1
"Apa yang harus kita lakukan Eric?."
"Aku tidak tahu."
Dengan pinjaman kereta kuda dari keluarga Eric, Amelie dan pemuda itu berhasil sampai di kastil kerajaan dengan tepat waktu tanpa harus mempermalukan diri mereka. Tapi begitu sampai, keduanya tidak langsung masuk dan hanya berdiri dengan wajah yang agak kaku di depan gerbang.
"Kita harus ke mana?."
"Um. . aku juga tidak tahu."
"Kau bisa lebih berguna tidak?"
"Sudah kubilang aku tid. . woi!!!"
Hal itu disebabkan karena keduanya tidak tahu harus ke mana lagi setelah sampai di istana. Area komplek istana sama sekali tidak bisa dibilang kecil, dan dengan jumlah penghuninya yang hampir mencapai angka tiga digit tempat itu bahkan sudah bisa disamakan dengan sebuah kota mini. Yang layoutnya cukup membingungkan sampai kau bisa juga bisa menyebutnya sebagai labirin.
Dan hal itu adalah sebuah masalah besar bagi keduanya.
Amelie yang meski statusnya adalah tuan putri tidak pernah sekalipun menginjakan kakinya di istana, sedangkan Eric yang pernah menjelajahi istana sudah lupa seluk beluknya karena dia hanya mengunjunginya satu kali saat dia masih sangat kecil. Membuatnya tidak lagi tahu tempat apa ada di mana.
"Tidak ada cara lain, kurasa aku akan mempermalukan diriku"
Amelie adalah seorang anggota keluarga kerajaan, tapi dia belum pernah masuk ke istana. Jika yang jadi subjek atas hal itu bukan dirinya sendiri, mungkin dia sudah menertawakan orang itu. Sayangnya, jika dia ingin tertawa orang yang harus dia tertawakan adalah dirinya sendiri. Dan dia tidak punya hobi melakukan hal semacam itu.
"Eric, bisakah kau panggil penjaga aku akan bicara pada mereka"
"Baiklah, kau tunggu di si. . ."
"Tuan putri? tuan putri Amelie?"
Ketika Eric akan pergi melakukan tugasnya, tiba-tiba sebuah kereta kuda berhenti di samping mereka dan dari dalamnya keluar orang tua yang wajahnya familiar. Orang tua yang sebelumnya jadi musuhnya tapi sekarang sudah jadi supporternya yang kuat.
"Selamat datang tuan Genno"
Mungkin Amelie tidak pernah tinggal di istana, tapi sebab dia adalah bagian dari keluarga kerajaan maka kewajiban untuk memberikan sambutan pada tamu yang datang secara natural jatuh padanya.
"Senang bertemu denganmu tuan putri, aku tidak menyangka orang yang akan pertama kulihat di istana adalah tuan putri"
"Aku sengaja datang lebih cepat sebab tidak ingin membuat semua orang menunggu"
"Begitukah? lalu kenapa tuan putri masih berada di luar?"
"Sebenarnya. . . ."
Dengan begitu Amelie menceritakan kenapa dia belum masuk dengan jujur. Lalu, paham akan situasi gadis kecil di depannya, Genno langsung menawarkan untuk menjadi penunjuk jalannya. Yang tentu saja awalnya ditolak oleh Amelie mengingat orang penting seperti Genno pasti punya hal yang lebih penting untuk dilakukan daripada menjadi tour guidenya.
Hanya saja, orang tua memaksa dan sebab memang pada dasarnya dia butuh bantuan akhirnya Ameliepun mengalah dan membiarkan Genno menunjukan jalan untuknya dan Eric.
"Ngomong-ngomong, pemuda yang bersama tuan putri itu?"
Tiba-tiba Genno berhenti dan melihat ke arah Eric dengan wajah penasaran.
"Ah . . aku lupa memperkenalkannya, Eric"
Ericpun maju dan memberi hormat pada Genno.
"Namaku adalah Erwin Frank, pengawal pribadi nona Amelie! aku mengucapkan banyak terima kasih sudah membantu nona Amelie sebelumnya"
"Apa-apaan perkenalanmu itu? aku tidak ingat pernah menggajimu untuk jadi pengawalku"
"Oo. . .Frank ya. . jadi kau anaknya Arthur"
"Benar sekali, tapi sekarang aku hanyalah pengawal pribadi tuan putri Amelie! Jika tuan Genno membutuhkan aku akan dengan senang hati membantu asalkan tidak ada konflik dengan kepentingan nona Amelie"
"Ah. . . aku dengar kalau kau itu kuat, kapan-kapan bagaimana kalau kau mampir ke tempatku dan mengecek kemampuan prajurit di tempatku?"
Sebelum menjawab Eric melirik ke arah Amelie. Sebab dia sudah memperkenalkan diri sebagai pengawal pribadi Amelie, itu berarti jika ada dia maka di sana juga harus ada Amelie. Dengan kata lain, undangannya pada Eric juga adalah undangan orang tua itu pada Amelie secara tidak langsung.
Amelie menganggukan kepalanya pada Eric.
"Dengan senang hati, jika waktunya tepat aku akan mampir! sesekali aku juga ingin memperlihatkan kemampuanku pada nona Amelie"
"Baguslah kalau begitu! aku tunggu kedatanganmu"
Eric mengangguk dan kembali mundur ke belakang Amelie sebagai tanda kalau dia merasa perkenalannya dengan Genno sudah cukup.
"Tuan putri, aku tidak melihat pemuda bernama Haruki yang dulu bersamamu? di mana dia sekarang?"
Sebelumnya saat Haruki bertemu dengan Genno, dia bertingkah seakan kalau dia adalah pengawal pribadi Amelie. Tapi sebab dia sudah membongkar rahasianya di depan anak dari orang tua itu, harusnya Gennopun sudah tahu identitas Haruki yang sebenarnya.
"Setelah menyelesaikan tugasnya mengantarku dengan selamat ke rumah, dia memutuskan untuk pulang!"
"Begitukah? padahal aku ingin ngobrol dengannya"
"Sayang sekali, mungkin tuan Genno tidak akan bisa berbincang dengannya dalam waktu yang cukup lama"
Meskipun Genno bilang ngobrol, Amelie sama sekali tidak yakin kalau yang ingin dia bicarakan adalah hal yang santai. Hubungan mereka tidak sedekat itu, kemudian keduanya adalah sama-sama orang yang bergerak di balik layar. Jika mereka ingin membicarakan sesuatu, bisa dipastikan kalau topiknya bukan sesuatu yang boleh didengar orang umum.
"Kalau begitu sampaikan pesanku, kalau tuan putri bertemu dengannya bilang jika dia ingin pensiun aku akan menerimanya. ."
"Tuan Genno?"
"Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan kan?"
Memang benar tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan, hanya saja. .
"Maaf sekali tuan Genno, tapi aku akan mengambilnya untuk diriku sendiri"
"Begitukah? ahahahah. . . . kalau sainganku tuan putri kurasa aku tidak akan bisa menang"
Paham dengan apa yang Amelie maksud, Genno langsung mundur dari pembicaraan. Lalu, setelah puas menunjukan dominasinya Amelie mengajukan topik lain untuk dibicarakan.
"Tuan Genno sendiri ada urusan apa sepagi ini sudah ada di istana?"
Mungkin tidak ada peraturan yang menyebutkannya, tapi sudah jadi norma kalau orang yang kedudukannya tidak terlalu tinggi berangkat duluan dan yang orang yang lebih penting akan berangkat belakangan sebagai tamu kehormatan. Dan level dari Genno bukan lagi sekedar tamu penting, tapi tamu super-super penting. Sebab pada dasarnya, dia adalah orang yang bertanggung jawab atas masih utuhnya negara bernama Amteric.
Dalam masalah penting atau tidaknya, posisinya bisa dibilang hanya nomor di belakang raja.
Karena itulah kedatangannya yang cepat ke istana membuat Amelie sedikit heran.
"Aku punya sedikit urusan dengan Arthfael"
"Dengan yang mulia?"
"Ya, dan bukan hanya aku! Arbe dan Gerulf serta Arthur juga akan minum teh bersama kami"
Dan sekali lagi, tidak mungkin kalau orang-orang yang disebutkan oleh Genno itu hanya bertemu dengan raja hanya untuk sekedar minum teh. Amelie merasakan sedikit firasat buruk mengingat semua nama yang disebutkan adalah milik dari orang-orang yang pernah melakukan kontak dengannya, tapi dia mencoba tidak memikirkannya sambil meyakinkan dirinya jika semua orang itu tidak bertemu untuk membicarakannya.
"Ke sini tuan putri"
Dengan begitu, mereka kembali melakukan tour mereka di dalam istana. Lalu, sambil menunjukan tempat-tempat yang Genno anggap Amelie perlu tahu, dia juga menjelaskan seluk beluk tempat itu, sejarah dari layout istana, siapa yang tinggal di sana, dan siapa yang bertanggung jawab untuk apa di dalam lingkungan tertutup itu. Dengan alasan 'mungkin kau akan membutuhkan info itu di masa depan'.
Sebab mereka berjalan dengan lambat, dan pada dasarnya tempat itu juga memang sangat besar. Mereka baru sampai di tempat acara pembukaan akan diadakan nanti.
Merasa kalau tugasnya sudah selesai, Genno ijin pamit pada Amelie tanpa lupa meninggalkan pesan yang membuatnya merasa semakin buruk.
"Kemungkinan besar nanti yang mulia akan memanggilmu ke ruang pribadinya, jadi aku harap tuan putri bisa bersiap"
Meski sama sekali tidak senang mendengar kabar itu, Amelie tetap memasang senyum dan memberi salam pada Genno.
Begitu dia berpisah dengan Genno, seorang pelayan langsung menghampirinya dan menanyakan beberapa hal. Lalu ketika mereka tahu siapa itu Amelie dan situasi di mana dia berada, mereka langsung menyiapkan akomodasi dan mengurus barang-barangnya.
Mereka dipersilahkan untuk menginap selama jangka waktu pesta ulang tahun Amteric di dalam istana dan keduanya langsung di antarkan ke kamar masing-masing. Keduanya yang sudah cukup lama berpanas-panasan di luar memutuskan untuk memperbaiki penampilan masing-masing lalu mengganti pakaian mereka dengan sesuatu yang lebih formal.
Kemudian, begitu hampir satu jam berlalu. Bel tanda kalau acara sudah dimulai berbunyi, dan keduanyapun masuk ke hall tempat diadakannya upacara pembukaan bersama-sama.
Upacara yang dimaksud bukanlah upacara formal seperti upacara dalam organisasi militer. Yang mereka lakukan hanyalah membuat barisan setengah rapi, menyapa raja yang dibalas dengan sapaan balik, kemudian raja akan memberikan kalimat pembuka setelah itu pesta akan secara resmi dimulai dengan suara lonceng yang diiringi tepuk tangan dan yang lain-lainnya.
"Amelie, apa kita tidak berbaris di tempat yang salah?"
Begitu pidato pembukaan selesai, Eric menundukan badannya dan menanyakan hal itu pada Amelie. Sebab dia merasa kalau mereka sepertinya harusnya tidak ada di tempat mereka yang sekarang.
"Tentu saja tidak, tolong jangan lupakan kalau aku ini seorang tuan putri"
Barisan di mana semua orang berdiri mungkin tidak terlalu rapi, tapi di sana masih ada batas yang ditarik dengan jelas oleh semua orang. Amelie dan saudara-saudaranya serta keluarga raja punya tempat sendiri, para bangsawan yang dekat dengan raja punya tempat sendiri, bangsawan yang ada dalam posisi oposisi punya tempat sendiri, petinggi dari kalangan militer punya lokasi sendiri, dan tentu saja orang-orang yang berpengaruh di antara masyarakat umum juga menempati posisinya sendiri.
Dan posisi itu juga tidak secara asal diambil. Posisi mereka berada menunjukan kekuatan masing-masing relatif terhadap orang lain di tempat itu. Dengan kata lain, kau bisa tahu siapa yang lebih berkuasa, lebih berpengaruh, dan lebih kaya dengan hanya melihat di mana mereka berdiri.
"Jadi begitu, pantas posisi kita lumayan dekat dengan raja"
Gadis atau pemuda seumuran Amelie seharusnya tidak ikut acara formal sebelum melakukan debutnya saat umur mereka lima belas tahun. Tapi dalam acara tertentu, akan ada pengecualian. Dan sebab dia adalah anggota keluarga raja, tentu saja pengecualian yang dia dan saudara-saudaranya dapatkan jauh lebih banyak.
Normalnya, Amelie yang lahir lumayan belakangan akan berdiri bersama saudara-saudara 'lain Ibunya' yang seumuran, di bagian belakang. Tapi sebab dia punya nama yang sudah cukup besar. Posisinya dinaikan menjadi lebih dekat ke raja yang jadi perwakilan mereka.
"Ngomong-ngomong apa kau kenal dengan mereka semua?"
"Sama sekali tidak, aku bahkan tidak tahu nama dari saudara-saudaraku yang lahir lebih belakang dariku"
Dan untuk saudara-saudara yang ada di atasnya, dia hanya tahu beberapa hal tentang mereka. Meski setidaknya, dia masih tahu kalau hanya sekedar nama mereka.
Alasan kenapa hal itu sampai terjadi ada dua. Pertama, dia diusir dari ibukota bahkan sebelum sempat berkenalan dengan siapapun dan tidak pernah berinteraksi dengan saudaranya yang berada di luar teritorinya. Lalu yang kedua, saudaranya lahir di tempat yang berpencar-pencar sehingga bahkan dia tidak tahu kalau ada seseorang yang lahir ataupun meninggal.
"Tapi aku tahu siapa saja yang paling dekat untuk jadi raja atau ratu"
Sebab dia bisa menebaknya dengan mudah hanya dengan melihat. . .seperti yang sudah dijelaskan tadi. Posisi mereka berdiri.
"Yang pertama adalah Seragius"
Putra pertama Arthfael. Dia punya wajah tenang dan kelihatan seperti orang yang tidak suka banyak bicara.
Saat ini, dia adalah kandidat dengan jumlah supporter paling banyak. Posisinya sebagai putra pertama, kemampuan akademiknya yang tinggi, serta skill militernya yang sudah terbukti membuat posisinya sebagai calon terkuat menjadi solid.
"Selain itu dia adalah wakil dari ayahku dalam urusan militer dan pernah beberapa kali memimpin langsung pasukan perbatasan melawan pemberontak, jadi jelas dia juga punya backing dari petinggi di kalangan militer"
Dan memiliki backing kekuatan militer adalah nilai plus yang sangat besar.
"Yang kedua adalah kakak perempuan pertamaku, Serafina"
Seorang tuan putri.
Adalah kata yang langsung terlintas di pikiran seseorang ketika melihat Serafina. Sebab gadis itu bisa dibilang adalah realisasi dari image tuan putri yang seseorang sering bayangkan dalam dongen-dongeng.
Bukan hanya penampilannya saja yang memukau, tapi bagaimana gadis itu membawakan dirinya juga membuat orang yang melihatnya bisa merasakan kehangatan yang dipancarkannya. Cara bicaranya yang lembut, senyumnya yang murah, dan juga perhatiannya pada lawan bicaranya membuat siapapun yang dia ajak bicara merasa nyaman.
Dia belum punya prestasi di luar masalah akademik, tapi popularitasnya di kalangan orang biasa sangat tinggi. Jika Amteric adalah negara demokrasi dan pemilihan pemimpinnya diserahkan pada rakyat biasa, bisa dipastikan dia akan menang telak dari calon pemegang tahta yang lain.
Saat ini, selain rakyat umum supporternya yang paling kuat adalah bangsawan dari kalangan oposisi.
"Kemudian yang ketiga adalah Sevarion."
Impresi awal yang kau akan dapatkan dari penampilan kakak laki-laki keduanya itu adalah mencolok. Bukan hanya pakaiannya mencolok, tapi bagaimana dia bertingkah di depan semua orang juga sama mencoloknya. Lalu yang terpenting, caranya berbicara pada orang lain benar-benar membuat Amelie ingin mencolok mata pemuda itu.
Pertama, dia sering bicara dengan nada meremehkan pada orang lain. Kedua, dia menganggap kalau semua orang harus hormat padanya. Ketiga, dia bisa dengan mudahnya memasang wajah bengga begitu mendengar pujian yang jelas-jelas cuma lip service.
"Backer utamanya adalah para bangsawan yang sekarang berada di bawah raja"
Jika mereka ingin memastikan posisi mereka, harusnya mereka memilih jadi backer untuk putra pertama. Tapi Amelie mendengar kalau hubungan antara mereka dan Seragus sama sekali tidak baik. Kemungkinan besar, karena pemuda itu menolak untuk jadi boneka.
Karena itulah mereka memilih membacking Sevarion yang jelas kelihatan mudah untuk dimanfaatkan.
Amelie tentu saja tidak tahu apakah kelakukan Sevarion adalah watak aslinya atau bagian dari ektingnya, tapi yang jelas dia merasa yakin kalau mereka tidak akan pernah bisa akrab.
"Lalu yang keempat adalah Charelene, kabarnya dia punya tubuh lemah jadi kemungkinan besar dia akan mundur dari perebutan tahta"
Tapi Amelie belum tahu ke mana dia akan memberikan dukungannya.
"Kemudian, kandidat kuat yang terakhir adalah Aveline"
Sayangnya, untuk kandidat yang satu itu Amelie hampir bisa dibilang tidak tahu apa-apa kecuali fakta bahwa dia bukan berasal dari Amteric. Tapi negara tetangga Amteric, Gaul yang beberapa tahun yang lalu memutuskan untuk jadi negara bawahan Amteric.
"Untuk sementara, hanya lima kandidat itu yang lumayan kuperhatikan! Aveline katanya punya adik perempuan bernama Evalyne tapi dia bukan kandidat kuat selain itu aku tidak melihatnya di manapun! untuk yang lain aku akan mencari tahunya belakangan"
"Ah kau melupakan satu orang?"
"Siapa?"
"Kau! kau lupa menghitung dirimu sendiri?"
"Aku tidak punya niat untuk jadi ratu."
Dia hanya ingin jadi orang penting sekelas Genno sehingga dia bisa melakukan banyak hal dengan bebas. Jika dia naik tahta dia akan diberikan banyak beban dan tanggung jawab, dan dia sama sekali tidak menginginkan hal semacam itu.
"Tapi hanya kau yang tahu, karena itulah! selama di sini aku harap kalau bisa teruslah di dekatku"
"Ini adalah istana, tempat ini adalah tempat paling aman di negara ini"
"Justru sebaliknya, karena tempat ini adalah istana kau harus lebih hati-hati"
Amelie mungkin tidak ingin jadi ratu, tapi tidak semua orang akan menganggap deklarasinya sebagai keseriusan. Bisa dipastikan ada individu-individu yang menganggapnya sebagai pengganggu dan ingin menyingkirkannya. Apalagi mengingat mereka belum tahu siapa dalang dibalik rencana pembunuhannya yang sebelumnya.
Mungkin tempat itu adalah tempat yang paling aman dari ancaman luar, tapi ancaman dari dalam yang tidak terlihat bisa datang dari mana saja. Sebab tempat itu, seperti yang sudah Amelie bilang. Adalah medan perang mereka.
"Aku paham, aku akan menurutimu"
"Baguslah kalau begitu"
"Tapi aku agak terkejut"
"Terkejut tentang?"
"Kau ternyata bisa mengatakan sesuatu yang kedengaran logis"
"Oi!!"
"Anak pintar!"
Amelie menepuk kepala Eric yang masih dia tundukan dengan wajah menggoda layaknya anak kecil yang baru saja sukses mengerjai saudaranya yang lebih tua. Eric sendiri memasang wajah sebal, tapi dia tidak menolak sentuhan tangan Amelie.
Seorang gadis jadi dewasa dengan sangat cepat, dalam beberapa tahun mereka akan perlu menjaga jarak yang lebih jauh. Sama seperti yang terjadi di kehidupannya yang sebelumnya, karena itulah. Selama masih bisa, dia akan menikmati permainan kakak beradiknya dengan Amelie secara penuh.
"Para tamu yang terhormat, silahkan menikmati hidangan yang sudah disiapkan"
Pengumuman itu memberi tanda untuk pemusik mulai melakukan pekerjaannya, pelayan berkeliling membantu tamu yang ada, dan para undangan untuk menyantap hidangan yang disiapkan sambil ngobrol dengan teman-temannya.
"Aku baru sadar akan sesuatu"
Sepertinya pengumuman itu punya arti lain untuk Amelie.
"Aku tidak punya teman di tempat ini"
Yang artinya, dia sekarang tidak tahu harus melakukan apa begitu pembukaan selesai.
Dia melirik ke arah Eric, tapi pemuda itu hanya diam setelah meliriknya balik.
Kalau hanya satu dua kali, tentu saja Amelie bisa ngobrol dengan Eric. Tapi tentu saja, di depan umum dia tidak bisa bertingkah terlalu akrab dengan seseorang yang posisi officialnya adalah pengawal pribadinya. Selain karena masalah posisi, jika dia ngobrol dengan Eric seperti biasa juga ada kesempatan membuat orang yang ingin bicara dengannya merasa enggan.
". . . ."
Kali ini dia melirik ke arah saudara-saudaranya yang lain, tapi pada akhirnya dia hanya bisa menghela nafas.
Dia ingin mencoba berkenalan dengan saudara-saudaranya yang lain, terutama yang lebih muda darinya. Tapi dengan banyaknya orang di sekitar mereka, Amelie tidak yakin kalau mereka bisa melakukan pembicaraan normal. Yang ujungnya mungkin akan jadi masalah.
"Kurasa aku akan jadi penunggu meja"
Akhirnya, Amelie memutuskan untuk menuju ke meja besar berisi penuh dengan makanan dan mengambil banyak sampel dari piring-piring yang ada di sana. Untuk melupakan keadaan menyedihkannya, dia mengalihkan dirinya ke pekerjaan.
Jarang sekali dia bisa memakan hidangan dari seluruh daerah di negaranya, karena itulah dia akan memanfaatkan kesempatan itu untuk mencari produk yang bisa dia komersialkan.
Selama hampir setengah jam, sambil ditemani Eric Amelie terus pergi dari satu meja ke meja lainnya dan mencicipi banyak makanan yang belum pernah dia coba sebelumnya. Tentu saja, selama sesi foodtasting itu ada beberapa orang yang kelihatannya ingin bicara dengannya. Tapi setelah menunggu beberapa saat, untuk suatu alasan semua orang memutuskan untuk mundur dan pura-pura ingin bicara pada orang lain.
Amelie sempat berpikir untuk jadi lebih proaktif dan maju sendiri untuk mengajak seseorang bicara, tapi melihat reaksi itu. Dia merasa kalau dia memaksakan diri untuk maju, maka dia hanya akan membuat lawan bicaranya jadi tidak nyaman.
Jadi pada akhirnya, dia terus melakukan kegiatan samplingnya sampai dia merasa tidak kuat lagi untuk makan sesuatu.
"Eric, apa kau bisa menggantikan tempatku?"
"Kalau ada yang bisa mengubahku jadi gadis kecil imut, aku sudah melakukannya sejak dulu"
"Ah. . . aku ingin pulang"
"Wow, kau kedengaran seperti anak kecil sunggu . . .musiknya berganti"
Bersama dengan tamu yang lain, Amelie mengalihkan perhatiannya pada pemusik yang mulai mengganti nada dari musik yang mereka mainkan.
"Tolong jangan bilang kalau ada acara dansanya"
Sayangnya, dansa memang ada dalam jadwal acara.
Wajah Amelie tidak menunjukan perubahan yang berarti, tapi sebenarnya di dalam dia sedang mengeluh kalau dia merasa semakin seperti orang hilang di tempat itu.
Dalam acara dansa, biasanya wanita dan laki-laki yang masih belum punya pasangan akan turun ke lantai dansa dan mencoba melakukan pendekatan dengan seseorang yang menarik perhatian mereka. Atau jika mereka sudah punya pasangan, mereka akan menunjukan kemesraan mereka pada semua orang.
"Sekarang aku benar-benar merasa seperti anak hilang"
Bagi Amelie yang sudah menjanjikan masa depannya pada Haruki, dia tidak terlalu suka dengan ide memaksakan diri untuk berdansa dengan pria lain. Dengan Eric sebagai pengecualian. Tapi jika dia hanya melihat dan tidak berdansa dengan siapapun, dia malah akan jadi bahan perhatian.
Umumnya, kau bisa kabur dengan berdansa dengan saudaramu sendiri tapi sayangnya dia tidak bisa melakukannya. Dan tentu saja dia tidak akan bisa mengajak ayahnya untuk menemaninya berdansa. Karena itulah sekarang dia merasa sedang ada dalam dilema.
"Apa aku benar-benar harus maju sendiri?"
Dia tidak keberatan memohon pada seseorang untuk menemaninya berdansa, tapi dia keberatan untuk memancing kesalahpahaman, masalah untuk lawan dansanya, dan juga gosip yang nantinya akan muncul gara-gara tindakan itu.
Jadi?
"Kurasa aku akan menunggu, kalau sampai di tengah lagu belum ada yang mendatangiku, Eric!"
"Ya, tuan putri?"
"Bilang kalau aku tidak enak badan dan temani aku kembali ke kamar"
"Kau mau kabur?"
"Jika kau tidak bisa menghadapi sesuatu, kabur saja"
"Apa aku sudah perlu memanggilmu dengan nama Amelie Youta?"
Akhirnya, Ameliepun terus menunggu sampai musik hampir mencapai bagian tengahnya. Dan sama seperti sebelumnya, ada beberapa orang yang ingin maju tapi akhirnya mundur. Lalu, begitu Amelie memutuskan untuk menyerah seseorang mendatanginya.
"Tuan putri, kenapa kau masih berada di sini?"
Dan orang yang datang kali ini adalah. .
"Tuan Genno, ada apa tuan Genno ke sini?"
Sekali lagi, orang tua bernama Genno.
"Aku hanya ingin tahu kenapa semua orang membiarkan saja seorang gadis cantik sendirian saat ada musik untuk berdansa"
"Aku hanya seorang gadis kecil, jadi wajar kalau tuan-tuan yang ada di sini tidak ingin berdansa denganku"
Yang tentu saja sama sekali tidak benar. Meskipun kau membuang statusnya sebagai tuan putri dan posisinya sebagai pendiri perusahaan besar. Gadis itu masih cukup cantik dan menawan untuk menarik perhatian lawan jenis. Dan dengan standar dunia ini, sama sekali tidak berlebihan jika ada beberapa orang yang secara literal ingin membawanya pulang saat melihatnya.
Kenyataan tidak ada yang mencoba berebut untuk bisa berdansa dengannya bisa di diambil akarnya dari dua hal.
Meski tidak bisa merasakannya, tapi sebenarnya sejak masuk ke dalam hall utama pesta. Eric selalu dalam keadaan waspada. Dia bahkan memancarkan aura yang, kalau mereka bisa bicara mungkin bilang 'aku akan membunuhmu' pada pria-pria yang melihat Amelie dengan tatapan mesum. Untuk menghadapi tekanan yang diberikan oleh Eric, seseorang perlu keberanian yang cukup besar.
Dan sayangnya, banyak yang sudah ketakutan duluan sebelum ada yang berani maju.
Lalu yang kedua adalah skill dan juga afiliasi politiknya yang masih belum jelas.
Kabar kalau Amelie adalah gadis jenius yang bahkan mampu membuat Gerulf dan Genno berdansa di atas tangannya sudah menyebar di kalangan bangsasawan. Bagi orang-orang yang ingin memanfaatkan Amelie untuk kebutuhan politiknya, mereka merasa perlu berhati-hati saat melakukan kontak dengannya.
Mereka menunggu seseorang mendekati gadis itu dan mengorek informasi darinya, tapi sayangnya semua orang terlalu waspada kalau-kalau malah informasi dari mereka yang dikorek dan pada akhirnya tidak ada yang mau jadi umpan. Yang pada akhirnya membuat mereka memutuskan menunda niatnya sampai afiliasinya sudah jelas.
"Omong kosong! mereka hanya penakut!"
"Tuan Genno. . ."
Amelie mencoba memberikan nasihat agar orang tua itu tidak mengatakan sesuatu yang offensive, tapi tidak mempedulikannya.
"Sudahlah! kalau tidak ada yang mau bunga yang cantik ini aku akan mengambilnya untukku sendiri"
". . . ."
Genno mengulurkan tangannya pada Amelie dan mengajaknya untuk turun ke lantai dansa.
"Tentu saja jika tuan putri tidak keberatan berdansa dengan kakek tua ini."
Genno mungkin bukan saudaranya, bukan ayahnya, dan bukan orang yang sangat dekat dengannya.
"Aku juga hanya anak kecil, jadi aku harap tuan Genno tidak keberatan aku jadi pasangan dansamu"
Tapi. .
"Tentu saja, aku malah merasa terhormat"
Setidaknya Amelie bisa mempercayainya.
Amelie sedikit menunduk dan mengangkat roknya untuk memberi hormat, setelah itu dia menyambut tangan besar Genno dan keduanyapun turun ke lantai dansa.
Genno punya tubuh besar dan tinggi, sedangkan Amelie punya tubuh mungil yang ringan. Tapi meski begitu, seperti seorang kakek yang sedang membantu cucunya untuk belajar. Genno membimbing gerakan Amelie dengan lembat, teratur, dan tanpa buru-buru. Jadi meski sebenarnya gerakan dansa mereka lumayan terbatas, keduanya masih terlihat harmonis dalam dansanya.
Dan pemandangan itu sempat membuat beberapa orang yang melihatnya ingin tersenyum.
"Sekarang aku yang tidak tahu harus melakukan apa"
Jika bisa, dia akan masuk ke lantai dansa dan tetap menjaga Amelie. Tapi sayangnya dia tidak bisa melakukan hal semacam itu. Tentu saja dia bisa mengawasi Amelie dari luar, tapi dia yakin kalau dipandangi dengan tajam dari jauh tidak membuat gadis itu merasa nyaman.
Selain itu.
"Aku merasa bosan"
Sama seperti Amelie, Eric juga tidak punya banyak teman di ibu kota. Meski ada beberapa wajah yang dia kenal dari sekolahnya dulu di ruangan itu, tapi dia tidak merasa bisa masuk dalam pembicaraan mereka dengan santainya. Dia juga tidak yakin kalau mereka masih ingat dengannya, atau masih mau berhubungan dengannya.
"Kurasa aku harus mencari partner dansa juga"
Tapi siapa yang mau berdansa dengannya? orang yang pangkatnya cuma sekedar pengawal pribadi seseorang?
Ericpun mulai memeriksa gadis-gadis yang ada di sekitarnya.
Dia mencari gadis yang pakaiannya tidak mencolok dan punya aura yang tidak menekan. Dengan kata lain, seorang gadis sederhana. Jika dia bisa menemukan seorang gadis dari keluarga bansawan kelas rendah, kemungkinan besar ajakannya berdansa tidak akan ditolak.
". . . ."
Dan akhirnya Ericpun menemukannya. Gadis muda yang penampilannya kelihatan sederhana tapi masih cukup menarik untuk dilihat. Lalu gadis yang juga punya aura tidak menekan dan juga kelihatan tidak akan bisa menolak permintaan seseorang.
Dengan langkah yakin, Ericpun mendekati gadis itu.
"Nona muda, apa kau sendirian?"
Atau lebih tepatnya gadis muda itu. Sebab dari posturnya, dia kelihatan seumuran dengan Amelie. Tapi sebab dia sedikit lebih tinggi darinya, mungkin dia satu atau dua tahun lebih tua dari gadis yang dilindunginya.
"Y-Ya, aku terlambat datang dan tertinggal dari yang lain! seharusnya kakak laki-lakiku ada di sini tapi aku tidak bisa menemukanya"
Cara bicaranya agak tertatih, selain itu dari gerak-geriknya sudah kelihatan jelas kalau sepertinya gadis itu sedang grogi berat. Atau mungkin takut karena di tempat itu tidak ada orang yang dia kenal. Tingkahnya itu mengingatkan Eric pada anak kucing yang ditinggalkan ibunya.
"Begitu ya, siapa nama nona muda? namaku adalah Erwin Frank"
Saat mencari gadis yang ingin dia ajak berdansa, Eric berhasil menemukan beberapa kandidat yang masuk kriterianya. Tapi dia memutuskan untuk mendatangi gadis di depannya sebab dia merasa kalau gadis itu adalah seseorang yang paling membutuhkan bantuan.
Sama seperti Amelie, dia kelihatan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Sama seperti Amelie, dia kelihatan merasa hilang. Dan sama seperti Amelie pula, tidak ada seorangpun yang kelihatan ingin membantunya.
Karena itulah, dia memutuskan untuk mendatanginya dan mengulurkan tangannya.
Meski dari luar Eric hanyalah seorang pemuda biasa, tapi sebenarnya. Atau lebih tepatnya, yang ada di dalamnya adalah orang yang sudah berumur. Jika kehidupannya yang lama ikut dihitung, maka dia bahkan lebih tua dari Genno. Dan jiwa orang tuanya membuatnya tidak bisa membiarkan seorang anak kecil berada dalam masalah sendirian.
"Namaku Evalyne Irmhilde. ."
Mendengar nama itu, Eric yang sedari tadi menundukan badannya memutuskan untuk berlutut..
"Maafkan ketidaksopananku tuan putri"
Sepertinya Eric sudah salah sasaran, bukannya anak dari bangsawan kelas rendah yang dia datangi malah salah satu anak dari raja. Adik dari Aveline yang sempat mereka bicarakan sebelumnya.
"Tolong jangan berlutut di depanku, aku bukan orang yang sepenting itu tuan Eric"
"Kalau begitu tolong jangan panggil aku tuan juga, sebab sebenarnya aku hanya seorang pengawal dari salah satu saudaramu"
"Be-begitukah?"
"Um!"
"Ngo-ngomong kenapa tuan. . .Eric mendatangiku?"
Sepertinya Gadis itu belum bisa menuruti keinginannya untuk memanggil namanya tanpa embel-embel. Tapi hal itu bukan masalah, Eric berdiri dan membenarkan posisinya.
"Sebenarnya aku ingin mengajak nona Evalyne untuk berdansa, tapi seperti yang nona tahu aku cuma seorang pengawal pribadi seseorang karena itulah aku mempertimbangkan untuk membatalkan niatku! aku tidak ingin membuat nona merasa mal. . "
"A-aku tidak akan merasa malu!"
"Nona Evalyne?"
"Malah sebaliknya, aku khawatir sudah membuat tuan Eric merasa malu karena sudah bicara dengan aku yang bukan siapa-siapa di tempat ini"
Anak kedua dan selanjutnya dari seorang istri raja pada dasarnya hanyalah cadangan dari anak pertama mereka untuk memperebutkan tahta. Jadi ketika Evalyne bilang jika dia bukan siapa-siapa di tempat itu dia sama sekali tidak berbohong. Di negara asalnya mungkin dia adalah tuan putri, tapi di sini titelnya sebagai tuan putri sama sekali tidak ada harganya.
"Jika tuan Eric masih ingin, mohon berdansalah denganku"
Evalyne menundukan badannya dan sedikit mengangkat roknya.
Jika yang jadi lawan bicaranya adalah Amelie, tindakan Evalyne tadi pasti adalah hasil dari pemikiran panjang lebar dan perhitungan rumit antara pro dan con yang dia ketahui. Hanya saja, gadis yang didepannya kelihatannya bukan tipe gadis yang seperti itu.
Permintaan untuk berdansa gadis itu kelihatan murni tanpa ada maksud tersembunyi. Eric tidak tahu apa yang membuat gadis itu bisa mengambil keputusan semacam itu, tapi yang jelas. Setelah ditunjukkan niat semurni itu dan diberikan kepercayaan olehnya, dia tidak punya pilihan lain kecuali balik memberikan hormat, mengulurkan tangannya lalu bilang. . .
"Dengan senang hati."
Kemudian mengajaknya ke lantai dansa.
Sore itu, Amelie berakhir bukan hanya berdansa dengan Genno, tapi juga Gerulf dan Arbe. Membuat beberapa orang mulai berpikir kalau sepertinya Amelie punya selera terhadap pria yang sudah berumur. Lalu Eric sendiri terpaksa harus berhenti dalam satu lagu sebab sepertinya Evalyne merasa tidak enak badan karena tidak terbiasa dikerubungi oleh banyak orang.
Lalu untuk suatu alasan, setelah ditolak untuk mengantarkan Evalyne Eric malah dikerubungi oleh banyak gadis seumuran Amelie dan Evalyne yang mengajaknya untuk berdansa. Membuat namanya masuk dalam wanted list dari ayah gadis-gadis itu.
2
Upacara pembukaan berakhir, acara dansa berakhir, dan kegiatan sosialisasi antara para bangsawan juga berakhir. Tapi meski begitu, Amelie masih belum bisa merasa lega sebab seperti yang sudah dikhawatirkannya. Ayahnya memanggilnya ke ruang pribadinya.
Dia benar-benar tidak ingin pergi dan hanya ingin bersantai di kamarnya, tapi sayangnya. Dia tidak bisa menolak permintaan itu, atau lebih tepatnya perintah itu. Dengan kaki berat, akhirnya Amelie memutuskan untuk datang ke ruangan ayahnya dengan Eric menunggunya di luar.
Di sana, ayahnya menunggunya dengan sebuah papan catur yang sudah ditata rapi mengundang yang ada di ruang itu untuk memainkannya. Awalnya mereka hanya bicara tentang hal basa-basi yang ringan sambil bermain, tapi begitu orang tua itu menyuruh penjaga pribadinya dan pelayan yang ada di sana untuk keluar. Aura di sekitarnya mulai berubah.
Dan permainanpun terasa jadi lebih serius.
Setidaknya, kelihatannya dari luar.
"Apa maksud semua ini yang mulia?"
Amelie sudah pernah bermain catur dengan orang yang hanya sekedar tahu peraturannya sampai musuh yang skillnya jauh di atasnya. Tapi tidak satu kalipun dia merasa sangat bodoh saat sedang menghadapi lawan mainnya. Hanya saja saat ini dia merasa kalau dia baru saja diberitahukan kalau dia itu orang paling bodoh sedunia.
"Maksudmu?"
"Yang mulia, mohon jangan pura-pura bodoh!"
"Ahahaha. . . .kenapa kau marah begitu? bukankah sekarang kau sedang menang?"
Menanggapi kalimat itu, Amelie membalasnya dengan memberikan tatapan tajam pada ayahnya. Sang raja Amteric.
"Yang muli. . . ayah idiot! mungkin kau tidak tahu tapi aku benar-benar benci pada orang yang memperlakukanku seperti orang bodoh!"
"Ahaha. . .begitu ya, maafkan aku tuan putri"
Dengan gaya berlebihan, ayahnya memberi permintaan maaf yang sama sekali tidak membawa sedikitpun rasa penyesalan. Yang tentu saja membuat Amelie merasa semakin diremehkan.
"Sejak kapan kau menyadarinya?"
"Di tengah permainan aku sudah curiga kalau kau melakukan sesuatu yang aneh. ."
Tapi Amelie mencoba tidak mempedulikannya, sebab selain dia ingin memanfaatkan permainan mereka untuk menyambungkan hubungan keluarga mereka yang dari awal tidak pernah ada. Dia juga ingin mengukur skillnya saat melawan seorang anggota keluarga raja yang mendapat pendidikan khusus dari kecil.
Oleh sebab itulah dia bermain serius dengan niat untuk menang.
"Maafkan hamba yang sudah berharap jika yang mulai akan menganggapku yang rendahan ini sebagai seseorang yang sebanding"
Mereka mungkin tidak pernah berinteraksi sebagai seorang anak dan orang tuanya. Tapi cara mereka melempar kalimat sarkastik pada lawan mereka benar-benar mirip. Orang yang melihat mereka dari sudut pandang orang ketiga bisa dengan mudah melihat kemiripan mereka.
"Jangan marah begitu, aku sudah lebih dari sekedar mengakui kemampuanmu sebab biar bagaimanapun kau adalah seseorang yang sudah bisa mendapatkan kepercayaan dari Genno dan bahkan Gerulf!"
Seperti yang Arthfael bilang, posisi Amelie dalam permainan memang ada di tempat yang lebih baik. Dia memiliki lebih banyak bidak, posisi mereka ada di tempat yang strategis, dan sekarang raja yang dikendalikan oleh musuhnya sedang ada di dalam posisi yang sangat buruk.
Hanya saja, hal itu terjadi bahkan tanpa Amelie sadari.
Permainan mental, tipu-menipu, dan juga distraksi adalah bukan sesuatu yang sudah sering dia temui saat melakukan pertandingan catur. Dengan musuh seperti Haruki yang selalu mencoba mengalahkannya bahkan di luar papan, Amelie cukup hafal trik-trik untuk menghindari permainannya diatur oleh musuh dan membuatnya kalah.
Tapi sayangnya, kali ini dia merasa kalau setiap langkahnya adalah hasil manipulasi dari lawannya.
Dan hal itulah yang membuatnya merasa sangat bodoh.
"Kalau yang mulia tidak ingin menang, kenapa yang mulia mengajakku bermain? atau, yang mulia punya hobi membuli putrimu sendiri?"
Diremehkan, dianggap bodoh, dan juga tidak dilihat sebagai equal mungkin memang membuatnya marah. Tapi satu hal yang membuatnya paling marah adalah kenyataan kalau ayahnya tidak bermain dengan serius.
Tidak!
Ayahnya mungkin bermain dengan serius, tapi keseriusannya tidak dia tujukan untuk mendapatkan kemenangan. Tapi hasil seri. Dengan kata lain, selama permainan berlangsung pria itu selalu mencoba mengarahkan Amelie untuk membuat situasi di mana mereka akan berakhir dalam posisi stalemate.
Dan bagi Amelie yang selalu mencoba melakukan sesuatu sepenuh hati agar mendapatkan hasil yang terbaik. Tindakan ayahnya benar-benar melukai harga dirinya.
"Sudahlah, akan kuanggap pengalaman ini sebagai pelajaran berharga untukku"
Dia tidak pernah bermain dengan orang yang mengejar stalemate, jadi dia tidak menyadari niat ayahnya sampai di saat-saat terakhir.
"Jadi, apa sebenarnya maksud yang mulia memanggilku ke sini?"
Dia merasa kalau melanjutkan permainannya hanya akan membuatnya semakin emosi, karena itulah dia memutuskan untuk berhenti. Selain itu, sepertinya timinya sudah tepat untuk mulai bicara serius dengan ayahnya. Setelah sekali lagi melihat papan catur di depannya, Amelie memutuskan untuk menanyakan tentang maksud dari dipanggilnya dia ke tempat pribadi ayahnya.
"Kau buru-buru sekali, kita masih bisa ngobrol lebih lama"
"Maafkan aku yang mulia, tapi aku paham kalau yang mulia itu sibuk dan tidak punya banyak waktu luang karena itulah aku ingin membantu dengan menyelesaikan pembicaraan ini lebih cepat"
Selain itu Amelie sendiri juga bukan orang yang punya banyak waktu luang. Dia punya pekerjaan lain yang harus dia lakukan. Sebab dia sudah berada di ibukota, dia ingin sekalian memeriksa bisnisnya dan menemui pekerjanya. Kemudian, dia juga tidak ingin berlama-lama melakukan pembicaraan pribadi dengan ayahnya. Sebab hal itu bisa memancing rumor yang nantinya dijamin akan bisa jadi masalah.
"Baiklah kalau begitu! aku akan to the point"
Ayahnya membenarkan posisi duduknya lalu memasang muka serius. Memaksa Amelie juga merasa perlu memasang ekspresi yang sama. Lalu, ketika keduanya sudah terlihat sudah siap untuk melanjutkan pembicaraan Arthfaelpun berbicara.
"Amelie, apa kau ingin jadi ratu?"
Arthfael mengatakan kalimat itu dengan nada tegas, jadi tidak mungkin dia sedang bercanda ataupun main-main. Hanya saja hal itu membuat Amelie langsung tidak tahu harus berkata apa dan hanya bisa bilang. .
"Hah?"
Dengan nada bingung.
Sebagai seorang raja, dia punya banyak mata dan telinga di mana-mana. Oleh karena itulah dia tahu banyak hal tentang putrinya itu.
Bagaimana test militernya berakhir jadi petualangan, bagaimana dia terseret ke dalam perang yang tiba-tiba pecah, bagaimana nyawanya hampir hilang oleh pembunuh bayaran, dan bagaimana dia mengalahkan Genno dan Gerulf menggunakan intimidasi dan skema negosiasi yang cerdas.
Lalu, bagaimana dia membangun usahanya sendiri. Sebuah usaha yang bahkan cukup besar untuk mengakhiri duopoli oleh Aliansi dan Serikat.
"Kenapa yang mulia menanyakan tentang hal itu?"
Awalnya, Amelie hanya ingin pulang untuk menyelamatkan ibunya dan membuang tanggung jawab serta bebannya sebagai calon pewaris tahta. Kemudian, begitu dia sudah mundur dari perebutan tahta dia akan mencoba hidup dengan tenang di teritorinya sampai ayahnya ingin menggunakannya sebagai alat politik.
Tapi setelah mengalami banyak sekali hal dalam beberapa bulan terakhir, dia mulai memikirkan rencana masa depannya dengan lebih dalam.
Dia ingin merebut kebebasannya, dia ingin menentukan nasibnya sendiri, dan dia ingin bisa hidup dengan orang yang dia pilih sendiri. Dan untuk mendapatkan semua hal itu, dia tidak bisa terus berdiam diri. Dia harus punya kekuatan, kekuasaan, dan uang untuk bisa menyingkirkan semua orang yang coba untuk menghalangi jalannya.
Karena itulah dia masih belum mengambil keputusan tentang apa yang akan dia lakukan nanti.
"Bukankah kau sedang melakukan ekspansi besar-besaran sebagai persiapan untuk melawan calon lain?"
"Sekedar memastikan, apa yang berpikir seperti itu bukan hanya yang mulia?"
"Aku yakin kalau sebagian besar orang di istana dan para bangsawan punya pikiran yang sama denganku"
"Agh. . .kepalaku sakit"
"Dari ekspresimu, apa tujuanmu membangun bisnismu itu lain?"
"Tentu saja!"
Kegiatannya untuk menyebarkan pegawainya ke banyak tempat, kerja kerasnya untuk mengembangkan bisnisnya, lalu keinginannya untuk mengumpulkan sebanyak mungkin kapital sama sekali tidak ada hubungannya dengan politik di istana. Yang dia coba lakukan hanyalah mengukuhkan posisinya sebagai orang yang perlu diperhitungkan keberadaanya. Agar tidak ada orang yang berani seenaknya membuat masalah dengannya, Ibunya, dan juga teritorinya.
Dengan kata lain, dia hanya ingin mencegah kejadian dengan Gerulf terulang lagi.
Untuk masalah ekspansi, hal itu hanya terjadi begitu saja. Dia sendiri terkejut dengan perkembangan perusahaannya. Kunjungannya ke Ibukota juga dia tujukan untuk melihat keadaan lapangan yang sudah dia tinggal selama beberapa saat dengan matanya sendiri sebelum menemui bawahannya untuk membicarakan tentang rencana masa depan mereka.
"Begitukah?"
"Begitulah!"
Setelah mendengar penjelasan dari putrinya Arthfael berdiam diri untuk sesaat. Dia mencoba menyatukan informasi yang dia punya dengan keterangan yang diberikan Amelie. Kemudian dia mencoba memutuskan apakah Amelie jujur atau tidak, apakah dia punya motivasi lain atau tidak, ataupun apa yang dikatakannya memang benar-benar hasil pikirannya atau bukan.
"Aku paham, jadi! apa kau ingin jadi ratu?"
"Yang mulia paham? tapi kenapa pertanyaan itu muncul lagi?"
"Kenapa? karena aku mengundangmu ke sini untuk membicarakan topik itu"
"Apa yang mulia juga mendiskusikan topik ini dengan saudaraku yang lain?"
"Tidak, setidaknya sampai hari ini"
"Aku semakin bingung"
"Aku tidak perlu menanyakan apapun pada mereka"
Ketiga anak pertamanya sudah mendeklarasikan niat mereka untuk memperebutkan tahta. Merekapun sudah terlihat menyiapkan diri dengan melakukan banyak hal, secara umum maupun di balik layar.
"Dan untuk pemegang hak yang lain. . "
Arthfael sudah melihat manuver-manuver politik di belakang layar. Dia juga sudah melihat keluarga mereka, dan orang-orang disekitarnya mulai mendorong calon-calon yang bahkan tidak ingin maju. Sedangkan untuk fraksi-fraksi yang jelas tidak akan bisa menang, mereka mulai mengeratkan hubungan mereka dengan fraksi yang lebih kuat dan bersiap untuk mengundurkan diri.
"Statusmu masih belum jelas"
"Dan kenapa yang mulia peduli dengan statusku?"
Amelie hanyalah putri ketujuh dari Arthfael. Ya, putri ketujuh. Bukan anak ke tujuh. Jika dia ikut menghitung saudara laki-lakinya yang lain maka posisinya sebagai calon pemegang tahta bahkan jauh lebih di belakang lagi.
Posisinya yang sangat jauh dari tiga kandidat utama, umurnya yang masih sangat muda, dan ibunya yang hanya orang biasa membuatnya sama sekali tidak bisa dibilang sebagai kandidat yang kuat. Dalam masalah pengaruh politik, keberadaannya sama sekali tidak ada bandingannya dengan saudara-saudaranya yang lain.
"Apa sebenarnya kau ini bodoh?"
"Di depan yang mulia tentu saja semua orang kelihatan bodoh"
"Simpan kalimat retorikmu untuk waktu yang lain"
". . . ."
Melihat ekspresi Amelie, Arthfael akhirnya sadar kalau sepertinya putrinya benar-benar tidak paham dengan apa yang sedang terjadi.
"Ketika aku bilang jika aku mengakui kemampuanmu, aku serius"
"Benarkah?"
Amelie mengira kalau ayahnya memberikan pujian padanya, kata-kata itu hanyalah bagian dari kalimat sarkastiknya. Hanya saja, sepertinya dia sudah salah membaca suasana dan salah paham dengan maksud ayahnya.
"Aku hanya ingin memastikan, apakah pertanyaanmu yang sebelumnya malah sama sekali bukan sebuah pertanyaan?"
"Pertanyaan? dari tadi aku sedang menawarimu untuk jadi ratu!"
"Ugh. . ."
Amelie kembali memegang keningnya. Dia berhasil mengetahui satu hal, tapi hasil dari hal itu hanyalah pertanyaan lain mulai muncul di pikirannya.
"Kenapa?"
"Kenapa? karena aku akan repot kalau tidak naik tahta"
Sekarang, bukan hanya kepalanya tapi perutnya juga tiba-tiba ikut merasa sakit. Sepertinya topik ini sudah membuat tingkat stressnya melambung naik. Naik cukup tinggi sampai bahkan punya pengaruh terhadap keadaan fisiknya.
"Sekali lagi, kenapa?"
Arthfael menarik nafas panjang dan mengeluarkannya dengan pelan. Setelah itu dia menyandarkan badannya yang terlihat lebih rapuh dari raja yang ada di ingatannya ke kursinya.
"Aku yakin kalau kau sudah tahu kalau keadaan negara ini benar-benar tidak sehat"
Sebelum perang terjadi, Amteric dikenal sebagai negara besar yang kaya. Meski kemampuan self sufficiency mereka kurang dari negara lain sebab jumlah penduduknya yang lebih banyak. Tapi bisa dibilang, kemampuan ekonomi mereka masih di atas rata-rata.
Tapi sekarang, bukan hanya populasi mereka yang turun derastis, industri mereka juga mengalami stagnansi karena banyak sumber daya yang difokuskan ke arah perang, lalu yang terakhir keadaan ekonomi mereka juga terjun bebas karena kesulitan melakukan kegiatan perniagaan dengan negara lain.
"Dan keadaan itu diperparah dengan keberadaan bangsawan yang hobinya membuat konflik di mana-mana"
Amteric bukan lagi singa besar yang kuat, tapi singa tua yang penuh penyakit.
"Dan aku menganggap kalau kau punya kemampuan untuk mengobatinya"
Amelie memang ingin mendapatkan kekuatan politik, pengaruh, dan juga kekuasaan. Hanya saja, dia hanya membutuhkannya untuk memastikan kalau kehidupannya akan bisa jadi damai. Ketiganya bukanlah tujuan utamanya, melainkan hanyalah sesuatu yang dia perlukan untuk mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya.
"Aku merasa bangga mendapatkan pujian dari yang mulia, tapi aku hanyalah anak kecil"
"Kau tidak perlu pura-pura di depanku!"
Arthfael tidak tahu apakah anaknya itu jenius ataupun pendidikan di Yamatomemang sehebat apa yang dia dengar. Tap yang jelas, dia bisa melihat kalau putrinya yang ketujuh. Amelie punya kemampuan yang sama sekali jauh dari penampilan maupun umurnya.
Tiga belas tahun yang lalu, ketika dia berkunjung ke perbatasan untuk menemui Gerulf. Dia bertemu dengan Ibunya dan langsung merasakan sesuatu yang mungkin banyak orang sebut dengan 'jatuh cinta pada pandangan pertama'. Dan, mungkin juga orang lain akan menganggap kalau kenyataan jika dia menggunakan kekuasaannya untuk mendapatkan wanita itu sebagai tindakan seorang pecundang.
Dan dia sendiri memang merasa seperti pecundang.
Hanya saja dia tidak menyesali keputusannya, sebab jika dia tidak melakukannya. Kemungkinan besar kalau dia tidak akan berani mendekatinya dengan cara normal dan pada akhirnya harus membiarkan Annelliese diambil orang lain.
Tidak seperti pernikahan-pernikahan lainnya yang dilandasi kepentingan politik. Pernikahannya dengan ibu Amelie murni karena dia merasakan sesuatu bernama cinta. Malah bisa dibilang, menikahinya malah membuat posisinya jadi sedikit lebih buruk. Tapi meski begitu, dia akhirnya bisa merasakan sesuatu yang namanya 'kebahagiaan' dalam khidupan berkeluarganya.
Karena dia merasa bersalah sudah memaksakan kehendaknya pada Annelliese, dia mencoba memberikan apa yang dia mau setelah keduanya menikah. Dengan harapan jika istrinya itu akan memaafkannya dan mau mulai belajar untuk mencintainya kembali.
Tapi mungkin karena dia adalah orang biasa yang didik untuk selalu menahan diri. Annelliese tidak pernah meminta apapun kecuali sesuatu yang benar-benar sia perlukan padanya. Membuat dia merasa tidak yakin apakah istrinya menganggapnya sebagai suami, seorang raja, atau pria bajingan yang sudah merenggut masa depannya.
Hanya saja, mengesampingkan apa yang sebenarnya wanita itu pikirkan tentang dirinya. Dia tetap menyambut kedatangannya dengan senyum, bisa selalu jadi tempatnya kabur dari masalah di istana, dan memperlakukannya sebagai manusia dan bukan hanya sebagai tongkat di mana mahkota kerajaan Amteric akan ditaruh.
Dan sekali lagi, hal itu sudah cukup untuk membuatnya bahagia.
Karena keberadaannya bisa membuat Arthfael merasa tenang, dia berniat untuk membawanya ke istana. Hanya saja, setelah memikirkan kalau keberadaannya di istana akan membuat suasana jadi tegang. Dia membatalkan niatnya. Selain itu, dia juga tidak mau istrinya yang lain. Istri yang lebih pantas dia sebut rival politik membuli Annelliese dan membuat hidupnya jadi terasa buruk.
Untuk melindunginya, dia memberikan tanah kecil padanya untuk diurus di dekat tempat di mana teman dekatnya di militer, Gerulf berada. Lalu agar dia tidak terlibat konflik dengan dia mencoba mengurangi kontaknya dengan Annelliese.
Begitu dia mendengar kalau Annelliese hamil dan akhirnya melahirkan. Dia merasa sangat bahagia, sebab dengan begitu. Dia merasa kalau cintanya dengan Annelliese akhirnya jadi sempurna.
Sayangnya, pada waktu yang sama keadaan di Amteric jadi semakin buruk membuat waktu yang dimilikinya untuk menemui Annelliese semakin sedikit dan sedikit. Sampai pada akhirnya dia tidak bisa menemuinya sama sekali.
Dia hanya beberapa kali bertemu dengan Amelie saat dia kecil, dan saat itu sepertinya gadis kecil itu agak takut dengannya. Jadi, meski sebenarnya dia ingin memeluk dan mencium makhluk imut yang jadi anaknya itu. Dia tidak bisa melakukannya.
Beberapa tahun kemudian, akhirnya Amelie berumur lima tahun dan harus ke ibukota. Keinginannya untuk bisa melihat putrinya lagi akhirnya bisa terkabul. Hanya saja, ketika dia berhasil menyisihkan waktu untuk pergi ke sekolah di mana Amelie belajar. Mereka malah bertemu di tempat yang sama sekali tidak dia duga.
Pengadilan.
"Aku sudah mengawasi gerak-gerikmu sejak kejadian di pengadilan"
Ketika dia berhasil melihat sosok mungil Amelie di pengadilan, dia merasa cukup senang. Meski tempat mereka bisa bertemu, atau lebih tepatnya. Tempat dia melihat anak gadisnya itu bukan tempat yang dia inginkan. Tapi kenyataan jika dia bisa memastikan kalau Amelie sudah tumbuh dengan baik dan sehat sudah cukup membuatnya bahagia.
Sayangnya, rasa bahagia dan leganya itu hanya berlangsung beberapa menit. Sebab dia sadar, kalau kehadirannya di tempat itu bukanlah hanya untuk jadi sekedar penonton. Tapi pemain.
Arthfael sudah paham kalau pengadilan di Amteric, terutama jika kasusnya menyakut seorang bangsawan dan seseorang yang ada di bawahnya akan selalu berakhir sebagai sirkus.
Tapi sepertinya putrinya tidak paham akan hal itu, sehingga pada akhirnya dia mencoba dengan sekuat tenaga untuk membuktikan kalau orang tidak bersalah yang dibelanya itu. Memang tidak bersalah.
Awalnya dia memaksakan diri untuk mengikuti pengadilan karena khawatir dengan putrinya. Tapi, tidak disangka. Setelah hampir kalah ketika argumennya tentang 'nyawa semua orang itu nilainya sama' dipatahkan. Dia bangkit kembali dan membalikan keadaan lalu pada akhirnya menang.
Normalnya, ketika kau sedang berada dalam tekanan, musuhmu jauh lebih kuat, dan kau sama sekali tidak punya pendukung. Satu-satunya hal yang bisa kau lakukan hanyalah menyerah dan menerima keadaan. Tapi Amelie tidak menyerah, berusaha keras mencari celah yang bisa dia gunakan lalu menyerang balik dari arah yang sama sekali tidak disangka.
Bahkan keberadaannya di ruang sidang ikut dimanfaatkan oleh gadis kecil itu dengan cerdasnya.
Arthfael tentu saja tidak pernah suka tingkah bangsawan yang bertindak seenaknya, dia juga tidak punya hobi menari di atas penderitaan orang lain, selain itu sesekali dia juga ingin membalas kelakuan menjengkelkan bangsawan-bangsawan yang meremehkannya.
Tapi sayangnya, meski secara level dia yang paling tinggi dalam susunan kepemerintahan. Dalam kenyataan apa yang bisa dan tidak bisa dia lakukan itu terbatas. Karena itulah dia tidak bisa sembarangan bicara, memutuskan sesuatu, maupun memberikan hukuman pada siapapun.
Amelie berhasil memberikan Arthfael sebuah justifikasi untuk menutup kasus itu, membebaskan orang yang dibela putrinya, lalu memberikan pelajaran pada si bangasawan sombong.
Di saat itulah Arthfael sadar kalau Amelie punya nilai yang jauh lebih tinggi dari sekedar alat politik.
Meski umurnya masih lima tahun saat kejadian itu berlangsung, tapi Arthfaeli sudah bisa melihat tanda-tanda kecantikan yang bisa membuat lawan jenis akan langsung bertekuk lutut di depannya. Normalnya, penampilan cantik dan anggun adalah sesuatu yang perlu disukuri, tapi saat itu Arthfaeli sempat berharap jika Amelie punya penampilan yang biasa-biasa saja. Sebab dia tidak ingin cepat melepaskan putrinya itu pada orang lain.
"Aku harap yang mulia bisa menghormati privasiku"
"Meski aku bilang 'selalu' bukan berarti aku tahu setiap gerak-gerikmu, karena itulah nyawamu sampai bisa terancam"
Setelah terpaksa harus diusir dari sekolah karena. . . sekali lagi! masalah politik. Amelie terpaksa harus pulang ke rumahnya, bahkan sambil membawa beban yang orang lain dorongkan padanya.
Tapi sekali lagi, gadis kecil itu bisa membalikan keadaan dan mengubah beban yang dimilikinya menjadi kekuatan yang bisa dia gunakan untuk merealisasikan keinginannya. Bersama putra dari Arthur, yang juga adalah teman lamanya dan juga pemuda kecil dari Yamatoyang datang untuk jadi tutornya. Mereka bertiga berhasil membuat teritori kecil mereka jauh lebih maju. Bahkan jika dibandingkan dengan teritori yang lebih besar milik orang lain.
Setelah pasukan Amteric mengalami kekalahan besar dan Arthfael akhirnya bisa menyingkirkan ayahnya yang masih ada di tengah panggung politik meski tahta harusnya sudah jadi miliknya. Perangpun berakhir, dan sebagai jaminan kalau negaranya akan menghormati perjanjian yang sudah dibuat dengan negara-negara koalisi. Dia mengirimkan putra dan putrinya ke banyak tempat untuk jadi sandera politik.
Normalnya, seseorang yang ada dalam posisi Amelie tidak akan punya terlalu banyak nilai politik. Tapi untuk suatu alasan, Yamato secara spesifik meminta Amelie untuk dikirimkan ke sana.
Yamato adalah salah satu pionir dari berdirinya pasukan koalisi, jadi mereka punya pengaruh yang besar dalam organisasi itu. Karena itulah, meski sebenarnya tidak suka dengan permintaan mereka. Arthfael terpaksa menyetujuinya.
Waktu itu, Arthfael punya kecurigaan kalau Yamato tahu akan bakat Amelie.
Dan benar saja, ketika Amelie pindah ke Yamato dan bersekolah di sana. Gadis itu secara konstan terus membuat berita. Memecahakan rekor nilai tes masuk, terus menggenggam posisi top dalam masalah akademik, memutuskan untuk melompati kelas, lalu membuat teori tentang hal yang sebelumnya tidak pernah dipikirkan siapapun.
Dia sudah melakukan sangat banyak hal sampai kalau dibilang dia sudah secara tidak langsung memberikan kontribusi sosial pada Yamato. Tidak akan ada yang bisa menyangkalnya.
"Kurasa sudah saatnya kau menggunakan bakatmu untuk membantu negaramu sendiri"
Arthfaeli masih sedikit menyimpan rasa janggal di hatinya karena Yamato sudah mengambil Amelie. Tapi di sisi lain dia juga merasa berterima kasih karena orang-orang di sana sudah berhasil mengembangkan bakat putrinya. Bakat yang mungkin tidak akan bisa dia rawat dengan baik olehnya sendiri. Berkat mereka, Amelie bukan hanya jadi semakin pintar, tapi juga cerdas dalam menggunakan kepintarnya. Selain itu, pengalaman yang sudah dia dapatkan di lapangan sudah berhasil memoles kharismanya sambil juga mengeluarkan keberaniannya dan membuatnya paham tentang realita yang ada di sekitarnya.
Mengesampingkan umur dan penampilannya, Arthfael sudah merasa kalau Amelie sudah cukup dewasa dan mampu untuk diberikan tanggung jawab yang lebih besar.
"Jadi bagaimana? kalau kau menjawab iya aku akan menyiapkan semua yang kau perlukan dan dalam empat atau lima tahun lagi kau akan jadi ratu"
"Lalu kau akan mengontrolku dari balik layar?"
"Jangan bercanda! aku tidak punya waktu untuk melakukan hal semacam itu!"
Waktu?
"Selain itu kalau aku punya skill semacam itu aku akan melakukan semuanya sendiri"
Dari kata-katanya, Arthfael kelihatan benar-benar ingin mundur dari dunia politik dan bukan hanya menyembunyikan diri lalu bermain-main di belakang layar. Kalau apa yang dikatakannya bukan kebohongan, maka setelah menjadi ratu Amelie bisa melakukan apa yang dia mau tanpa ada yang mengekang.
Tapi. . .
"Bagaimana dengan yang lain?"
Semua calon pewaris tahta diharuskan mendapatkan pendidikan khusus sebagai bekal nanti saat mereka memimpin Amteric. Ameliepun, jika dia tidak terseret ke dalam masalah politik saat dia masih kecil harusnya juga mendapatkan hal yang sama. Oleh karena itulah, harusnya masalah skill semua orang yang akan maju memperebutkan tahta tidak ada yang kurang. Apalagi ketiga kandidat utama, mereka pasti sudah mendapatkan pendidikan yang jauh lebih intensif daripada Amelie.
"Kau bisa menghapuskan perang kalau tidak ada orang lain kecuali kau"
"Hah?"
"Dunia akan lebih baik kalau semua orang mampu berbagi"
"Ya?"
"Aku adalah orang pilihan, karena itulah kalian harus menurutiku"
"Apa?"
"Pemuda agresif, gadis naif, dan bocah narsis. . . . adalah tiga kandidat utama dalam perebutan tahta. ."
Dan Amteric yang sekarang tidak butuh orang seperti mereka.
Jika Amteric masih terlibat dalam perang secara terbuka, pemimpin yang agresif mungkin dibutuhkan untuk meningkatkan moral pasukan, menyatukan populasi, dan juga membuat musuh berpikir berkali-kali untuk melakukan konfrontasi langsung dengan negaranya.
Hanya saja, sekarang Amteric sedang mencoba untuk mencapai kesepakatan damai dengan negara lain. Jika mereka melakukan tindakan agresif lagi, maka bisa saja usaha Arthfael untuk menstabilkan keadaan Amteric akan jadi sia-sia.
Jika Amteric masuk dalam konflik lagi maka negara itu akan runtuh dan bukan tidak mungkin jika Amteric akan terpecah belah.
"Aku yakin kalau dia punya rencana jangka panjang, tapi jika dia ingin menggunakan kekuatan militer sebagai senjatanya dia harus mengkebiri kekuatan politik para bangsawan dulu!"
Yang pada akhirnya akan memancing konflik internal untuk pecah.
"Putriku yang pertama punya kharisma dan keinginan besar, tapi sayangnya. . "
Secara praktik, dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan untuk mewujudkan keinginannya itu. Selain itu, karena dia adalah seseorang yang terlalu fokus pada masalah akademik pengalamannya di dunia luar sangat minim.
"Aku tidak yakin bisa membimbingnya, dan orang lain selain aku sama sekali tidak bisa dipercaya"
Jika ada seseorang yang cukup licik untuk bisa mendekatinya dan mendapatkan kepercayaannya. Maka keputusannya akan bisa sangat mudah dipengaruhi oleh orang itu.
"Yang tentu saja adalah sebuah masalah besar! lalu yang terakhir. . . Agh! aku tidak ingin memikirkannya"
Orang Amteric, atau lebih tepat para bangsawan Amteric sudah terkenal dengan sifat sombongnya. Banyak sekali dari mereka adalah kalangan elitis yang menganggap diri mereka adalah orang pilihan dan orang yang ada di bawah mereka ada untuk kepentingan mereka.
Mindset seperti itu adalah sesuatu yang Arthfael coba hilangkan dari negaranya, sebab hal itu adalah racun. Jika tidak ada orang-orang seperti mereka, mungkin keadaan Amteric akan jauh berbeda dari keadaannya yang sekarang.
"Karena itulah aku memasang taruhanku padamu"
Setelah mendengar pernyataan itu, Amelie berdiam diri di atas kursinya.
Ayahnya serius.
Jika dia menjawab iya, kemungkinan besar dia akan benar-benar menjadi ratu. Dan menjadi ratu tentu saja datang dengan banyak hak istimewa yang bisa membuatnya mampu melakukan banyak hal dengan lebih bebas. Dengan semua hak istimewa itu, keinginan untuk membuat Ibunya bahagia akan jauh lebih mudah untuk dicapai.
"Aku. . . "
Sebuah kesempatan tidak akan datang dua kali, kalau dia menyia-nyiakan kesempatan emas ini mungkin saja dia akan menyesalinya di masa depan. Tapi. . . jika dia mengambil kesempatan itu maka dia akan kehilangan hal lain sebagai gantinya. Kesempatan besar selalu datang bersama dengan resiko besar.
Amelie adalah seseorang yang lebih suka mengandalkan logikanya dalam memutuskan sesuatu. Tapi ada saat di mana logika tidak bisa membantunya mengambil jalan yang terbaik. Atau lebih tepatnya, ada saat di mana emosinya tidak sejalan dengan logikanya. Di saat itu, keputusan apapapun yang dia ambil pasti akan membuatnya menyesal di masa depan.
Dia tidak tahu mana yang harus dia prioritaskan, perasaanya atau logikanya.
"Haruki. . ."
Tanpa sadar, dia memegang dadanya dengan erat. Atau lebih tepatnya, menggenggam cincin pemberian dari Haruki yang dia sembunyikan di balik bajunya sebagai kalung.
"Huf. . ."
Amelie menghela nafas panjang lalu menutup matanya untuk sesaat.
Di dunia ini, tidak ada yang namanya orang yang sempurna. Tapi meski begitu, Amelie percaya kalau tidak ada masalah yang tidak bisa Haruki selesaikan. Mengesampingkan metode apa yang akan dia pakai untuk menyelesaikannya, dia selalu tahu apa yang harus dia lakukan saat ada di depan sebuah masalah.
Jadi?
Kalau dia tidak bisa mempercayai dirinya sendiri, yang perlu dia lakukan hanyalah percaya pada Haruki.
Tap
Amelie menggerakan salah satu bidak caturnya kemudian bilang . .
"Sebelum aku menjawab, apa ingin menanyakan beberapa hal padamu yang mu. . . ayah."
Sambil menatap langsung ke mata ayahnya, Amelie mempersilahkan Arthfael untuk menggerakan bidaknya. Permainan mereka mungkin hanya sekedar alat basa-basi untuk pembicaraan mereka, tapi permainan di antara mereka belum selesai sebab tidak ada dari keduanya yang bilang ingin mundur atau menyerah dan juga posisi siapa yang kalah atau menang belum jelas.
Karena itulah, Arthfael memutuskan untuk melayani Amelie dalam permainan kembali. Selain itu dia juga punya agenda untuk memperlihatkan kekuatannya pada putrinya itu.
"Kau mau tanya apa?"
Tap
Sebelumnya, Amelie berhasil mencegah dirinya membuat posisi stalemate yang diinginkan oleh ayahnya. Karena itulah untuk mencegah dirinya kembali masuk ke jebakan ayahnya, dia menjalankan bidaknya dengan dengan hati-hati. Dan sebab dia sudah tahu tujuan dari ayahnya mengajaknya bermain, yaitu menunjukan kekuatannya. Diapun sudah bersiap untuk mengubah strategi dan balas menunjukan kekuatannya.
"Jika, jika negara-negara anggota pasukan koalisi menginginkan kepalamu sebagai ganti akan mengehentikan konflik dan membantu Amteric setelah perang selesai, apa yang akan kau lakukan?"
"Aku akan mencari eksekutor yang punya skill sebab aku tidak ingin lama-lama sekarat"
Tap.
Arthfael menggerakan bidaknya.
". . ."
Ayahnya menjawabnya dengan nada ringan, tapi Amelie merasa kalau orang tua itu serius saat mengatakannya. Dan keseriusan itu mampu membuat Amelie yang ingin menggerakan bidaknya menghentikan gerakannya.
"Apa-apaan ekspresimu itu Amelie? apa kau mengira kalau aku akan memberi jawaban yang lain?"
Dia mungkin anak dari seseorang.
Saudara dari seseorang.
Suami dari seseorang.
Dan ayah dari seseorang.
Tapi di atas semua itu, dia adalah seorang raja.
Karena itulah, kewajibannya untuk membahagiakan orang tuanya, mendukung saudaranya, menemani istrinya, dan membesarkan anaknya adalah tugas secondary yang harus dia tinggalkan ketika tugasnya sebagai seorang raja memanggil.
Amelie meletakan bidaknya di tempat yang dia mau, lalu dengan wajah yang sedikit pucat dia kembali menatap mata ayahnya dan kembali bertanya . .
"Apa kau tidak takut?"
"Pertanyaan bodoh macam apa itu? tentu saja aku takut? memangnya siapa yang tidak takut mati?"
Benar, pertanyaannya memang benar-benar bodoh. Sebagai seseorang yang sudah pernah merasakan seberapa dekat kematian menyapanya. Amelie tahu kalau ketakutan akan kematian adalah sesuatu yang normal, sesuatu yang semua orang tidak ingin rasakan, dan sesuatu yang semua orang ingin hindari.
Ketika dia mengingat bagaimana dia dan Eric hampir mati, Amelie bahkan masih bisa merasakan terror itu dengan jelas di kepalanya.
"Kalau begitu satu la. . ."
"Oi! oi! kau sudah bertanya dua kali kan?"
"Yang tadi jangan dihitung!!"
"Humph!! apa lagi?"
Arthfael menggerakan bidaknya, setelah itu Amelie mengikutinya dengan menggerakan bidaknya sendiri.
"Ayah. . ."
"Apa? jangan lama-alam!"
"Apa kau bahagia?"
Kali ini, yang terkejut adalah Arthfael. Pertanyaan yang diberikan oleh putrinya bahkan cukup untuk membuat kepalanya sempat blank selama beberapa detik.
Setelah itu. . .
"Ahahah. . hahah. . .hahahahah . . . aku tidak menyangka kau bisa menanyakan hal yang lebih bodoh dari pertanyaan tadi!"
"Aku serius!!"
"Aku juga serius! Amelie! lihat aku dengan seksama!"
"Ha?"
"Menurut saja dan lihat aku dengan serius!!!"
Menuruti perintah ayahnya, Amelie melihat ayahnya dengan seksama mulai dari kepala sampai kaki. Tapi setelah melakukannyapun, dia masih tidak tahu apa maksud dari perintah itu.
"Amelie! apa aku kelihatan seperti orang yang bahagia?"
"... Begitu ya. . "
Setelah melihat dengan seksama penampilan Arthfael, dia akhirnya sadar kalau ayahnya kelihatan lebih tua dari umurnya. Meski belum ada anaknya yang melewati umur dua puluh, tapi kepalanya sudah dipenuhi uban layaknya seseorang yang sudah jadi kakek. Selain itu, di balik pakaian mewah dan jubah berkilaunya, yang ada hanyalah tubuh kurus rapuh yang kelihatan lemah. Jauh lebih lemah dari Gerulf ataupun Genno yang seharusnya jauh lebih tua darinya.
Kemudian wajahnya penuh keriput, matanya kelihatan merah seakan orang yang kurang tidur, lalu yang terakhir. Ekspresi wajahnya menunjukan kalau fisik dan mentalnya sudah benar-benar lelah. Di matanya, bahkan tidak terlihat lagi ada sesuatu yang bernama 'harapan'
"Aku paham!"
Tap.
Amelie menggerakan satu bidaknya lagi, setelah itu dia berdiri lalu meminum teh yang ada di depannya dengan sekali teguk.
"Ayah, biar kuberitahukan kau sesuatu!!"
Amelie tidak peduli dengan nasib negara itu. Atau lebih tepatnya, dia tidak peduli dengan teritori bernama Amteric. Sebab baginya, tanah hanyalah tanah. Dia tidak peduli dengan nama dari tanah di mana dia hidup, dan dia tidak peduli kalau dia harus hidup di atas tanah yang namanya tidak dia tahu.
Yang paling penting baginya hanyalah orang di atasnya.
Dan dari orang-orang itupun, tidak semuanya penting baginya. Hanya orang-orang yang dekat dengannya, akrab dengannya, atau yang dia kenal yang akan jadi prioritasnya. Selain itu? dia tidak terlalu peduli dengan nasib mereka.
Jadi, kalau ditanya apakah dia bersedia mengorbankan nyawanya demi orang yang bahkan tidak dia kenal tentu saja akan dengan tegas bilang TIDAK MAU!.
"Kau ini. . ."
Banyak orang punya pikiran yang sama dengan Amelie. Tapi tidak banyak dari mereka yang mampu mengatakannya dengan wajah tenang seperti itu. Lalu, tentu saja hal yang semacam itu bukanlah sesuatu yang harusnya keluar dari mulut seorang anggota keluarga kerajaan. Sebab secara resmi, tugas mereka adalah menjadi tameng rakyatnya.
"Lalu. . ."
Menjadi ratu tentu saja datang dengan tanggung jawab besar. Tanggung jawab yang pasti akan menekan bukan hanya fisik tapi juga mentalnya. Dan jujur saja Amelie sama sekali tidak merasa senang sedikitpun ketika membanyakan kalau pekerjaannya yang sudah banyak akan ditambah lebih banyak lagi.
Impiannya adalah meninggal di tempat tidurnya dengan tenang sambil dikelilingi keluarganya.
Bukannya mati karena stress, dibunuh, ataupun karena kecapekan.
"Kukira kau ini gadis manis yang tenang, tapi ternyata ka. . . ."
"Tunggu dulu aku belum selesai!! yang terakhir. . ."
"Apa lagi!!!"
"Ini yang paling penting."
AKU INGIN BAHAGIA.
Setelah itu, keduanya terdiam untuk sesaat. Amelie yang sudah mengatakan semua yang ingin dia katakan merasa tidak perlu lagi untuk menunjukan apa yang dia mau pada Ayahnya. Dan Arthfael, yang akhirnya mendapatkan jawaban atas tawarannya pada Amelie untuk jadi ratu secara tidak langsung hanya bisa tersenyum kecil.
"Begitu ya! aku paham! jadi. . kau ingin bahagia"
Arthfael sempat melihat Amelie sebagai versi dari dirinya di masa lalu. Dirinya yang berusaha sangat keras untuk membuat dirinya lebih baik, jauh lebih baik dari orang lain agar dia bisa membuat orang tuanya mengakui kemampuannya, mempercayai keputusannya, dan menjadi orang yang bisa dia banggakan.
Demia semua itu, dia sudah membuang semua yang dia anggap tidak dia perlukan. Ketika dia sudah mendapatkan semuanya yang dia butuhkan untuk memenuhi tugasnya sebagai seorang raja. Apa yang bisa dia butuhkan untuk bisa bahagia sudah tidak ada lagi disisinya.
Dia sudah melakukan apapun yang dia bisa untuk membuat negaranya, rakyatnya, orang-orang yang ada di bawahnya untuk jadi lebih baik, lebih senang, lebih bahagia. Tapi di dalam perjalannya, dia sudah membuang kebahagiaannya sendiri demi mereka semua.
Mereka semua yang bahkan tidak dia kenal sama sekali.
"Aku ingin. . . . ."
Tanpa sadar, ada beberapa tetes air mata yang keluar dari kelopak mata Arthfael. Air mata yang dia kira sudah tidak akan pernah keluar lagi setelah dia mengambil tahta dari ayahnya. Kemudian, dengan suara lirih dia kembali bilang. . .
"Aku ingin pulang. . ."
Amelie yang permintaan lirih ayahnya tidak tahu apa yang orang tua itu maksud dengan pulang. Ke mana dia ingin pulang? pada siapa dia ingin pulang? tempat mana yang dia anggap sebagai rumah? dia tidak tahu semua itu. Tapi yang jelas, sekarang dia paham kalau ayahnya bukan seseorang yang dia bayangkan selama ini.
Ayahnya bukanlah raja jahat yang ingin menyiksa rakyatnya, dia bukanlah orang licik yang memanfaatkan semua orang, dan dia juga bukanlah orang dingin yang menganggap keluarganya hanya sebagai alat. Dia juga adalah seorang manusia, seseorang yang terjebak oleh keadaan.
Dia juga adalah korban.
"Ayah. . ."
"Apa?"
"Temanku sering bilang, jika kau tidak bisa melakukan sesuatu! biarkan orang lain melakukannya"
"Tentu saja, akupun! tidak! semua akan melakukan hal yang sama"
"Um! hanya saja temanku itu pemalas kelas dewa"
Jadi dalam prakteknya, meski dia bisa melakukan meski dia bisa melakukan sesuatu sendiri. Dia akan menyerahkan hal itu untuk orang lain lakukan.
"Dan sayangnya, orang seperti itu adalah panutan dari putrimu"
Karena itulah.
"Sebab aku sama sekali tidak ingin melakukan tugas yang kau akan berikan padaku, aku akan membiarkan orang lain melakukannya untukku"
Setelah menyeka air matanya yang mengalir di pipinya, Arthfael kembali memasang wajah serius dan membenarkan posisi duduknya. Sekali lagi, dia merubah dirinya menjadi seorang raja.
"Apa kau serius Amelie!"
"Seratus persen serius! dan sebagai catatan! kau tidak bisa memaksaku mengubah pikiran!"
"Aku yakin kalau kau pernah mendengar peribahasa, orang yang mengejar dua kelinci tidak akan mendapat satupun"
Arthfael yang paham maksud dari pernyataan Amelie tadi mencoba memberi peringatan kalau apa yang ingin gadis itu lakukan adalah sesuatu yang sangat sulit dicapai. Arthfael ingin Amelie mengorbankan kebahagiaannya demi negara, sama seperti yang dia lakukan sebelumnya. Hanya saja, gadis itu masih sama sekali tidak ingin melepaskan kebahagiaannya.
Normalnya, hal itu berarti dia akan menolak jadi ratu dan mencoba melepaskan diri dari genggamannya. Tapi yang terjadi malah lebih dari apa yang dia pikirkan. Gadis itu ingin mengejar keduanya.
Dengan kata lain, dia ingin mencari kandidat lain untuk mengambil posisinya, mencoba memperbaiki negara ini dari balik layar, lalu mendapatkan cukup kekuatan untuk bisa melepaskan ikatan atas kewajibannya pada keluarga kerajaan.
Jika dia menerima tawaran Arthfael, sebagian besar kerja keras yang diperlukan akan dilimpahkan pada Arthfael. Tapi begitu dia mengambil jalannya yang sekarang. Menemukan kandidat yang punya visi yang sama dengannya, orang yang bisa dipercaya, membangun koneksi dengan individu yang kuat, mengalahkan musuh politiknya, menggoalkan rencananya sendiri, lalu membuat namanya cukup besar sampai tidak ada yang bisa mengekangnya lagi.
Semuanya harus dia lakukan sendiri.
Jika Arthfael ada di posisinya, dia sendiri tidak yakin kalau dia bisa mencapai setengah dari target tujuannya.
"Amelie. . . kau terlal. . ."
"Bagaimana kalau kita membuat permainan? ayah"
"Hah?"
"Syarat kemenanganku adalah jika aku bisa membuat negara ini berdiri kuat kembali dan aku mendapatkan kebahagiaanku sendiri"
"Hey! sudah kubilang kalau hal itu terlalu"
"Dan syarat kekalahanku adalah adalah jika aku menyerah mendapatkan salah satunya"
"Hey dengarkan aku!!!"
"Tidak! kau yang harus mendengarkanku!"
Jika di tempat itu adalah orang lain, sudah bisa dipastikan kalau orang itu sudah menjagal Amelie karena sudah tidak hormat terhadap raja. Tapi sayangnya, tidak ada siapapun di sana kecuali mereka berdua.
Dua orang yang sama-sama keras kepalanya saat sudah memutuskan sesuatu.
"Ayah, meski aku bilang tidak terlalu peduli dengan negara ini tapi orang-orang yang penting bagiku banyak yang hidup di sini! aku tidak ingin negara ini hancur dan membuat kehidupan mereka jadi menderita! oleh sebab itulah aku akan membantumu!"
Tapi di sisi lain Amelie tidak ingin jadi ratu sebab jika dia melakukannya dia harus mengorbankan kebahagiaannya. Dia tidak ingin jadi contoh untuk orang yang bisa mendapatkan apapun kecuali kebahagiaannya sendiri seperti ayahnya. Karena itulah dia mewujudkan keinginannya dengan caranya sendiri.
"Jika ayah tetap bersikeras untuk memaksaku aku akan melawan"
"Melawan kau bilang? memangnya kau bisa ap. . ."
"Banyak, pertama! aku bisa mengalahkanmu dalam catur"
". . . . ."
Arthfael langsung buru-buru melihat ke papan catur yang ada di depannya. Di sana, dia menemukan kalau status permainan sudah berubah jauh dari apa yang dia ingat terakhir. Meski hanya ada sedikit perubahan posisi bidak di dalamnya, tapi kontrol permainan sudah beralih darinya ke Amelie.
Bagaimana hal itu bisa terjadi?
Jawabannya adalah pengalihan perhatian, pancingan dengan langkah buruk, dan tentu saja prediksi dari gerakan yang akan dia lakukan. Hal yang dia lakukan sebelumnya dengan target Amelie.
"Bagaimana? sebagai catatan aku juga bisa melakukan hal yang sama di luar sana"
Amelie sekarang ada pada posisi di mana dia bisa melakukan check dari berbagai tempat. Meski tidak ada dari mereka yang bisa membuatnya mendapatkan check mate, tapi tetap saja yang bisa Arthfael lakukan hanyalah bertahan sampai serangan gadis itu berhenti.
"Ahahaha. . . . aku benar-benar merasa bodoh! aku lupa seberapa beraninya kau"
Dia lupa bagaimana putrinya dengan tanpa takutnya menantang hukum dan norma di negaranya beberapa tahun yang lalu.
Sama seperti dalam papan catur, di dunia nyata Amelie memang punya kekuatan yang cukup untuk melawan Ayahnya. Hanya saja, kekuatan itu tidak cukup untuk mengalahkan ayahnya yang statusnya adalah raja.
"Aku menyerah!"
Arthfael bisa balik melawan putrinya, dan jika dia menggunakan kartunya dengan baik maka dia bisa menang di akhir permainan. Tapi sayangnya, meski dia menangpun dia harus mengorbankan banyak hal. Selain itu, niatnya bukanlah mengalahkan putrinya lalu menghancurkan kehidupannya. Dia hanya ingin mengalihkan tanggung jawab yang dia pikul pada seseorang yang dia anggap kompeten.
Jadi kalau orang kompeten itu menggap kalau dia bisa melakukan hal yang lebih baik, apa yang harus dia lakukan?
Yang harus dia lakukan tentu saja hanya satu.
"Aku akan percaya padamu!"
"Terima kasih banyak!"
"Tapi!"
"Tapi?"
"Berhubung kau sudah mengajukan permainan, bagaimana kalau kita pasang taruhan sekalian?"
"Taruhan?"
"Jangan bilang kau takut untuk maju?"
"Humph!!! aku terima tantanganmu!"
"Baiklah kalau begitu! kalau kau kalah maka aku akan menuruti satu permintaanku! dan tentu saja kau tidak menolak! jika perlu aku bahkan akan menggunakan kekerasan untuk mendapatkannya!"
Amelie secara reflex mundur dari tempatnya berdiri begitu mendengar hal itu dari ayahnya. Tapi dia langsung menghentikan kakinya dan menatap ayahnya dengan tatapan yang tidak kalah serius.
Kesempatan besar sama dengan resiko besar.
Resiko besar yang diberikan ayahnya juga datang bersama dengan kesempatan besar. Dan jika dia bertemu dengan kesempatan besar, tentu saja dia akan mengambilnya.
"Kalau begitu jika aku menang. . ."
Amelie memasukan tangan kanannya ke dalam bajunya, atau lebih tepatnya ke dalam baju di bagian atas dadanya lalu mengambil sesuatu dari dalamnya. Setelah itu, dia memasangkan benda itu di jari manis tangan kirinya.
"Berikan aku, tidak! berikan kami restumu!"
Setelah itu, sambil tersenyum dengan cerah. Amelie menunjukan cincin yang Haruki berikan padanya ke ayahnya.
Hari itu, para penjaga melihat Arthfael kembali ke kamarnya dengan wajah yang jauh lebih pucat dari biasanya. Ketika petugas medis menanyakan penyebabnya, jawaban yang dia dapatkan hanya. .
Sepertinya, jantungku baru saja remuk.