Melangkah dengan penuh keyakinan tanpa lelah. Walau sempat goyah, tak akan membuatku menyerah.
Ara sudah bersiap dengan ransel di punggungnya, dia tetap akan pergi memuncak. Kali ini Ara tidak lagi lewat pintu depan rumahnya, melainkan lewat pintu balkon kamarnya. Lumayan tinggi untuk Ara, tapi tidak ada jalan lain untuknya keluar dari rumah. Pintu kamarnya yang dikunci dari luar membuatnya berpikir mondar mandir di kamarnya.
Ara mengaitkan tali di pagar besi balkonnya. Untung saja Ara masih menyimpan tali bekas itu di kamarnya. Cukup panjang dan masih bisa dia gunakan untuk turun dari kamarnya.
Huft
Ara menghembuskan napasnya dengan memegang tali yang akan dia gunakan untuk turun. Baru kali ini dia akan turun lewat balkon kamarnya, sungguh tidak bisa dibayangkan jika dia terjatuh nantinya. Tangannya menggenggam tali erat-erat dan memulai pijakan pertamanya dengan sempurna di pinggir balkon. Tubuhnya mulai turun dengan perlahan. Walaupun keringatnya membanjiri tubuhnya tapi Ara tidak kehilangan kendali untuk tetap fokus memegang tali dengan tangan yang berkeringat. Hanya beberapa menit untuk Ara bisa turun dengan selamat. Kakinya sudah berpijak pada rerumputan di halaman rumahnya.
Sebelum dia benar-benar pergi, pandangan Ara masih melihat ke arah dimana kamarnya berada. Ara yakin, pasti ayah dan kakaknya akan kecewa dengannya saat melihat Ara tak ada lagi di disana.
"Maafin Ara Ayah, Ara akan secepatnya kembali. Kak Ali, maaf kalau Ara buat Kakak marah. Ara sayang sama kalian," gumamnya seorang diri. Matanya terlihat begitu sendu, sama seperti langit yang begitu muram malam ini. Walaupun Ara sudah meninggalkan surat di kamarnya, tapi Ara masih belum yakin jika dia kembali nanti ayah dan juga kakaknya akan menerimanya lagi atau tidak.
Ara melangkahkan kakinya untuk keluar dari pekarangan rumahnya. Malam sudah larut, jadi semua penghuni di rumahnya pasti sudah terlelap. Langkahnya sedikit dia percepat walaupun tidak ada orang di sekitar sana. Tak sengaja kakinya menendang sebuah kaleng minuman yang tergeletak di halaman rumahnya. Ara sempat terjingkat karena terkejut, sampai kaleng yang dia tendang terlempar jauh mengenai lampu taman di halamannya. Tidak hanya itu, kaleng yang tak sengaja dia tendang menimbulkan suara yang begitu nyaring membuat salah satu penghuni rumah itu terbangun. Mang Kosim yang bekerja sebagai tukang kebun di rumah Ara kebetulan belum tidur. Dan yang membuat Ara sontak membulatkan matanya adalah Mang Kosim mendengar suara dari kaleng bekas yang Ara tendang tadi, alhasil Mang Kosim beranjak dari tempat duduknya mencari asal suara. Ternyata Mang Kosim berada di pos satpam bersama Pak Tono yang berjaga di rumahnya. Cepat-cepat Ara menyapukan pandangannya untuk mencari tempat persembunyian yang aman. Sampai matanya tertuju pada pot besar dengan tanaman hias yang rimbun. Sangat pas dengan ukuran postur tubuh Ara yang mungil.
Cepat-cepat Ara bersembunyi di balik pot itu. Napasnya begitu menderu melihat Mang Kosim dengan Pak Tono yang berjalan mengelilingi halaman rumahnya. Jangan sampai dia ketahuan lagi ingin kabur. Bisa-bisa Ara akan terkena hukuman sepuluh kali lipat dari yang biasanya.
Andaikan Ara bisa menghilang dengan sekejap pasti dia akan menghilang dari sekarang. Sungguh seperti halnya menonton film horor atau mungkin menjadi pemeran dalam film horor yang selalu di kejar-kejar dengan segerombolan hantu.
"Ish, siapa sih yang buang kaleng sembarangan!" gumamnya lirih namun penuh penekanan.
Sedetik kemudian dia teringat sewaktu dia pulang dari kampusnya di jemput oleh Ali. Sempat dia meminum minuman kaleng yang dia beli di kantin kampus sebelum benar-benar keluar dari sana. Dan waktu sampai di rumah Ara membuang kaleng yang sudah kosong itu kesembarang tempat.
Mungkin saja Mang Kosim tidak membersihkan halaman hari ini makanya kaleng itu tetap berada di tempatnya. Andai saja Ara tidak ingin kabur saat ini, pasti Ara sudah menceramahi Mang Kosim yang tidak membersihkan sampah di sekitar halaman rumahnya. Padahal jelas-jelas Ara yang salah, kenapa tadi tidak dibuang langsung ke tempat sampah saja.
"Mang, tadi bunyi apa sih?" tanya Pak Tono yang melihat Mang Kosim yang terlalu waspada.
"Aih Pak! Masak nggak denger sih. Kan tadi sudah saya bilang kalau suaranya seperti suara kaleng ditendang! Kok ya masih tanya gitu lho Pak," jawab Mang Kosim yang begitu jengkel dengan Pak Tono. Padahal umur juga belum tua-tua banget, tapi Pak Tono sudah sepikun itu. Mungkin sudah tiga kali ini dia menanyakan lagi.
"Namanya juga lupa pak, kalau lupa kan nggak inget!"
Ara yang mendengar percakapan kedua orang tua itu hanya bisa mendengarnya dengan jengah. Lagi-lagi mereka berdua berdebat hal yang tidak jelas. Pak Tono hanya mengikuti kemana langkah Mang Kosim berjalan. Sampai di belakang pot tempat dimana Ara bersembunyi langkah Mang Kosim mendadak terhenti, tidak tahu apa yang membuatnya berhenti secara tiba-tiba seperti ada yang mencengkalnya. Ara yang mendengar suara satpamnya yang semakin jelas berada di belaakngnya hanya bisa meringkuk dengan merapalkan segala doa. Keringat dingin mulai bercucuran di pelipisnya, entah bagaimana nanti jika dia ketahuan dengan kedua orang tua itu.
Ara ingin lari tapi tak mungkin, keadaan memaksanya untuk bersembunyi.
"Mang ayo! Kenapa berhenti?" ucap Pak Tono yang melihat Mang Kosim tak bergerak dari tempatnya.
"Pak, kenapa mendadak kaki saya nggak bisa digerakin ya? Kayak di lem ditempat gitu."
Pernyataan Mang Kosim membuat Pak Tono sedikit bergidik ngeri. Dia melihat ke kaki Mang Kosim. Tidak ada apapun yang menghalanginya. Bahkan kakinya masih biasa saja.
"Coba deh Pak digerakin." perintah Pak Tono.
"Nggak bisa Pak!" jawabnya dengan wajah panik.
"Nggak usah becanda deh Mang, nggak lucu! Jangan buat parno saya deh!"
"Eta si Bapak teh! Buat apa saya becanda Pak!" ucapnya meyakinkan Pak Tono.
Pak Tono hanya menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal itu. Sedangkan bulu kuduknya sekarang sudah meremang. Seperti ada yang mendekat. Pak Tono hanya melirik kesamping kanan dan kirinya, tak nampak apapun yang mencurigakan. Angin tiba-tiba berhembus sangat kencangnya membuat kedua pegawai rumah Ara itu seketika mencari-cari sumbernya.
Pak Tono menyapukan pandangannya ke sekeliling halaman, tak sengaja matanya tertuju pada sebuah pohon mangga besar disana. Sesosok bayangan putih duduk di dahan pohon itu membuat Pak Tono sedikit tercengang melihatnya. Malam-malam seperti ini membuat matanya sedikit kabur, maklum bertambahnya umur. Awalnya Pak Tono tidak yakin dengan yang dia lihat, dia mengucek kedua matanya dengan tangannya seraya ingin memastikan kembali. Dilihatnya lagi, memang benar bayangan putih masih tetap berada disana.
"Mang itu apa Mang?" ucapnya dengan menepuk-nepuk pundak Mang Kosim.
Mang Kosim hanya melihat Pak Tono dengan heran. Kenapa wajah Pak Tono seketika pucat.
"Ada apa sih Pak?"
"Coba deh Mang, lihat di pohon mangga itu!" perintah Pak Tono dengan pandangan masih di pohon mangga yang letaknya tidak jauh dari mereka.
Mang Kosim menuruti apa yang diperintahkan Pak Tono. Dirinya juga penasaran dengan apa yang Pak Tono bilang. Seketika mata Mang Kosim membulat sempurna kala sudah menengok dan melihat dimana pohon mangga itu berada. Mang Kosim juga melihat apa yang Pak Tono lihat. Bayangan putih berada di atas pohon. Mang Kosim sebenarnya dia tidak percaya hal-hal yang semacam itu. Tapi sekarang dia melihat dengan mata kepalanya sendiri.
"Pak, siapa tuh?" seketika Mang Kosim juga turut bergidik ngeri saat melihat pohon mangga itu. Mang Kosim menengok kebelakangnya, diposisi Pak Tono sekarang.
Tapi nihil Pak Tono sudah tidak ada dibelakangnya. Pantas saja pertanyaannya tidak dijawab oleh Pak Tono.
"Waduh! Kok ya ditinggal sih Pak!" rengek Mang Kosim sendirian disana. Entah kemana Pak Tono larinya Mang Kosim segera menyusulnya. Kali ini kakinya sudah bisa berlari bahkan lebih kencang.
"Dasar udah tua penakut!" ucap Ara dengan terkekeh melihat Mang Kosim dan Pak Tono yang berlari terbirit-birit melihat di atas pohon. Padahal disana bukan hantu, tapi layang-layang yang tersangkut di pohon mangga itu. Yang kebetulan berwarna putih dan ukurannya juga lebih besar dari layangan biasa.
Ara sekarang bisa bernapas lega sebab tidak jadi dia ketahuan dengan Mang Kosim dan Pak Tono. Ara belum juga beranjak dari sana, dia masih mencari jalan keluar dari rumahnya yang aman untuk di lewatinya.
Jika lewat pintu pagar rumahnya, pasti dia akan ketahuan lagi dengan Mang Kosim dan Pak Tono. Saat dia sedang memikirkan bagaimana rencananya, sepucuk surat entah dari mana lagi datangnya sudah ada pangkuannya saat ini. Ara terkejut di buatnya, padahal sedari tadi dia duduk disana tidak ada yang menghampirinya atau siapapun yang memberinya surat.
Ara merapikan duduknya, dia bersila untuk membaca surat itu. Dia bolak balik surat yang jelas-jelas hanya ada amplop dan secarik kertas di dalamnya, dari bentuknya sama dengan yang beberapa hari lalu.
Ara membukanya dan mengeluarkan kertas itu, masih sama. Dibacanya isi surat tersebut, Ara menautkan kedua alisnya, kenapa orang yang menuliskan surat itu tahu semua denah rumah Ara.
LURUS, BELOK KIRI
PERGI SEKARANG!
Ara sekarang tahu dia harus lewat mana, dia beranjak dari duduknya dan berjalan sesuai instruksi di surat itu. Ara sendiripun lupa jika dirumahnya ada pintu samping yang menghubungkan langsung ke jalan.
Ara sedikit kesusahan membuka pintu pagar yang ada disana, mungkin sebab sudah terlalu lama tidak dibuka atau bahkan tidak pernah digunakan. Satu menit kemudian, dia berhasil membuka pintu dan segera keluar dari sana.
"Pintar juga surat ini. Udah kayak map aja!" pikirnya dengan tersenyum menepuk-nepuk suratnya. Ara yakin pasti orang yang mengirim surat untuknya tahu banyak tentang Ara dan mungkin dia masih berada di sekitarnya. Ara mencoba mencarinya lagi, namun tak ada satupun orang disana, dia hanya sendiri di pinggir jalan yang sepi.
Malam nampaknya juga sudah semakin larut. Tidak mungkin juga angkutan umum lewat jika sudah semalam ini. Ara juga tidak ada motor atau kendaraan lain untuknya pergi. Terpaksalah dia harus menunggu sampai pagi tiba, daripada dirinya harus berjalan sendiri di malam yang sepi ini.
Ara melangkahkan kakinya menuju halte bus dekat dengan rumahnya. Sengaja Ara menunggu disana, sebab jika dia menunggu di dekat pekarangan rumahnya, pasti dia akan ketahuan lagi. Apalagi pembantunya yang biasanya pagi-pagi sudah bangun dan berbelanja ke pasar bisa kepergok jika Ara tetap berada disana. Tidak ada yang bisa diajak kompromi semua yang bekerja di rumah Ara, jika Ara menyuruh mereka untuk berbohong ataupun tidak mengatakan apapun, pasti mereka tetap akan mengatakannya. Yang paling mereka takuti bukan ancaman dari Ara, tapi mereka takut jika dipecat dengan anak laki-laki dari majikannya, siapa lagi jika bukan Radinka Ali Pratama kakak dari Ara. Walaupun Ali memiliki paras yang tampan, tapi jika sekalinya dia marah akan terlihat seperti elang yang sedang memburu mangsanya.
Ara berjalan dengan sesekali mengingatnya. Menggerutu tidak jelas dengan pandangan lurus menatap kedepan. Seolah ada yang dia ajak bertengkar, padahal dia hanya berjalan sendiri di trotoar. Dia menghela napasnya seolah mengeluarkan seluruh beban yang ada pada dirinya. Kenapa harus dirinya? Berkali-kali Ara mengatakan itu, tapi tak ada satupun jawaban yang bisa Ara ketahui.
Tapi dalam hatinya, saat dia mempertanyakan itu semua pasti nama Juna selalu melintas dalam benaknya. Padahal dia hanya bertemu sosoknya sekali. Apa tujuan dia pergi sekarang untuknya? Atau ada hal lain yang harus Ara selesaikan disana? Tapi apa? Ara pun juga tidak tahu apa yang harus dia lakukan jika sampai di tempat tujuannya. Kepergiaannya membuatnya bingung lantas apa yang akan dia lakukan.
Ara menengadahkan wajahnya ke langit malam. Begitu muram dan hitam pekat. Sepertinya hujan sebentar lagi akan turun.
Dan benar saja, belum sampai Ara kembali menatap kedepan tetesan bulir air hujan menetes mengenai pipinya. Ara yang menyadari hujan mulai turun segera mempercepat jalannya. Tangannya ia gunakan untuk menutupi kepalanya agar tidak terkena hujan. Semakin Ara berlari hujan semakin lebat turun membasahi bumi.
Ara sampai di halte tempat dia berteduh, disana masih sepi tidak ada orang yang berlalu lalang. Ara merasa sedikit takut sebab dirinya tidak pernah pergi sendiri dan semalam ini. Bukan takut jika ada hantu atau semacamnya, tapi takut jika ada begal atau preman yang menghadangnya disini.
"Ah, bodoamat lah!" Ara segera menepis apa yang dia pikirkan. Dia merapatkan tangannya dan memajukan lengan jaket tebalnya agar dirinya sedikit menghangat. Hujan semakin derasnya mengguyur bumi membuat Ara tak tahan menahan rasa kantuknya. Dengan tangan bersedekap perlahan tubuhnya condong kekanan membuatnya tersandar pada tiang disampingnya. Matanya sudah terpejam, walaupun di udara yang dingin tapi Ara masih bisa mengistirahatkan tubuhnya dengan bersandar.
Tanpa Ara sadari ada sosok yang tersenyum melihat perjuangan Ara untuk tetap pergi. Walaupun Ara tidak bisa melihatnya, tapi dia yakin pasti Ara bisa merasakan kedatangannya. Dia akan menunggu dan menjaga Ara sampai Ara terbangun. Banyak hal yang ingin dia katakan pada Ara. Hanya secarik kertas yang dapat mengutarakan dan membantu Ara untuk tetap berjalan.
Namun seseorang yang nyata datang membangunkan mimpi indah Ara.
Orang asing itu membuka sedikit ransel depan Ara. Namun urung saat Ara membuka matanya merasakan ranselnya sedikit bergerak. Sontak Ara terbelalak melihat orang yang tidak ia kenali berada di depannya saat ini. Tangan Ara tergerak menyaut ranselnya kedalam dekapannya. Walaupun Ara tahu dirinya tak sebanding dengan orang itu, namun Ara tetap akan melawannya jika orang itu berbuat yang macam-macam dengannya. Ara ingin meminta bantuan tapi dengan siapa, jika dia berteriak, pasti orang-orang di rumahnya akan mendengarnya dan tahu jika Ara akan kabur malam ini. Situasinya sangat mendesak, namun Ara akan melawannya sendiri walaupun nanti dia juga akan kalah dengannya.
"Siapa lo?" bentaknya dengan orang yang berperawakan lebih tinggi darinya.
"Serahin barang lo, atau!" ancam orang itu dengan pernyataan yang menggantung.
"Atau apa hah!" ucap Ara dengan waspada.
"Atau nyawa lo habis di tangan gue!"