Chereads / Bleak Knight / Chapter 3 - Here & There

Chapter 3 - Here & There

1

Magic. Bukan hal yang sangat langka sampai dianggap tidak ada. Tapi juga tidak seumum itu sampai semua orang bisa menggunakannya hanya dengan modal buku dan latihan.

Magic yang dimaksud di sini adalah kemampuan langka yang dimiliki seseorang dari lahir. Kemampuan ini disebut magic karena tidak ada sebutan lain untuk kemampuan supranatural itu. Sebenarnya, daripada magic mungkin kemampuan itu lebih tepat disebut dengan kemampuan esper.

"Ayo Yuudai, terus dayung yang kuat."

"Berisik kau!!."

Kekuatan esper yang dimiliki seseorang tidak selalu ada hubungannya dengan kekerasan dan pertempuran. Tapi meski begitu, sebagian besar pemilik kemampuan khusus ini dicari untuk direkrut ke instansi militer.

Dan salah satu dari orang-orang itu adalah Yuudai. Oleh sebab itulah. Sekarang, di saat semua orang sedang terkapar kehabisan tenaga Yuudai masih sibuk mendayung skoci kecil yang dia dan teman-temannya tumpangi.

"Jangan melihatku dengan pandangan seperti itu, jika kau memandangku dengan wajah marah seperti itu kau jadi kelihatan terpaksa dan tidak suka rela membantu."

"Aku memang membantu dengan tidak suka rela! kau yang memaksaku melakukannya!."

"Apa maksudmu dengan memaksa? memangnya aku ini siapa? aku tidak punya hak untuk memaksamu."

Dalam kelompok kecil mereka, orang yang pangkatnya paling tinggi dan punya hak untuk memberikan perintah pada orang lain adalah Yuudai. Jadi tentu saja Haruki juga tidak punya hak untuk memberikan perintah pada Yuudai yang notabene punya kekuasaan di atasnya.

Hanya saja kelompok kecil itu tidak berjalan dengan semestinya.

"Yang kulakukan hanyalah memberi saran, melakukan atau tidak melakukannya adalah seratus persen keputusanmu."

Yang Haruki lakukan memang hanya memberi saran. Tapi saran yang Haruki berikan adalah sesuatu yang tidak bisa Yuudai tolak dalam keadaannya sekarang. Apapun yang terjadi. Meski tidak suka sarannya dan dia bahkan lebih tidak suka dengan orang yang memberi saran, tapi dia harus menelan semua perasaan itu dan menyingkirkan masalah pribadinya.

Semua orang kecuali Haruki sudah tidak makan selama dua hari berturu-turut dan tidak lagi memilki tenaga. Mereka bisa bertahan hidup dengan minum air, tapi tenaga yang sudah mereka gunakan untuk mendayung dan kabur tidak bisa dikembalikan dengan hanya air saja. Oleh sebab itulah hampir semua penumpang di skoci itu tidak bisa atau tidak mau bergerak.

Keadaan itu bisa terjadi karena banyak yang buru-buru keluar dan tidak menyiapkan bekal makanan, dan sedikit bekal yang dibawa oleh beberapa murid yang sempat membawanya seperti Amelie sudah habis setelah habis dibagi dengan semua orang.

Yuudai bisa memaksa mereka bekerja, tapi memaksa mereka sekarang sama sekali tidak produktif karena itulah Haruki malah menyuruh mereka untuk istirahat sekalian demi menyimpan tenaga.

Bahkan bagi Haruki yang sudah biasa tidak makanpun, menjaga diri untuk tetap sadar adalah sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Matanya berat, tubuhnya berat, dan pikirannya sudah diajak untuk berpikir lurus. Diapun sudah hampir mencapai batasnya.

Situasinya sekarang adalah. Selain Yuudai, pada dasarnya tidak ada satu orangpun yang masih bisa mendayung kecuali gadis itu. Jika dia menolak membantu hanya karena tidak ingin diperintah Haruki. Maka dia sudah gagal menjadi seorang pemimpin.

"Jika kau tidak membantu kenapa tidak tidur saja? jujur saja mendengar suaramu sudah cukup untuk membuatku kesal!."

Sama seperti yang lain, Yuudai juga tidak makan apa-apa dalam jangka waktu yang sama. Dan jelas dia juga merasa kelaparan. Tapi meski kelaparan, stamina gadis itu turun dengan sangat lambat. Sebab itulah kemampuan khususnya.

Kemampuan khususnya adalah dia bisa mendapatkan energi dari selain makanan.

"Sayangnya aku tidak bisa tidur, sebab jika aku tidur bisa saja kau membawa skoci ini entah ke mana."

"Aku benar-benar ingin memukul wajahmu. . ."

Tidak disuruhpun Haruki juga ingin tidur, tapi jika dia tidur di saat seperti ini mungkin dia harus tidur selamanya.

Meski Yuudai bisa diandalkan untuk mengatasi masalah kekurangan tenaga, tapi dia tidak bisa diandalkan untuk mengatasi masalah navigasi. Dan pekerjaan itu tidak bisa dia serahkan pada orang lain meski dia sangat ingin melakukannya.

Mau bagaimana lagi, selain mereka berdua semua orang sedang beristirahat. Selain itu, kecuali Yuudai yang punya kemampuan spesial juga hanya Haruki saja. Kemampuan spesialnya untuk menahan lapar dan juga kemampuan spesial untuk bisa makan apapun yang bisa dimakan.

Di hari sebelumnya Haruki sempat menemukan ikan mati yang mengapung di sampingnya secara tidak sengaja. Dan dia memakannya mentah-mentah tanpa merasa jijik. Dengan memakan ikan yang biasanya sudah tidak dianggap makanan itu, Haruki masih bisa mempertahankan tenaganya meski hanya sedikit dan membuatnya bisa menemani Yuudai.

"Ugh. . . . . Haruki. . . apa kau tidak terlalu memforsirnya?."

Haruki melihat ke bawah begitu merasakan ada sesuatu yang bergerak di atas badannya.

"Aku tahu Amelie, tapi kita tidak punya pilihan."

Yang bergerak-gerak di dalam pelukannya adalah Amelie yang baru bangun. Dan begitu bangun dia langsung paham situasi macam apa yang sedang terjadi.

"Meski kau ingin membantu kau tidak bisa membantu."

Adalah apa yang Haruki katakan.

Meski stamina yang dimiliki Yuudai bisa diandalkan tapi bukan berarti gadis itu bisa terus bekerja tanpa henti. Lama-kelamaan tubuhnya tidak akan kuat menahan beban dan tekanan karena terus dipaksa bekerja.

Meski tidak capek tapi Yuudai tetap butuh istirahat. Sama seperti mesin yang butuh perawatan berkala, tubuh Yuudai juga membutuhkan waktu untuk memulihkan dirinya sendiri. Jika terus dipaksa digunakan bisa saja gadis itu akan terkena cedera otot dan tulang.

"Maafkan aku."

Amelie ingin menolong tapi dia tidak mampu menolong. Seseorang yang bahkan tidak mampu mengepalkan tangannya sendiri karena lemas tidak akan berguna dalam situasi seperti sekarang.

"Kenapa kau minta maaf? sekarang tidur saja lagi.:

"Um. ."

Amelie mengangguk dan kembali menyandarkan badannya ke arah dada Haruki. Kemudian pemuda itu menggenggam erat telapak tangan dingin dan bergetar Amelie lalu mendekap tubuh gadis kecil itu lebih erat.

"Cih. . "

Dilihat dari manapun keadaan Amelie sama sekali tidak kelihatan baik. Tangan yang Haruki genggam tidak terasa bertenaga dan dingin seperti es, tapi kepala gadis itu terasa panas sampai dia bisa merasakan suhu tubuh gadis kecil itu hanya dengan mendekatkan wajahnya saja.

Selain yang paling muda, Amelie juga adalah orang yang paling rentan dalam kelompok mereka. Ketahanan fisiknya berada di bawah semua orang, selain itu cuaca buruk yang menemani mereka juga memperparah keadaan. Jika mereka tidak segera sampai di darat dan terkena hujan atau cuaca buruk lagi. Keadaannya akan terus semakin memburuk.

"Haruki, kau salah memberikan perhatian! meski dia seorang putri raja di negaranya tapi dia sini dia cuma salah satu murid! nyawanya tidak lebih berharga dari keselamatan semua orang."

"Tapi keselamatan kalian juga tidak lebih berharga dari nyawanya."

". . . . "

Yuudai ingin mengatakan sesuatu, tapi Haruki mengangkat tangan kanannya dan menjelaskan kalau maksud kata-katanya tidak seperti apa yang Yuudai pikirkan. Yang dia coba sampaikan adalah keduanya sama pentingya dan tidak ada yang jadi prioritas.

Tapi tentu saja Yuudai tidak bisa langsung menelan mentah kata-kata Haruki. Sebab dilihat dari manapun pemuda itu memberikan perhatian yang lebih pada Amelie adalah sebuah kenyataan.

Semua tindakannya sampai saat ini tidak diragukan adalah serangkaian usahanya untuk menjauhkan gadis kecil di pelukannya itu dari bahaya.

Yang pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak mungkin akan dilakukan oleh Haruki yang Yuudai kenal sebelumnya.

Meski selalu melihatnya tapi tatapan Haruki pada Amelie tidak kelihatan berisi pikiran kotor pada gadis yang umurnya jauh lebih muda darinya itu. Malah bisa dibilang kalau Haruki memperlakukan Amelie dengan sangat hati-hati seakan dia adalah barang berharga yang sangat rentan.

"Haruki, apa kau menyukai gadis kecil itu?."

"Ha?."

Menanggapi pertanyaan itu, Haruki langsung melihat ke arah Yuudai yang sedang memandangnya.

"Apa kau sedang mengigau? kalau iya simpan igauanmu itu saat kau sedang tidur."

Yuudai jelas tidak mengharapkan jawaban konfirmasi dari Haruki. Dan jawaban yang diterimanya tidak terlalu jauh dari apa yang dia perkirakan.

"Ha. . . ."

Haruki menghela nafas lalu melihat ke bawah dan memeriksa keadaan Amelie. Setelah memastikan kalau gadis kecil itu sudah benar-benar tertidur dan tidak bisa mendengar pembicaraan mereka. Haruki mulai bicara.

"Yuudai, saat melihatnya apa yang kau pikirkan?."

"Aku tidak paham dengan pertanyaanmu."

"Bagaimana pendapatmu tentangnya?."

"Beban. . . ."

"Pandanganmu benar-benar sempit."

"Aku melihatnya secara obyektif."

"Karena itulah aku menyebut pandangmu itu sempit."

Meski sudah sama-sama sudah di kelas tahun terakhir, Amelie masih terlalu muda dan kurang pengalaman sebab dia melompat kelas.

Kemampuan fisik yang di bawah standar, ketidakmampuannya untuk membela diri serta umurnya membuat dia tidak bisa dikirim ke garis depan. Jika dipaksakan dia akan dengan mudah mati atau malah menjadi beban bagi yang lain.

Dengan kata lain, keberadaannya merepotkan dan tidak berguna.

"Dia itu tidak cocok untuk jadi pelindung dan malah sebaliknya."

Dia lebih cocok sebagai orang yang harus dilindungi. Dan batalionnya tidak butuh orang yang bahkan tidak bisa melindungi dirinya sendiri.

"Ooo. . . jadi begitu. . . tapi bagaimana kalau aku bilang dia punya kemampuan untuk melindungi bukan hanya aku dan kau, tapi juga semua orang yang di negara yang baru kita tinggalkan."

Hanya saja Haruki punya pandangan lain. Baginya Amelie adalah sebuah aset. Aset yang besar. Dan yang punya pikiran seperti itu bukan hanya dirinya. Tapi juga orang-orang yang punya tugas untuk menggerakan negara tempatnya tinggal dari belakang layar.

"Meski dia cuma anak ketujuh?."

"Tidak ada hubungannya."

Yang penting darinya bukanlah posisinya tapi orangnya sendiri.

"Kalau bukan itu lalu apa yang membuatnya seberharga itu?."

"Sebelum itu aku mau tanya padamu, apa kau tahu penyebab kematian utama di seluruh dunia saat ini?."

"Perang. ?"

"Salah besar!!!. . . ."

Penyebab kematian terbesar di masa ini bukanlah bencana alam, perang, atau tindakan kriminal tapi kelaparan. Kelaparan adalah penyebab utama kematian seseorang pada jaman ini.

"Lalu apa hubungannya dengan pembicaraan kita?."

"Bagaimana kalau aku bilang jika dia sudah bisa memberi makan ratusan orang saat umurnya baru lima tahun dengan usahanya sendiri."

Perang adalah sesuatu yang ingin semua orang hindari. Dengan datangnya perang, bukan hanya nyawa tapi juga harta dan kehidupan seseorang jadi terancam keberadaannya. Karena itulah perang disamakan dengan kerusakan.

Tapi pada kenyataannya setelah terjadi perang malah presentase kematian karena kelaparan jadi berkurang. Perang tidak membuat tanah jadi subur, perang tidak bisa membuat panen jadi melimpah, dan tentu saja perang juga tidak bisa membuat petani jadi lebih sehat dan mampu bekerja dua kali lebih keras.

Lalu bagaimana bisa produksi makanan yang sama mampu mencukupi kebutuhan lebih banyak orang.?

"Jawabannya adalah ekonomi."

Perang berhasil menggerakan roda ekonomi dan membuat distribusi barang konsumi jadi lebih merata ke semua bagian sebuah negara.

"Seseorang tidak bisa berangkat perang dengan perut kosong."

Perang tidak bisa dimenangkan hanya dengan kekuatan dan keberanian. Sebuah pasukan membutuhkan supply agar bisa beroperasi, dan pasukan besar tentu saja membutuhkan supply yang besar.

Kebutuhan supply inilah yang membawa pedagang dan pengusaha dari kota besar untuk pergi ke daerah-daerah kecil. Dan begitu mereka datang ke sebuah daerah, mereka juga akan membawa peluang bisnis yang bisa dimanfaatkan orang-orang lokal.

Efek dari hal ini adalah distribusi barang dari kota ke daerah kecil dan juga sebaliknya jadi lebih lancar.

"Seorang komandan perang tidak pernah memulai perang, yang memulai perang adalah pejabat negara."

Alasan utama perang bisa dibagi menjadi dua. Yang pertama adalah politik dan yang kedua adalah ekonomi.

Pendorong Amteric menggulirkan perangnya adalah ekonomi. Dengan kata lain, kekuatan ekonomi itu cukup besar untuk menggerakan negara terbesar di wilayah itu untuk jadi agresif.

"Dengan keadaan ekonomi yang baik kau bisa mengurangi kelaparan, dan dengan cara yang tepat kau bisa membuat keadaan ekonomi baik tanpa menggunakan perang sebagai medium."

Sebab, tidak ada satupun perang jangka panjang yang menguntungkan. Jika kau punya uang, kau bisa menghindari perang dan menyelamatkan banyak nyawa bahkan tanpa harus mengorbankan nyawa lain.

"Dan gadis kecil ini. . . ."

Haruki menepuk pelan puncak kepala Amelie.

"Adalah kartu As untuk mengumpulkan semua kekuatan finansial itu."

Amelie. Kemampuan fisiknya sama sekali tidak berguna dalam sekolah militer. Tapi meski begitu, dia memiliki kemampuan menejemen luar biasa serta pikiran flexible yang bisa digunakan untuk memecahkan masalah bahkan yang tak terduga sekalipun.

Jika di Kiri ada sekolah khusus yang mempelajari ekonomi, dia akan langsung dimasukan ke sana. Tapi sayangnya di Yamato hanya ada sekolah militer dan sekolah khusus para bangsawan yang malah hanya akan menumpulkan pikirannya.

Oleh karena itulah Amelie dibiarkan tetap berada di sekolah militer. Hal itu juga berfungsi sebagai kamuflase agar bakatnya tidak diketahu oleh orang lain. Jika kemampuannya diketahui banyak orang bisa jadi dia akan diminta pulang ke negaranya sendiri.

"Intinya Amelie itu sangat penting, dan kehilangan dirinya adalah sebuah kehilangan besar."

Jika Amelie sendiri tidak meminta untuk ikut ujian dia bahkan tidak akan diijinkan keluar dari sekolah dengan alasan kalau dia itu sandra politik.

Hanya saja Amelie terlalu cerdik untuk ditahan dengan kata-kata. Dia bisa menemukan flaw pada argumen orang-orang dari pihak sekolah dan langsung membalik keadaan. Jika seseorang ingin mengalahkannya mereka harus menggunakan fisik. Tapi tentu saja cara seperti itu tidak bisa digunakan pada seseorang dalam posisinya.

Akhirnya Ameliepun diijinkan untuk ikut pergi.

Dengan satu syarat. . . . .

Haruki melihat ke kepala Amelie yang tersandar ke dadanya.

"Hahhh. . . . .ha. . . "

Dan dia langsung menghela nafas panjang.

Yuudai yang masih sibuk mendayung langsung memalingkan pandangannya begitu selesai mendengar penjelasan panjang lebar Haruki. Lalu, dengan suara yang cukup kecil untuk tidak bisa Haruki dengar dia berkata.

"Kau juga bukan orang bodoh. . . . ."

Haruki mengambil teropong dari tas Amelie dan melihat ke arah yang berlawanan dengan Yuudai.

"Yuudai, kau sudah bisa istirahat."

Daratan sudah terlihat, dan dari pengamatannya tadi Haruki tidak menemukan adanya musuh.

"Um. ."

Yuudai menurut dan Haruki membangunkan teman-temannya yang lain dan menyuruh mereka semua untuk menghabiskan sisa-sisa tenaganya untuk digunakan mendayung skoci mereka ke pantai.

"Aku tahu kalau kalian semua ini capek! tapi dengarkan aku dan dayung sekuat tenaga kalian! saat kita sampai di pantai biar aku yang mengurusi masalah makanan."

Mencari makanan, memungut makanan, dan memilih sesuatu yang bisa dimakan adalah skill Haruki yang levelnya tidak bisa ditandingi siapapun. Bahkan oleh Amelie sekalipun. Sebab dia yakin, di tempat itu tidak mungkin ada orang yang lebih miskin darinya.

Dengan begitu, perjalanan dua setengah hari mereka menuju daratanpun selesai.

Semua orang berhasil mencapai pantai setelah benar-benar menghabiskan tenaganya. Kemudian, begitu menginjakan kaki di daratan semua orang langsung menjatuhkan diri ke atas pasir pantai.

Haruki menyerahkan Amelie pada Yuudai sedangkan dia sendiri pergi untuk mencari makanan sesuai janjinya sambil memeriksa keadaan di sekitarnya.

Satu jam kemudian, Haruki kembali ke tempat teman-temannya sambil membawa sesuatu yang bisa dimakan. Sesuatu yang normalnya tidak dianggap sebagai makanan. Yang dibawa Haruki adalah, rumput, daun, batang, buah, dan juga serangga yang rasanya susah untuk dideskripsikan.

Saat dihadapkan pada situasi darurat, tidak ada tempat untuk kemewahan. Dan kemewahan yang yang dimaksud adalah "rasa". Tanaman dan serangga yang dibawa Haruki aman untuk dimakan. Tapi tidak ada satupun dari mereka yang punya label enak.

Sebab tidak ada yang punya cukup tenaga untuk protes, semua orang jadi anak penurut dan memakan apa yang diberikan pada mereka. Semua orang berakhir mengunyah rumput dan daun lalu menghisap akar dan batang pohon untuk mendapatkan air tawar.

Saat mereka sudah punya tenaga mereka bisa mencari makananannya sendiri dan memilih apapun yang mereka bisa temukan, tapi untuk sekarang tugas mereka hanya satu. Memulihkan diri dan mengembalikan tenaga mereka lagi agar bisa meneruskan perjalanan.

Haruki ingin segera menyusun rencana perjalanan mereka, tapi mengajak bicara orang yang sedang tidak bisa berpikir karena kelaparan kedengaran sangat tidak berguna. Oleh sebab itu dia memutuskan untuk meninggalkan teman-temannya selama beberapa waktu terlebih dahulu.

Dengan posisinya, Haruki tidak bisa memaksa siapapun melakukan apa yang dia mau lalu dengan namanya yang sudah ternoda sampai jadi sangat hitam, tidak ada siapapun yang akan mau mendengarkan atau mempedulikan omongannya.

Yang bisa mengendalikan suasana hanya Yuudai, tapi gadis itu sedang bersama Amelie dan keberadaannya tidak dia ketahui. Merasa kalau dia hanya akan membuang waktu dengan menunggui teman-temannya yang lain. Haruki masuk ke dalam hutan bakau dan melepaskan bajunya yang sudah jadi sangat tidak nyaman karena terus terkena air laut untuk dia cuci.

Ketika memeriksa keadaan dia menemukan sungai dengan air tawar jernih yang ditumbuhi banyak tanaman bakau. Dan sebab tempatnya agak jauh dari pantai suasananya tenang dan teduh. Cocok untuk bersantai.

Sayangnya, begitu dia memasukan kakinya ke dalam air dia mendengar suara cipratan air dari tempat lain. Yang berhasil menemukan tempat itu bukan hanya dirinya. Dan begitu dia melihat ke sebrang melalui celah-celah tanaman di depannya Haruki melihatnya. . . .

Tubuh kecil dengan kulit putih mulus bersih tanpa noda setitikpun.

Sinar matahari yang turun dari celah daun-daun lebat pohon di sekitarnya membuat kulitnya yang sudah cerah jadi kelihatan seperti bercahaya.

Selain itu meski memiliki tubuh kecil tapi badannya tidak kurus seperti orang kelaparan. Badannya kelihatan sehat, berisi pada tempat yang semestinya, proporsional dan juga memiliki lekuk indah layaknya seorang gadis pada umumnya.

Meski tahu kalau harusnya dia tidak melihat, Haruki berakhir terus memandang ke arah Amelie yang notabene sedang telanjang dengan hanya rambut panjang basahnya yang menempel pada kulit di beberapa bagian tubuhnya selama beberapa saat.

Tapi meski begitu, pemandangan itu gagal menaikan nafsu laki-lakinya. Pemandangan yang normalnya disamakan dengan sesuatu yang vulgar itu tidak bisa membuat Haruki ingin segera berlari dan memangsa gadis kecil itu.

Salah satu alasannya adalah masalah selera. Tapi alasan utamanya bukan hal itu.

Pemandangan yang dilihatnya terlalu indah dan menyilaukan. Terlalu indah sampai dia berpikir dia tidak pantas melihat, terlalu suci, terlalu polos, dan terlalu cerah. Karena semua hal itu, dia tidak bisa memikirkan hal kotor begitu mengingat wajah Amelie.

"Persis seperti peri."

Amelie yang ada di kepala Haruki sekarang sudah persis seperti peri kecil dalam lukisan yang pernah dilihatnya di istana. Indah, cantik, dan suci.

"Amelie. . apa kau membawa ganti?."

Begitu sadar kalau Amelie tidak sendirian, Haruki langsung jadi waspada dan menyembunyikan dirinya lebih dalam ke balik pepohona.

"Ah. . Iya. . aku membawa seragam cadangan. . kalau kau sendiri Yuudai?."

"Tidak. . apa kau punya selimut atau yang sejenisnya? kurasa aku akan menjemur pakaianku dan menunggunya kering."

"Aku punya handuk, tapi ukurannya kecil."

"Tidak masalah."

Merasa kalau jika dia terus di sana dia akan mendapatkan masalah, Haruki segera pergi dan menuju ke tempat yang lebih jauh.

Amelie kelihatan sudah lebih baik, jika dia sudah bisa bergerak dia akan bisa mengurus dirinya sendiri. Lalu untuk masalah keamanan, jika Amelie bersama Yuudai makan dia akan baik-baik saja. Jika yang dihitung hanya kekuatan fisik dan kemampuan bela diri. Yuudai punya level berkali-kali lipat jauh di atas Haruki. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Haruki memutuskan untuk segera berhenti melihat.

Begitu Haruki pergi, Yuudai muncul di hadapan Amelie dengan hanya handuk kecil menutupi badannya. Handuk milik Amelie. Dan begitu gadis kecil itu melihatnya, dia hanya bisa membuka mulutnya tanpa mengatakan apapun.

"Kenapa kau bengong? apa kau masih pusing?"

"Ti. .tidak, aku hanya sedang sakit kepala."

Dan sakit kepala itu bukan karena alasan medis.

Handuk yang dibawanya biasanya cukup untuk menutupi seluruh badannya mulai dari dada sampai ke lutut. Tapi di badan Yuudai, handuk itu hanya mampu menutup bagian bawah dadanya sampai pangkal paha saja.

"Baguslah kalau begitu. . . setelah ini kita masih harus bergerak. . . jadi kau harus bisa berjalan."

"Um. . . . setelah makan aku akan sudah merasa agak baikan."

Panas badannya masih belum turun dan kepalanya juga masih agak pusing, tapi meski begitu setidaknya dia masih berjalan sendiri. Dia mempersiapkan obat-obatan, tapi hanya pada taraf minimum dan kebanyakan dan semuanya adalah untuk digunakan pada luka luar. Obat-obatan lainnya biasanya sudah tersedia di camp latihan jadi dia tidak membawanya, tapi sayangnya gara-gara kejadian di hari sebelumnya mereka masih belum bisa sampai dan malah melakukan perjalanan yang lebih panjang.

Ketika Amelie masih sedang berpikir tentang bagaimana mengatasi masalah kesehatannya sambil menggelung rambutnya supaya tidak mengganggunya membersihkan badan, Yuudai kembali berbicara.

"Amelie, ngomong-ngomong kenapa kau ingin ikut ujian?."

Amelie berhenti membasuh badannya lalu menengokan kepalanya ke arah Yuudai yang berada di tepi sungai.

"Alasan? bukankah ujian itu kewajiban?."

Sebagai seorang murid, mengikuti pelajaran dan ujian adalah kewajiban dasar.

"Tapi kau tidak punya kewajiban itu kan?."

Amelie hanyalah seorang sandra politik. Normalnya dia tidak akan diberi kebebasan dan ruang geraknya dibatasi lalu diberi pengawasan ketat. Tapi karena memberikan tempat khusus dan pengawasan ketat akan memakan biaya dan tenaga, gadis kecil itu diputuskan untuk ditempatkan di sekolah militer.

Di sana gerakannya bisa dibatasi, selain itu tanpa personel khususpun gerak-geriknya juga bisa diawasi oleh murid lain, guru, dan juga staff sekolah yang tidak perlu diberikan insentif tambahan. Jadi pada dasarnya sekolah hanyalah tempat untuk mengurung Amelie. Lalu statusnya sebagai murid hanyalah digunakan sebagai alasan agar dia bisa ditempatkan di tempat itu tanpa ada masalah.

Dia ada di sana bukan untuk disuruh belajar, dia diberikan kesempatan belajar bukanlah karena seseorang mengharapakan kalau dia jadi pintar, dan dia jadi pintar bukanlah karena seseorang menginginkannya untuk mencapai sesuatu. Yang diinginkan darinya hanyalah kemauannya untuk menurut dan kemampuannya untuk menahan diri untuk tidak membuat masalah.

Jadi pada dasarnya meski tidak melakukan apapun Amelie akan tetap bisa berada di sekolahnya. Meski dia tidak belajar, meski dia tidak ikut ujian, dan meski dia hanya bermalas-malasan saja di ruangannya.

"Sejujurnya, keberadaanmu di sini itu malah hanya sebuah beban dan aku tidak menyukainya."

Amelie sudah tahu kalau hubungannya dengan Yuudai sama dengan orang asing yang kebetulan saling kenal. Tapi sekarang dia sadar kalau ternyata tebakannya itu salah besar. Yuudai bahkan tidak ingin kenal dengannya.

Banyak orang tidak menyukainya adalah sebuah fakta yang sudah dia tahu sejak lama. Tapi meski begitu, sampai sekarang tidak ada orang yang terang-terangan bilang kalau mereka tidak menyukainya atau membencinya.

Tapi mendengar kalau dia tidak disukai secara langsung dari orang di depannya masih membuatnya agak syok.

"Huuhh..."

Amelie menarik nafas dalam lalu berbalik membelakangi Yuudai dan memandang ke arah air jernih di bawahnya. Atau lebih tepatnya, dia memandang ke arah bayangan wajahnya yang terpancar di atas air.

"Kenapa aku ingin ikut ya? . . . ."

Dia tidak punya kewajiban untuk ikut, dan bahkan saat dia bilang dia ingin ikut ada banyak orang yang tidak mau mengijinkannya. Tapi dia memaksa dan mencari berbagai cara agar tetap bisa ikut ujian.

Setelah mencari-carinya alasan itu, akhirnya dia menemukan sebuah keinginan egois yang membuatnya ingin ikut meski harus memaksa. Sebuah keinginan yang tidak bisa dia gunakan sebagai alasan yang tepat untuk dikatakan dengan jujur.

Dia tidak ingin ditinggal sendiri bersama orang-orang yang tidak menyukainya dan dia tidak ingin berpisah dengan orang yang dekat dengannya. Dengan kata lain, sederhananya dia kesepian.

Dia ingin bersama dengan Haruki.

Amelie mengambil air dengan tangannya lalu membasuhkannya ke wajahnya dengan keras.

"Uuu. . .aku tidak bisa mengatakan alsan semacam itu."

Yuudai melirik ke arah Amelie dan mencoba mengintip ekspresi macam apa yang sedang gadis kecil itu buat.

"Hey Amelie. . ."

"Um?. . ."

"Apa kau jatuh cinta pada Haruki?."

"A? heh?. . ."

"Apa kau jatuh cinta pada Haruki?."

"Jatuh. . ? Heeeeeeee?. . . . . . . tidak!! tentu saja tidak!! kenapa kau bisa berpikir seperti itu."

"Melihat reaksi panikmu malah aku jadi ragu dengan jawabanmu."

"Aku panik karena kau bertanya hal aneh!!!. . ."

"Apanya yang aneh? melihat kedekatan kalian berdua kurasa pertanyaanku normal, selain itu bahkan ada banyak orang yang mengira kalau kalian itu punya hubungan sepesial."

"Hu-hubungan sepesial. . .tidak! hubungan semacam itu sama sekali tidak ada! memang benar kalau kami itu dekat tapi itu cuma karena kami itu teman masa kecil."

"Apa iya?."

"Tentu saja iya!!."

"Kalau begitu kenapa kau seingin itu untuk mengikutinya melakukan ujian."

"Ba-bagaimana kau bisa tahu?. . "

Yuudai tidak tahu, dia hanya mengatakannya untuk memancing jawaban dari Amelie. Tapi dia tidak menyangka kalau tebakan pertamanya malah langsung tepat sasaran.

"Jadi kau memang ikut cuma karena tidak mau ditinggal sendiri."

"Uu. . . it-itu memang benar. . tap-tapi ada alasan lain.. . "

"Ooo jadi alasan tambahan. . ."

"Bukan begitu maksudnya. . ."

"Lalu apa maksudnya. . ."

"Iii. . . "

Amelie adalah seorang gadis yang pintar, tapi dia bukanlah tipe orang yang bisa langsung menyesuaikan diri dengan situasi. Terutama jika masalah yang harus diahadapinya adalah maslah psikologis. Oleh karena itulah, ketika dihadapkan pada situasi tidak terduga dia akan mudah panik, lalu ketika dia sudah panik maka kemampuannya untuk beradu argumen akan berkurang derastis.

Dia adalah tipe orang yang akan merencanakan apa yang akan dia lakukan dulu sebelum benar-benar melakukannya, dan tentu saja dia adalah juga tipe orang yang harus berpikir dulu sebelum bicara. Jadi, ketika dia tidak bisa merencanakan atau memikirkan apa yang harus dia lakukan.

Dia akan kalah debat.

Untuk mengalahkan Amelie dalam debat yang harus dilakukan adalah, jangan pernah memberikan kesempatan Amelie untuk berpikir dan bicara dengan bebas dan terus menekan meski harus menggunakan topik yang melenceng.

"Stooopppp!!!!. . . biar kujelaskan. . . saat aku masih kecil, Haruki sudah banyak membantuku, keluargaku, dan orang-orang di teritoriku oleh karena itulah aku ingin membantunya sebisa mungkin sebagai balas budi. . ."

"Balas budi?."

"Ya, balas budi."

Kali ini tinggal Yuudai yang menghela nafas. Setelah itu dia memperhatikan Amelie yang kakinya masih berada di air dengan seksama. Dia memperhatikan tubuh kecil bagai peri yang ada di depannya dengan teliti.

"Tapi membantu. . . memangnya kau bisa membantu apa?."

Yuudai sudah mendengar tentang bakat Amelie dari Haruki, tapi dalam situasi mereka sekarang bakat itu sama sekali tidak berguna. Jadi harusnya tidak ada cara untuk Amelie bisa membantu Haruki. Bahkan dalam latihan sekalipun.

"Dalam pertempuran memang aku tidak berguna, selain itu aku sendiri paham kalau aku ini beban. . hanya saja. . bagaimana kalau kita balik cara pandangnya?"

Daripada Amelie tidak bisa bertempur dan hanya bisa melakukan hal lain, bagaimana kalau Amelie bisa melakukan semua hal lain kecuali pertempuran.

"Kata-kataku mungkin kedengaran hanya seperti alasan untuk bisa tetap berada di sini, tapi memang begitulah yang benar-benar aku rasakan."

Memang dalam pertempuran dia mungkin tidak akan berguna, tapi dia hampir bisa melakukan apa saja di luar adu fisik dan saling bunuh. Dia sudah mempelajari banyak hal, mengumpulkan ribuan pengetahuan, dan juga melakukan ratusan trial and error dari aplikasi pengetahuannya.

Ada sangat banyak hal yang bisa dia lakukan.

"Aku mungkin tidak bisa membantu banyak, tapi meski begitu ada sesuatu yang hanya aku saja yang bisa melakukannya! dan saat waktunya datang ketika dia membutuhkanku untuk melakukannya, maka aku akan membantu."

Karena itulah dia mempelajari banyak hal, bahkan hal-hal kecil yang kelihatannya tidak penting. Semuanya dia lakukan agar saat dia membutuhkan bantuan Amelie bisa langsung datang dan mengulurkan tangan.

". . . ."

Yuudai tidak bisa bicara apa-apa begitu melihatt Amelie berbicara dengan wajah senang dan sambil memasang senyum di bibirnya. Mata polos gadis kecil itu juga berhasil membuat keinginan Yuudai untuk berbicara jadi semakin hilang.

Dia ingin melakukannya, dan dia akan melakukannya, selain itu Yuudai juga punya impresi kalau Amelie senang saat melakukannya.

Tidak ada yang memaksa, tidak terpaksa, dan suka rela.

Yuudai bisa merasakan ketulusan Amelie. Dia melakukannya hanya karena dia ingin melakukannya.

"Selagi menunggu pakaian kita kering, aku akan mencari sesuatu untuk dimakan."

Yuudai memutuskan untuk tidak meneruskan topik itu lagi.

Setelah menjelang sore, semua orang kembali berkumpul ke tempat mereka semua terdampar untuk membicarakan langkah selanjutnya. Mereka sudah selamat dari satu bencana, tapi masalah mereka sama sekali belum selesai. Meski setidaknya mereka tahu kalau mereka ada di daerah yang mereka kenal di peta. Assaur.

Dengan api unggun kecil yang mereka buat sebagai pusatnya, kelompok kecil mereka duduk membentuk lingkaran di sekitar api unggun. Dan begitu semuanya sudah bisa tenang Yuudai mulai membuka pembicaraan.

"Meski kita sudah selamat, tapi keselamatan kita masih belum terjamin, tujuan kita adalah benteng milik pasukan aliansi terdekat yang jaraknya sama sekali tidak dekat."

Amelie mengeluarkan peta dari tasnya lalu meletakannya di atas pasir dan mendorongnya ke arah murid di sampingnya untuk diberikan ke Haruki. Yang tidak seperti biasanya, kali ini duduk tidak di dekat Amelie. Sekarang dia duduk di antara murid lain terpisah lumayan jauh dari Amelie yang duduk di samping Yuudai.

"Haruki. ."

Yuudai memanggil Nama Haruki dan mengalihkan perhatian murid lain agar terarah ke pemuda itu. Tanpa isyarat itu yang menandakan kalau Haruki dititipi kekuasaan, orang-orang di sekitarnya kemungkinan tidak akan mengaggap apa yang Haruki katakan itu penting.

"Ahem. . ."

Setelah menerima peta yang diberikan padanya, Haruki tanpa sengaja melihat ke arah Amelie. Dan tanpa sengaja pula pandangan mereka berdua bertemu. Tapi Haruki langsung mengalihkan pandangannya dengan cepat ke arah lain lalu membersihkan tenggorokannya.

"Aku akan menjelaskan situasinya."

Grup mereka terdiri dari orang yang jumlahnya terlalu banyak untuk melakukan perjalanan rahasia dan terlalu sedikit untuk melakukan perjalanan terang-terangan. Segerombolan orang yang bukan pedagang melakukan perjalanan bersama, meski mereka tidak melakukan apapun mereka akan tetap mengundang kecurigaan.

Secara legal tempat mereka berada adalah wilaya Amteric, tapi sudah jadi rahasia umum kalau ada banyak yang tidak beranggapan begitu. Banyak yang masih mencoba menggulingkan kekuasaan dan merebut kembali wilayah itu dari kekuasaan Amteric. Dan orang-orang itu jumlahnya sama sekali tidak sedikit.

Jadi bisa dibilang, sekarang mereka sedang terdampar di belakang garis musuh. Mereka bukan orang Amteric, tapi mereka adalah orang-orang dari negara yang membantu Amteric untuk tetap bisa menancapkan kekuasaannya di wilayah itu. Jika identitas sebagai anggota militer diketahui bisa dipastikan kalau takdir mereka akan jadi buruk.

"Karena itulah kita harus berpencar dan memilih jalur masing-masing."

Meski tidak ada yang merasa senang dengan keputusan itu, tapi tidak ada yang tidak paham dengan situasinya. Semuanya tahu kalau mereka tetap bersama, mereka hanya akan mengundang lebih banyak bahaya.

Haruki menggambar peta buta di pasir lalu memberikan tanda-tanda di titik tertentu.

"Ada banyak jalur menuju ke benteng, tapi rekomendasiku hanya ada dua."

Ada banyak jalan menuju roma.

"Jalur normal yang biasa dilalui orang biasa dan jalur tidak normal yang jarang atau malah tidak pernah dilalui orang."

Jalur tidak normal masih dibagi menjadi dua lagi, memutari gunung atau menerobos gunung.

"Jalur normal aman tapi kau harus pintar bercampur dengan orang biasa dan tidak bertingkah mencurigakan dan menghindari pemeriksaaan, jalur di tepi gunung jarang ada orang tapi kau harus hati-hati dan waspada sebab biasanya orang-orang yang berbahaya memilih tinggal di sana, untuk yang melewati gunung meski tidak ada orang tapi bersiaplah untuk menghadapi masalah yang tidak ada hubungannya dengan manusia."

Setelah menjelaskan semua opsi yang bisa dia pikirkan Haruki langsung menyuruh semua orang untuk membentuk kelompok yang terdiri tiga dua atau tiga orang."

"Uwa. . . aku benar-benar kagum dengan kemampuan mereka untuk tidak mempedulikanku."

Begitu disuruh membuat kelompok semua orang langsung bergerak menuju orang-orang yang mereka anggap bisa dipercaya. Kelompok Yuudai mendapat lima anggota, mereka memilih melewati jalur tengah menerobos pegunungan. Dari susunan anggotanya mereka adalah tipe orang-orang yang akan memukul seseorang sebelum bertanya.

Dua kelompok selanjutnya punya anggota empat dan tiga, yang satu akan mengikuti jalur kelompok Yuudai dan yang satunya akan menggunakan jalur memutar pegunungan yang tidak terlalu memakan tenaga.

Dari bentuk kelompoknya mereka kelihatan tidak ingin berpisah dengan teman-temannya yang lain, mungkin karena itu juga mereka memilih jalur tidak normal agar mereka bisa lebih dekat berhubungan dengan kelompok lain tanpa mengundang kecurigaan.

Sedangkan Haruki dan Amelie, seperti biasa mereka ada pada kelompok buangan yang terdiri dari sisa orang yang tidak ingin dijadikan anggota.

"Selamat datang di kelompok buangan."

Haruki menyambut anggota baru kelompoknya yang sama sepertinya, diputuskan untuk dihindari.

"Namaku Shun Jurou."

Amelie ikut mendekati Haruki lalu mengulurkan tangannya pada Shun. Keduanya bersalaman, lalu Amelie menghadap ke arah Haruki dan kembali mengulurkan tangannya. Tapi Haruki hanya menepuk tangannya lalu kembali berbicara dengan Shun.

"Tapi team ini benar-benar team buangan, kenapa anggotanya hanya gadis kecil yang tidak bisa apa-apa dan murid dengan rengking paling bawah."

Haruki samar-samar ingat dengan pemuda yang ada di depannya, mereka sudah beberap kali bertemu dalam ujian remidial di ruang yang sama. Meski nilai-nilai Haruki memang rendah, tapi sebenarnya masih ada yang punya secara rata-rata masih ada yang di bawahnya.

Sedangkan di sisi lain merasa tidak terima dengan kata-kata menghina itu Amelie balas bicara.

"Jangan lupa hitung juga kakak kelas yang tidak pernah lulus."

"Um. . "

Amelie tidak puas dengan reaksi itu sebab biasanya Haruki akan membalas, tapi begitu dia ingin kembali bicara pemuda itu langsung mengalihkan pembicaraan.

"Amelie, berikan kompasmu pada Yuudai dan petamu pada team yang memutari gunung."

"Apa tidak apa-apa?."

"Kau sudah mengingat isinya kan?."

"Karena petanya sederhana aku sudah mengingatnya."

"Kalau begitu tidak ada masalah, lagipula kita menggunakan jalur normal jadi kita tidak perlu peta."

"Eh? jalur normal?."

"Untuk kita bertiga, jalur itu yang paling aman."

Amelie tidak bisa bela diri, Haruki tidak bisa diandalkan dalam bertarung, dan dari skornya Shun juga tidak kelihatan tipe orang yang biasa berkelahi. Untuk orang-orang seperti mereka, bergerak di tengah banyak orang lalu masuk ke kerumunan adalah strategi yang paling cocok.

Lagipula, dalam keramaian mereka bisa lebih cepat menghilang jika mendapat masalah. Jika ada satu hal yang kelompok itu lebih hebat dari kelompok yang lain adalah kemampuan untuk memanfaatkan orang lain.

Dengan begitu, kelompok mereka berpisah dan bergerak sesuai jalur yang sudah mereka tentukan masing-masing. Haruki, Shun, dan Amelie segera bergerak ke arah jalan yang menuju ke desa terdekat.

Lalu, sambil berjalan mereka bertiga kembali membicarakan detail dari jalur yang akan mereka ambil mulai dari jalan mana, desa mana saja yang akan dilewati, dan bagaimana menghindari penjagaan di titik-titik tertentu dan juga puluhan jawaban dari pertanyaan yang mungkin akan mereka dapatkan seperti latar belakang mereka, asal, urusan dan masih banyak lagi sebagai persiapan kalau mereka diintrogasi.

Begitu mereka bertiga sampai di jalan utama, akhirnya ketiganya sampai pada topik yang paling penting untuk perjalanan mereka melewati jalur yang sudah mereka pilih.

"Sekarang, berapa uang yang kita miliki."

Haruki mengulurkan tangannya dan menunjukan enam koin tembaga, Shun memperlihatkan tiga koin perak dan Amelie menunjukan lima koin perak.

"Kita benar-benar miskin."

Tidak seperti di hutan, mereka tidak bisa mengambil buah atau memburu binatang untuk dimakan. Mereka juga tidak bisa begitu saja tidur di pinggir jalan, dan yang terakhir mereka punya masalah dengan penampilan. Berjalan-jalan menggunakan pakaian militer musuh di belakang garis musuh sama sekali tidak kedengaran seperti keputusan yang bijak.

Mereka butuh uang untuk makanan, pakaian baru, dan juga biaya penginapan.

Tapi uang yang mereka tidak cukup untuk semua itu. Perjalanan mereka menuju benteng masih cukup jauh. Jika mereka terus berjalan tanpa istirahat mereka bisa sampai hanya dalam waktu satu setengah hari, tapi hal yang seperti itu jelas tidak mungkin dilakukan.

Paling cepat mereka akan sampai di benteng dalam dua hari.

"Aku paham untuk makanan dan pakaian tapi kenapa kita harus memaksakan penginapan, aku tidak keberatan tidur di luar."

Shun dan Haruki adalah murid sekolah militer, dan bagi mereka bisa tidur di tempat yang tidak nyaman adalah kemampuan yang harus dimiliki.

"Aku juga tidak, tapi ketahuan tidur di hutan di dekat pemukiman itu mencurigakan, dan tentu saja tidur di jalan hanya akan mengundang masalah karena itulah kita harus menambahkan biaya."

"Apa iya cuma itu alasannya."

Haruki menjawab sambil melirik ke arah Amelie dengan diam-diam, karena itulah Shun agak tidak percaya dengan jawaban Haruki yang kedengaran sengaja dibuat logis.

"Hanya itu!! sekarang ganti topik! kita tidak bisa bekerja jadi cara paling cepat untuk mendapatkan uang adalah menjual apa yang kita miliki! dan sebab pakaian kita ini malah cuma akan jadi penghalang kurasa menjualnya bukan masalah."

Keduanya setuju dengan saran Haruki tapi tentu saja mereka tidak bisa melepaskan pakaian mereka di jalan, oleh karena itu sambil terus berjalan mereka mencongkel semua aksesoris yang menempel pada pakaian masing-masing.

2

Setelah berjalan hampir lima jam dan melewati beberapa desa kecil, ketiganya sampai di sebuah kota kecil. Di sana Shun menawarkan diri untuk menjual pakaian mereka. Dan sebab orang tuanya adalah pedagang, dia adalah orang yang bisa lebih diandalkan dari Amelie untuk membuat ketiganya tidak ditipu.

Sebab pada dasarnya pakaian militer mereka adalah barang langka dan kualitasnya juga bagus, uang yang mereka dapatkan lumayan banyak. Cukup untuk mereka bisa tenang meski harus melakukan perjalanan selama lima hari.

Begitu harga sudah disepakati, ketiganya langsung diberikan tempat untuk melepaskan pakaiannya dan berganti dengan pakaian yang ingin mereka beli. Tanpa membuang banyak waktu Shun dan Haruki berganti dengan cepat, tapi begitu Amelie keluar dari balik bilik tempatnya berganti keduanya langsung memasang ekspresi susah.

"Haruki, tuan putri ini benar-benar sesuatu."

"Aku paham apa yang ingin kau katakan Shun, sebab aku juga punya pikiran yang sama."

"Memangnya apa yang kalian pikirkan?."

Shun menggaruk rambutnya kesusahan menjawab pertanyaan Amelie dan Haruki yang ada di sampingnya mencoba mengingat-ingat sesuatu lalu bicara.

"Aku yakin kalau pakaianmu itu yang paling murah, tapi penampilanmu masih jadi masalah."

"Masalah? apa ada yang aneh?."

"Banyak!."

Sebab mereka ingin membaur dengan rakyat biasa tentu saja mereka memutuskan untuk membeli baju yang tidak mencolok. Pakaian yang mereka putuskan untuk beli adalah pakaian murah dengan kualitas yang bisa di bilang agak di bawah standar supaya memberikan kesan orang desa tidak punya uang yang baru pertama kali keluar ke kota besar.

Dengan kata lain kampungan.

Tapi meski sudah diberikan pakaian jelek dan lusuh entah kenapa aura yang dikeluarkan Amelie tetap saja bukan aura milik gadis desa miskin.

"Shun, ini yang namanya tuan putri sungguhan."

"Um. . aku paham."

"Kurasa kita perlu membeli pakaian tambahan, kalau bisa yang ada tudungnya, yang besar dan bisa menutupi wajahnya."

"Um. . . aku paham."

Setidaknya, jika wajah Amelie tidak terlihat dengan jelas mereka tidak akan dikira sebagai anak bangsawan dan penjaganya yang sedang lari dari rumah dengan sembunyi-sembunyi. Shun langsung mencari sebuah jubah dan membelinya, setelah itu dia memberikannya pada Amelie untuk dipakai.

Setelah Haruki dan Shun kembali memeriksa penampilan gadis kecil itu dan merasa agak puas, akhirnya ketiganya memutuskan untuk melanjutkan agendanya

Begitu acara belanja keperluan mereka selesai, ketiganya kembali melanjutkan perjalanannya. Malamnya, mereka kembali berhenti di sebuah kota kecil lalu menyewa ruangan di sebuah penginapan.

"Kalau begitu kami akan tidur di luar."

Dengan hanya menyewa satu kamar.

Dengan uang yang mereka miliki sekarang, mereka bisa menyewa lebih dari satu kamar. Tapi Haruki tidak setuju dan akhirnya mereka hanya menyewa satu saja. Uang sisa yang mereka miliki Haruki sudah sisihkan untuk keperluan tidak terduga semacam menyuap penjaga perbatasan, persiapan kalau mereka bertemu pencuri, atau keperluan mendadak lain.

"Hey Haruki, berhubung kita sudah menyewa ruangan kenapa kita harus tidur di luar? bukankah pengorbananku jadi agak sia-sia?."

Mereka sudah membayar, dan uang yang digunakan untuk membayar bukan hanya milik Amelie saja. Jadi Shun merasa kalau dia juga punya hak untuk tidur di dalam kamar yang mereka sewa. Tapi Haruki dengan tegas menyuruhnya untuk keluar dan tidur di luar bersamanya.

"Bukankah kau sendiri yang bilang bisa tidur di luar."

"Sekarang situasinya lain."

"Jangan banyak protes!."

Haruki mendorong Shun keluar dari kamar, tapi Amelie menarik pakaian Haruki dari belakang.

"Jangan pergi."

Yang Amelie minta untuk jangan pergi bukan hanya Haruki tapi juga Shun, hanya saja sebab yang dia pegang adalah pakaian Haruki kesan yang ditimbulkan adalah Amelie tidak ingin Haruki pergi.

Dan Shun berpikir begitu.

"Ooo begitu. . . harusnya kau bilang dari awal. . . aku paham. . .um. . aku paham. . . jadi aku ini cuma orang ketiga, kalau begitu aku akan menurut dan segera pergi."

Mendengar hal itu Haruki langsung membantah.

"Apa yang kau pikirkan bodoh!!!?. . . jangan berpikir aneh-aneh!."

"Tidak perlu malu! aku ini pengertian. . . . nikmati waktu kalian. . . aku tidak akan mengganggu."

"Amelie!! bilang sesuatu padanya."

"Bilang apa? aku cuma ingin bicara denganmu."

"Amelieee!!!!. . ."

Shun mundur, keluar lalu menutup pintu dengan pelan.

"Nikmati obrolan malam kalian. . . tempatku tidur tidak terlalu jauh dari sini, jadi jangan keras-keras ngobrolnya."

Dan pemuda itupun pergi lalu berjalan menjauh. Meninggalkan Amelie dan Haruki berdua saja.

Awalnya Haruki agak grogi ditinggal di sana sendirian, tapi begitu sadar kalau tidak mungkin Amelie memintanya untuk tinggal untuk alasan yang Shun pikirkan dia bisa tenang. Lalu begitu mengingat kalau situasi seperti itu bukanlah hal baru bagi mereka, dia bisa melemaskan ototnya dan bertanya dengan santai pada Amelie.

"Jadi ada apa Amelie?."

"Aku cuma ingin tanya."

"Tanya apa?."

Amelie menarik nafas lalu bicara.

"Kenapa kau menghindariku?."

"Ha? menghindari? apa maksudmu?."

"Sejak berangkat kau selalu mencoba menghindariku?."

"Tapi aku di sini kan?."

"Bukan itu!!."

Sejak mereka terdampar di pantai, Haruki mencoba tidak berkomunikasi dengan Amelie jika tidak benar-benar perlu. Normalnya mereka berdua itu pernah bisa berhenti berdebat bahkan untuk masalah kecil. Tapi sejak kemarin komunikasi di antara keduanya benar-benar tenang.

Saat membicarakan strategi biasanya Haruki akan meminta saran dari Amelie dulu sebab hanya dia yang bisa paham apa yang Haruki katakan, tapi kali ini Haruki memutuskan semuanya sendiri tanpa membicarakan apapun dengan Amelie.

Ketika Amelie mencoba melemparkan kalimat candaan. Haruki hanya memberikan reaksi setengah-setengah lalu menggunakan tawa yang juga setengah-setengah untuk segera mengakhiri pembicaraan seakan berbicara dengannya itu merepotkan.

Bahkan saat mereka sudah membentuk kelompokpun, Haruki lebih memilih membicarakan semuanya dengan Shun dan tidak terlalu mempedulikan apa yang Amelie katakan dalam perjalanan. Tidak jarang keduanya berkomunkasi menggunakan Shun sebagai medium.

"Dan yang terakhir."

Amelie melihat langsung ke mata Haruki, tapi pemuda itu langsung mengalihkan pandangannya.

"Kau tidak pernah melihat mataku saat bicara denganku."

"Itu. . . . ."

"Itu apa?. . ."

"Itu. . ."

Alasannya sangatlah sederhana. Ketika Haruki sedang membersihkan dirinya dan mencuci pakaiannya, dia bisa mendengar apa yang Amelie katakan pada Yuudai sebab lokasi mereka tidak terpaut jauh.

Dan gara-gara itu Haruki merasa malu pada Amelie sampai tidak bisa melihat matanya secara langsung.

"Apa kau marah padaku? . . . apa aku berbuat salah padamu? kalau iya aku akan minta maaf!. . tapi jangan marah lagi. . . ."

Diberi permintaan maaf tanpa tahu alasan kenapa seseorang harus minta maaf atau tidak tahu kesalahannya malah hanya akan membuat orang yang diberi permintaan maaf jadi tambah marah.

Normalnya begitu. Tapi Amelie adalah seorang gadis. Jika ada pria yang punya istri atau kekasih seperti Amelie mungkin mereka sudah menangis karena bahagia. Tidak dimarahi tanpa alasan, tidak disuruh minta maaf tanpa tahu kesalahannya, dan tidak disuruh memikirkan kesalahannya tanpa diberi petunjuk sedikitpun.

"Berhenti Amelie, aku rasa role kita agak terbalik di sini!."

Yang seperti itu hanya berlaku jika Haruki adalah seorang wanita, dan sebab dia itu bukan wanita dia tidak bertindak manja seperti itu. Kemudian Haruki juga tidak bisa menerima permintaan maaf Amelie.

"Kau tidak perlu minta maaf sebab kau tidak salah apa-apa, selain itu aku juga tidak marah padamu."

"Lalu kenapa kau menghindariku?."

"Aku tidak menghindarimu. . itu cuma. . ."

Dia tidak bisa mengatakan alasannya.

"Yang jelas aku tidak marah denganmu dan kau tidak berbuat salah, maaf kalau kau tidak nyaman tapi semuanya baik-baik saja. . . . aku mohon jangan tanya yang lain."

Haruki melihat ke arah Amelie khawatir kalau gadis itu akan menekan dan meminta jawaban yang lebih jelas.

"Huuuhh. . . . kalau begitu masalahnya selesai. . . tapi jangan menghindariku lagi. ."

"Huufffhh. . ."

Haruki menghembuskan Nafas lega.

Jika lawan bicaranya bukan Amelie, tidak mungkin Haruki bisa lolos begitu saja dengan meminta maaf sambil meminta sesuatu dari orang yang dia ajak bicara. Tapi sebab Amelie punya pikiran yang jauh lebih dewasa dari umurnya, Haruki bisa lebih tenang.

Kadang dia bahkan merasa kalau sedang berbicara dengan ibunya sendiri.

"Kalau begitu aku akan keluar."

"Tunggu!."

Satu masalah memang sudah selesai, tapi satu masalah masih belum selesai.

"Aku bilang jangan pergi kan? aku ingin kau dan Shun juga ikut tidur di kamar."

"Ha?."

"Aku ingin kalian juga ikut tidur di sini? kalau kalian tidak mau aku juga tidak akan tidur di sini dan menyia-nyiakan uang sewanya."

"Amelie."

Amelie benar-benar seperti ibunya.

Dia senang mempermainkan Haruki seenaknya.

Haruki memanggil Shun dan akhirnya ketiganya tidur di kamar yang sama. Amelie di atas kasur, dan Haruki serta Shun tidur di lantai dengan alas selimut penginapan dan handuk yang diberikan oleh Amelie.

Di hari berikutnya, mereka meneruskan perjalannya. Dan perjalanan mereka benar-benar lancar tanpa hambatan. Bahkan mereka bisa lolos pemeriksaan perbatasan dengan hanya debat kecil. Setelah mengulangi apa yang dilakukan di hari sebelumnya, ketiganya akhirnya sampai di perbatasan kedua menuju lokasi benteng berada. Dan begitu menginjakan kaki mereka di sana, semua orang sadar kalau lancarnya perjalanan mereka adalah tenangnya laut sebelum badai.

"Kenapa harus ada penyerbuan saat aku ingin ke sana?."

Haruki menjambak rambutnya begitu melihat barisan manusia yang bergerak menuju benteng yang juga mereka tuju. Mereka membawa meriam, tombak, prisai, pedang dan juga panah. Lalu, jumlah mereka mungkin ada sekitar lima ribuan orang.

"Tidak ada pilihan lain, sebelum mereka bisa mengepung benteng secara penuh kita harus mencari jalur memutar dan masuk."

Mereka bisa langsung kabur, tapi jika mereka kabur sekarang nasib mereka akan jadi semakin tidak jelas. Mereka tidak akan bisa pergi ke benteng selanjutnya yang jaraknya jauh lebih jauh lagi.

Ketiganya mengambil jalur memutar dan melewati hutan lebat. Dengan kecepatan mereka harusnya pasukan penyerbu yang lambat karena harus mempertahankan formasi tidak bisa mengejar mereka. Hanya saja Shun tidak berpikir begitu.

"Semuanya menunduk!!!."

Shun mendorong Amelie dengan kasar sedangkan Haruki langsung menunduk tanpa banyak bicara.

Sebuah lubang kecil muncul di pohon yang ada di samping Haruki.

"Pantas saja aku hanya melihat pasukan pemanah, jadi penembaknya mereka kirim untuk melakukan pemeriksaan."

"Dan kita ada di tengah hutan, benar-benar arena berburu yang pas."

Hutan lebat di mana seseorang bisa dengan mudah melakukan hit and run.

Pasukan penembak adalah pasukan yang diisi oleh orang-orang yang membawa senjata yang baru mulai diproduksi lima tahun yang lalu. Pasukan pembawa Airgun.

Karena proses pembuatannya sulit, jumlah yang diproduksi tidak bisa besar dan harganya jadi sangat mahal. Karena itulah yang bisa memilikinya hanya kalangan orang-orang yang di atas saja, dan sebab kelangkaannya itu ketika airgun dibawah dalam pertempuran hanya orang-orang tertentu yang bisa membawanya.

Dan orang-orang itu biasanya adalah pasukan khusus yang normalnya tidak ikut di barisan depan pasukan penyerang.

"Mengirimkan pasukan penembak sebagai pemeriksa keadaan, apa mereka tidak takut senjatanya diambil musuh?."

"Mungkin mereka hanya punya banyak uang."

Shun memeriksa keadaan dengan memperhatikan suara-suara yang ada di sekitarnya dan memutuskan kalau mereka masih aman. Tapi dia sama sekali tidak bisa merasa aman.

"Apa yang harus kita lakukan Haruki?."

"Sebab mereka adalah pasukan untuk memeriksa keadaan aku yakin kalau jumlah mereka tidak cuma satu."

Tapi sebab mereka juga adalah pasukan yang gunanya untuk mencari informasi tentang musuh, jumlahnya juga tidak boleh terlalu banyak. Dalam satu area itu harusnya cuma ada dua atau tiga musuh lain yang harus mereka waspadai.

"Apa kau bisa melumpuhkan orang yang tadi menembak kita?."

Jika Shun bisa melakukannya mereka bisa tenang untuk sesaat sebab orang itu tidak bisa melaporkan keberadaan mereka bertiga pada rekannya yang lain. Normalnya pasukan pengintai tidak akan pergi terlalu jauh dari lokasi yang sudah ditentukan untuk mereka, jadi kalau mereka bisa melumpuhkan orang tadi mereka akan punya waktu untuk kabur.

"Asal kita tahu posisinya, kita bisa mengapitnya dan menyerangnya dari depan dan belakang secara bersamaan."

"Kau menghitungku?."

"Tentu saja! aku tidak mau menghadapi bahaya sendiri dan aku tidak bisa menyuruh seorang tuan putri untuk menghadapi bahaya."

"Aku juga bukan ahli berkelahi, tapi aku bisa jadi umpan."

"Kalau begitu kau jadi umpan! Amelie, apa kau tahu di mana lokasi orang itu?."

"Hanya perkiraan."

Airgun tidak mengeluarkan suara tapi dengan melihat di mana peluru berakhir lalu melacak ulang arahnya, posisi penembak bisa diperkirakan, dan sebab airgun hanya punya jarak efektif sekitar lima puluh meter tempat orang itu berada bukanlah jarak yang tidak bisa dicapai dengan cepat.

"Asal tembakannya jam sepuluh sekitar empat puluh meter."

"Haruki!."

"Aku butuh gerakan tambahan darinya untuk memperkirakan lokasinya sekarang, aku akan maju duluan setelah itu aku akan memberimu tanda ke mana kau harus pergi."

"Ok."

Amelie melihat ke kanan dan kirinya dan menemukan kalau Haruki dan Shun sama sekali tidak takut.

"Bagaimana kalian bisa setenang ini? bukankah ini masalah hidup dan mati."

Shun dan Haruki berbalik melihat ke arah Amelie secara bersamaan.

"Eh. . . perang itu serunya di situ! . . . . . . bisa berhadapan dengan musuh dan saling bunuh itu adalah kesenangan tersendiri."

"Geh. . . . hobimu sama sekali tidak kedengaran sehat Shun, aku tidak segila Shun tapi aku punya banyak pengalaman menghadapi situasi semacam ini jadi aku bisa tenang."

Haruki lebih tua dari mereka berdua, Amelie dan Shun baru ingat fakta itu sekarang.

"Kalau begitu aku ber. . ."

"Tunggu dulu!!!!.."

Begitu Haruki ingin berdiri dan memulai tugasnya untuk memancing musuh Amelie menarik Haruki kembali untuk merunduk.

"Kenapa lagi."

"Aku tidak tahu dari mana kepercayaan diri untuk bisa melindungi kepala dan dadamu dari pallet musuh datang, tapi bukankah ada cara yang lebih aman untuk mengatasi masalah ini? daripada maju tanpa senjata bukankah lebih baik kalau kita menyerang balik saja?."

"Menyerang balik?."

"Temanku membuatkanku benda ini untuk membela diri, tapi sebenarnya aku tidak terlalu paham cara memakainya."

Amelie mengeluarkan sebuah senjata dari tasnya. Tidak seperti airgun pada umumnya ukurannya pendek dan tempat penyimpanan udaranya tidak di belakang tapi di bagian bawah barrel dengan bentuk bulat. Sebuah airpistol.

"Jumlah tembakannya terbatas jadi kau harus hemat."

Shun dan Haruki melihat ke arah Amelie lagi lalu berteriak.

""Kenapa kau baru bilang sekaraaaaang!!!!.""

Dengan bersamaan.

Tiba-tiba tembakan datang, tapi sebab mereka masih merunduk peluru hanya melewati atas kepala mereka.

"Shun, jam sembilan tiga puluh meter."

Haruki langsung memberikan instruksi sambil berdiri dan menarik Amelie untuk bersembunyi di balik pohon besar di belakangnya.

Shun menembak ke arah yang Haruki tunjukan.

"Meleset, jam delapan tiga puluh, lima meter."

Shun berlari diagonal dari arah yang Haruki sebut dan menghindari sebuah tembakan dengan bersembunyi di balik pohon.

"Dia mengikutimu, jam sepuluh."

Sebuah tembakan datang ke arah Haruki. Kali ini Haruki tidak bisa melihat ke mana orang itu berlari tapi dia bisa memperkirakan ke mana orang itu akan bergerak.

"Jam sebelas."

Kali ini Shun tidak menggunakan senjatanya tapi memutuskan untuk berlari dengan zigzag di antara pepohonan untuk mendekati musuhnya. Jaraknya dengan orang itu sekarang sudah tidak terlalu jauh jadi daripada membuang waktu dengan mereload airpistolnya langsung menyerang jauh lebih efisien.

"Menurut dan jatuuuhh!!!."

Dalam sekejap Shun sampai dan segera menjatuhkan musuhnya ke tanah, membuatnya tidak sadarkan diri dan mengambil senjatanya. Haruki dan Amelie keluar dari tempatnya sembunyi.

"Sekarang aku benar-benar penasaran bagaimana sistem penilaian sekolah. . bagaimana orang seperti kau bisa punya rengking terbawah?."

"Mungkin karena aku tidak pernah mengikuti agenda pelajaran?."

"Dan sekarang karaktermu bertumpukan denganku. . "

"Kalau itu kurasa tidak, lain denganmu yang malas-malasan aku tidak ikut pelajaran aku tidak diperbolehkan mengikutinya."

"Lalu sekarang kita harus menambahkan latar belakang pada karaktermu."

"Tidak ada yang menarik dari latar belakangku, keluargaku bukan keluarga besar yang memaksa sekolah agar tidak memperbolehkanku lulus! aku tidak boleh ikut pelajaran hanya karena setiap praktek aku selalu berakhir membuat lawanku hampir mati."

"Ok! Ok! sekarang pembicaraannya jadi agak menyeramkan jadi kita sudahi saja."

"Jadi sekarang apa yang harus kita lakukan pada orang ini?."

"Biarkan saja dia, kita tidak punya waktu mengurusinya! tujuan utama kita adalah segera masuk ke bent. . . . . . . Shun!!."

Shun melemparkan airgun yang diambilnya pada Haruki. Pemuda itu mendengar ada yang bergerak dengan cepat di balik pohon-pohon di sekitarnya. Tapi meski begitu dia tidak bisa memastikan di mana posisinya.

Haruki memancing reaksi orang itu dengan mencoba menembak ke arah suara yang dia dengar, tapi sesaat kemudian dia mendapatkan balasan tembakan dari arah yang tidak terduga. Bawah.

"Orang ini."

Tembakan yang datang berasal dari bawah dengan target kaki Haruki, tapi sebab ada banyak penghalang begitu sampai kekuatan yang masih tersimpan sudah berkurang banyak dan tidak mampu menembus celana Haruki.

"Dia sudah bergerak lagi, kita juga harus ikut bergerak."

Haruki tidak yakin kalau keberuntungannya akan bertahan lama, oleh sebab itulah dia mulai bergerak.

"Amelie cepat lari, aku akan menjagamu dari belakang."

Haruki mendorong tubuh Amelie dan menyuruhnya untuk segera lari, setelah itu Shun juga berlari tapi ke arah sebaliknya dan mendekati penembak tadi. Haruki sendiri terus memposisikan Amelie di belakangnya.

"Aku sangat yakin kalau lariku itu sangat cepat."

Begitu Shun sampai dia tidak menemukan jejak apapun yang bisa menunjukan ke mana buruannya pergi. Di hutan yang semua sudutunya berisi tanaman, jika seseorang bergerak ke suatu tempat harusnya ada tanda seperti daun bergerak, batang pohon kecil bengkok ke arah tidak normal, atau jejak di bawah tanah, tapi dia tidak menemukan satupun petunjuk semacam itu.

"Shun atas!!!!."

Begitu mendengar teriakan Haruki, Shun langsung melihat ke pohon di sampingnya. Dan begitu dia melihat ke sana dia menemukan seseorang sedang mengacungkan senjata ke arahnya.

"Sial!!."

Begitu Shun melihat orang itu akan menekan trigger air gunnya di tangannya dia langsung melompat ke belakang dan berguling lalu bersembunyi di belakang pohon lain. Shun langsung bersiap menyerang balik, tapi orang itu tanpa ragu langsung melompat dari ketinggian beberapa meter di atas pohon.

"Apa dia tidak takut kakinya pataahh.. . .?"

Shun berlari ke arah tempat orang itu mendarat berharap bisa melumpuhkannya dari jarak dekat seperti sebelumnya.tapi begitu dia bergerak tembakan langsung datang ke arahnya. Untuk menghindarinya Shun langsung kembali berguling ke samping dan orang itu bisa kabur.

"Cepat menjauh dari sini Amelie!, aku akan membantu Shun."

Tidak seperti sebelumnya, airgun musuh tidak menggunakan pallet tajam tapi bola jika Amelie bisa menjauh meskipun terkena tembakanpun harusnya luka yang diterimanya tidak akan mengancam nyawa.

Jenis senjata yang digunakan berbeda, apa ada pasukan lain yang ikut juga ikut menyerang benteng?.

"Arah jam empatmu Shun."

Haruki memberikan arahan pada Shun, tapi orang yang menyerang mereka juga mendengarnya dan orang itu langsung bergerak ke tempat lain dan suasanapun jadi tenang.

"Aku tidak bisa membaca gerakan spontannya itu."

"Kesempatan kita cuma saat dia menembak dan memberitahukan posisinya."

Di saat itu keduanya harus mengejar orang itu agar tidak bisa menghilang lagi.

"Kali ini siapa yang akan jadi umpan Haruki?."

"Kau yang akan jadi umpan, dia adalah tipe yang selalu menjaga jarak aman."

Haruki tidak bisa bergerak secepat Shun jadi dia tidak bisa ditugaskan untuk maju dan membuat orang itu terpaksa mundur untuk menjaga jarak aman.

"Lalu kau sendiri?."

"Memotong jalur kaburnya."

Setelah rapat itu selesai, keduanya berdiri dengan punggung menempel pada lawan bicara masing-masing. Keduanya menunggu serangan selanjutnya datang.dari balik pohon yang mereka gunakan sebagai tempat berlindung.

"Shun periksa keadaan."

"Haruki, apa kau sedang menyuruhku untuk mengorbankan kepalaku?."

"Aku senang kau paham."

"Cih. . . ."

Shun tidak menurut dan menurunkan badannya lalu bergerak dengan merayap di atas tanah secara lambat. Tujuannya adalah sebuah kayu besar yang tergeletak mungkin jatuh karena terkena petir. Dia akan menembak dari sana dan mencoba membongkar posisi lawannya.

"Siaaaall.!!"

Suara tembakan datang, tapi peluru musuh hanya mengenai batang pohon di depannya.

"Shun!!."

"Diaaamm!!!!."

Shun berlari diagonal lalu bersembunyi di balik pohon lain, setelah itu dia kembali berlari lagi. Tembakan datang lagi, tapi sebab mereload airgun butuh waktu orang itu langsung berlari dengan kencang.

Shun terus mengikuti gerakan orang itu sambil sesekali memberikan tembakan balasan yang tidak mengenai sasaran.

Proses itu berlanjut selama beberapa menit.

"Kena kau!!!."

Haruki yang juga ikut berlari lewat jalur lain untuk mengapit posisi orang itu tiba-tiba datang dari samping dan mengayunkan airgunnya dengan keras ke kepala musuhnya. Tapi musuhnya dengan mudah menghindari serangan brutalnya itu dengan merendahkan tubuhnya sambil menyerang balik dengan meninju wajah Haruki dari bawah.

"He. . . ."

Haruki tersenyum saat dia jatuh, dan meski dia tidak bisa melihat wajah musuhnya karena orang itu memakai tudung besar Haruki yakin kalau orang itu sedang terkejut.

Sambil jatuh Haruki berhasil memegang air rifle musuhnya dengan erat menggunakan tangan kirinya, membuat dia tidak akan bisa menembak Shun yang sedang berlari dengan kencang menuju tempat mereka berdua.

Hanya saja serangan kejutan itu tidak seratus persen sukses.

Musuhnya menendang barrel senjatanya sendiri agar bisa diposisikan ke atas wajah Haruki meski hanya untuk sesaat. Haruki yang sudah tidak punya cara untuk bertahan memutuskan untuk menyerang dan menggerakan airgunnya ke wajah musuhnya juga.

". . . ."

Tapi ujung senjatanya terhalang oleh tudung orang di depannya, dan begitu dia memaksa untuk menggerakannya tudung orang itu sedikit tersingkap dan menunjukan wajah orang yang ada di dalamnya.

". . . . ."

". . . . "

Kedua orang itu sudah bersiap untuk menembak dan jari keduanya sudah menekan trigger pada senjata masing-masing. Tapi begitu keduanya melihat wajah lawannya, kedua orang itu langsung menyingkirkan ujung senjatanya masing-masing beberapa senti dari targetnya.

Senjata Haruki menembus bagian kanan tudung orang di depannya, dan tepat di samping telinga kiri Haruki sebuah lubang terbentuk dari tembakan orang di depannya.

"Huuu. . . hampir saja!"

"Huuu. . . hampir saja!"

Shun yang masih belum mengetahui keadaannya masih tetap berlari dengan tujuan membunuh. Untuk menyambutnya, orang yang ada di depan Haruki menundukan badannya, menjulurkan kakinya ke belakang untuk menjegal laju Shun lalu membiarkannya terjatuh ke atas badannya sebelum menarik tangan pemuda itu dan menjungkirbalikannya ke depan dan menjatuhkan badannya ke atas tubuh Haruki.

3

"Untuk ukuran sebuah reuni aku merasa kalau kau agak keterlaluan Erwin."

"Kalau tidak salah bukankah aku yang diserang duluan Haruki?."

Shun yang tidak tahu apa-apa akhirnya hanya jadi penonton.

"Jadi apa hubungan kalian berdua?."

"Perkenalakan, namanya adalah Erwin Frank! dia adalah anak dari keluarga bangsawan militer di Amteric, tapi kau tidak perlu hormat padanya sebab pada dasarnya dia itu cuma pesuruhnya Amelie."

"Perkenalanmu macam apa itu! Aku Erwin ksatria nomor satu tuan putri Amelie."

Haruki akan memberikan kalimat retorik, tapi dia menahan diri sebab dia mendengar suara keras dari belakang yang mungkin berasal dari pasukan yang akan mengepung benteng. Oleh sebab itu, ketiganya langsung bergerak menuju benteng dan menyusul Amelie yang sudah duluan.

Amelie yang sudah menunggu di gerbang belakang benteng langsung menarik nafas lega begitu melihat Haruki dan Shun, tapi begitu dia melihat wajah baru yang berjalan bersama mereka berdua. Dia langsung memasang muka sebal.

Dan Erwin yang tidak mau membaca suasana langsung berlari lalu memeluk Amelie dengan erat. Biasanya dalam situasi seperti ini Haruki akan menghalangi siapapun yang mencoba memegang-megang Amelie sembarangan, tapi kali ini dia membiarkannya. Sebab Erwin melakukannya adalah hal yang sudah biasa.

Sudah biasa dia lakukan sejak dulu, sejak mereka bertiga masih kecil. Ketiganya adalah teman dari kecil.

"Minggir kau!!!."

Ya, tapi meski Haruki tidak merasa keberatan sepertinya Amelie sendiri benar-benar merasa keberatan dan terus melawan dalam pelukan Erwin.

Pemandangan di mana Amelie melawan Erwin persis seperti kucing yang mencoba melepaskan diri dari seseorang yang menggedongnya.

Pada akhirnya Erwin baru mau berhenti setelah Amelie memukulnya dengan keras, setelah itu semua orang masuk ke dalam benteng dan melaporkan apa yang sudah terjadi pada mereka dan teman-temannya dari awal sampai akhir.

Begitu laporan mereka selesai mereka langsung disuruh untuk istirahat di sebuah ruangan yang disediakan untuk mereka. Dan akhirnya Shun, Haruki, Amelie, dan Erwin bisa bicara dengan tenang tanpa khawatir dibunuh.

"Jadi Erwin, apa tujuanmu datang ke sini jauh-jauh dari Amteric?."

Haruki bertanya pada Erwin yang duduk di depannya.

"Aku diperintahkan untuk membawa Amelie pulang."

Di antara semua orang yang paling terkejut adalah Amelie sendiri.

"Kenapa? aku tidak bisa pulang begitu saja.."

Amelie adalah sandra politik, dia tidak bisa begitu saja pulang. Selain itu, selama dia masih murid di sekolah militer dia juga tidak bisa seenaknya pergi ke negara lain tanpa ijin dari orang-orang di atasnya.

Jika dia harus pulang, harusnya dia baru disuruh pulang tahun depan saat dia sudah lulus lalu diganti dengan sandar politik lain maupun ditebus dengan sesuatu sebagai pengganti.

"Ayahmu jatuh sakit, jadi anggota keluarga kerajaan dipanggil pulang."

Untuk keluarga biasa, jika ada anggota keluarga yang jatuh sakit anak-anaknya disuruh pulang untuk memberikan support mental adalah hal yang biasa. Tapi dalam kasus ini yang sakit adalah seorang raja. Dan berkumpulnya anak-anaknya tentu saja bukan hanya untuk urusan semacam itu.

"Cih. . .Akhirnya datang juga."

Haruki langsung paham tujuan Erwin datang.

Kalau sampai anak-anaknya dipanggil ada kemungkinan sakitnya raja bukanlah karena masalah flu biasa, dengan kata lain. Keadaan raja sudah cukup buruk sampai mungkin dia bisa meninggal kapan saja. Kemungkinan besar dia akan melakukan pemilihan terhadap penerusnya selagi diamasih punya waktu demi mencegah pemerintahan kosong kalau tiba-tiba dia harus pergi karena dipanggil malaikat.

Dengan kata lain Amelie dipanggil pulang untuk mengikuti perebutan tahta raja.

"Tapi aku ini cuma anak ketujuh, dilihat dari manapun tidak mungkin aku bisa ikut dalam perebutan kekuasaan, selain itu aku juga tidak tertarik untuk jadi raja."

Normalnya yang akan diangkat jadi raja selanjutnya adalah anak pertama, kalau anak pertama tidak bisa makan anak kedua dan selanjutnya. Tapi di Amteric yang memilih siapa yang akan jadi raja adalah raja sendiri tanpa melihat urutan.

Secara terori, semua orang punya kesempatan, asalakan mereka bisa mengambil hati raja saat ini mereka bisa mendapatkan tahta tanpa mempedulikan urutan kelahiran.

"Dengan posisimu sekarang memang kau tidak mungkin bisa jadi raja, tapi beberapa tahun ke belakang kau mendapat banyak simpati golongan rakyat kecil, dan itu agak bermasalah."

Normlanya, anak-anak raja yang lahir setelah tiga bersaudara yang pertama tidak populer di kalangan bangsawan. Dan untuk bisa naik tahta, support dari orang-orang itu sangatlah penting. Karena itulah, Amelie yang lahir hampir paling belakang punya kesempatan yang sangat kecil untuk bisa naik tahta.

"Eh? bagaimana bisa? bagaimana aku bisa mendapat simpati seseorang saat aku saja tidak ada di sana?."

Posisi dalam keluarga dan dukungan dari para bangsawan kerajaan memang penting, tapi dukungan dari rakyat kecil yang jumlahnya sangat banyak juga penting. Jika popularitas Amelie dihitung hanya dari rakyat kecil saja posisinya berada jauh di atas saudara-saudaranya yang lain.

"Bahkan sudah ada rumor kalau kau akan ikut dalam perebutan, selain itu ada beberapa bangsawan yang secara terbuka mau mendukungmu."

Meski mungkin dukungan yang diterimanya tidak akan mampu membuatnya jadi raja, tapi semua itu masih membuatnya jadi penghalang untuk calon penerus lain yang berada di atasnya.

"Aku tidak tahu siapa saja mereka, tapi yang jelas sudah ada beberapa kandidat yang dengan jelas menganggap kalau kau itu ancaman."

"Entah kenapa negaraku sendiri sekrang kedengaran lebih berbahaya dari medan perang."

Haruki mengangkat tangannya dan bicara.

"Kurasa akan lebih baik kalau Amelie tetap di sini daripada pulang dan membiarkan resiko dibunuh jadi besar, . . bilang saja kalau Amelie mundur dari perebutan tahta dan memberikan dukungannya pada kandidat lain. . . . kurasa masalahnya akan selesai."

Erwin diam sesaat lalu kembali bicara.

"Mereka tidak akan percaya kalau Amelie tidak langsung mengatakannya sendiri di depan semua orang. . . selain itu ada masalah lain yang ljuga butuh kehadiran Amelie."

"Apa itu?."

"Ibumu sakit. . ."

Ekspresi Amelie berubah seratus delapan puluh derajat begitu mendengar kabar itu.

"Setelah kau pergi beban pekerjaan teritori kita jadi semakin banyak, selain itu karena keadaan ekonomi di tempat kita lebih baik dari tempat lain ada banyak imigran yang berpindah dan membuat masalah. . . lalu. . sebagian besar dari mereka adalah budak yang kabur. . . karena itu tempat kita dianggap melindungi budak-budak dari teritori lain sehingga sekarang. . "

Ada kabar kalau akan dalam seminggu setelah Erwin sampai di benteng. akan ada penyerbuan dengan alasan mengambil kembali para kriminal yang kabur ke sana.

"Maaf, aku tidak bisa apa-apa selain berkelahi."

Awalnya Haruki juga tidak ingin membiarkan Amelie pulang, tapi tiba-tiba masalah tambahan muncul. Dan masalah itu bukanlah masalah yang bisa dia selesaikan sendiri. Oleh sebab itulah dia memanfaatkan perintah pemanggilan keluarga raja pada Amelie untuk memintanya kembali ke rumah sebelum diperintahkan ke pusat kerajaan untuk menghadap raja.

Amelie tidak bisa bicara apa-apa lagi, dan melihat itu Haruki mewakilinya untuk bicara.

"Aku paham situasinya, tapi hal itu pikirkan saja nanti! sebelum semua ini berakhir kalian tidak akan bisa keluar dari tempat ini."

Di luar pasukan musuh sudah berhasil mengepung benteng tempat mereka berada, selama orang-orang itu masih belum diatasi apapun yang terjadi Amelie dan Erwin tidak akan bisa keluar. Jadi meski masalah yang dibawa oleh Erwin itu penting, tapi masalah yang sudah ada sekarang jauh lebih penting untuk diselesaikan.

"Sekarang apa yang harus dilakukan?."

Adalah pertanyaan yang tidak bisa dijawab siapapun untuk saat itu.