Kabar, membawaku kedalam sebuah perjalanan penuh misteri.Sepucuk surat mengatakan aku harus pergi.Menemukannya, lalu membawanya kembali.
(Arabella)
Brukk
"Aduh! Maaf." ucap salah satu mahasiswa yang menubruk seorang gadis yang tengah berjalan membawa setumpukan bukunya.
"Maaf, maaf! Nggak lihat apa orang segede gini! Jadi ambyarkan buku gue!" gerutunya dengan memungut semua bukunya.
Arabella, atau gadis yang biasa disapa dengan nama Ara itu tersungkur di lantai fakultasnya akibat tertubruk dari arah belakang. Setumpuk buku tebal yang ia bawa berceceran di lantai membuatnya kewalahan untuk mengambilnya, sebab banyak mahasiswa maupun mahasiswi yang berlalu lalang disana. Ia tak tahu apa penyebab mereka berbondong-bondong dan berkerumun di salah satu mading besar yang terpampang dilorong fakultasnya.
Baru saja ia akan memaki orang yang menabraknya ternyata sudah menghilang dari hadapannya. Sudah seperti hantu di siang bolong. Ara berdecak sebal sebab baru saja ia akan melampiaskan mood nya yang berantakan hari ini menjadi tertunda.
Ara masih mematung di tempat semula ia berdiri. Matanya tertuju pada kerumunan di depan mading yang sudah tertutup banyak orang. Tidak biasanya mereka melihat mading seheboh itu, kalau tidak ada berita yang gempar dikalangan kampusnya.
Ara mengamati sekelilingnya, ternyata hanya dia yang berdiri di tempat itu sendiri, bahkan sangat sepi sebab penghuninya beralih pada hot news pagi ini.
Rasa penasarannya seketika meronta-ronta ingin segera terobati dengan berita kali ini. Ara berjalan mendekat, tapi tubuhnya yang tidak terlalu tinggi membuatnya harus menebras semua barisan yang ada di depannya. Ia mencoba sesekali tapi tak pernah ia mendapat celah untuk menerobos badan-badan mereka yang dua kali lipat lebih tinggi dan lebih besar dari Ara. Lantas ia berpikir sejenak dan menjentikkan jarinya, seperti muncul sebuah ide brilian di otaknya.
Ia mengeluarkan kecoa yang berukuran mini dari dalam tasnya. Tentu saja itu hanya kecoa mainan. Apa faedahnya jika Ara membawa kecoa sungguhan di dalam tasnya, melihatnya saja geli apalagi menyimpannya.
Ara sedikit bergidik dan terkikik melihat kecoa mainan berada di tangannya. Ia menghitung pelan dari satu sampai tiga. Lalu dia lemparkan ke atas, alhasil kecoa mainan itu akan jatuh ke salah seorang disana.
Dan benar, kecoa mainan itu jatuh tepat pada punggung cewek dan tak sengaja teman yang berada di belakangnya melihat dan berteriak histeris dengan berlari keluar dari kerumunan. Ara hanya membekap mulutnya agar tidak terlihat menertawai mereka. Sementara jalan sudah terbuka bagi Ara untuk menyusup masuk ke depan mading.
Ara memang tipe mahasiswi yang terkenal keusilannya, tapi dia tetap menjadi murid teladan saat kelas berlangsung. Soal cerdas atau tidaknya, dia berada pada batas rata-rata. Kecerdikannya nampak seperti kancil dalam dongeng.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk Ara sampai di depan mading. Sekarang dia sudah tau jika hot news pagi ini adalah seorang pendaki yang dinyatakan hilang di sebuah gunung yang tak asing bagi sebagian orang disana. Dan yang paling mengejutkan bagi Ara adalah wajah seorang pendaki yang terpampang di dalam banner itu sepertinya familiar di mata Ara. Sepertinya Ara pernah bertemu, tapi entah dimana ia melihatnya, Ara juga tidak mengingatnya. Semakin Ara mengingat, semakin lupa semua ingatannya. Aneh memang bagi Ara, jika sebagian orang mengingat memori yang telah lalu mungkin mereka akan cepat ingat kejadiannya. Namun tidak bagi Ara, dia semakin lupa. Jika dipaksapun percuma, ingatannya tidak terlalu kuat.
"Kasian ya Kak Arjuna padahal dia masih kuliah, tapi malah hilang di gunung." ucap salah satu mahasiswi di samping Ara yang sedang berbicara dengan kawannya.
"Iya, emang dia nggak tahu ya, kalau gunung yang dia daki terkenal angker?" timpal salah satu diantara mereka.
Ara sempat mendengar salah satu nama yang mereka sebutkan. Ya, Arjuna sekarang dia baru ingat jika dia itu adalah kakak tingkatnya. Dia pernah bertemu Arjuna saat menunggu Ali kakak dari Ara menjemputnya saat di bank. Saat itu Arjuna membawa motor sportnya dan kebetulan melihat Ara yang sendirian di gerbang pintu masuk. Arjuna atau yang biasa mereka memanggilnya dengan nama Juna itu ingin menawarkan bantuan untuknya, sekedar mengantarnya pulang dari pada kesorean menunggu disana. Tapi Ara menolaknya dan tetap ingin menunggui kakaknya disana. Tapi Juna tak begitu saja meninggalkan Ara sendiri, dia menemaninya sampai Ali datang. Waktu itu Ara tidak tahu jika Juna adalah kakak tingkatnya. Juna sempat memperkenalkan dirinya kepada Ara, namun Ara tidak begitu memperhatikannya sebab dia takut jika Juna bukan orang baik, atau seperti orang yang pura-pura baik padahal hanya ingin menjahatinya saja.
Setelah Ara memfoto banner yang tertempel itu dengan ponselnya, dia beranjak dari sana sebab sebentar lagi kelasnya akan dimulai.
Rasa penasarannya bukannya usai tapi malah bertambah seiring berita yang beredar tentang gunung yang terkenal dengan keangkerannya itu. Ara memang menyukai adrenaline. Dia juga suka traveling, bahkan sudah menjadi hobinya saat ini. Setiap ada waktu luang pasti selalu dia sempatkan.
Sedangkan di tempat lain, tepatnya di Fakultas Teknik. Seorang pria berparas tampan berperawakan tinggi tegap sedang melihat gambar di banner mading fakultasnya dengan tatapan nanar.
Hatinya tak tenang memikirkan nasib saudaranya yang kini dinyatakan hilang itu. Ia hanya bisa menunggu kabar dari tim pencarian dan sampai akhirnya mereka tak menemukan jejak apapun sampai saat ini.
Kembali lagi pada Ara, walaupun kelas sedang berlangsung pikirannya berkeliaran kemana-mana. Mungkin ia akan mencari tahu apakah benar tentang mitos yang beredar sekarang ini. Dia memang tipe manusia dengan rasa penasaran yang tinggi. Semua itu akan terjawab jika ia mencari tahu dan menemukan sebuah fakta kebenaran.
Setelah hampir satu jam ia tak jelas memikirkan bagaimana petualangannya nanti akhirnya kelas selesai. Dosen matakuliahnya saat ini keluar dari ruangan. Tapi Ara belum juga bergeming dari tempat ia duduk. Ia hanya merapikan bukunya yang hanya ia biarkan terbuka tanpa ia baca sedikitpun.
"Ra! Lapar nih, ke cafe yuk!" ajak Shira teman dekat Ara.
"Males gue. Kayaknya gue mau pulang aja deh,"jawabnya dengan lesu.
"Ya udah deh. Gue duluan ya," ucap Shira lalu berlalu dari sana meninggalkan Ara.
Ara pun mengambil tasnya dan beranjak dari sana. Sampai di depan halaman kampusnya ia sudah melihat sosok kakak paling menyebalkan tiada duanya baginya. Andai saja ayahnya memfasilitasi mobil sendiri untuknya, pasti dia sudah hunting kemanapun ia mau. Tapi jika sudah dengan Ali, Ara tidak bisa kemana-mana jangankan mau jalan-jalan untuk sekedar mampir di cafe saja Ara harus membujuk keras kakaknya itu. Mungkin yang ada di pikiran Ali hanya kerja, kerja dan kerja hingga dia lupa dengan kata liburan.
"Kemana aja Lu? Lama bener! Jamuran nih gue nungguin," ucapnya dengan menyilangkan tangannya di depan dada.
Ara hanya memutar bola matanya malas. "Kakak nggak lihat kalau ini di kampus? kalau dikampus ngapain? Belajarkan! terus kenapa masih tanya?" jawabnya ketus. Dia tidak tahu kenapa moodnya tiba-tiba memburuk.
"Santai aja kali, orang cuma tanya juga!" jawabnya dengan menonyor dahi Ara.
Ali berbalik memasuki mobilnya tanpa menghiraukan Ara yang tak kunjung mengikutinya masuk kedalam mobil.
Ali hanya membunyikan klaksonnya yang membuat Ara segera membuka pintu mobil. Kalau tidak, bisa-bisa Ara ditinggal lagi sama seperti kemarin. Abang kagak ada akhlak memang.
Mobil Ali melesat menembus keramaian kota siang ini. Sekitar lima belas menit untuk sampai di rumahnya. Sebenarnya Ara ingin mampir ke cafe dulu, tapi Ali tidak mengizinkannya. Alih-alih katanya banyak kerjaannya yang belum terseleaaikan olehnya. Apa boleh buat, Ara hanya bisa menurut apa kata kakaknya itu.
Setelah Ali memarkirkan mobilnya di depan halaman rumahnya, Ara membuka pintu mobil dengan kasar. Istilahnya mode merajuk dengan Ali. Dia masuk kedalam rumah dan melenggang kedalam kamarnya.
Ara merebahkan tubuhnya di atas kasur empuknya. Seketika dia teringat banner yang ia foto saat berada di kampusnya. Ponsel saat ini sudah ia genggam, tangannya dengan lihai menscrol naik turun isi galerinya. Dia mengamati salah satu fotonya, tapi tak ada yang membuatnya menemukan jawaban.
Juna, entah kenapa dipikiran Ara selalu terngiang nama itu. Raga dari nama itu sempat bertemu dengannya waktu lalu. Dan sekarang, dia telah tiada, dia menghilang. Kenapa perasaan Ara ingin mencarinya?
Ada apa sama gue? Apa ini yang namanya peduli? Atau ada hal lain yang mendorong gue seolah mencarinya?
Dia beralih mengambil laptopnya dan searching dimana letak lokasi gunung itu. Beberapa menit ia berputar-putar di internet, akhirnya dia menemukan sebuah petunjuk. Letak dimana lokasi dan alamat lengkap sudah nyata dalam layar laptopnya. Ara mengambil pulpen dan kertas kosong, ia menyoretkan huruf-huruf menjadi kalimat utuh hingga tertulis sebuah alamat.
Senyumnya mengembang sempurna di wajah manisnya. Dan besok, ia akan memulai perjalanannya.
" Ra! Ngapain senyam senyum sendiri?" tegur Ali dari pintu kamar Ara yang masih terbuka.
Sontak Ara terjingkat melihat kakaknya yang sudah berjalan menghampirinya. Ara menyembunyikan kertas yang berisikan alamat itu dan menutup laptopnya. Ara sudah yakin, pasti Ali tidak akan menginzinkannya untuk pergi jika dia tahu kalau Ara akan mendaki besok. Apalagi dengan cuaca yang buruk untuk saat ini, kadang hujan kadang panas tidak menentu.
"Kenapa Ra? buru-buru banget nutup laptopnya. Terus itu apa yang kamu sembunyiin di belakang kamu?" tanya Ali dengan penuh selidik.
"Apa sih Kak! Kepo banget deh jadi cowok!" jawabnya santai, walau kenyataannya jantungnya seperti lari maraton.
"Emangnya salah ya kalau gue kepo? terserah gue lah. Yang gue kepoin kan adek gue!"
Ali duduk di sampingnya dengan setengah melirik ke belakang Ara, siapa tahu dia bisa melihat apa yang disembunyikan dibelakangnya.
"Udah deh Kak. Nggak penting juga buat kakak, ini tugas kuliah Ara."
Ali menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa Kakak nggak boleh lihat? Seprivasi itu ya tugas kuliah?"
"Tulisan Ara jelek." alihnya dengan memutar bola matanya malas.
"Ouh, ya sudah Kakak pinjem laptopnya ya?" dengan cepat Ali meraihnya dan membukannya.
"Eh Kak!" baru saja Ara ingin beralasan tapi Ali sudah lebih dulu membukanya.
Ali sedikit mengerutkan dahinya melihat riwayat pencarian di internet laptop Ara.
Pasalnya isinya hanya tentang misteri di gunung itu dan terakhir Ara menanyakan dimana lokasinya.
Ara menggigit bibir bawahnya, pasti sebentar lagi Ali akan mengintrogasinya panjang lebar kali tinggi menanyakan tujuan Ara.
"Ngapain lo cari informasi gunung itu?" benar dugaan Ara, Ali pasti menanyakannya.
"Nggak apa-apa kok.Ara penasaran aja."
" Bohong, pasti lo mau kesana kan?" ucap Ali seperti tahu maksud Ara.
Ara hanya tersenyum kecut kepada Ali. "Sebenarnya iya. Kak Ali jangan bilang ke Ayah ya? Kalau Ayah tahu pasti Ara nggak bakal dibolehin," ucapnya setengah berbisik, agar hanya mereka saja yang tahu.
"Nggak. Lo nggak boleh kesana, lo kan tahu banyak orang yang hilang di sana!" ucapnya dengan ekspresi yang beralih menjadi serius.
"Terus Kak Ali percaya gitu aja sama semua itu? Kalau Ara sih nggak ya. Itu cuma mitos Kak," jawabnya meyakinkan Ali.
"Kan Ayah udah bilang kemarin, kalau lo nggak boleh kemana-mana dulu, apalagi ke gunung. Cuaca juga nggak menentu."
"Ish, udahlah Kak. Kakak emang nggak pernah ngertiin Ara! Mendingan Kak Ali keluar dari kamar Ara, Ara lagi pengen sendiri."
"Tapi Ra." belum juga Ali selesai berbicara, Ara sudah memotongnya dan mengusirnya.
"Udah deh Kak Ali!" Potongnya dengan mendorong punggung Ali agar segera keluar dari kamarnya.
Sudah Ara duga, pasti Ali akan melarangnya. Apalagi jika Ayahnya tahu akan hal itu. Baiknya Ara pergi tanpa sepengetahuan mereka pikir Ara. Tapi Ali sudah terlanjur mengetahuinya, mau tidak mau Ara harus membujuk mereka berdua.
Ali sudah paham betul sikap adiknya itu. Ara memang keras kepala, sekalinya keinginannya tidak dituruti dia pasti merajuk dengannya. Itu semua sebab ayahnya terlalu menuruti semua kemauan Ara, semenjak bundanya meninggal Ara hanya bisa merasakan kasih sayang dari ayahnya tanpa seorang Ibu disampingnya. Dan Ali paham betul akan hal itu. Dia akan selalu menjadi kakak yang bisa selalu ada dan menjaga Ara dimanapun dan sampai kapanpun. Tapi perhatian Ali terlalu berlebihan kepada Ara menjadikannya terlalu overprotective. Setiap Ara ingin pergi kemanapun harus dengan Ali. Sampai Ara jengah, dan melarikan diri darinya. Pergi tanpa sepengetahuan Ali. Apalagi jika Ara pergi dengan temannya, pasti Ali akan mengintrogasinya dari berangkat sampai pulang, terlebih jika temannya itu cowok. Dan pada kenyataannya, Ara jarang sekali terlihat dekat dengan cowok bisa dibilang dia berstatus jomblo legend.
Ali melenggang keluar dan menutup pintu kamar Ara. Sedangkan Ara hanya menyelimuti seluruh badannya dengan selimut tebal. Kali ini ia harus pikirkan lagi bagaimana caranya supaya dia besok diizinkan oleh ayahnya dan juga Ali.
Lama Ara berpikir sampai suara ketukan pintu kamarnya membuat konsentrasinya membuyar. Ara masih diam saja belum bergeming dari sana. Hingga suara ketukan semakin keras. Ara sudah berteriak mengatakan masuk. Tapi tak ada tanggapan dari luar sana. Ara semakin gemas dengan orang yang mengetuk pintunya tanpa henti itu. Dia berjalan cepat dengan sedikit kesal.
Mungkin jika diibaratkan telinganya sudah keluar asab.
Ceklek
"Ada apa sih?" ucapnya dengan nada ketus.
Tapi yang didapatinya tak ada seorang pun disana. Kosong, hanya ruangan yang sepi di depan kamarnya. Lantas siapa yang mengetuk pintunya tadi? Ara kembali mengamati sekelilingnya lagi, namun tak ada tanda-tanda orang disana. Jika Ali yang mengetuk itu tak mungkin, pasti dia sudah sibuk dengan urusan kantornya. Sebab setelah Ara mengusir dari kamarnya, Ali turun dan Ara juga sudah mendengar suara deru mobil Ali keluar dari rumahnya.
Atau mungkin Ayah? Pikir Ara.
Untuk apa ayahnya mengetuk pintunya, bukannya setiap dia akan menemui Ara langsung memanggil namanya. Ara sedikit bergidik ngeri saat membayangkan hal-hal aneh akhir-akhir ini. Tapi setiap kali ia mencarinya tak menemukan apapun.
Ara menutup pintunya kembali dan sejenak berdiri di belakang pintunya. Berjaga-jaga jika ada yang mengetuknya lagi.
Dia menunggu hingga kakinya terasa kesemutan akibat terlalu lama berdiri. Sesekali ia menghentakkan kakinya tapi semakin menjadi rasanya. Baru saja ia akan melangkahkan kakinya untuk segera duduk. Tapi urung saat dalam langkah ketiga terdengar suara ketukan lagi. Ara membiarkannya hingga beberapa saat. Dan seperti halnya tadi, suara ketukannya semakin keras. Ara yang sudah bersiap tangannya di gagang pintu segera membukanya dan melihat keluar kamarnya. Ada hal aneh yang Ara rasakan saat ini. Tak ada orang lagi yang mengetuk pintunya.
"Iseng banget sih itu orang!" gerutunya saat merasa di permainkan dengan ketukan pintu.
"Gue hitung sampai tiga siapapun lo harus keluar! Kalau nggak!" teriak Ara sudah layaknya seperti di hutan. Dia sejenak berpikir kalau tidak akan dia apakan.
Kalau nggak, mau gue apain ya? Bodoamat lah terserah.
Dia mulai menghitung seperti memberi aba-aba layaknya guru olahraga saat akan lari.
"Satu!"
"Dua!"
"Dua setengah!"
Tak ada tanda-tanda kemunculan seseorang. Jika sampai hitungan ketiga tidak ada yang muncul dihadapannya, Ara akan menutup pintunya lagi.
"Tiga!" hitungan terakhir, benar tidak ada orang.
Ara ingin menutup pintunya tapi terlalang dengan surat yang terselip di bawah pintunya. Dia sedikit mengerutkan keningnya. Bertanya-tanya seolah siapa yang mengirim surat untuknya. Entah dari mana datangnya, Ara berjongkok mengambil surat itu. Ia mengamati surat itu, seperti surat pada biasanya tidak terlalu tebal tapi cukup membuat Ara penasaran dengan isinya.
Ara kembali menutup pintunya dan duduk bersila di atas ranjangnya. Dia mulai membuka bagian yang di lem di suratnya.
Didalamnya terdapat kertas yang dilipat kecil, Ara membukanya dengan perlahan. Penasaran, tapi ia takut bagaimana jika itu teror seperti pada film-film yang sering dia tonton setiap malam bersama Ali.
Ara terkejut dengan isi tulisan itu. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Apa maksud tulisan di surat itu. Surat yang berisikan tulisan.
PERGI BESOK! ATAU KAMU AKAN KEHILANGAN DIA, SELAMANYA!
(mountain)
Sebuah pernyataan yang Ara tak paham apa maksudnya. Di bawahnya terdapat kata mountain, yang berarti gunung. Lalu apa hubungannya dengan Ara?