suntuk untuk apa dia memberantaki kamarnya sampai seperti kapal pecah. Dan pasti ayahnya akan menanyakan untuk apa semua barang-barangnya.
Sedangkan ayah Ara yang sedari tadi menunggu jawaban dari Ara sudah memegang gagang pintu dan bersiap membukanya. Karena suara riuh dikamar Ara mungkin anaknya itu sedang menonton film, sinetron, ataupun drakor sehingga tidak mendengarnya dia memanggil.
Ara yang melihat knop pintunya bergerak hanya bisa pasrah dan merapalkan segala doa agar ayahnya tidak memarahinya nanti. Tangannya sudah berhenti mengengemasi semua barangnya, karena menurutnya sama saja tidak cukup waktu untuk mengambil semua itu.
Ceklek
Ara sontak menutup wajahnya dengan telapak tangannya. Tapi setelah tak ada sosok ayahnya yang berdiri di depannya, Ara membuka perlahan tangannya. Pintu masih dengan posisi yang sama. Tak ada pergerakan apapun. Masih tertutup sempurna, hanya saja ayahnya masih mencoba membuka pintunya walau dia tahu jika pintunya terkunci.
Ara menghela napasnya lega, dia terselamatkan walaupun tadi sempat lupa jika pintunya dia kunci sedari tadi. Dia beranjak menuju pintu kamarnya. Menghampiri sang ayah yang masih saja mencoba menaik turunkan knop pintunya.
"Sebentar Yah," ucapnya dengan memainkan kunci kamarnya.
Pintu sudah dia buka, tapi tak terlalu lebar dan segera menutupnya.
"Maaf Yah, tadi pintunya Ara kunci." tambahnya setelah dia keluar dari kamarnya.
"Ayah kira kamu kemana. Soalnya dari tadi Ayah tungguin di bawah nggak ada."
"Ayah sudah lama nunggu Ara?" sontak Ara merasa bersalah sebab ayahnya menungguinya sendiri.
"Belum, paling sekitar setengah jam," jawabnya dengan melihat ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangannya.
"Ya ampun Ayah. Setengah jam itu lama buat orang yang nunggu. Maafin Ara, tadi Ara ngerjain tugas dulu," terangnya walaupun tidak seperti yang dia katakan. Bukan mengerjakan tugas, tapi packing untuk mendaki besok.
"It's okay. Ayah maafin," ucapnya dengan mengacak ramput Ara.
Ara hanya tersenyum melihat ayahnya. Dia tahu, mungkin jika ayahnya tahu besok dia akan pergi mendaki pasti akan marah. Mungkin nanti Ara akan mengatakannya, tapi tidak sekarang. Pasti ayahnya masih lelah dan lapar sebab baru pulang dari kantornya lalu menungguinya untuk makan malam.
Ara menautkan kedua alisnya lihat ayahnya yang mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan.
"Kenapa Yah?"
"Kakak kamu kemana? Kok Ayah tidak melihatnya seharian ini?" jawabnya berbalik melontarkan pertanyaan.
Ara hanya memutar bola matanya malas. Ayahnya seakan lupa jika Ali tipikal orang yang sibuk. Tidak seperti dirinya yang banyak memiliki waktu luang.
"Biasa Yah,CEO! Ayah kayak nggak tahu Kak Ali aja, diakan superduper sibuk!"
Memang, Ali bekerja di perusahaan yang berbeda dengan ayahnya. Sebab itu ayahnya tidak tahu bagaimana kesibukan Ali. Yang dia tahu, sesibuk apapun Ali pasti dia selalu menyempatkan untuk meluangkan waktunya dengan mereka.
"Iya, Ayah tahu. Tapi nggak biasanya dia jam segini belum pulang," jawab ayahnya.
Ara melihat gurat cemas di wajah ayahnya. Dia tahu jika ayahnya sangat menyayanginya dan juga kakaknya. Sebab hanya mereka berdualah yang selalu menemaninya. Ara semakin tidak enak hati untuk pergi tanpa sepengetahuan dari ayahnya besok.
"Kak Ali sudah besar Ayah, dia sudah dewasa pasti bisa jaga dirinya sendiri," ujarnya menenangkan sang ayah. "Kita makan yuk Yah! Pasti Ayah sudah lapar sekali!" tambahnya dengan melontarkan senyumnya.
Seketika ayahnya kembali tersenyum. Ara mengajaknya untuk bersiap menyantap makan malam walaupun Ali belum pulang.
Dimeja makan mereka menyantap makan malam dengan hening. Hanya suara sendok yang sesekali bertabrakan dengan piring. Ara sesekali melirik kearah ayahnya. Sebenarnya dia ingin mengatakan sesuatu, tapi urung saat ayahnya sepertinya sangat menikmati makan malam kali ini. Dia tidak ingin merusak mood makan ayahnya hanya karena dia menanyakan sesuatu yang jelas-jelas dilarang oleh ayahnya.
Ara hanya mengaduk makanannya yang hanya tinggal beberapa suapan dengan sesekali menghela napasnya. Sedangkan ayahnya yang sedari tadi sudah selesai hanya melihat ke arah putrinya itu.
"Habiskan Ra! Mubazir nanti, nggak baik kalau hanya diaduk begitu," ucapnya dengan tenang.
Terbuyar lamunan Ara. Dia kembali menyantap makanannya yang belum habis dengan tersenyum kepada ayahnya.
Ayahnya membalas dengan tersenyum simpul. Tidak tahu apa yang menjadi pikiran putrinya itu. Mungkin ada tugas kuliah yang belum dia selesaikan pikirnya.
Beberapa menit berlalu, Ara sudah menghabiskan makannya dan kali ini dia berniat untuk berbicara dengan ayahnya. Baru saja dia ingin berbicara, ayahnya sudah ingin beranjak dari kursinya. Cepat-cepat Ara menghentikan langkah pria paruh baya itu.
"Ayah!" panggil Ara dengan cepat.
Seketika ayahnya menoleh ke arah Ara. "Iya Ara, ada apa?"
"Emm, boleh nggak Ara ngomong sama Ayah?"
Ayahnya hanya tersenyum dengan pertanyaan Ara. " Kan Ara sudah ngomong sama Ayah."
"Ih Ayah, bukan itu maksudnya Ara!" ucap Ara dengan memanyunkan bibirnya.
"Iya silakan, Ara mau ngomong apa?"
"Ngomongnya jangan disini Yah, di ruang tamu aja," jawabnya dengan melihatkan sederet giginya.
Ayahnya hanya menuruti apa kata Ara, mereka duduk di kursi ruang tamu. Namun sedari mereka duduk Ara belum juga melontarkan ucapannya. Sebenarnya Ara tidak tahu harus mulai dari mana dia akan mengatakannya.
"Ara, kamu mau ngomong apa sama Ayah?" tanya ayah saat Ara tak kunjung berucap.
"Jadi gini Yah, Ara mau," jawabnya jeda kian detik menarik napasnya sejenak. "Ara mau minta izin sama Ayah," tambahnya lagi.
"Memangnya kamu minta izin buat apa Ra?"
Ara kembali membeku, kata apa yang sesuai untuk menjawabnya kali ini.
"Tapi Ayah jangan marah ya sama Ara," ucapnya sebelum berkata yang sebenarnya.
"Kalau emang tujuan Ara baik, Ayah nggak akan marah sama Ara," jawaban ayahnya membuat Ara sedikit lega. Dan kembali dia berucap.
"Ara mau izin sama Ayah, kalau besok Ara mau mendaki," terangnya dengan hati-hati.
Sontak ayahnya terkejut dengan apa yang dikatakan Ara. Dulu dia pernah bilang pada Ara kalau dirinya tidak boleh lagi mendaki ataupun camping dimanapun.
"Kalau itu Ayah tidak izinkan. Kamu masih ingatkan yang Ayah katakan dulu sama kamu?" jawabnya kali ini dengan mimik yang serius.
"Tapi Yah, kali ini saja izinkan Ara buat pergi. Sekali saja, Ara janji bakal jaga diri Ara dengan baik," ucapnya penuh harap. Ayahnya hanya menghela napasnya sembari berpikir sejenak.
"Jangan Yah!" sergah Ali berjalan menghampiri mereka. Sebenarnya Ali sudah mendengar sedari tadi, hanya saja dia ingin melihat bagaimana Ara mengatakannya.
Mendengar suara dari Ali mereka sontak menolehnya. Pupus sudah harapan Ara untuk diizinkan oleh ayahnya. Sebab jika Ali sudah datang pasti Ali akan meyakinkan ayahnya untuk tidak mengizinkannya.
"Ara! Kenapa kamu nekat minta izin sama Ayah? Kan Kakak sudah bilang, bahaya kalau kamu kesana Ra!" Ali kembali berkata dengan tegas kepada Ara. Sedangkan Ara hanya bisa menunduk memdengarkan semua yang diucapkan kepadanya.
" Dan asal Ayah tahu, kalau banyak pendaki yang hilang di gunung itu dan sekarangpun tidak ada yang tahu dimana keberadaan mereka," ucapnya menerangkan kepada ayahnya.
"Ara, untuk apa kamu kesana? Jelas-jelas bahaya kalau kamu kesana!" Kini ayahnya yang kembali bersuara.
"Ada hal yang harus Ara selesaikan disana Yah. Ada hidup seseorang yang bergantung pada Ara," jawabnya pelan walau tak yakin jika ayahnya dan Ali akan percaya begitu saja dengannya.
"Hidup siapa Ra? Apa kamu mau mengorbankan diri kamu sendiri demi orang itu? Kenapa harus kamu? Keputusan Ayah sudah bulat, apapun alasan kamu Ayah tidak akan pernah izinkan! Kamu sayangkan sama Ayah? Kalau kamu masih sayang sama Ayah, kamu nurut apa kata Ayah!" ucap ayahnya.
Sebuah pertanyaan dan juga pernyataan yang Ara tak sanggup menjawabnya.
"Ayah," ucapnya terlihat nanar.
Ayahnya tak ingin melihat Ara menangis, dia hanya beranjak dari duduknya dan masuk kedalam ruang kerjanya. Dia tak tega melihat Ara bersedih, tapi ia harus lakukannya agar Ara tidak membahayakan dirinya sendiri. Sedari dulu ia selalu menuruti apa yang Ara mau, tapi kali ini tidak untuk permintaannya.
Sedangkan Ali, dia juga berlalu dari hadapan Ara. Meninggalkan Ara sendiri disana.
"Kak Ali kan sudah bilang kemarin. Sekarang lihat, Ayah marah sama kamu," ucapnya sebelum meninggalkan Ara.
Ara hanya bisa menangis sejadi-jadinya. Kalau sudah seperti ini, bukan hanya kakaknya yang marah padanya tapi juga Ayahnya. Ara kembali menaiki tangga menuju kamarnya dengan langkah berat. Jika besok dia tidak pergi, bagaimana dengan orang yang dimaksud dalam surat itu. Apakah dia akan selamat, atau dia akan menghilang selamanya? Walaupun Ara tidak tahu siapa dia tapi bagi Ara jika orang itu nantinya hanya bisa mengharapkannya dan nyatanya Ara tidak bisa menyelamatkannya pasti Ara akan merasa sangat bersalah entah orang itu pernah menyelamatkan Ara atau tidak.
Sampai di kamarnya Ara hanya bisa menangis dan terus menatap sebuah kertas yang berisikan tulisan tangan seseorang.
Maaf, maafin Ara nggak bisa tolongin kamu! Ara sayang sama Ayah, Ara juga sayang sama Kak Ali, Ara harus nurut sama mereka, cuma mereka yang Ara punya.
Ucapnya lirih tapi air matanya tak berhenti untuk menetes. Mungkin Ara tidak bisa pergi sekarang. Semua berat bagi Ara.
Dia mengusap air matanya dan tatapannya beralih pada ransel yang sudah ia siapkan.
Lalu matanya terfokus kembali pada kertas yang dia genggam.
Tunjukkin gimana Ara bisa bantu siapapun kamu tanpa harus pergi.
Dia berharap siapapun dia mungkin Ara bisa membantunya tanpa harus pergi dari rumahnya. Tapi nihil, tak ada petunjuk lagi.
Ara kembali menunduk memejamkan matanya tak kuasa untuk menahan tangisnya lagi. Entah kenapa Ara tidak rela jika dia tidak jadi pergi. Seperti ada hal yang sangat penting bagi Ara yang hampir hilang.
Air matanya menetes pada kertas yang ada ditangannya. Seketika Ara merasakan angin yang begitu kencang datang dari pintu kaca balkon kamarnya. Padahal pintu itu tak pernah Ara buka. Gorden yang menutupinya terombang ambing tak terarah, membuat Ara sedikit ketakutan melihatnya. Ara menutupi wajahnya dengan telapak tangannya. Sebab mungkin angin terlalu kencang masuk kedalam kamarnya.
Angin itu kian mereda dan melemparkan surat yang sama persis dengan yang Ara terima tadi. Ara membuka matanya saat merasakan ada benda yang terlempar ke arahnya. Dengan tangan gemetar Ara mengambil dan membukanya dengan hati-hati.
KAMU HARUS PERGI! SEKARANG ATAU BESOK!
Tulisan tangan yang terlalu ambigu untuk Ara. Kenapa harus dirinya? Apakah tidak ada orang lain selain dirinya. Bukan memberinya cara untuk bisa pergi tapi malah membuatnya harus mencari jalan keluarnya sendiri.
Pada akhirnya Ara membulatkan tekadnya untuk tetap pergi, mungkin sekarang waktunya untuk bisa keluar tanpa ada yang tahu. Waktu sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB, pasti ayah dan juga kakaknya sudah berada dikamar mereka sendiri jadi Ara tidak akan ketahuan.
Ara berganti pakaian dan menggendong ranselnya. Dia membuka pintu kamarnya dengan hati-hati dan berjalan mengendap keluar. Rumah sudah sepi, Ara berjalan pelan sampai di ruang tamu tidak ada siapapun. Ara bisa bernapas lega kali ini dia sampai di depan pintu. Baru saja dia akan membuka pintu ternyata pintu sudah terkunci. Untungnya dia tahu dimana ayahnya selalu menaruhnya. Dia mengambilnya dan mencoba membukanya. Tapi Ara terlalu lama untuk membukanya. Hingga suara bariton kakaknya mengagetkan Ara sampai kunci yang dia bawa terlempar.
"Ara!" teriak Ali dari tangga.
Teriakan kakaknya membuat jantung Ara seperti ingin lepas dari tubuhnya. Tenggorokannya terasa kelu untuk mengucapkan sepatah kata. Ayahnya yang mendengar suara Ali, segera keluar dari ruang kerjanya. Sementara Ali wajahnya sudah merah padam menghampiri Ara. Sementara Ara yang tidak pernah melihat Ali sebegitu marahnya begitu gemetar, keringat dingin sudah membasahi pelipisnya.
"Lo mau kemana? Apa belum jelas apa kata Ayah tadi? Apasih yang lo cari!" bentaknya di depan Ara.
"Kak Ali, Ara mohon," lirihnya mata yang sudah berkaca-kaca.
"Ara! Kenapa kamu nggak mau nurut sama Ayah?" ucap Ayahnya dengan menatap putrinya dengan penuh harap agar Ara menurut apa katanya.
"Ara sayang banget sama Ayah, sama Kak Ali juga. Tapi Ara mohon sekali ini aja bolehin Ara pergi."
Ali yang melihat Ara begitu kekeh ingin pergi segera menarik tangan Ara menuju kamarnya. Ara sempat bertahan ditempat, sampai Ali terlalu kuat menariknya. Dia hanya bisa mengikuti langkah panjang kakaknya itu.
"Kak, lepasin tangan Ara! Ara mohon Kak!" teriaknya dengan menangis.Mendengar Ara terus memohon kepadanya Ali sebenarnya tak tega. Tapi Ara terlalu keras kepala jika dibiarkan.
"Ali, lepaskan tangan Adik kamu! Biarkan dia masuk kamarnya," ucap Ayahnya meredam amarah Ali. Sampai di kamar Ara, Ali melepaskan cengkeramannya. Dan menatap Ara dengan sorot mata tajam.
"Sebagai hukuman karena lo nggak mau nurut, mulai sekarang lo nggak usah keluar kamar lagi!" ucap Ali tegas dan membawa ayahnya keluar dari kamar Ara. Ali menguncinya dari luar dan membawa kunci itu sendiri. Ara hanya bisa terisak di dalam kamarnya. Berkali-kali dia meminta kakaknya untuk membukakan pintu. Tapi hasilnya Ara hanya mendapat lelah saja.
Ara duduk di atas ranjangnya Mungkin saat ini dia gagal untuk menjadi penyelamat orang itu. Ara hanya bisa berdoa semoga dia baik-baik saja. Dia sudah lelah, badannya terasa sangat lemas sebab sudah terlalu lama dia menangis. Ara sekarang sudah terlelap dalam tidurnya dengan memegangi tangannya yang memerah karena ditarik oleh Ali tadi.
Ceklek
Pintu kamar Ara terbuka lebar, dan seorang pria paruh baya masuk menatap iba putrinya itu. Orang yang tak lain adalah ayah Ara, hatinya terasa perih melihat putri kesayangannya itu menangis. Sampai sekarang, baru kali ini Ara tidak menurut dengannya.
"Ara, maafin Ayah ya. Bukannya Ayah nggak sayang sama kamu, Ayah cuma nggak mau kamu kenapa-kenapa. Semenjak Bunda kamu tiada hanya kamu sama Kakak kamu yang Ayah punya sekarang. Kamu jangan pernah tinggalin Ayah ya sayang," ucapnya pada Ara yang sudah terlelap dengan mengusap kepala Ara. Ayahnya yang melihat tangan Ara memerah meraihnya dan memberikan obat agar tidak terlalu membekas. "Maafin Kakak kamu Ra. Dia seperti itu karena dia sayang sama kamu," tambahnya lagi.
Dia menyelimuti Ara dan tersenyum simpul ke arahnya. "Tidur yang nyenyak ya Nak, Ayah sayang sama kamu," kata terakhir dari ayah sebelum keluar dari kamar Ara.
"Ara juga sayang sama Ayah. Ara kangen sama Bunda," ucapnya dengan menitikkan air mata setelah Ayahnya sudah menutup pintunya.