Chereads / Bleak Knight / Chapter 17 - Love & Peace

Chapter 17 - Love & Peace

7

"Fuh. . . . . aku sempat kahawatir kalau kita tidak akan bisa mengejar target, tapi akhirnya semuanya selesai juga."

"Belum selesai!."

"Aku tahu! kau tidak perlu mengingatkanku Haruki!."

Seseorang membutuhkan target yang kongkrit untuk bisa dikejar. Dan bagi Amelie yang mempunyai target yang sangat jauh, dia membuat semua pencapaian yang berhasil dia raih sebagai kesuksesan-kesuksesan kecil yang sedikit demi sedikit bisa dia tumpuk.

Hal yang dilakukannya sama dengan seseorang yang berjalan menuju ke tempat yang sangat jauh. Jika yang dia pikirkan hanya target utamanya maka perasaannya akan mulai mengajak untuk berpikir 'aaahhh masih sangat jauh' atau 'aku tidak akan sampai'. Dengan memberikan target-target kecil sebagai batu loncatan, maka dia bisa membuat pikirannya jadi tetap positif dan otaknya akan jadi berpikir 'tinggal setengah jalan' atau 'aku sudah sampai di sini'.

"Kalau begitu cepatlah istirahat, jangan sampai Gerulf melihat wajah lelahmu."

"Tapi perjanjianny. . ."

"Aku yang akan mengurusnya! yang perlu kau lakukan sekarang hanya tidur!. kau cukup menandatanginya besok. . ."

Amelie melihat ke arah Haruki dengan seksama. Dan dia melihat kalau pemuda itu menatapnya dengan pandangan khawatir.

Dia tentu saja tidak ingin membuat Haruki khawatir, tapi apa yang ingin Haruki kerjakan sebenarnya adalah pekerjaannya sebagai pemilik teritori. Karena itulah dia agak ragu untuk menerima bantuan pemuda itu. Sebab, pada dasarnya Haruki hanyalah orang luar yang terseret oleh masalahnya. Dan masalah-masalahnya itu sama sekali bukan sesuatu yang ringan untuk diurus.

Jika bisa, dia tidak ingin lagi menambah beban yang Haruki pikul.

"Apa-apaan wajahmu itu Amelie!!! apa kau sedang berpikir tentang hal tidak berguna seperti 'aku tidak ingin merepotkan Haruki'?."

". . . ."

"Tepat sasaran huh!. . . kau masih ingat janji kita kan?."

Jika Haruki bilang dia melakukannya karena dia ingin melakukannya mungkin Amelie akan merasa lebih bersalah. Oleh sebab itulah Haruki menggunakan cara lain agar Amelie mau menerima bantuannya.

"Akan kucatat ini sebagai hutang! dan tentu saja kau harus membayarnya."

Keduanya sudah merepotkan satu sama lain, keduanya sudah membahayakan satu sama lain, dan keduanya ingin membantu satu sama lain. Oleh karena itulah mereka memutuskan dan berjanji untuk membagi tanggung jawab dan hukuman masing-masing.

"Um. .begitu ya. ."

Amelie tersenyum dan menyenderkan badannya kepada Haruki.

"Kalau begitu kuserahkan padamu."

Jika ingin jujur, Amelie ingin mengeluh. Tubuhnya capek dan pikirannya juga sama capeknya. Dia ingin beristirahat dengan tenang tanpa diganggu siapapun. Jadi sebenarnya tawaran Haruki benar-benar menolong.

"Serahkan saja padaku."

Valuta yang mereka berdua jadikan alat tukar adalah 'kebahagiaan'. Denda yang harus kau bayar saat membuat seseorang adalah kebahagiaan. Dan jika kau ingin seseorang membantumu, kau harus membayar orang itu juga dengan kebahagiaan.

"Jadi apa yang kau mau dariku Haruki?."

Tapi bentuk kebahagiaan setiap orang itu berbeda, ada yang bisa bahagia asalkan bisa makan, ada yang bisa bahagia harus dengan harta, dan ada yang bisa bahagia dengan mendapat pengakuan.

Jadi apa yang akan membuat Haruki bahagia?.

"Um. . .aku akan memberitahkannya nanti kalau semuanya sudah selesai."

"Kau baru saja menancapkan death flag."

"Death flag?."

"Bu-bukan apa-apa, yang jelas beri tahu aku sekarang saja! aku sama sekali tidak ingin membuat ada kesempatan sampai kau tidak bisa memberitahukannya nanti."

"Aku belum melakukan persiapan."

"Persiapan apa memangnya."

"Jangan banyak bicara dan tidur saja!."

Haruki menarik kepala Amelie dan meletakannya di pangkuannya dan menahan badan gadis kecil itu agar tidak bisa bangun. Kemudian, setelah beberapa menit terus bertengkar, akhirnya Ameliepun tertidur.

Sebab dia akan membuat sebuah dokumen, tentu saja nanti dia harus menulis. Dan menulis di atas kereta kuda yang bergetar sambil memangku kepala seseorang dan menjaga orang itu agar tidak bangun adalah hal yang membuat pekerjaan utamanya untuk menulis jadi terganggu.

Secara logis, dia harus memindahkan Amelie dan meletakan badannya bersama dengan Miina yang juga sudah tidur di depannya. Tapi kali ini, dia tidak ingin melakukan tindakan logis semacam itu. Daripada itu dia ingin membelai rambut gadis kecil di pangkuannya meski tugas utamanya harus terganggu.

"Sekarang apa yang harus kutulis?."

Karena selama dua minggu penuh mereka terus sibuk mengurus banyak hal. Tidak ada yang punya waktu untuk membuat draft dari perjanjian yang akan mereka ajukan pada Gerulf sehingga seseorang terpaksa harus membuat draftnya dalam perjalanan pulang.

Haruki sendiri merasa kalau dia bukan orang yang cocok untuk pekerjaan itu. Tapi keadaan memaksanya untuk harus bisa melakaukannya. Dia adalah seorang ahil strategi dalam organisasi militer, jadi tentu saja skillsetnya sama sekali bukan diperuntukan untuk masalah politik.

Hanya saja semua itu bukanlah alasan untuk menyerah.

"Salah, apa yang akan Amelie tulis."

Haruki dan Amelie punya sudut pandang yang berbeda dalam melihat sebuah masalah. Dan meskipun mereka bisa mendapatkan jawaban yang sama untuk suatu masalah, proses yang mereka lalui normalnya berbeda jauh.

Bagi Haruki yang lahir di keluarga militer dan dididik tentang masalah militer sejak kecil, sebuah perjanjian tertulis adalah cara baginya untuk mendapatkan sebanyak mungkin keuntungan dari lawan yang sudah kau kalahkan. Tapi bagi Amelie, sebuah perjanjian adalah cara membuat kedua belah pihak bisa mendapatkan keuntungan sambil meminimalisir kerugian.

Dan dalam perjanjian yang Amelie ingin tulis, tentu saja cara pandang Haruki tidak bisa dipakai. Oleh sebab itulah Haruki mencoba mengmulasikan jalan pikiran Amelie saat ini.

"Baiklah kalau begitu."

Yang Amelie inginkan bukanlah kemenangan, tapi kedamaian.

"Dan jika itu yang dia inginkan, maka. . . ."

Haruki terus menulis dan melakukan koreksi dari perjanjian yang ditulisnya selama hampir satu setengah jam. Dan setelah dia merasa cukup puas dengan hasilnya, akhirnya dia ikut tidur dengan menyandarkan kepalanya ke dinding kereta kuda yang terus bergetar.

Pagi hari datang, dan begitu begitu kesadarannya agak mulai pulih. Suara pertama yang dia dengar adalah suara Amelie yang familiar.

"Haruki. . cepat bangun."

Hanya saja apa yang membangunkannya bukanlah suara itu, melainkan perasaan kalau dia sedang ditatap oleh seseorang yang punya dendam kesumat dan ingin segera membunuhnya.

"Kalau kau tidak segera melepaskanku Erwin akan membunuhmu"

Melapaskan?.

Begitu sadar Haruki tiba-tiba merasakan sesuatu yang hangat menempel di dadanya. Dan saat dia melihat ke tempat itu, dia mendapati tubuh Amelie yang sedang dia peluk dengan lumayan erat.

"Tadi malam kau menarik-narik pakaianku, mungkin karena merasa dingin."

Dan sebab semua pakaian mereka ada di bagian depan kereta kuda, mereka tidak bisa mengambilnya tanpa harus menghentikan perjlananan. Yang tentu saja adalah sebuah perjalanan buru-buru yang sama sekali tidak mau dia hentikan untuk urusan kecil semacam itu.

Oleh sebab itulah Amelie memutusukan untuk bangun dan menempatkan dirinya di dekat Haruki yang sedang tidur menyandar di bagian ujung kereta supaya pakaiannya punya banyak bagian lebar bisa dia bagi sebagai selimut dengan Haruki.

Hanya saja saat mereka tidur sepertinya Amelie juga ikut merasa dingin dan tanpa sadar terus mengubur badannya di antara tembok dan badan Haruki persis seperti anak kucig yang kedinginan. Hal itu membuat Haruki yang tiba-tiba merasa mendapatkan bantal guling hangat, secara reflex mendekap tubuh Amelie.

"Erwin, tenang dan dengarkan penjelasanku dulu."

"Aku sudah tenang, dan kau sama sekali tidak perlu panik! aku juga ingin bicara denganmu secara PRIBADI."

Mulut pemuda itu tersenyum, tapi matanya sama sekali tidak tersenyum. Selain itu, tangan kanannya yang berada di atas gagang sebuah pedang juga sama sekali tidak membuatnya kelihatan seperti orang yang sedang mengajak membicarakan sesuatu.

"Setidaknya singkirkan pedang itu kalau kau ingin bicara."

"Tenang saja, ini cuma pedang kayu."

"Kenapa kau mebawa-bawa pedang kayu?."

"Kalau aku tidak membawanya bukankah aku jadi tidak bisa berolahraga?."

"Kau ingin bicara kan? kau ingin bicara denganku kan?."

"Aku akan bicara sambil melampiaskan rasa stressku padamu."

"Bukankah kau tadi bilang ingin berolahragaaaaa!!!!??.."

Haruki ditarik oleh Erwin ke suatu tempat, sedangkan Amelie langsung menuju ke rumah untuk memeriksa draft yang dibuat Haruki di malam sebelumnya. Selain itu dia juga harus kembali mengunjungi Ibunya untuk meminta bantuan merapikan penampilannya lagi.

Menjelang siang, pembicaraan pribadi Erwin dan Haruki akhirnya selesai. Selain itu Amelie juga sudah selesai memeriksa draft yang dibuat Haruki lalu menulis ulangnya lagi dalam format yang lebih resmi. Berhubung perjalanan kali ini dibuat untuk melakukan negosiasi, tidak ada pasukan yang dipersiapkan dan hanya ada beberapa orang saja yang ditugaskan sebagai pengawal untuk menemani perjalanan mereka.

Persiapan fisik yang perlu mereka lakukan tidak terlalu banyak sehingga begitu makan siang selesai, semua pekerjaan juga sudah ikut selesai.

Yang masih belum selesai tinggal satu hal.

"Diam di tempat dan bersiaplah Amelie. . "

Dan hal itu adalah menghias aktris utamanya.

"Untuk make up aku tidak keberatan asal tipis, tapi untuk korset aku menolaknya dengan sepenuh hati."

"Tapi kalau kau tidak mengenakannya kau tidak bisa memakai gaun."

"Kalau memakai gaun berarti aku harus mengenakan korset, maka aku tidak akan memakainya."

"Wow. . . ini pertama kalinya kau bertingkah manja padaku. . . entah kenapa rasanya aku jadi benar-benar punya anak."

Normalnya seorang Ibu akan merasa susah kalau anaknya bertingkah manja, tapi sebab Amelie sudah bertingkah dewasa sejak kecil Anneliese baru pertama kalinya merasakan bagaimana rasanya dimintai sesuatu yang tidak masuk akal.

Dan rasanya tidak terlalu buruk.

"Yang aku perlukan bukan gaun secara spesifik, tapi pakaian formal, dan di luar sana ada banyak jenis pakaian formal."

"Lalu?. . ."

"Sebenarnya saat di kota aku membeli pakaian baru, kurasa aku ingin mengenakannya sekarang."

Amelie membuka bungkusan yang di bawa masuk, lalu menunjukan furisode yang mereka dapatkan dari pedangan Yamato yang datang ke Amteric minggu lalu. Ukurannya yang dulu kebesaran sudah disesuaikan dengan tubuh Amelie sehingga dia sudah bisa mengenakannya tanpa masalah. Dan yang paling penting. Tidak seperti gaunnya, pakaian itu tidak akan memaksanya untuk mengenakan korset.

"Ini baju formal untuk wanita dari Yamato."

Anneliese memperhatikan furisode yang Amelie tunjukan. Dari pemeriksaannya, bahan dari pakaian itu jelas punya kualitas, selain itu motif dan warnanya indah walau tidak mencolok. Dia yakin kalau pakaian itu akan cocok dengan anak gadisnya yang juga indah tapi tidak mencolok.

"Um. . . mamamu tidak tahu cara memakaikannya. . ."

Keadaan Amteric yang sekarang membuat pedang dari luar jarang ada yang mau negara itu, membuat produk selain dari yang di buat di Amteric jadi barang asing yang langka bagi penduduknya. Termasuk Anneliese.

"Jangan khawatir aku tahu cara memakainya, tapi meski begitu aku masih perlu bantuan."

"Serahkan padaku."

Anneliesepun kembali melanjutkan pekerjaannya untuk mempercantik Amelie. Memberikan make up, menata rambut, memberikan aksesoris tambahan, lalu memakaikan furisode yang anaknya bawa dengan hati-hati dan berbagai macam hal lainnya.

Lalu, setelah hampir satu jam berlalu, akhirnya keduanya selesai. Dan begitu semuanya selesai, Anneliese langsung memasang wajah bangga sambil melihat penampilan anak gadis di depannya.

"Uuu. . . anaku benar-benar manis, benar-benar cantik!! aku benar-benar ingin memelukmu."

Penampilannya perlu dibuat menarik perhatian banyak orang, dalam negosiasi kali ini dia tidak ingin ada orang yang tidak memperhatikannya saat bicara. Karena itulah dia berdandan lebih lama dari yang sebelumnya pernah lakukan.

"Komentar mama sama sekali tidak membantu."

Anneliese adalah Ibunya, meski anaknya dibilang jelek oleh orang lainpun pasti dia tetap akan bilang kalau anak gadisnya itu cantik dan manis. Karena itulah komentar Anneliese sama sekali tidak berguna untuk dijadikan tolak ukur. Tentu saja hal itu juga berlaku untuk komentar Erwin.

"Kurasa aku perlu pendapat Haruki."

Di antara orang-orang yang dekat dengannya cuma Haruki yang Amelie anggap bisa diajak berpikir normal. Dengan kata lain, jika dia meminta pendapat pemuda itu tentang penampilannya dia bisa tahu apakah penampilannya sekarang sudah cukup atau masih ada yang kurang.

Selain itu Haruki adalah orang Yamato, jadi harusnya dia lebih paham tentang pakaiannya.

"Mamam aku ingin keluar dulu. . ."

"Aku tahu kau ingin pamer pada Haruki tapi kau tidak perlu buru-buru pergi, dia bisa melihatmu sampai puas nanti di perjalanan . biarkan mamamu lebih lama bersamamu."

Tujuannya meminta pendapat Haruki adalah agar dia bisa merubah apapun yang Haruki kira kurang, kalau dia menanyakannya nanti di perjalanan tentu saja dia tidak akan bisa melakukan perbaikan dari masukan Haruki.

Tapi. . .

Ketika Ibunya bertingkah seperti itu biasanya dia akan jadi susah diajak bicara. Selain itu, pada dasarnya memang waktu yang dia habiskan bersama Amelie juga sangat singkat. Bahkan setelah pulang dia langsung pergi lagi selama setengah bulan. Mungkin dia masih merindukan Amelie. Karena itulah Amelie itu tidak bisa menyalahkan Anneliese dan menolak permintaanya begitu saja.

"Apa boleh buat."

Rencananya mereka akan berangkat di siang hari, jadi Amelie masih punya waktu untuk bersantai. Biasanya dia akan menggunakan waktu luang semacam itu untuk mempersiapkan diri, tapi. . .

"Kurasa masih ada waktu untuk minum teh. ."

Mendengar hal itu, Anneliese langsung menunjukan ekspresi cerah. Dia ingin melompat dan memeluk Amelie, tapi dia harus menahan diri karena takut membuat pakaian anaknya jadi kusut. Setelah meminta pelayan menyiapkan teh dan snack, mereka berdua berpindah ke beranda untuk mencari udara segar.

"Setelah ini, apa rencanamu Amelie?."

Pada dasarnya Anneliese sendiri tidak punya topik khusus yang ingin dia bicarakan dengan Amelie. Yang dia ingin lakukan hanyalah mendapatkan lebih banyak waktu bersama anak gadisnya, hanya saja duduk sambil diam-diaman tentu saja akan membuat suasana tidak enak. Oleh sebab itulah dia mencoba memulai pembicaraan.

"Rencana ya. . . setelah semua ini selesai, sebenarnya aku ingin kembali ke Yamato dan melanjutkan pendidikanku. . . tapi. ."

Kemungkinan besar dia tidak bisa melakukannya. Alasan utamanya untuk pulang adalah memastikan keselamatan Ibunya, dan alasan keduanya adalah karena dia dipanggil pulang sebab ada masalah perebutan tahta.

Dan masalah perebutan tahta itu bukan sesuatu yang bisa diselesaikan dalam waktu satu atau dua minggu. Meskipun dia mengundurkan diri di awal, ada kemungkinan kalau dia tetap tidak akan diijinkan keluar negara sampai calon pasti raja baru benar-benar ditentukan.

"Meski secara ajaib aku dijinkan pergi, kembali ke Yamato tetap bukan pilihan yang kelihatan baik."

Waktunya yang tersisa sebagai murid sekolah militer Yamato hanya tinggal satu atau bulan saja setelah ujian akhir berlangsung, selain itu karena statusnya sebagai salah satu calon ratu di Amteric pasti tatapan negatif dari orang lain juga akan bertambah berkali-kali lipat.

Di dalam keadaan yang seperti itu, Amelie yakin kalau dia tidak bisa lagi belajar dengan tenang atau menyembunyikan diri dan bertingkah seperti orang biasa.

Dengan kata lain, tempat yang sudah dia anggap rumah keduanya itu mungkin tidak akan bisa dia kunjungi lagi.

"Setelah semua ini berakhir aku akan menghadap ayah dan bilang kalau aku mundur, setelah itu aku akan pulang sambil menunggu siapa yang akan jadi raja selanjutnya diangkat."

Di saat itu dia akan melakukan semua usaha yang dia bisa untuk membuat teritorinya semakin makmur dan juga membuat kehidupan Ibunya jadi semakin mudah. Lalu, sebab dia tidak perlu lagi pergi ke manapun, dia bisa menghabiskan seluruh waktunya untuk bersama dengan Anneliese sehingga Ibunya tidak akan lagi kesepian maupun merindukannya.

"Setelah itu. . . . setelah itu. . . . apa ya?."

Amelie tertawa lirih sambil memasang senyum yang dipaksakan.

Sebagai Ibunya, Anneliese sudah melihat berbagai macam ekspresi yang anak gadisnya itu tunjukan. Ekspresi seriusnya saat mempelajari sesuatu yang baru, ekspresi bosannya saat diajari sesuatu yang dia sudah pahami, ekspresi marahnya ketika diremehkan seseorang, ekspresi jahilnya saat ingin melakukan sesuatu yang dia angggap aneh, ekspresi senangnya saat berhasil melakukan sesuatu, dan tawanya saat sadar kalau dia baru saja melakukan hal bodoh.

Semua ekspresi di wajah manisnya itu menyenangkan untuk dilihat, sebab saat Amelie mengeluarkan ekspresi itu dia selalu melihat ke depan dengan pandangan optimis yang membuat semua orang yang melihatnya juga jadi ingin berusaha dengan lebih keras.

Tapi kali ini, yang ditunjukan adalah ekspresi yang sama sekali tidak pernah dia ingin lihat ada di wajah anak gadisnya itu. Pandangannya tidak fokus, meski dia mencoba berbicara seperti biasa ada sedikit getaran di suara, selain itu pandangannya juga kosong.

Ekspresi yang Amelie pasang sekarang adalah ekspresi seseorang yang sudah menyerah.

"Hehehe. . . aku belum memikirkan sejauh itu. . . . ."

Atau lebih tepatnya dia tidak ingin memikirkan lebih jauh dari batas itu.

Setelah itu, Anneliese mendekati anak gadisnya dan memeluknya dengan erat.

"Maafkan aku."

Meski Amelie bertingkah biasa, meski tidak pernah mengeluh, dan meski dia tidak pernah menyalahkan siapapun. Sebenarnya Amelie sedang ada dalam sebuah tekanan yang besar. Dan sumber dari tekanan itu adalah kenyataan kalau sebenarnya masa depannya pada dasarnya sudah hancur.

"Maafkan aku karena sudah mengekangmu. . ."

Dan hal yang membuatnya tambah sedih adalah karena Anneliese tahu penyebab utama Amelie bisa ada dalam keadaan seperti itu adalah dirinya sendiri. Ketika gadis itu ditanya siapa orang yang paling berharga baginya, maka dia akan dengan kilat menjawab kalau orang itu adalah Ibunya. Dan demi Ibunya dia akan rela membuang apapun hanya agar Ibunya bisa bahagia.

Dan hal itu termasuk masa depannya.

"Kenapa mama minta maaf begitu?. . . aku melakukan semua ini karena aku memang ingin melakukannya. . selain itu. . . aku. . . aku. . ."

"Ya, aku tahu."

Menyuruh Amelie untuk berhenti sama sekali tidak mungkin, sebab sebenarnya gadis kecil itu sangat keras kepala. Jika anaknya tidak sekeras kepala itu, Anneliese sudah akan memilih membuang kebahagiannya sendiri agar Amelie bisa bebas dari semua tanggung jawabnya. Jika dia bisa membantu tentu saja dia sudah akan melakukannya dari dulu, tapi sayangnya selain umur dan pengalaman dia dia tidak punya hal lain yang levelnya melebihi putrinya.

"Aku. . . aku masih ingin belajar, aku masih bermain-main, aku tidak ingin berpisah dengan Haruki dan semua orang. . . . . aku masih ingin bebas!!!."

Makeupnya luntur karena disiram air mata, bajunya kusut karena pelukan erat ibunya, dan rambut serta aksesorisnya berantakan karena mencoba membungkam tangisannya di dada Ibunya.

"Mamaa. . "

Amelie ingin seseorang menolongnya dari takdirnya sendiri. Tapi jika dia meminta seseorang untuk menolongnya, maka masa depan dari Ibunya akan jadi taruhan.

"Cup. . .cup. . . mamamu ada di sini."

Meski mereka harus mengulang semuanya dari awal lagi, setidaknya pikiran Amelie sekarang sudah agak lebih lega.

Satu jam kemudian, akhirnya penampilan Amelie kembali jadi rapi. Begitu dia keluar, seperti yang sudah diduga, Erwin memberikan reaksi berlebihan sambil memujinya juga dengan berlebihan. Yang tentunya tidak terlalu Amelie perhatikan.

"Haruki di mana?."

"Lihat ke belakang dan cari orang yang mulutnya menganga paling lebar."

Menuruti instruksi Erwin, Amelie berbalik dan memukan Haruki yang sedang duduk tidak dengan mulut menganga lebar. Begitu menemukan pemuda itu, Amelie langsung berlari ke arahnya lalu memutar badannya dan bertanya.

"Bagaimana menurutmu?."

Haruki mengangguk lalu bilang bagus dan tidak ada masalah. Erwin yang mendengar jawaban itu langsung berlari dan memukul kepala Haruki lalu berteriak.

"Apa-apaan jawaban datar tanpa emosimu itu?."

Erwin ingin kembali memukul kepala Haruki, tapi kali ini pemuda itu berhasil menangkap telapak tangan lawannya.

"Dengarkan aku Erwin! percaya atau tidak, yang Amelie cari memang jawaban yang seperti itu!."

"Setidaknya puji juga kecantikannya."

"Yang seperti itu memangnya perlu?."

"Kau sama sekali tidak paham hati wanita."

"Aku tidak butuh paham hati wanita, yang perlu kupahami hanya hatinya saja."

"Sekarang ulangi kata-kataku, kau sangat manis Amelie aku sampai ingin menculik dan membawamu pulang."

"Apa kau yakin kalau yang seperti kalimat pujian? apa kau yakin kalau aku tidak perlu balas memukul kepalamu?."

"Sudah ulangi saja kata-kataku."

"Tidak mau!! kau kira aku ini orang mesum sepertimu?."

"Eeehhh . . . jadi kau mau bilang kalau kau itu tidak mesum? sekarang biar aku tanya? memangnya kau tidak ingin menculik dan membawanya pulang."

"Kau sadar kalau kalimatmu itu kedengaran seperti kata-kata kriminal?."

"Umm. . . aku paham. . . kau tidak membantahnya."

Haruki mengalihkan pandangannya. Entah kenapa tiba-tiba Erwin jadi pintar atau Haruki yang jadi bodoh kalau mereka membahas topik semacam itu.

"Sudah kalian tidak perlu melanjutkan topik ini lagi!!!. . . "

Meski yang bicara mungkin tidak malu, tapi Amelie yang jadi obyek pembicaraan dan juga orang yang mendengar pembicaraan mereka jadi merasa malu sendiri.

"Apa kau yakin tidak ada yang salah Haruki?."

"Sama sekali tidak ada yang salah atau aneh, kau benar-benar sangat cantik."

"Benarkah?."

"Um!."

Haruki mengangguk. Jika Haruki tidak memuji kecantikan Amelie mungkin Erwin tidak akan diam, selain itu pada dasarnya dia memang berpikir kalau penampilan Amelie sekarang benar-benar cantik. Dia hanya merasa canggung memujinya secara langsung karena mereka sudah terlalu dekat.

"Terima kasih. ."

Amelie tersenyum. Jika Haruki yang tidak menganggapnya sebagai wanita saja bilang kalau dia itu cantik, itu berarti usahanya sama sekali tidak sia-sia. Dia yakin kalau setidaknya dia bisa menarik perhatian banyak orang dalam negosiasi dengan Gerulf nanti.

"Ngomong-ngomong bagaimana kau bisa menganakannya?."

"Tentu saja karena aku berlatih."

"Maksudku kenapa kau repot-repot berlatih, kau bahkan tidak perlu mengenakan kimono di acara resmi di Yamato."

"Kenapa? kalau tidak salah keluargamu masih lengket dengan tradisi kan? akan repot kan kalau aku saat bertemu dengan orang tuamu aku bahkan tidak bisa mengenakan kimono?."

". . "

Haruki memukul keningnya sendiri. Dia yakin kalau yang dimaksud dengan menemui kedua orang tua Haruki maksudnya hanyalah Amelie berkunjung sebagai temannya. Tapi karena pemilihan kalimatnya, arti dari kata-kata Amelie jadi berubah dan sekarang maksudnya jadi seakan gadis kecil itu ingin jadi bagian dari keluarga Haruki.

"Selain itu pakaian ini lebih nyaman. . . pinggangku tidak sakit. . . dan. . dan dadaku jadi kelihatan tidak kelihatan ukurannya."

Haruki dan Erwin memanglingkan wajah mereka dan memutuskan untuk pura-pura tidak mendengar bagian terakhir dari kalimat yang Amelie katakan dengan lirih.

"Kemudian. . .aku juga ingin melihat reaksimu. . . sebab mungkin ini kesempatan terakhirku melihatmu . . hehe . .."

Begitu Amelie mengatakan hal itu, suasana jadi tenang karena semua orang tidak tahu harus bilang apa lagi. Dan sebelum suasana jadi semakin suram, Erwin segera mengingatkan keduanya untuk segera bersiap untuk berangkat.

Perjalanan Amelie dan Haruki dimulai pada pukul satu siang. Dan dengan menggunakan jalan pintas yang sebelumnya mereka pernah gunakan dalam konfrontasi yang lalu. Mereka sampai begitu jam menunjukan pukul tiga sore.

Tempat negosiasi yang Gerulf dan Amelie gunakan adalah bekas camp sementara yang pasukan Gerulf gunakan saat akan menyerang teritori Amelie. Setengah bulan yang lalu, pasukan relawan Amelie berhasil menghentikan gerakan pasukan Gerulf dengan membakar hutan dan mengurung personil Gerulf di dalam kepungan agar mereka bisa memaksakan negosiasi.

Banyak area di tempat itu terbakar, jadi Amelie sempat membayangkan kalau camp itu akan terlihat berantakan. Tapi begitu rombongannya sudah mulai mendekati tempat itu, semuanya kelihatan rapi. Bahkan dia bisa melihat beberapa bangunan kayu baru dan. . .

"Cuma perasaanku atau sepertinya orang yang ada di sana jadi kelihatan tambah banyak. ."

"Um. . Kelihatan jelas kalau ada penambahan personil di camp ini. . .

Haruki yang ada di sebelahnya juga merasakan hal yang sama setelah melihat ke luar jendela.

"Dan bukan cuma itu. . .mereka semua membawa perlengkapan penuh."

Selain jumlah, Erwin juga menemukan kalau peralatan yang di bawa oleh prajurit Gerulf lebih lengkap dari sebelumnya. Dan semua prajurit-prajurit itu kelihatan siap untuk berperang.

Ketiganya punya firasat buruk yang susah dijelaskan. Di dalam hati mereka sedang mempersiapkan diri kalau-kalau skenario terburuk sampai terjadi. Sebab mereka sudah berjalan sejauh ini, tidak ada lagi yang bisa mundur apapun alasannya.

Begitu ketiganya masuk dalam area camp, seseorang langsung menghampiri mereka dan membimbing ketiganya untuk menuju ke sebuah gazebo yang kelihatannya baru dibangun. Di sana Gerulf dan beberapa pengawal pribadinya sudah menunggu kedatangan Amelie dengan pandangan serius.

Tidak ingin membuat sang tuan rumah terlalu lama menunggu, Amelie langsung menempati kursi yang sudah disiapkan untuknya. Sedangkan Erwin dan Haruki, sama seperti pengawal-pengawal Gerulf juga ikut berdiri di belakangnya dengan posisi siaga layaknya seorang prajurit.

"Selamat sore tuan Gerulf. . ."

"Selamat sore. . . dan kau tidak perlu bertingkah formal di depanku sebab aku sama sekali tidak ingin bertingkah formal di depanamu. . ."

Setelah Gerulf menjawab sapaan Amelie, sebagian prajurit Gerulf yang sebelumnya tidak melakukan apapun mulai berkumpul dan mengelilingi Gazebo yang mereka tempati dalam barisan rapi dan persenjataan lengkap. Setelah berhasil mengatur posisi, semua prajurit itu berlutut dan memasang posisi siaga rendah.

Erwin dan Haruki memperhatikan area di sekitar mereka sambil mencoba kelihatan tetap tenang. Mereka menemukan kalau mereka sudah dikepung dari berbagai arah oleh prajurit yang sudah siap menarik senjata masing-masing. Hanya saja setelah memperhatikannya selama beberapa saat, keduanya langsung mengembalikan pandangan mereka ke meja negosiasi.

". ."

Keduanya paham apa yang coba Gerulf lakukan.

Tempat terbuka di mana semua bisa melihat apa yang terjadi, jumlah pasukan yang lebih banyak, persenjataan yang lebih lengkap serta kepungan siap serang yang dibuat di sekitar tempat mereka melakukan negosiasi.

Orang tua itu ingin melakukan serangan psiokologis dengan memberikan tekanan pada Amelie.

Hal itu terlihat jelas dari formasi kepungan yang keduanya lihat di depan mereka. Meski barisan pasukan bersenjata yang mereka hadapi kelihatan menakutkan, tapi sebenarnya mereka diposisikan dalam tempat yang sulit. Dengan formasi yang sekarang, ketika Gerulf memerintahkan untuk menyerang hanya beberapa orang saja yang bisa benar-benar menyerang karena jika mereka bergerak asal mereka akan berakhir menyerang temannya sendiri.

Dengan kata lain, kemungkinan Gerulf hanya menggunakan mereka untuk menekan dan membatasi apa yang bisa Amelie katakan di depan umum. Senjata Amelie adalah argumennya, tapi agar argumennya bisa didengar seseorang harus tahu dulu siapa dia sebenarnya.

Dengan kata lain, dia harus menjaga imagenya. Tapi di sisi lain, jika dia harus menjaga imagenya maka dia perlu memilih-milih apa yang harus dikatakannya.

". . . ."

Haruki tersenyum.

Amelie sudah terbiasa di bawah tekanan, tekanan semacam ini sama sekali tidak akan mempengaruhinya. Selain itu, dengan membuat semua prajurit menatap Amelie, malah bisa dibilang kalau mereka sudah terbantu.

"Kita berdua sama-sama orang yang tidak suka basa-basi, jadi aku langsung ke topik utamanya!!! tuan putri Amelie! serahkan teritorimu padaku."

"Aku menolak!."

Sama seperti Gerulf yang dengan lantang dan tegas meminta teritori Amelie, gadis kecil itu juga dengan lantang dan lebih tegas menolak permintaan Gerulf.

"Sebab tuan Gerulf sudah mengatakan keinginannya, itu berarti sekarang adalah giliranku."

Dari awal Gerulf sama sekali tidak ingin memberikan Amelie kesempatan bicara. Dia bahkan tidak punya niat untuk bernegosiasi dan hanya ingin memastikan kemenangannya saja. Tapi karena dia sempat kaget dengan jawaban tanpa keraguan Amelie, dia jadi kehilangan momentumnya dan membiarkan Amelie mengambil alih kontrol pembicaraan.

Jika dia menolak permintaan Amelie sekarang maka dia akan dilihat sebagai pemimpin yang tidak bisa mendengar.

Sepertinya strateginya malah menyerangnya balik.

"Bicara."

"Terima kasih."

Amelie mengangguk dan mulai bicara.

"Sebenarnya aku sama sekali tidak punya masalah kalau tuan Gerulf ingin mengambil alih teritoriku, dengan begitu Ibuku bisa lebih banyak waktu luang. . tapi sayangnya aku tidak yakin kalau tuan Gerulf cukup kompeten untuk mengurusinya."

"Apa kau meremehkanku?."

"Maafkan kata-kata lancangku, tapi memang begitulah kenyataannya."

Efek dari hinaan Amelie langsung terlihat. Gerulf menatapnya dengan sangat tajam seakan ingin meremas kepala gadis kecil di depannya. Tapi dia tidak bilang apa-apa dan mencoba untuk menahan emosinya agar tidak meluap.

Dipandang tidak kompeten oleh seorang anak kecil yang umurnya bahkan tidak sampai setengah umurnya memang membuatnya marah. Selain umur, dia juga sudah punya jauh lebih banyak pengalaman, melakukan lebih banyak usaha, dan mendapatkan kegagalan yang tak terhitung jumlahnya. Kegagalan yang membuatnya bisa belajar banyak hal.

Yang paling membuatnya marah adalah kenyataan kalau gadis kecil itu baru saja menganggap kalau semua kerja kerasnya selama ini sama sekali tidak ada artinya.

Hanya saja. Semarah apapun dia, Gerulf tidak bisa membantah omongan Amelie.

"Tujuan utama tuan Gerulf ingin mengambil teritoriku adalah untuk mengatasi masalah ekonomimu kan? bagaimana bisa aku menyerahkan teritoriku pada orang yang bahkan tidak bisa mengurus dirinya sendiri?."

Amelie tahu kalau supply dari serikat memang sengaja dikurangi dan dana untuk militer juga sengaja dibatasi oleh kerajaan. Tapi hal itu sama sekali bukan alasan untuk Gerulf bisa membiarkan keadaan teritorinya jadi buruk. Urusan domestik adalah urusan domestik. Urusan militer adalah urusan militer.

Kau tidak bisa mencampuradukannya, dan kau tidak bisa menggunakan metode menejemen militer untuk mengatasi masalah domestik. Jika Amelie menurut dan menyerahkan teritorinya pada Gerulf, bukan tidak mungkin kalau nanti teritorinya juga akan mengalami nasib yang sama.

Jika Gerulf tidak berubah, sebanyak apapun teritori yang dimilikinya dia tidak akan pernah bisa membuat rakyatnya sejahtera. Malah sebaliknya, bisa jadi semakin banyak teritori yang dimilikinya semakin banyak orang yang akan menderita. Masalah bukannya selesai tapi malah hanya akan bertambah.

"Huff. . . . "

Begitu cecaran bertubi-tubi Amelie berhenti, Gerulf menarik nafas dan menutup matanya. Dia menyandarkan punggungnya ke kursi belakang untuk sesaat sebelum kembali duduk dengan tegak lagi.

"Lalu apa?."

Gerulf membuka mata dan mengeluarkan aura mengancam yang bahkan membuat Haruki dan Erwin merasa kalau mereka sedang ada dalam bahaya.

"Memangnya kenapa kalau semua yang kau katakan itu benar? kau mau bilang apa lagi kalau aku bilang aku sama sekali tidak peduli dengan semua itu!!!?...:

Amelie yang sudah selesai bicara hanya diam saja sebab merasa kalau gilirannya sudah habis dan sekarang tinggal Gerulf yang perlu bicara.

"Biar kujelaskan tujuan dari negosiasi ini yang sebenarnya padamu sebab sepertinya kau masih belum paham."

Ketika Amelie memaksakan sebuah negosiasi, Gerulf berpikir kalau menyetujuinya sama sekali bukan hal yang buruk. Kenapa? karena jika mereka bisa menyelesaikan konflik dengan hanya bicara saja maka dia bisa menghemat biaya yang diperlukannya untuk bisa menguasai teritori Amelie.

"Ketika aku menyetujui perminaan negosiasimu, aku sama sekali tidak tertarik mendengar pendapatmu, pandanganmu, atau pikiranmu! yang kuinginkan darimu hanyalah jawaban 'iya' pada semua hal yang kukatakan."

Jika dia mau dia bisa melumpuhkan teritori Amelie hanya dalam waktu kurang dari setengah hari. Meski mereka tidak bisa seenaknya melakukan serangan langsung, jika mereka punya alasan maka mereka bisa melakukan apa yang mereka mau.

Mereka bisa menggiring bandit ke sana, menyuruh tawanan perang untuk berpura-pura jadi bandit dengan menawarkan kebebasan. Dengan begitu mereka bahkan bisa membuat keterangan palsu yang mampu membuat Gerulf lolos dari hukuman karena telah menyerang teritori keluarga kerajaan.

Dia bisa membalik fakta dan bilang kalau dia adalah pahlawan dan Amelie itu adalah orang tidak kompeten.

Bagaimana bisa?

Dia punya banyak koneksi, ada banyak bangsawan kuat yang mau mendukunya. Dan lebih banyak lagi yang tidak puas dengan keluarga kerajaan. Jika dia meminta bantuan orang-orang itu untuk memojokan Amelie, akan ada banyak orang yang mau maju mendukungnya.

Di saat itu, meski Amelie melapor pada rajapun omongannya tidak akan didengarkan. Sebab daripada seorang gadis kecil yang nilainya hanya sebagai alat politik, raja akan lebih mementingkan bangsawan dan petinggi negaranya yang jelas lebih berguna. Pada akhirnya, semua orang akan jadi musuhnya, bahkan keluarganya sendiri.

"Kau itu lemah, kau tidak punya kesempatan menang, dan yang bisa kau lakukan hanyalah menyerah lalu menu. . . . ."

Amelie mengangkat tangan kanannya setinggi kepala seperti seorang murid yang ingin menjawab pertanyaan gurunya sambil menutup mata. Tindakan itu membuat Gerulf berhenti bicara dan semua orang memberikan perhatian ke arahnya.

Gerulf langsung memberikan tatapan marah, tapi begitu Amelie membuka matanya yang ditunjukan adalah tatapan tenang seakan dia tidak terpengaruh apapun yang sudah dia katakan sebelumnya.

"Tiga hari yang lalu. . aku sudah membeli tiga fasilitas utama serikat yang berada di kota sekitar teritorimu."

Gerulf memiringkan kepalanya karena tiba-tiba Amelie mengubah topik pembicaraan.

"Selain itu aku punya tiga persen saham di serikat, nilai saham terbesar ketiga setelah tuan Genno dan anaknya yang memiliki saham total sebesar lima belas persen."

Hasil negosiasinya denga Genno dan Barret berhasil memberikanny bagian dari saham serikat.

Bukan hanya itu, dia juga memiliki pengaruh besar di dalam aliansi. Kemudian koneksinya terhadap pebisnis dari luar negara juga luas.

"Kau tahu apa artinya tuan Gerulf?. . . . itu artinya? dengan satu kata saja aku bisa menghentikan semua aktifitas ekonomi dari luar teritorimu!. . ."

Perlahan Gerulf mulai paham ke mana arah pembicaraan yang Amelie tuju.

"Atau lebih ekstrimnya. . . jika aku mau aku bisa membuat semua orang di teritorimu kelaparan."

Untuk menambah efek dari kalimat ancaman pertamanya itu, Amelie mengatakannya sambil menjentikan jarinya.

"Tuan Gerulf bilang kalau aku ini lemah kan? sayang sekali kau salah! kekuatan yang kupunya hanya lain dari kekuatanmu!."

Dengan begitu, posisi mereka sudah sama tinggi dan Gerulf tidak lagi punya kuasa penuh atas jalannya negosiasi. Amelie tidak bisa lagi Gerulf remehkan dan sekarang hampir semua senjata politiknya tidak lagi ada gunanya.

Konfrontasi langsung bukanlah satu-satunya cara untuk bisa memenangkan peperangan. Manusia perlu makan, dan untuk mendapatkan makanan kau perlu melakukan kegiatan ekonomi.

Jadi bagaimana kalau kau bisa menghentikan kegiatan ekonomi musuh?

Hari ini, di tempat ini. Amelia baru saja menciptakan istilah baru di negaranya. Istilah bernama Economic Blockade.

8

"Jika setelah ini kau masih berpikir kalau kekerasan hanya satu-satunya cara untuk memecahkan masalah, maka aku akan membuktikan kalau kepercayaanmu itu salah dengan menghancurkanmu bahkan tanpa menggunakan kekerasan!."

Tujuh puluh persen lebih distribusi perniagaan di Amteric dikuasai oleh serikat, dengan kata lain mereka punya monopoli terhadap sebagian besar komoditas utama yang mengalir ke seluruh negara. Dan Amelie baru saja mengakuisi tiga cabang distribusi utama di tiga kota yang di sekitar teritori Gerulf.

Dengan begitu, jika bilang kalau dia tidak ingin menyuplai apapun ke teritori Gerulf maka semua distribusi komoditas ke daerah itu akan hampir berhenti total. Meski mereka masih mendapatkan supply langsung dari kerajaan dan juga bisa membeli ke luar daerah lain semua itu tidak akan mengubah situasi. Sebab tujuh puluh persen penduduk teritorinya tidak akan bisa membeli apapun.

Jika hal itu sampai terjadi maka pilihan orang-orang di sana hanya ada dua. Pergi dari sana atau mati kelaparan.

"Dunia itu keras, dan dunia tidak akan membuat kehidupan seseorang jadi lebih mudah hanya karena orang itu kuat."

Dengan kata lain, dengan hanya jadi kuat saja masih belum cukup.

"Kau bilang kau ingin bernegosiasi, tapi bukankah kau hanya ingin mengancamku?."

"Sebelumnya kau pernah bilang. . ."

Kalau kau tetap keras kepala dan ingin melawan, itu artinya kau ingin perang!.

"Bukankah itu juga ancaman? atau malah bisa dibilang selama negosiasi tuan Gerulf lakukan hanya mengancamku."

Teritori Amelie tidak memiliki pasukan militer khusus, yang dia miliki hanyalah pasukan sukarelawan yang mau bergerak hanya karena mereka punya hutang budi padanya. Jika Gerulf serius ingin mengajak berperang, maka kesempatan menangnya adalah nol dan tidak diragukan lagi dia akan kehilangan semuanya.

". . . . "

Mereka berdua sama-sama punya kartu as yang bisa digunakan untuk menghancurkan lawannya. Tapi kartu jika mereka menggunakannya pada akhirnya mereka juga akan mati sendiri. Oleh sebab itulah mereka hanya ingin menggunakannya untuk menggretak lawan, hanya saja sebab keduanya punya nyali yang sama-sama kuat keadaan berakhir menjadi sebuah stalemate.

Setelah beberapa saat tempat itu diselimuti kesunyian, akhirnya Amelie memutuskan berdiri dan angkat bicara dengan nada tanpa ketegangan.

"Aku sama sekali tidak punya hobi untuk membuat orang menderita! selain itu aku juga tidak ingin membuat rakyat yang tidak tahu apa-apa kena imbas dari konflik bodoh ini!, karena itulah dengarkan aku baik-baik!!!. . ."

Kau tidak bisa menuntut patriotisme dari orang yang kelaparan, karena itulah sebuah negara butuh ekonomi yang baik. Tapi, ekonomi yang baik saja tidak bisa membuat sebuah negara jadi tangguh, karena itulah mereka membutuhkan pasukan yang kuat. Lalu kekuatan tanpa peraturan itu hanyalah senjata makan tuan, oleh sebab itulah hukum diciptakan.

"Yang kuinginkan bukanlah konflik tapi kedamaian, yang kumau bukanlah permusuhan tapi kerjasama, dan yang kutuntut dari kalian bukanlah kesetiaan atas dasar paksaan melainkan pengakuan . . . "

"Pengakuan?. . ."

"Ya, pengakuan, pengakuan kalau aku tidak berada di atas atau di bawah kalian dan pengakuan kalau kita bisa membuang perbedaan kita dan berjalan bersama dan membangun masa depan yang lebih baik. . . ."

Amelie membuka sebuah gulungan kertas yang dibawanya dan memperlihatkannya pada Gerulf dan semua orang yang ada di tempat itu.

"Ini. . . . ."

"Aku datang ke sini bukan untuk membuat masalah, tapi menawarkan solusi."

Dokumen yang diperlihatkan Amelie pada semua orang adalah sebuah perjanjian damai dan penyatuan kedua teritori.

"Mulai dari hari di mana perjanjian di tandatangani oleh kedua belah pihak, kedua teritori akan dianggap sebagai satu kesatuan dan konflik atau tindakaan lain yang dapat menimbulkan kerugian untuk satu atau kedua belah pihak harus dihilangkan. Ketika konflik tidak bisa dihindari, maka penyelesainnya harus dilakukan secara damai oleh wakil dari pihak masing-masing. Setiap individu atau kelompok yang melanggar akan mendapatkan sangsi atau hukuman yang sesuai."

Dengan ini maka pengambilan teritori secara paksa tidak perlu lagi dilakukan dan agresi militer bisa dihentikan. Lalu dengan penyatuan teritori Amelie juga ingin membuat kedua belah pihak yang sempat punya hubungan tegang jadi memiliki rasa saling memiliki terhadap daerah lain serta rasa kesatuan sebab mereka berada di bawah satu bendera yang sama.

Selain itu dia juga tidak lupa menambahkan ancaman pada siapa saja yang mencoba membuat rencana utamanya jadi berantakan.

Penyatuan kedua teritori masih belum diakui secara resmi oleh kerajaan sehingga kedua daerah masih diregistrasikan oleh kedua orang yang berbeda. Tapi hal itu tidak terlalu penting sekarang, asal kedua pemimpin teritori tertinggi memberikan ijin maka peraturan baru akan bisa diaplikasikan.

"Kepemilikan dari teritori yang digabungkan jatuh pada kedua belah pihak, dengan begitu kedua pihak memiliki kekuasaan atas daerah yang sebelumnya bukan miliknya! hanya saja setiap keputusan yang diambil terhadap daerah lain harus terlebih dahulu dibicarakan oleh pihak yang bersangkutan! jika salah satu pihak menolak maka keputusan pihak lain akan dianggap tidak berlaku."

Gerulf akan punya kekuasaan atas daerah yang Amelie miliki, dan Amelie juga akan punya hak atas daerah yang Gerulf miliki. Tapi meski begitu mereka tidak bisa berbuat sesukannya di daerah lain. Poin ini dibuat untuk memastikan kalau tidak ada penyalahgunaan kekuasaan.

"Warga dari kedua teritori akan diberikan kebebasan untuk melakukan perjalanan, perdagangan dan kegiatan perniagaan lain, serta bertempat tinggal di antara kedua daerah tanpa adanya penalty atau beban tambahan."

Amelie butuh lebih banyak orang untuk mengurus bisnis agrikulturnya, sedangkan Gerulf perlu mengurangi beban domestiknya supaya fungsi dari pasukannya yang ada di perbatasan tidak terganggu.

"Kedua daerah harus bekerjasama dan membantu satu-sama lain."

Amelie bisa membantu Gerulf secara finansial, sedangkan Gerulf bisa membantu Amelie secara militer.

"Ada banyak poin lain pada lembar selanjutnya, tapi semua yang kusebutkan adalah poin utamanya. . . jadi bagaimana tuan Gerulf?. . ."

Amelie melihat ke arah Gerulf yang sedang duduk, lalu setelah beberapa saat Gerulfpun balik melihat ke arah Amelie. Langsung ke matanya. Pria tua itu melihat dengan tajam seakan mencoba mencoba mengukur seberapa besar keberanian Amelie. Tapi gadis kecil itu memutuskan untuk tetap memasang wajah tenang meski dia sebenarnya agak takut kalau semua usahanya akan gagal.

Beberapa saat kembali berlalu tanpa ada dialog tambahan dari keduanya. Dan begitu Amelie sudah tidak tahan lagi dengan suasana tegang di sekitarnya, akhirnya dia memutuskan untuk segera menutup presentasinya dan meminta keputusan dari Gerulf.

Dia mengulurkan tangan kanannya pada Gerulf.

". . . . ."

Perjanjian yang ditawarkan Amelie harusnya bisa menyelesaikan masalah semua orang tanpa membuat ada pihak yang rugi. Selain itu, mereka juga bisa membantu satu sama lain. Dilihat dari manapun perjanjian yang Amelie buat adalah bentuk nyata dari visi 'membangun masa depan yang lebih baik' yang gadis kecil itu katakan sebelumnya.

Harusnya Gerulf tidak punya alasan untuk menolak.

Dan Gerulfpun mengulurkan tangannya dengan pelan untuk menjabat tangan Amelie. Tapi sebelum dia berhasil melakukannya, Gerulf menghentikan tangannya.

". . . ."

Di saat itu Amelie berpikir kalau dia sudah gagal. Hanya saja. . . . . .

"Aku, Gerulf! Jendral militer keempat pasukan pertahanan Amteric menyatakan jika mulai hari ini akan memberikan kesetiaannya pada tuan putri Amelie!."

Gerulf malah melakukan gerakan penghormatan lalu berlutut di depan Amelie. Bukan hanya itu, setelah melihat pemimpinnya berlutut semua pasukan yang melihat hal itu juga ikut berlutut dan memberikan penghormatan pada Amelie.

"Eh? . . . . . . a-ada apa ini?."

Tidak menghiraukan keterkejutan Amelie, Gerulf malah tersenyum dengan lebar. Dan kali ini, senyumnya bukanlah sebuah senyum licik ataupun senyum merendahkan yang sering dia tunjukan pada musuh-musuh politknya. Tapi sebuah senyuman yang benar-benar datang dari dalam hatinya karena dia merasa senang.

"Tuan Gerulf?. . ."

"Maafkan aku tuan putri, aku hanya merasa sangat senang sampai lupa dengan situasi sekarang."

"Kalau begitu. . . .?."

"Aku ingin mengajukan perbaikan. . ."

"Perbaikan? apa ada yang. . "

"Aku ingin menyerahkan kekuasaan teritoriku pada tuan putri Amelie agar aku bisa fokus menjaga keamanan!."

"Ha?. . . ."

"Aku berpikir kalau teritori ini akan jadi lebih baik kalau tuan putri Amelie yang memegangnya secara langsung."

"Eh?. . ."

Amelie adalah ahli dalam membuat rencana. Dia punya skill untuk membuat rencana dengan teliti dan detail minim celah. Tapi kemampuannya membaca kepribadian orang lain sama sekali tidak bisa diandalkan. Selain itu, dia juga bukan tipe orang yang bisa berimprovisasi dengan cepat ketika rencananya tidak berjalan dengan lancar. Oleh sebab itulah dia tidak bisa bereaksi begitu musuh yang harus dia taklukan malah bertindak di luar perkiraanya.

"A. . . . . ."

Haruki yang sadar akan keadaan Amelie langsung membisikan sesuatu ke telinga Amelie.

"Tuan Gerulf. . . kita bisa membicarakan masalah hal-hal tambahan serta detail lainnya di hari yang lain, untuk sekarang aku hanya ingin memastikan kalau kau menyetujui perjanjian yang kubuat."

Amelie mencoret poin yang Gerulf bicarakan lalu memberikan tanggal untuk pertemuan mereka yang selanjutnya.

"Baiklah tuan putri."

Setelah itu Gerulf dan Amelie sama-sama menandatangani perjanjian antara teritori yang gadis kecil itu buat dan meresmikan bersatunya kedua daerah itu.

9

"Jendral Gerulf kenapa kau kelihatan bahagia sekali."

Setelah pertemuan kedua dengan Amelie selesai, Gerulf langsung kembali ke tempat kerjanya sebagai pemilik teritori yang juga berfungsi sebagai pusat komando militer. Tapi setelah sampai, pria yang sudah cukup berumur itu terlihat bertingkah aneh.

Sebagai seorang anggota militer yang sudah punya banyak pengalaman. Aura yang dia keluarkan biasanya adalah aura milik seorang petarung yang menekan. Selain itu umumnya dia hanya akan memasang wajah serius yang bahkan bisa membuat anak kecil menangis hanya dengan melihatnya.

Hanya saja kali ini dia terlihat seperti seseorang yang sedang manahan diri untuk tidak tertawa. Selain itu aura yang dia pancarkan kali inipun berbeda dari biasanya. Jika seseorang yang tidak kenal dengannya bertemu dengannya di jalan, mereka mungkin hanya akan mengira kalau dia adalah seorang kakek tua yang baru pulang dari rumah teman lamanya.

Oleh sebab itulah salah satu anak buahnya di kantor penasaran dengan penyebab dari perubahan itu.

"Tentu saja aku senang! hari ini baru saja bertemu dengan seseorang yang mungkin bisa merubah negara ini seratus delapan puluh derajat."

Sambil mengobrol dengan anak buahnya, Gerulf terus menulis sesuatu dengan serius.

"Merubah negara ini?."

"Ya. ."

Dalam pertemuan pertamanya dengan Amelie, dia sudah tahu kalau gadis kecil itu bukanlah seorang gadis biasa. Hanya saja dia masih menganggap Amelie hanya sebagai seorang gadis kecil yang kebetulan lebih pintar dari kebanyakan orang. Tidak lebih dari itu.

Tapi semua pendapatannya tentang gadis kecil itu salah besar. Hari ini dia menyadari kalau seseorang yang dia coba lawan adalah seorang gadis yang lahir untuk jadi raja.

"Tuan Gerulf? apa kau tidak puas dengan raja yang sekarang?."

"Kalau begitu aku akan balik tanya, apa kau puas dengan raja yang sekarang?."

Kali ini anak buahnya yang terpaksa harus diam karena tidak bisa menjawab. Jika dia mengatakan kalau dia sudah puas maka dia berbohong, tapi jika dia bilang tidak puas maka kesetiaannya akan dipertanyakan mengingat kehidupannya ditanggung oleh kerajaan.

"Maafkan aku tuan Gerulf."

"Tidak apa-apa, aku paham."

Di luar sana, ada banyak orang yang punya pikiran yang sama dengan mereka berdua. Mereka tidak puas dengan keadaan Amteric yang sekarang. Tentu saja yang namanya manusia tidak pernah ada puasnya dan selalu ingin lebih, tapi keadaan yang sekarang bukan karena hal itu melainkan karena tindakan yang diambil oleh raja yang sekarang.

Kalau raja yang sebelumnya terlalu agresif, sekarang yang terjadi malah sebaliknya. Keputusan yang diambil oleh raja sekarang terlalu konservatif. Membuat keadaan internal menjadi stagnan karena semua pihak merasa terlalu takut untuk bergerak dan mengambil resiko yang mungkin tidak sepadan dengan hasilnya.

Niatnya tentu saja baik. Dia ingin memulihkan keadaan internal dan mengembalikan kemandirian Amteric ke keadaan yang sebelumnya. Hanya saja jika dia mengalihfungsikan pasukan secara mendadak, musuh-musuh Amteric yang masih belum benar-benar hilang akan kembali bangkit lalu menyerang memanfaatkan pengurangan prajurit tempur di garis depan dan membuat keadaan jadi kacau lagi.

Poin yang ingin didapatkan oleh raja dari keputusan yang diambil sekarang adalah menjaga perbatasan, sedikit-demi sedikit mengurangi jumlah pasukan dan mengalihkannya ke sektor lain, lalu melakukan tindakan diplomasi sambil menunggu konversi selesai.

Sementara semua rencana itu sudah berjalan, tapi dalam kecepatan yang sangat lambat. Cukup lambat untuk membuat mungkin sampai sepuluh tahun lagi keadaan internal Amteric masih belum pulih sepenuhnya.

Membuat situasi Amteric dengan negara lain ada dalam sebuah stalemate. Dan keadaan stalemate itu membuat situasi internal di dalam Amteric menjadi stagnan. Lalu, yang namanya keadaan stagnan itu hanya akan membawa satu hasil yang sama sekali tidak ada yang menginginkannya. Semakin hari, keadaan negara Amteric akan semakin memburuk.

Jika seseorang tidak bisa jadi lebih baik dari hari sebelumnya, maka dia adalah orang yang rugi.

"Raja yang sekarang terlalu takut mengambil resiko, karena itulah dia mencoba mengulur waktu dan membiarkan keadaan stalamate yang terjadi sekarang."

Jika Amteric sedang ada dalam masa damai, pemerintahannya tidak akan menimbulkan masalah. Tapi dalam masa perang, kemampuannya tidak cukup. Kemungkinan besar dia masih belum siap untuk menjadi raja karena pengangkatannya yang terlalu buru-buru.

Raja sebelumnya sebenarnya masih sehat dan bisa melakukan tugasnya dengan baik mungkin sampai sepuluh atau dua puluh tahun lagi. Jadi sebenarnya, pengangkatan raja yang sekarang lebih didorong oleh alasan politik. Membuat orang yang bersangkutan tidak bisa memikirkan rencana jangka panjang dan fokus hanya untuk mengatasi keadaan yang ada di depan matanya.

"Aku merasa kalau dia ingin melempar tanggung jawabnya pada generasi selanjutnya dengan cepat."

Situasi stalemate ini tentu saja tidak akan bisa terus dijaga. Jika ada satu pihak saja yang bergerak tanpa memikirkan pihak lain, maka keseimbangan rapuh yang menjaga kedamaian sementara negara itu bisa runtuh kapan saja.

Sebelum ketidakpuasan rakyat memuncak dan masalah internal jadi semakin rumit, dia ingin mencari seseorang yang lebih cocok untuk memerintah negara darinya. Karena itulah dia membawa urusan pencalonan lebih cepat dari yang seharusnya.

"Sampai beberapa saat yang lalu aku tidak yakin dengan masa depan negara ini, meski penguasa utama negara ini diganti aku sama sekali tidak percaya kalau dia bisa mengubah situasi Amteric yang sekarang ke arah yang lebih baik."

Dia sudah bertemu dengan semua anak-anak raja yang akan menjadi calon penguasa selanjutnya. Dan dari empat kandidat terkuat yang ada, tidak ada satupun dari mereka yang cocok untuk menjadi raja.

Pangeran pertama hanyalah orang yang suka perang dan menganggap kalau kekuatan militer adalah segalanya. Dia berpikir kalau agar negaranya bisa mendapatkan kedamaain yang abadi yang dia harus lakukan hanyalah menaklukan semua orang dan mengalahkan semua musuhnya..

Putri mahkota yang ada punya sifat yang lebih lembut. Tapi kelembutannya itu malah lebih mendekati sebuah kenaifan. Punya idealisasi tentu saja penting, tapi idealisasinya kedengaran seperti mimpi yang tidak mungkin bisa dicapai sampai kapanpun.

Pangeran kedua sepertinya pikirannya sudah teracuni karena selalu berada di dekat orang-orang yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Akibat didikan orang itu sekarang dia menganggap kalau seseorang yang bukan bangsawan sama sekali tidak punya hak membantahnya sebab dia adalah orang terpilih yang ditakdirkan untuk jadi penguasa.

Kandidat keempat yang tidak punya masalah sikap maupun otak punya masalah dengan tubuhnya. Sampai sekarang dia bahkan masih jadi pangeran rumahan yang harus diperhatikan dengan seksama saat keluar ruangan karena kahawatir dia akan jatuh dan melukainya dirinya sendiri.

"Jadi, dibandingkan mereka semua tuan Gerulf merasa kalau tuan putri Amelie lebih cocok untuk naik tahta?."

"Ya!."

"Karena?. . . ."

Anak buahnya yang sekarang tidak ikut dalam ekspedisi dan juga negosiasi bagian kedua karena harus mengurus teritorinya. Oleh sebab itulah dia belum pernah bertemu langsung dengan Amelie dan sulit membayangkan karakter gadis kecil itu.

"Kalau kau bertemu dengannya aku yakin kalau kau akan langsung ingin berlutut di hadapannya."

"Itu. . . bukankah hanya karena penampilannya saja. . .?"

Teman-temannya yang lain bilang kalau tuan putri Amelie punya penampilan yang sangat cantik. Dan bagi pasukan tempur yang tugasnya berperang di baris depan, bertemu dengan seorang wanita itu adalah sesuatu yang sulit. Apalagi kalau wanita yang dimaksud adalah seorang gadis cantik dan manis yang masih kelihatan polos. Bagi mereka yang kehidupan sehari-harinya hanya ditemani keringat dan darah, kehadiran individu semacam itu akan sudah mampu mempengaruhi keadaan psikologis mereka.

"Tuan putri Amelie memang cantik, mungkin gadis paling cantik yang pernah kulihat sampai saat ini! kalau dia dia lahir sepuluh tahun lebih awal mungkin bahkan aku akan melamarnya tanpa pikir panjang! selain itu di masa depan jelas dia akan jadi lebih menarik lagi."

Bagi bangasawan dan keluarga kerajaan, aspek penampilan memang sangat penting.

"Tapi dia bisa membuat seseorang ingin berlutut di depannya bukan hanya karena hal itu, tapi karena kharismanya, seakan dia dilahirkan memang untuk jadi pemimpin."

Dan kharisma itu bukan hanya kharisma kosong. Pepatanh mengatakan kalau raja tidak perlu jadi yang terkuat, terpintar, atau yang paling bjiaksana. Selama dia punya cukup kharisma dia akan menarik orang-orang itu untuk mendekat ke sisinya.

Hanya saja Amelie punya lebih dari sekedar kharisma. Tentu saja dia tidak punya kemampuan bela diri sehebat prajurit perang, tapi selain bagian fisik dia punya kemampuan yang cukup untuk membuatnya bisa melakukan apa saja yang dia mau.

"Kecerdasannya mampu membuatnya melihat sebuah masalah secara objektif tanpa terbawa emosi."

Hal itu bisa dilihat dari tindakannya untuk tidak mengantagoniskan Gerulf secara berlebihan.

"Dia juga mampu berpikir jauh dan tidak terpaku hanya pada apa yang ada di depannya."

Saat pasukan Gerulf datang menyerang dia tidak hanya berpikir untuk mengehentikan mereka. Dia tidak memaksakan diri untuk melakukan apa yang tidak bisa dilakukan dan memutuskan untuk menyegel gerakan Gerulf dan menyerangannya di hari lain untuk mengalahkannya secara telak.

"Kharisma yang tadi kubicarakan juga dia bisa pakai dengan efektif, membuat bahkan orang yang bisa kabur tidak ingin kabur meninggalkannya."

Jika ada yang ingin kabur Amelie tidak bisa mencegah mereka, semua orang tahu kalau mereka ada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Tapi Amelie mampu membuat orang-orang itu tetap tinggal dan jadi tangan serta kakinya.

Dia mampu memberikan alasan pada orang-orang itu terus bertahan dan berjuang dengannya.

"Dan kesetiaan dari orang-orangnya itu dia bisa dapatkan dengan kebaikan yang dia miliki, hanya saja tidak seperti kebaikan yang ditunjukan oleh putri mahkota! kebaikan yang dia tunjukan bukanlah hasil dari kenaifannya dalam berpikir."

Jika putri mahkota menunjukan kebaikannya dengan memberikan makanan pada orang yang kelaparan, Amelie menunjukan kebaikannya dengan mencarikan orang itu pekerjaan sambil meminta imbalan agar kedua belah pihak punya bentuk 'hutang' yang jelas.

"Akan sangat sayang kalau gadis itu nanti hanya jadi pajangan, dan akan sangat sayang kalau negara ini kehilangan bakat hebatnya hanya karena posisinya."

"Surat itu?."

"Kalau seseorang harus jadi raja baru aku ingin dia yang diangka. . .! tidak! harus dia yang naik tahta! negara ini membutuhkannya."

Gerulf yakin kalau Amelie jadi ratu maka Amteric akan jadi negara yang lebih baik. Dan dengan surat yang baru saja dia selesai tulis. Dia ingin mengutarakan apa yang dia rasakan pada rekan-rekan terdekatnya yang punya pandangan sama dengannya.

Dan yang punya pikiran seperti itu bukan hanya Gerulf, tapi juga Genno yang jauh berada di tempat lain. Salah satu petinggi serikat itu jugapunya pikiran yang sama dengan Gerulf. Dia merasa kalau Amteric membutuhkan Amelie dan membuang bakat gadis kecil itu hanya karena dia lahir di belakang adalah hal bodoh.

Tanpa Amelie sadari, dia baru saja mendapatkan backing dari anggota serikat terbesar di Amteric dan pasukan militer terbesar ketiga di negaranya.

10

Negosiasi yang Amelie dan Haruki lakukan berjalan lancar, mereka berhasil mendapatkan support penuh dari serikat sehingga posisi mereka di dalam Amteric sudah relatif aman. Dan dengan backingan dari serikat yang bisa dibilang adalah jantungnya perekonomian Amteric, seperti yang semua orang duga Gerulfpun tidak lagi berani main-main dengan kekuasaannya.

Perjanjian final dan persiapan kerjasama kedua teritori sedang berlangsung. Dan sebab posisi keduanya sudah sama, ada peraturan atau ketentuan-ketentuan baru yang perlu ditulis dalam dokumen resmi yang dibuat kedua pemilik teritori. Amelie dan Gerulf.

Meski setengah bulan yang lalu keduanya sibuk saling mengancam dan mencari kelemahan masing-masing, tapi begitu perang urat saraf di antara kedua belah pihak selesai kedua belah pihak tidak lagi sibuk untuk mengatur skema di belakang layar. Sebab hasil dari negosiasi mereka bisa dibilang adalah akhir yang lebih baik dari pilihan pertama yang mereka miliki.

Dengan secara tidak resmi menyatukan teritori keduanya masalah dari masing-masing daerah bisa diatasi. Daerah Amelie yang kekurangan orang bisa menambah populasi dan pekerjanya. Daerah Gerulf yang keadaan domestiknya kacau bisa menumpang kemampuan ekonomi teritori Amelie.

Masalah lain seperti siapa mencoba membunuh Amelie atau persoalan apakah dia masih diincar nyawanya oleh seseorang tetap ada dan belum terselesaikan. Tapi dengan bantuan pasukan penjaga tambahan yang Garulf kirimkan, setidaknya gadis kecil itu bisa menikmati kehidupan damainya meski mungkin hanya sementara.

"Ahh. . . . ."

Kehidupannya memang sudah jadi lebih damai, tapi bukan berarti pekerjaannya jadi berkurang. Malah bisa dibilang, karena kedamaian itu sekarang pekerjaannya jadi bertambah sampai dua kali lipat. Alasan itulah yang membuatnya jadi ingin menghela nafas.

"Ini pertama kalinya aku melihat seorang tuan putri terkubur tumpukan kertas."

"Sama!."

Haruki yang baru masuk ke dalam ruang kerja Amelie mencoba memeriksa keadaan Amelie. Meski secara fisik dia kelihatan baik-baik saja tapi gadis kecil di depannya itu masih kelelahan secara mental. Amelie tidak memberikan counter argument adalah bukti yang paling jelas.

"Bagaimana kalau istirahat dulu?."

"Ada banyak masalah urgent yang harus cepat ditangani."

"Aku bisa menggantikanmu kalau hanya untuk satu atau dua jam."

Amelie melirik Haruki lalu melirik kembali dokumen-dokumen yang ada di tangannya.

"Kuterima bantuanmu!."

Amelie mengambil beberapa tumpuk dokumen lalu menyerahkannya pada pemuda di depannya. Hanya saja setelah itu dia terus melanjutkan pekerjaannya dan tidak mundur untuk beristirahat. Haruki yang paham dengan apa yang Amelie ingin lakukan langsung ikut menghela nafas.

"Aku tahu kalau kau mengejar efisiensi tapi apa kau yakin kau akan baik-baik saja? kalau kau sakit bukankah pekerjaanmu akan jadi lebih banyak nantinya?."

"Kalau begitu kau harus membantu lebih banyak."

"Sekarang aku agak menyesal menawarkan bantuan."

Haruki mengambil dokumen tadi dan langsung mempelajari isinya dengan teliti. Kemampuan menejemennya memang tidak setinggi Amelie, tapi dia pernah diberi julukan anak jenius bukan tanpa alasan. Ingatan, pemahaman, kalkulasi, dan kemampuannya mengadaptasi pikirannya untuk menemukan cara baru menyelesaikan masalah jauh di atas rata-rata.

"Format laporan-laporan ini berantakan."

Begitu dia melihat laporan pertama, Haruki langsung sekilas memeriksa laporan-laporan berikutnya untuk mencoba mengaturnya dalam urutan yang lebih mudah dicerna. Tapi dia langsung menemukan kalau dokumen-dokumen yang dilihatnya punya banyak jenis layout, ukuran, dan juga format penulisan.

"Sama sekali tidak ada standard, kadang aku juga berpikir kalau sebenarnya mereka sengaja melakukannya untuk menyiksaku."

Situasi dokumentasi teritorinya sama sekali belum berubah dari saat dia masih lima tahun.

"Kurasa ini akan lebih lama dari yang kukira!."

"Semangaaatt!!!!."

Haruki memutuskan untuk membantu sambil mengawasi Amelie kalau-kalau dia sudah kelihatan benar-benar tidak kuat lagi. Dengan begitu, mereka berdua terus mengerjakan pekerjaan rumah mereka sampai tengah malam.

Selama hampir lima jam.

"Uooooo. . . . .. . badanku pegal. . . ."

Seperti yang sudah Haruki duga, pekerjaannya benar-benar jadi tambah lama. Dan helaan nafas yang biasanya dia keluarkan sekarang bahkan sudah berubah jadi erangan keras. Tulang-tulangnya terasa pegal, dan otot-otonya terasa kaku, lalu matanya juga sudah mulai perih. Intinya dia merasa sudah benar-benar babak belur.

"Aku tidak menyangka melawan dokumen jauh lebih melelahkan daripada melawan prajurit musuh."

Haruki tidak mendengar jawaban yang biasanya dia akan dengar begitu dia memberikan keluhan. Yang bisa dia dengar hanyalah suara kertas yang saling bergesekan dan juga alat tulis yang membuat bunyi ketukan kecil di atas meja di depan Amelie.

Amelie sedang berkonestrasi untuk mengurusi masalah yang ada di depannya. Dan fokusnya bahkan sudah terlalu sempit sampai sepertinya dia sudah lupa waktu. Gadis itu memang biasa terbawa suasana kalau sudah mengerjakan sesuatu, dan normalnya Haruki akan membiarkannya saja sebab Amelie bukan tipe orang yang suka melakukan suatu hal secara setengah-setengah.

Hanya saja kali ini dia harus mengganggu konsentrasi gadis kecil itu. Sebab jika dia tidak melakukannya kemungkinan besar Amelie akan melanjutkan pekerjaannya bahkan mungkin sampai makan malam.

Dalam masalah kekuatan laki-laki memang lebih unggul dari wanita, tapi dalam masalah ketahanan wanita berada di atas laki-laki. Hal itulah yang membuat wanita bisa melakukan tugasnya sebagai Ibu.

Tapi meskipun begitu. Meskipun Amelie memang seorang perempuan, tapi dia lebih cocok dibilang anak kecil. Selain itu, gadis kecil itu juga sudah bekerja jauh lebih lama dari Haruki yang mulai membantu di pertengahan. Jadi jelas rasa capek yang dirasakan olehnya jauh lebih besar daripadanya.

Haruki berdiri dari kursinya lalu berjalan ke arah Amelie. Dia memutari meja kerja gadis kecil itu lalu dengan perlahan menuju ke belakang Amelie yang sedang serius bekerja. Dan kemudian Haruki menaruh kedua telapak tangannya di atas pundak Amelie dan menekan bagian pangkal lehernya.

"Aauunnnggghhhh. . . ."

"Eh?. . ."

Haruki yang kaget langsung menarik tangannya diikuti oleh Amelie yang memutar badannya dan menatap pemuda itu dengan pandangan marah dan malu di saat yang bersamaan dengan wajah merah.

"Ma-maaf. ."

Reaksi terkejut Amelie tentu saja tidak mengejutkan, sebab dari awal memang tujuannya adalah membuat Amelie terkejut supaya rasa ngantuk gadis kecil itu hilang. Yang dia tidak dia sangka adalah untuk suatu alasan begitu dia memberikan gerakan pijatan ke pangkal leher Amelie gadis kecil itu mengeluarkan lenguhan yang entah kenapa kedengaran sangat erotis.

"Amelie, kurasa sudah waktunya kau untuk istirahat."

Sebelum Amelie mampu bicara apapun, Haruki langsung menyambar dan mencoba mengalihkan perhatian gadis kecil itu dari perbuatannya sebelumnya.

"Um. . . kurasa kau benar juga."

Amelie yang tidak tahan dengan suasana canggung di antara mereka memutuskan untuk mengikuti saran Haruki. Dengan begitu, mereka berduapun keluar dari ruangan dan menuju beranda di mana mereka bisa melihat halaman luasnya yang beberapa minggu yang lalu mereka gunakan untuk mengumpulkan semua orang.

"Ah. . . benar-benar damai."

"Um. . "

Tapi untuk mendapatkan semua kedamaian ini mereka harus mengalami sangat banyak masalah dulu. Perjalanan melelahkan, kelaparan, bertempur, lalu berkali-kali hampir mati. Dan semua itu terjadi dalam kurun waktu satu setengah bulan, membuat keduanya merasa kalau sepertinya nyawa mereka sudah dipangkas sebanyak beberapa tahun.

"Sampai sekarang aku masih heran bagaimana kita bisa masih hidup."

Jika mereka tidak beruntung mereka bisa terkena meriam yang menembak kapal mereka, tenggelam, terbawa badai ke tengah laut, sakit, ditangkap musuh, dan juga dibunuh oleh para pembunuh bayaran. Bisa dibilang mereka berhasil selamat karena bisa kabur lewat kesempatan kecil yang bisa hilang kapan saja.

Amelie memasang wajah relax, setelah itu dia berjalan menuju bagian pinggir beranda dan berpegangan ke pembatas di depannya. Dia mengehla nafas panjang lalu memeriksa teritorinya dari ujung ke ujung sambil menempatkan sedikit berat tubuhnya pada pembatas beranda.

" . . . . . ."

Amelie tidak mengatakan apa-apa, tapi dari raut wajahnya seperti mengatakan kalau gadis kecil itu sedang merasa puas dengan hasil kerjanya.

"Semuanya belum berakhir Amelie."

"Um. . aku tahu."

Haruki mencoba mengingatkan kalau semuanya belum berakhir, dan Amelie tahu apa yang pemuda itu maksud. Tapi Amelie tetap tersenyum dan memasang wajah bahagia. Untuk saat ini dia sedang tidak ingin memikirkan masalah apa yang belum selesai atau hal merepotkan apa yang akan datang padanya. Yang dia inginkan saat ini hanyalah menenangkan diri dan menikmati kedamaian yang berhasil dia dapatkan dari usahanya.

"Kalau kau ingat ya sudah."

Pekerjaan yang harus Amelie tanggung jelas akan bertambah berat, kemudian sebab dia membuat koneksi dengan pejabat militer dan juga salah satu anggota dari serikat konglomerat yang hampir punya monopoli dalam bisnis domestik. Bisa dipastikan kalau ada bangsawan yang melihatnya sebagai ancaman. Dan yang terakhir, kemampuan ekonomi Amelie dan teritorinya akan menarik banyak pebisnis dari tempat lain untuk mendekat.

"Tapi jika ada tawaran pernikahan politik, tolong tolak dengan tegas!."

Amelie melihat wajah Haruki dengan serius seakan mencoba memeriksa maksud perkataan pemuda itu. Setelah memastikan kalau Haruki serius mengatakannya, Amelie mulai tersenyum dan tertawa dengan keras sampai air matanya keluar.

"Kenapa kau malah tertawa? aku memberikan saran yang serius!."

Amelie mengelap air matanya lalu mencoba menahan tawannya sebelum menjawan.

"Justru karena itu aku jadi tertawa, bukankah kau sendiri yang bilang kalau aku ini tidak menarik? maksudku memangnya siapa yang tertarik dengan anak kecil sepertiku?."

Amelie percaya kalau penampilannya tidak mengecewakan. Dia adalah anak dari Ibunya, Anneliese. Seorang wanita yang bahkan membuat seorang raja jatuh cinta padanya. Jadi bisa dipastikan kalau kecantikannya ada yang menurun padanya. Saat dewasa nanti dia percaya kalau setidaknya dia akan secantik Ibunya. Tapi untuk sekarang, dia hanyalah anak kecil yang sama sekali tidak punya daya tarik feminim.

Haruki punya pendapat kalau dia sama sekali tidak bisa memandang Amelie sebagai wanita, dan jika seseorang tidak bisa memandangnya sebagai seorang wanita maka kemungkinan ada laki-laki yang menginginkanya seperti seorang pria pada wanita bisa dibilang sangat kecil. Amelie tidak pernah mendengar Haruki punya selera aneh, jadi pendapatnya seharusnya bisa dia gunakan referensi umum.

"Jika kau kahwatir kalau aku akan dipaksa menikah untuk alasan politik, kau juga tidak perlu khawatir! aku yakin kalau tidak akan yang mau menikahku dengan buru-buru! jika ada yang maju kurasa mereka paling hanya akan meminta pertunanga. . . ."

"Aku bohong!!!. . ."

"Eh?. . . bohong apa?"

"Saat aku bilang kau tidak menarik aku bohong! aku hanya malu! sebenarnya aku berpikir kau benar-benar cantik dan manis."

Amelie langsung berhenti tertawa. Dia kembali memeriksa ekspresi wajah Haruki dan sekali lagi, dia menemukan kalau sepertinya Haruki berbicara serius. Begitu sadar kalau Haruki jujur memujinya, Amelie langsung memalingkan pandangannya untuk menyembunyikan rasa malunya.

"Um. . . terima kasih."

Saat kau sudah terlalu dekat dengan seseorang, ada beberapa kata yang akan jadi semakin sulit untuk dikatakan karena kata-kata itu sudah dianggap tidak perlu lagi dikatakan. Dan kalimat pujian adalah salah satu di antaranya. Memuji seseorang yang sangat dekat denganmu biasanya akan membuat kedua belah pihak merasa malu, jadi biasanya pujian yang normalnya orang lain berikan dengan mudah akan jadi sulit dikatakan pada orang yang bersangkutan.

Amelie paham. Dia juga berpikir kalau Erwin itu sebenarnya kelihatan tampan dan gagah, tapi dia tidak mengatakannya dan malah lebih fokus pada kekurangan pemuda itu. Hal yang sama juga dia lakukan pada Haruki, dia merasa kalau pemuda itu hebat tapi dia tidak pernah mengatakannya secara langsung sebab dia malu.

"Yang jelas kau tidak usah khawatir, orang yang bisa melamar seorang tuan putri bisa dihitung jumlahnya! dan aku yakin kalau ayahku akan menunggu sampai aku kelihatan sedikit lebih dewasa supaya bias mendapatkan hasil yang lebih efektif dalam politik."

"Apa kau yakin ingin melakukannya?."

"Pertanyaan macam apa itu?."

Keyakinannya tidak perlu dihitung, keinginannya tidak perlu dipikirkan, dan kebahagiannya sama sekali tidak penting. Semua itu tidak akan jadi bahan pertimbangan ayahnya. Jika ayahnya menyuruhnya menikah, maka dia tidak punya jawaban lain kecuali 'iya'. Dia sudah sadar sejak lama kalau dia dibiarkan hidup dengan tenang karena dia punya nilai sebagai alat politik.

"Aku sudah sering bilang padamu kan kalau keinginanku sangat sederhana, aku hanya ingin hidup ibuku bisa bahagia sampai umurnya habis nanti."

Dan untuk bisa merealisasikan keinginan itu dia rela membuang kebebasannya. Asalkan kehidupan Ibunya akan dijamin, dia sama sekali tidak keberatan meski keberadaannya hanya dianggap sebagai alat politik.

"Tentu saja aku tidak mau dinikahkan dengan orang kasar yang memperlakukanku seperti barang, tapi aku yakin ayahku tidak akan memberikanku pada orang dengan reputasi buruk."

Jika calonya setidaknya sebaik Barret, atau malah Barret sendiri sepertinya dia tidak akan punya masa depan yang buruk.

Sebab kalau sampai hal semacam tuan putri dari sebuah negara diperlakukan dengan buruk oleh seseorang, reputasi keluarga kerajaan juga akan turun. Mungkin ayahnya tidak akan memikrikan apa yang terbaik untuknya, tapi dia yakin dia akan memikirkan tentang apa yang terbaik untuk negaranya.

"Tapi kau tidak akan bisa menikah dengan orang yang kau cintai? dan kau akan menikah dengan orang yang kau tidak kenal sama sekali."

"Ahahah. . . kalau itu. . . sebenarnya aku tidak terlalu paham tentang hal semacam itu, selain itu semua orang awalnya kan memang tidak kenal satu sama lain."

Dengan kata lain, Amelie belum pernah merasakan apa artinya jatuh cinta pada seseorang. Dan dia percaya kalau tanpa sesuatu yang bernama 'cinta'pun hubungan seseorang tidak pasti akan jadi buruk. Banyak bangasawan yang menikah dengan orang yang mereka tidak kenal sebelumnya dan hubungannya tetap bisa harmonis. Ibunyapun sama, dia tidak membenci ayahnya, tapi kalau dia ditanya apakah dia mencintai sang raja atau tidak dia tidak bisa dengan yakin menjawab dengan 'iya'.

Selain itu, jika dua orang hidup bersama dalam waktu yang lama. Secara natural mereka akan menerima kehadiran masing-masing dan pada akhirnya mengerti satu sama lain. Sama seperti dua saudara yang selalu bertengkar tapi akan merindukan yang lain saat dipisahkan.

"Bodoh! sangat bodoh! rencana hidupmu benar-benar bodoh! cara pikirmu benar-benar bodoh! kau benar-benar bodooooh!!!."

"Ha-ruki?. . . ."

Amelie kaget begitu tiba-tiba Haruki berteriak menghinanya dengan penuh kemarahan. Tanpa memeriksa ekspresi pemuda itupun Amelie bisa merasakan kalau ada emosi yang meledak di setiap kata-katanya. Hal itu membuatnya agak sedikit takut, tapi Amelie memberanikan diri untuk kembali bicara.

"Kalau aku punya pilihan tentu saja aku tidak ingin melakukannya, tapi kau tahu sendiri kalau posisik. . ."

"Diaaaaaaamm!!!!!. . . . . kau belum berusaha cukup keras! kau bahkan belum mencoba!!! kau kira kau bisa menyerah begitu saja hanya karena kau punya alasan seperti 'tidak punya pilihan.' dasar orang malaaass!!! keputusanmu itu bodoh! dan keputusanmu juga tidak akan membuat siapapun bahagiaaaa! yang akan bahagia hanya orang-orang yang tidak ingin kau bahagiaaaa!!! kau kira ibumu akan bahagia melihatmu membuang kebahagiaanmu!? tidak! dia tidak akan bahagia!! dia malah akan menyalahkan dirinya sendiri karena merasa bersalah!!! kalau kau tidak menyukai sesuatu lawaaaan!! kalau kau tidak bias keadaan memaksamu! ubaaah!! kalau takdir memojokanmu!! lariii!!!!!.. . . . ."

Haruki baru berhenti begitu dia kehabisan nafasnya. Dan begitu pemuda itu beristirahat untuk mengambil nafas Amelie hanya bisa memandang Haruki dengan wajah bingung. Dia tidak tahu kenapa tiba-tiba Haruki jadi emosional meski padahal yang jadi bahan pembicaraan adalah masalah pribadinya, sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan Haruki.

"Amelie! kau masih ingat apa kemampuan khususku kan?."

Amelie mengangguk. Dan akhirnya dia mulai sadar kenapa Haruki marah padanya.

Haruki punya masalah yang mirip dengannya. Dia memiliki kekuatan untuk melihat kematian seseorang, dan dia memutuskan untuk berhenti berusaha melakukan apapun setelah ratusan kali mencoba melawan takdir dan terus kalah. Pemuda itu bahkan akhirnya sampai pada situasi di mana dia tahu kapan dia akan mati tanpa bisa melakukan apa-apa untuk mencegahnya.

Dia sempat memutuskan untuk menyerah dan mengikuti jalur takdirnya untuk mati. Sama seperti Amelie yang sekarang menyerah.

Hanya saja dia bangkit, dia memutuskan untuk kembali berusaha. Dia memutuskan untuk melawan takdir di mana Amelie harus mati. Dan dia berhasil melakukannya, dan di saat melakukannya dia bahkan ikut berhasil menghapus takdir kematiannya.

Melihat Amelie yang hanya menerima takdir dengan alasan kalau dia tidak punya pilihan mungkin membuatnya merasa kesal.

"Maaf. . "

Haruki akhirnya bisa menenangkan dirinya sendiri. Ameliepun akhirnya bisa lebih relax begitu melihat expresi wajah Haruki sudah kembalil normal.

"Aku paham kenapa kau marah . . tapi aku tidak sekua. . . ."

"Kaau hanya paham sepotong alasanku marah padamu!!! dengan kata lain kau pada dasarnya tidak paham!."

"Eh?."

"Kau tahu tidak kenapa aku sampai mempertaruhkan nyawaku dalam permainan bodoh dengan orang tolol itu?."

Amelie menggelengkan kepalanya. Dia juga ingin tahu alasan kenapa Haruki melakukan tindakan konyol seperti mempertaruhkan nyawanya dalam sebuah permainan yang sebenarnya tidak berguna. Saat itu mereka bisa menyelesaikan masalah dengan perwakilan serikat dengan hanya berbicara, tapi malah Haruki melemparkan provokasi dan menerima tantangan dari orang itu. Jika dia sampai kalah maka dia harus membunuh dirinya sendiri.

"Sudah kuduga. . . huufffffhhh. . ."

Haruki menarik nafas panjang lalu menatap Amelie dengan tajam.

"Aku tidak ingin kehilanganmu."

"Itu. . ."

Kalau hal itu Amelie juga memiliki perasaan yang sama. Dia juga akan marah kalau tiba-tiba ada orang yang datang dan bilang ingin mengambil Haruki dan membawanya entah kemana dan mungkin tidak akan bias bertemu lagi. Haruki sudah seperti saudara baginya, tentu saja dia tidak akan membiarkan siapapun berbuat seenaknya pada pemuda itu.

"Tapi tetap saja yang kau lakukan itu berlebi . . ."

"Aku akan mengubah kalimatku."

Haruki kembali menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan.

"Aku tidak ingin kau diambil oleh pria lain!."

Seketika itu kedua mata Amelie langsung membelalak lebar. Dia melihat mata Haruki dan sekali lagi menemukan kalau pemuda itu serius saat mengatakannya. Keseriusan itu membuatnya tidak tahu harus bereaksi seperti apa, dia ingin mengatakan sesuatu tapi pada akhirnya mulutnya hanya membuka dan menutup tanpa ada suara yang keluar dari dalamnya.

"Saat itu aku benar-benar takut kalau kau akan meninggalkanku! membaayangkanmu pergi bersamanya membuatku benar-benar ketakutan! memikirkan kau akan disentuh oleh pria lain membuatku benar-benar takut!! ketakutan itu bahkan melebihi ketakutan saat aku tahu kapan aku akan mati!!!."

Amelie ingin mencoba merasionalkan tindakan Haruki saat itu. Tapi begitu dia mendengar alasan Haruki berbuat bodoh, dia memutuskan menyerah untuk melakukannya. Tindakan pemuda itu tidak rasional, apa yang dialakukannya hanya dilandasi oleh emosi sesaat. Dan penyebab orang seperti Haruki sampai mau melakukannya adalah dirinya sendiri.

Atau lebih tepatnya, perasaan Haruki itu padanya.

"Haruki. . . kau. . ."

Amelie mungkin memang belum pernah merasakan yang namanya jatuh cinta. Tapi bukan berarti dia tidak tahu tentang hal itu. Dan dari semua yang Haruki katakan, kesimpulan yang dia dapat hanya ada satu.

"Sejak kapan?. . ."

Haruki mencintainya sebagai seorang lawan jenis?.

". . . . . "

Amelie tidak tahu alasannya, tapi begitu dia mengetahui kalau Haruki mencintainya sebagai seorang perempuan tiba-tiba ada air yang rasanya ingin keluar dari matanya. Dia tidak merasa sedih tapi kenapa dia ingin menangis?. Dan setelah beberapa saat menahannya, akhirnya beberapa tetes air mata mengalir ke pipinya.

"Aku tidak tahu kapan perasaan ini mulai tumbuh! tapi yang jelas tanpa kusadari perasaan ingin melindungimu, membuatmu bahagia, terus bersamamu, dan tidak ingin orang lain mengambilmu sudah ada!."

Perasaan itu mungkin sudah ada sejak mereka bertemu saat kecil dan bersama, mungkin juga ketika mereka harus dipaksa berpisah, mungkin saat Amelie datang padanya dan bilang gadis kecil itu ingin mengejarnya dan berguna baginya, atau mungkin saat dia mengetahui seberapa besar dedikasi yang Amelie berikan padanya. Atau, saat dia tidak tahu harus tenggelam dalam rasa berdosa dan dia mengulurkan tangannya.

"Maafkan aku karena baru mengatakannya sekarang! maafkan aku karena baru bisa dengan jelas mengatakan aku mencintamu sekarang! dan maafkan aku karena sudah mengejutkanmu!."

Meski tidak kelihatan di wajahnya, sebenarnya sekarang Haruki sedang ketakutan sekarang. Dia takut kalau Amelie akan takut padanya setelah mendengar semua pengakuan cintanya. Dia juga takut kalau dia akan membuatnya gadis kecil itu membencinya atau ingin menjauhinya. Tapi meski dia takut, dia memutuskan untuk tetap maju.

Jika dia tidak melakukannya sekarang dan melewatkan memontumnya sekarang, mungkin dia tidak akan punya kesempatan lain. Mungkin dia tidak akan lagi berani mengutarakan perasaanya. Dan mungkin saja keadaan tidak akan mengijinkannya.

Oleh karena itulah, meski harus sedikit memaksa dia akan terus maju.

"Waktuku sudah tidak banyak lagi, cepat atau lambat berita tentang aku yang kabur dari tugas akan sampai di sentral! karena itulah aku haru segera pergi! dan karena itulah aku ingin segera memastikan perasaanmu padaku."

Bagaimana kalau hubungan mereka akan jadi jauh begitu keduanya mengetahui perasaan satu sama lain? apa resiko itu perlu diambil hanya untuk mendapatkan jawaban buru-buru semacam ini?.

Di dalam pikirannya ada sangat banyak keraguan dan juga kemungkinan buruk yang kesemuanya itu bisa jadi nyata. Tapi dia sudah memutuskan untuk serius, tidak lagi lari, dan menerima apapun yang akan terjadi selanjutnya. Meski dia harus mereset kembali hubungan mereka, dia akan tetap mengatakannya. Dia akan tetap mengatakan keinginannya pada gadis yang dicintainya itu.

"Aku tidak ingin lagi ada laki-laki yang mendekatimu dengan maksud memilikimu."

Tapi dia tidak mungkin bisa terus bersama Amelie untuk menjaganya sebab dia harus kembali ke negaranya sendiri. Dia bisa meminta bantuan Erwin, tapi meski dengan bantuannyapun tidak ada jaminan kalau Amelie akan terhindar dari pria yang mengininkannya.

"Karena itulah aku ingin menunjukan kalau kau sudah ada yang memiliki. . ."

Tentu saja jika Amelie punya perasaan yang sama padanya.

Haruki mengeluarkan sebuah cincin emas yang secara rahasia dia beli seminggu yang lalu dari sakunya meletakannya di telapak tanganya dan menunjukannya pada Amelie. Keduanya diam untuk sesaat, tapi kemudian akhirnya Amelie mampu kembali berbicara.

"Haruki, apa maksud dari dari cincin ini sama dengan apa yang aku pikirkan?."

Mereka sudah sangat jauh berjalan, dan Amelie tentu saja tidak bisa mundur dengan menggunakan alsan setengah-setengah. Oleh karena itulah dia memastikan kalau tidak ada kesalahpahaman di antara mereka.

"Ya!."

Haruki mengangguk.

"Aku ingin menikah denga. . . Menikahlah denganku!!."

Tangan kanan pemuda di depannya mengepal dan mengunci erat cincin yang tadi dia tunjukan dan tangan kirinya dia ulurkan pada Amelie dengan harapan agar gadis kecil itu menyambutnya.

Tapi tentu saja Amelie tidak begitu saja langsung memberikan keputusan.

Dia perlu berpikir. Keputusan yang harus diambilnya sekarang adalah hal besar yang akan mempengaruhi hidup dan masa depannya.

Amelie bisa bilang kalau dia perlu waktu untuk berpikir dan menunda jawabannya. Tapi dia yakin kalau dia menundanya sekarang, dia akan punya alasan untuk menundanya nanti, dan nanti, dan nantinya lagi. Selain itu Haruki akan segera pulang dan jaminan kalau mereka akan bisa bertemu lagi sama sekali tidak ada. Sekarang keadaan di negaranya sudah relatif stabil, tapi konflik masih bisa pecah kapan saja. Jika dia membuang kesempatan ini, mungkin dia tidak akan pernah punya kesempatan lain lagi.

Bukan tidak mungkin kalau dia harus menunggu sampai bertahun-tahun lagi untuk bisa bertemu dengan pemuda di depannya setelah ini. Agau bahkan mereka tidak akan bisa bertemu lagi.

"Haruki. . . kau . . seri-us kan?."

"Tentu saja! apa kau tidak lihat tanganku bergetar seperti ini ?."

Untuk Haruki keputusan untuk menyatakan perasaannya juga adalah sebuah keputusan besar. Amelie sama sekali tidak ingin menyia-nyiakan keberanian yang pemuda itu kumpulkan.

Dia berpikir.

Aku juga harus berani.

Sekarang pikirkan! apakah kau menyukai Haruki?.

Ya! tidak ada jawaban lain kecuali iya. Dia tidak perlu menjabarkan alasan kenapa dia menyukai pemuda itu, yang jelas dia menyukai Haruki. Jika dia ditanya apakah dia menyukai Erwin, jawabannya juga adalah iya. Lalu apa bedanya rasa sukanya pada kedua orang itu?.

Dia menanggap kedua orang itu sangat berharga, dia menganggap keduanya sudah seperti saudaranya sendiri, dan tentu saja dia tidak ingin kehilangan salah satu dari mereka.

Tapi apa perasaan seperti itu saja sudah cukup? apa dia bisa membuat Haruki bahagia dengan hanya memiliki perasaan semacam itu?.

" . . . . . "

Tunggu dulu!! kenapa aku malah memikirkan kebahagiaannya dulu sebelum kebahagiaanku? lagipula kenapa aku bahkan ingin dia bahagia? apa karena aku menganggapnya sebagai saudara?.

Apakah aku benar-benar menganggapnya hanya sebagai saudara?.

Amelie memisahkan diri dari pembatas dan berjalan mendekati Haruki. Setelah itu dia memperhatikan wajah Haruki sekali lagi. Dan dia menemukan kalau pemuda itu sedang memasang ekspresi grogi yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Dalam situasi normal Amelie akan menggoda Haruki karena ekspresinya yang sama sekali tidak sesuai karakternya itu.

Tanpa sadar Amelie tersenyum.

"Huff. . . ."

Haruki pernah bilang kalau dia bertemu jalan buntu maka cobalah untuk mengubah sudut pandang dari mana dia melihat sebuah masalah.

Pertanyaan tentang 'apakah aku bisa menikah dengan Haruki' sama sekali tidak menghasilkan jawaban. Jadi bagaimana kalau pertanyaannya dirubah menjadi 'jika aku ingin menikah, siapa orang yang kuinginkan sebagai suami?'.

Dengan begitu, Amelie mencoba membayangkan dia mengenakan gaun pengantin, hamil memiliki anak, merawat mereka, jadi tua, menggendong cucunya, dan ngobrol tentang sesuatu yang tidak berguna di teras rumahnya.

"Uu. . . . ."

Amelie tiba-tiba merasa malu, dan begitu dia merasa kalau wajahnya jadi panas dia langsung menggunakan kedua telapak tangannya untuk menutupi pipinya. Setelah beberapa saat, dia kembali melihat ke arah Haruki.

"Aku tidak tahu apakah aku mencintaimu atau tidak. . ."

Amelie menurunkan tangan kirinya dan meletakannya di atas telapak tangan Haruki.

"Tapi kalau aku ingin menikah rasanya aku ingin kalau kau yang jadi partnerku."

Ya. Ketika dia membayangkan siapa yang ingin dia ajak menikah entah kenapa yang muncul hanya wajah Haruki. Wajah Erwin bahkan tidak muncul sekejapun di dalam bayangannya. Tentu saja ada kemungkinan kalau hal itu hanya karena Amelie punya sedikit kenalan, dan Erwin benar-benar terasa seperti kakaknya sehingga pilihannya hanya Haruki.

Tapi meski begitu. . .

"Aku tidak tahu kenapa tapi aku merasa kalau aku menikah denganmu, aku yakin aku bisa merasa bahagia dan bisa hidup denganmu entah kenapa juga terdengar akan menyenangkan."

Untuk semua point itu, Amelie yakin seratus persen.

"Kalau begitu."

"Um."

Amelie mengangguk.

Haruki meletakan kepalan tangannya di dadanya dan menekannya dengan agak keras. Dia merasa kalau dia tidak melakukannya perasaan bahagiannya akan meluap dan keluar dari dadanya.

Keduanya jadi benar-benar grogi dan tegang. Tapi meski begitu tidak ada yang membuang tatapannya dari satu sama lain. Lalu setelah merasa kalau kebearniannya sudah kembali terkumpul. Akhirnya Haruki memegang tangan kiri Amelie dengan lembut dari bawah, dia membuka tangan kananya yang berisi cincin, lalu dengan perlahan dan hati-hati memasukan cincin emas yang dipegangnya pada jari manis tangan kiri Amelie.

Haruki melepaskan tangan Amelie dan gadis itu memperhatikan cincin yang ada di jarinya dengan seksama. Setelah beberapa saat berlalu dia menggengam telapak tangan kirinya dengan erat dan membawanya ke atas dadanya dan berkata . . ..

"Terima kasih Haruki! aku menjaganya dengan baik seumur hidupku!."

Sambil memberikan senyum termanis yang pernah dia buat, senyum manis dan cerah yang tidak akan pernah Haruki lupakan selama hidupnya.

11

Amelie akhirnya memutuskan untuk berisitrahat dari pekerjaannya. Setelah mandi rencananya dia ingin langsung tidur. Tapi tanpa diduga Anneliese menghadangnya dan mengajaknya untuk tidur bersamanya.

Kemudian, ketika mereka sudah bersiap untuk tidur dan duduk di tepi ranjang ukuran besar milik ibunya itu. Anneliese bertanya. . .

"Jadi, kapan aku akan punya cucu?."

"Eh?. . .cu-cucu?."

"Bukankah kau akan menikah dengan Haruki? jadi. . . kapan aku akan punya cucu?."

"Eeeeeeeeee. . . . . . . ba-bagaimana mama bisa tahu?."

"Itu. . "

Anneliese melirik cincin di jari manis Amelie, dan gadis kecil itu langsung menutupinya dengan tangannya sambil memasang wajah malu yang merah.

"Lalu dari mana mama tahu kalau Haruki yang memberikannya?."

"Aku ingin bilang kalau mamamu melakukan eliminasi dan mengetahuinya karena dia ini pintar. . ."

Erwin menyukai Amelie dan dia juga mencintai gadis kecil, tapi pemuda itu hanya menganggap Amelie sebagai adik perempuannya. Jadi Erwin out. Amelie juga tidak akan menerima lamaran dari orang yang baru dikenalnya di kota. Selain itu kebanyakan laki-laki di teritorinya sudah berkeluarga dan mengganggap kalau Amelie adalah anak mereka sendiri. Sisanya, hanya anak-anak seumuran Amelie yang tidak mungkin punya uang untuk membeli cincin emas untuk putrinya.

Jadi pilihannya tinggal satu.

". . . . .Tapi sebenarnya banyak orang yang melihat Haruki melamarmu di beranda. . dan aku mendengar gosip dari pelayan."

"Aaaaaaaa. . . . . . . "

Amelie langsung melompat ke kasur ibunya, mengambil bantal dan menempelkannya di wajahnya lalu berguling-guling sambil meneriakan sesuatu yang tidak jelas.

Setelah dipikir-pikir Haruki melamarnya di tempat yang mudah dilihat oleh orang banyak. Tapi sebab saat itu dia tidak melihat ada banyak orang dia berpikir kalau semuanya baik-baik saja. Hanya saja, sebenarnya ada orang-orang yang melihat Haruki dan Amelie sedang berbicara serius dari dekat memutuskan untuk menyembunyikan diri karena takut mengganggu.

Dan orang-orang itu melihat semuanya.

Lalu tentu saja orang-orang itu memberitahukan apa yang mereka lihat pada banyak orang lain.

"Ugghh. . . . . . . aku ingin mati saja."

Anneliese menyusul Amelie lalu menangkap tubuh anaknya itu, memaksanya untuk berhenti bergerak lalu memeluknya dan menariknya ke bagian atas kasur yang berisi bantal. Setelah itu, dengan wajah penasarannya seorang gadis kecil, Anneliese bertanya.

"Jadi bagaimana dia melamarmu?."

Amelie mulai bercerita tentang kejadian sore tadi dengan Haruki. Tapi tentu saja dia tidak semuanya Amelie ceritakan pada Ibunya itu. Bagian di mana keduanya bingung harus melakukan apa lagi setelah keduanya resmi dalam sebuah hubungan. Bagian di mana Haruki meminta ijin untuk menciumnya, bagaimana Amelie mengiyakan permintaan pertama Haruki itu dengan sangat grogi, dan bagaimana kedua gagal karena terlalu tegang dan akhirnya memisahkan diri karena terlalu malu.

Dan yang terakhir, hal tentang Haruki yang memberikan cincin lain padanya. Sebuah cincin unik yang hanya dia bisa tunjukan di saat-saat tertentu pada orang-orang tertentu. Cincin keanggotaan pasukan cadangan Yamato.

"Jadi bagaimana?."

"Apanya?."

"Kapan aku akan dapat cucu?."

"Kita masih membicarakan topik ituuuuuu?."

Jika Amelie sedang meminum sesuatu dia yakin kalau dia akan menyemburkan isi mulutnya keluar.

"Kenapa mama sudah membicarakan anak? kami bahkan belum menikah?."

"Tapi bukankah kalian ingin menikah?."

"Iya, tapi bukan sekarang atau besok."

Ataupun tahun depan, atau tahun depannya lagi.

"Kami memutuskan kalau pernikahan kami harus menunggu."

Keduanya sadar kalau tidak mungkin mereka bisa langsung menikah. Meski keinginan Haruki untuk menikahi Amelie sama sekali bukan hal yang aneh di dunia ini. Tapi Haruki sendiri melamar gadis kecil itu hanya karena ingin mengamankan posisinya, dia tidak ingin keduluan orang lain yang pasti akan menginginkan gadis itu sebab ketika dia lebih dewasa. Dia pasti akan jadi jauh lebih menarik lagi dan mengundang banyak serangga yang mengganggu.

Selain itu Haruki juga tidak ingin mengganggu pertumbuhan Amelie, dia ingin gadis itu terus mengasah skill, mengumpulkan pengetahuan, dan juga terus melakukan hal-hal hebat lainnya di masa depan. Haruki ingin memberikan kebebasan sebesar mungkin padanya dengan tidak memberikan tanggung jawab dan rasa obligasi yang belum perlu dipikirkan olehnya.

Hanya saja. Alasan utamanya adalah…

"Amteric dan Yamato, meski di atas kertas tergabung dalam satu aliansi sebenarnya di balik layar masih ada banyak perang proxy."

Karena keadaan politik dan militer antara negara-negara pasukan aliansi masih tidak stabil, tidak mungkin Amelie akan diijinkan untuk menikah dengan Haruki oleh siapapun kecuali Ibunya sendiri. Bisa jadi malah jika mereka memaksakan diri, keadaan yang sudah rumit jadi semakin carut-marut.

"Jadi sampai kapan kalian akan menunggu?."

Amelie menggelengkan kepalanya.

"Tidak! kami tidak akan hanya menunggu!."

Jika dunia tidak mau mengijinkan mereka untuk bersama, mereka tidak punya pilihan lain kecuali mengubah dunia itu sendiri.

Anneliese tersenyum dan mengelus rambut anak gadisnya. Dia merasa senang karena gadis kecilnya sudah jadi lebih dewasa, tapi di saat yang sama dia juga merasa agak sedih untuk alasan yang sama. Saat Amelie bilang kalau dia masih belum akan menikah, sejujurnya dia merasa sangat lega. Dia merasa masih belum siap untuk berpisah dan melepaskan Amelie pada orang lain dan jadi kesepian untuk kedua kalinya.

"Be-berhubung kita sudah ada di topik ini. . aku ingin menanyakan sesuatu pada mama."

"Kau ingin tanya apa?."

"Ba-bagaimana jadi istri yang baik?."

"Umm. . . . bagaimana ya? . . . ."

Anneliese juga agak bingung menjawabnya. Sebab meski dia sudah punya suami, orangnya sendiri jarang bersamanya, selain itu sebab dia adalah raja Anneliesepun tidak perlu melayani dan mengurusinya seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Jadi dia juga akan tidak yakin kalau pengelamannya berguna bagi Amelie.

Masalah etika dan sebagainya Amelie sudah tahu, dan masalah politik atau yang sejenisnya anaknya malah jauh lebih paham. Jadi apa yang bisa dia ajarkan pada anaknya?. Entah kenapa tiba-tiba jadi merasa tidak berguna.

"Tunggu dulu. . . . kau sudah datang bulan atau belum?."

"Hah?."

"Jawab saja."

"Belum, tapi kurasa sebelum akhir tahun aku akan mendapatkan datang bulan pertamaku."

"Ok, berarti masih aman."

"Apanya yang aman?."

"Kalian harus praktek dulu suapaya nanti tidak grogii!! dan aku juga akan mengajarkanmu teknik-tekni. . ."

"Kenapa topiknya jadi kesituuuuuu!!!!!!!?????."

"Urusan ranjang itu sangat penting! mulai sekarang kau juga harus banyak latihan fisik."

"Aku tidak butuh nasehat semacam ituuuu!!!!!!."

Setelah puas menggoda putrinya, akhirnya keduanya tidur. Dan begitu pagi datang, Erwin, Amelie, Anneliese, dan beberapa pelayan lain berkumpul di depan gerbang rumahnya untuk mengantar keberangkatan Haruki yang harus kembali ke Yamato.

"Jadi, aku pamit dulu Erwin!."

"Entah kenapa hari ini melihat wajahmu membuatku jadi sebal."

"Jangan khawatir! aku yakin kau akan segera menyusul!!."

"Jangan bertingkah sombong di depanku!!!!!!!."

Hampir semua pelayan membicarakan topik tentang lamaran Haruki pada Amelie, jadi tidak mungkin Erwin tidak tahu tentang hal itu. Dan karena hal itu, dia jadi merasa kalau dia sudah ketinggalan satu langkah dari Haruki.

Erwin mengepalkan tangannya lalu meninju dada Haruki.

"Jangan mati di tempat tidak jelas dan pastikan kau kembali lagi ke sini!."

"Aku berjanji!."

Haruki balas meninju dada Erwin dengan pelan.

"Amelie."

Setelah Erwin, tinggal Amelie yang harus diajak bicara. Sejak lamarannya, Haruki agak merasa canggung berbicara dengan Amelie. Tapi hari ini, dia tidak bisa membiarkan hal yang sama terjadi lagi. Dia harus menyatakan keinginannya dengan jelas. Dan Amelie juga kelihatan jelas punya keinginan yang sama.

"Haruki! aku akan jadi orang hebat! cukup hebat sampai raja tidak ingin memberikanku pada orang lain! sangat hebat sampai negara ini menganggapku sebagai harta karun yang tidak boleh diambil siapapun!."

Jika dia dinilai punya nilai, nilai yang cukup besar sampai nilai politiknya sama sekali tidak ada gunanya lagi. Bisa dipastikan kalau raja tidak akan mau melepaskannya pada siapapun. Dengan begitu, meski sedikit dia akan bisa mendapatkan kebebasan dan diberikan kuasa untuk menentukan pilihannya sendiri.

Hanya saja,

"Dan aku akan jadi kuat! jauh lebih kuat! cukup kuat untuk mampu merebut harta karun negara ini untukku sendiri!."

Dengan kata lain, dia ingin jadi cukup kuat bahkan untuk membuat seorang raja dari sebuah negara tidak berani menolak permintaanya.

"Ugh. . . jangan mengatakan hal memalukan seperti itu di depan umum . ."

Dan kekuatan itu dia inginkan hanya agar ayah dari gadis di depannya mau memberikan anaknya pada dirinya.

"Maaf. . ."

Haruki yang sudah kehilangan arah kembali mendapatkan sebuah tujuan hidupnya. Dan Amelie yang sudah menyerah pada takdir lalu membuang masa depannya juga sudah memutuskan untuk melawan dan maju.

"Kita akan menguasai dunia!!!."

"Kita akan menguasai dunia!!!."

Keduanya mengepalkan tangannya masing-masing lalu meninjukannya secara bersamaan sambil tersenyum dengan lebar.

Sama sekali tidak romantis.

Mereka harus melakukannya, mereka bisa melaukannya, dan mereka akan melakukannya.

"Tunggu dulu!! tunggu dulu!!! apa-apaan janji kalian itu? apa kalian tidak bisa membuat janji yang lebih damai?."

Ketika Haruki ingin berjalan, tiba-tiba dia ingat ingat sesuatu gara-gara teriakan Erwin.

"Aku lupa sesuatu Amelie. . "

"Lupa apa?."

"Ciuman kemenangan!."

"Ke-kenapa kau memintanya sekaraaaaaang?."

Sebenarnya setelah ciuman pertama mereka gagal Haruki selalu menyesalinya. Saking besar penyesalannya dia bahkan sempat susah tidur karena hal itu.

"Apa kau tidak mau?. . "

"Bukan itu. . ."

Sekarang mereka sedang jadi bahan perhatian banyak orang. Dan baginya yang sudah kesulitan melakukannya ketika mereka hanya berdua saja tantangannya terlalu besar. Rasa malu yang didapatkannya sudah naik berkali-kali lipat dari percobaan sebelumnya.

". . . . ."

Merasa Haruki tidak memberikan reaksi, Amelie mencoba memeriksa ekpsresi pemuda itu. Dan begitu dia melihat wajah pemuda itu, dia paham kalau sama sepertinya Haruki juga merasa malu bukan main. Tapi memaksakan diri untuk memberanikan diri meminta hal itu.

"Baiklah. . . cepat menunduk!!."

Merasa tidak mau kalah dengan Haruki yang sudah berani, Amelie meminta Haruki untuk menunduk seperti yang sudah pernah dia lakukan dulu.

"Chu. . ."

Tapi tidak seperti dulu bibir mungil tipisnya tidak mendarat di kening atau pipi Haruki, melainkan bibir pemuda itu selama beberapa saat.

"Apa sudah cukup?."

"Sama sekali belum! tapi aku akan meminta sisanya nanti."

Ketika bibir mungil pink Amelie menyentuh bibirnya, di ingin sekali memegang kedua pipi gadis kecil di depannya supaya dia bisa merasakan lebih lama seberapa lembut bibir tipis tunangannya itu, menjelajahi mulut kecilnya lalu menghisap lidah merahnya yang kelihatan lezat dan tidak kalah mungilnya.

Hanya saja, dia memaksa kekuatan mentalnya utnuk menghentikan insting buasnya itu.

Haruki merasa kalau dia sudah berubah jadi kriminal, tapi dia tidak lagi ingin menyembunyikan perasaannya. Karena itulah dia bicara jujur.

"Sekali lagi! aku akan mengejarmu!."

Dia tidak akan menunggu, mereka tidak akan menunggu dan mereka tidak akan pasrah.

"Aku akan terus maju!!."

Haruki memberikan janji yang dulu pernah dia berikan pada Amelie saat dia masih kecil. Dan Amelie juga memberikan janji yang sama sambil memberikan senyuman yang sama cerahnya seperti dulu.

Dengan begitu, prolog dari event bersejarah yang disebut dengan 'revolusi lima' tahunpun berakhir. Sebuah event yang secara literal benar-benar mengubah dunia. Sebuah event yang digerakan oleh dua orang yang dijuluki sebagai pemilik pikiran paling cemerlang di eranya dan membuat dunia lima tahun sebelumnya seperti dunia seratus tahun yang lalu.

Dan juga sebuah event yang selalu menjadi contoh nyata dari kalimat 'cinta bisa menaklukan apapun' termasuk dunia. Sebab alasan mereka berani menantang dunia dan menaklukannya hanyalah sebuah keinginan kecil yang harusnya remeh.

Keinginan seorang pemuda untuk membuat putri kecil yang sangat dia cintai bahagia. Dan keinginan seorang gadis kecil untuk membuat teman masa kecilnya hidup di tempat terbaik yang pernah ada.