1
Begitu malam tiba, konvoi perjalanan Amelie memutuskan untuk berhenti dan mendirikan tenda. Jarak mereka ke pos pemberhentian di kota selanjutnya sudah tidak terlalu jauh. Tapi meski dibilang tidak terlalu jauh, waktu yang harus untuk bisa kesana adalah tiga jam.
Mereka selalu bergerak dalam tempo lambat. Dan bergerak di dalam kegelapan malam di daerah yang kanan dan kirinya hanya ada hutan bukanlah sebuah pilihan yang aman. Oleh karena itulah mereka memutuskan untuk menghabiskan malam di tengah perjalanan.
Mereka membuat api unggun lalu mendirikan sebuah tenda untuk Amelie tidur. Sebab perjalanan mereka adalah perjalanan buru-buru, mereka hanya membawa satu tenda saja. Para pengawal Amelie adalah prajurit, dan Erwin meski tidak aktif dalam organisasi militer juga adalah orang yang tidak kesulitan untuk tidur di luar ruangan.
Setelah selesai mendirikan tenda dan makan malam, prajurit yang bertugas untuk melakukan pengawalan langsung mengatur jadwal jaga agar semua orang bisa mendapatkan jatah istirahat.
Semua orang kecuali Erwin.
Dalam perjalanan ini Erwin masuk ke dalam daftar orang yang harus ikut dijaga, tapi meski begitu pemuda itu tidak mau bertindak pasif dan memutuskan untuk ikut melakukan tugas penjagaan. Hanya saja dia tidak mengikuti jadwal yang dibuat oleh pengawal lain dan malah berakhir membuat agendanya sendiri.
Prajurit lain merasa tidak nyaman dengan kelakuan Erwin, tapi mereka tidak berani protes sehingga akhirnya mereka memutuskan untuk membiarkan pemuda itu begitu saja selama dia tidak mengganggu tugas mereka.
Hanya saja ada satu orang yang terganggu dengan apa yang Erwin lakukan.
"Hey Erwin, jika kau tidak ingin tidur bisakah kau berhenti duduk di depan tendaku?."
"Tenang saja Amelie, aku tidak akan diam-diam masuk tendamu saat kau tidur."
"Daripada di depan sana malah akan lebih baik kalau kau masuk saja, melihat bayanganmu di depan tendaku malah membuatku lebih tidak nyaman."
Yang Amelie perlu lakukan hanya membuat tembok di antara tempatnya dan Erwin tidur dengan barang-barang yang dibawanya.
"Amelie! dengarkan aku baik-baik! ketika kau ingin bicara pada laki-laki pikirlah dulu isi dan tempatnya dalam-dalam sebelum mengatakannya!"
"Memangnya aku bilang apa?."
Amelie merasa kalau tidak ada yang salah dengan perkataannya, tapi Erwin merasa kalau tempat dan waktu yang Amelie pilih tadi itu salah besar. Dan kesalahan itu membuat beberapa prajurit lain yang sedang beristirahat tidak jauh darinya melihat ke arahnya dengan tatapan tidak menyenangkan.
Sebab di dunia ini normal menganggap seorang gadis dua belas tahun sebagai target hubungan antara laki-laki dan perempuan, ada beberapa prajurit yang menganggap kalau keduanya sedang saling menggoda satu sama lain.
Yang jelas sama sekali tidak benar. Amelie hanya tidak pernah menganggap kalau dirinya perlu waspada kalau sudah menyakut Erwin maupun Haruki. Mereka sangat dekat dengan satu sama lain, dan sebab mereka sudah pernah tinggal bersama selama beberapa tahun mereka sudah tahu sangat banyak hal tentang satu sama lain. Membuat rasa malu mereka terhadap satu sama lain sudah banyak yang luntur.
Menyembunyikan sesuatu dari mereka itu sulit dan bertingkah seperti orang lain di depan mereka sama sekali tidak ada gunanya. Karena itulah mereka selalu mengatakan apa yang mereka mau dengan cara yang mereka inginkan tanpa berpikir dulu.
"Lupakan saja."
Erwin menyerah dan memutuskan tidak mempersoalkan masalah tadi.
"Aku merasa kalau ada yang mengawasi kita, tapi prajurit lain tidak ada yang menemukan sesuatu yang aneh, dan hal itu artinya cuma ada dua. . ."
Pertama hal yang Erwin rasakan hanya imajinasi dan sebenarnya tidak ada yang mengawasi mereka dari manapun. Dan kemungkinan kedua adalah, ada orang yang mengawasi mereka tapi skill bersembunyinya terlalu hebat sehingga keberadaan mereka jadi sangat sulit untuk dilacak.
Erwin berharap kalau yang terjadi adalah kemungkinan pertama, tapi dia tidak mau mengambil resiko. Oleh sebab itulah dia memutuskan untuk menjaga tenda Amelie dari luar agar bisa terus mengawasi keadaan di sekitar mereka.
Dia tidak bisa mengejar sesuatu yang keberadaannya masih tidak jelas, selain itu meski memang mereka benar-benar diawasipun dia tidak bisa pergi dan mengejar sebab dia tidak tahu lokasi persis di mana orang yang sedang mengawasinya itu.
"Aku sendiri ingin masuk, tapi aku akan tetap di luar."
Jika keadaannya tidak seperti sekarang dan di sekitar mereka tidak ada orang luar, Erwin pasti sudah masuk bahkan tanpa disuruh. Dengan begitu dia bisa melihat wajah tidur Amelie ataupun melakukan hal lain saat gadis kecil itu sedang tidur. Tapi sekali lagi, keadaan tidak mengijinkan.
Dengan begitu, Amelie menyerah untuk mengusir Erwin dan pemuda itu memutuskan untuk begadang di depan tenda Amelie sampai pagi.
Dan sampai pagi datang tidak ada apapun yang terjadi.
Begitu pagi datang, Erwin merasa kalau perasaannya jadi campur aduk. Di sisi lain dia bersukur karena semua baik-baik saja, dan di sisi lainnya dia menyesal karena sudah membuang waktunya untuk melakukan hal membosankan semalaman setelah menolak tawaran Amelie untuk ikut masuk tenda gadis kecil itu.
Oleh karena itulah, di pagi Harinya Erwin langsung jadi tidak ingin melakukan apa-apa. Begitu sarapan dan mengepak barang selesai, dia langsung naik ke dalam kereta dan berbaring di kursi di depan Amelie.
"Jika kau ingin tidur setidaknya beritahu aku apa yang kau butuhkan."
Sedangkan Amelie sendiri sedang sibuk mengecek daftar barang yang mereka bawa beserta barang-barang yang mungkin mereka butuhkan selama perjalanan. Mereka memang membawa banyak barang dari benteng koalisi untuk mempersiapkan perjalanan ke Amteric.
Tapi meski begitu perjalanan ke Amteric itu lumayan panjang, dan apa yang mereka bawa dari benteng tidak bisa terus diandalkan sebagai asuransi. Mungkin Amelie bisa langsung tenang begitu sampai di Amteric, tapi para pengawalnya harus kembali ke Benteng. Dan hal itu bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan.
Sepanjang jalannya, mayoritas yang ada hanyalah hutan tanpa pemukiman manusia. Jadi mereka tidak bisa langsung melakukan supply ulang jika ada yang kurang meski mereka punya uang. Selain itu, pada dasarnya prajurit bawah biasanya tidak diberikan tanggung jawab dalam urusan dana sehingga jika mereka dibiarkan saja mereka malah akan menggunakan dana personalnya.
Berhubung Amelie yang memegang dana, dia ingin segera melakukan resupply saat berangkat sehingga saat pulangnya semua orang hanya tinggal jalan saja tanpa repot memikirkan yang lain.
"Siapa yang akan belanja?."
"Siapa lagi kalau bukan aku?."
"Kalau begitu tidak kuijinkan."
"Kenapa.?"
"Kau terlalu menarik perhatian, serahkan saja daftar yang kau buat pada orang lain."
"Hehehe. . . kau kira aku ini amatir.?"
Amelie membuka tasnya lalu mengeluarkan sepasang pakaian dan jubah yang kelihatan murahan. Bahannya kelihatan kasar, jahitannya tidak rapi, dan warnanya yang kusam membuat meski benda itu tidak kotor tapi tetap kelihatan kumuh. Sama sekali bukan pakaian yang pantas dikenakan oleh seorang tuan putri dari sebuah negara besar.
"Ketika aku dan Haruki kabur ke benteng, kami membeli pakaian lain untuk menyamar sebagai rakyat biasa, dengan ini aku yakin kalau semuanya akan baik-baik saja."
Pakaian yang Amelie keluarkan adalah pakaian yang Shun belikan saat mereka akan melewati perbatasan.
"Ha?."
Amelie memasang wajah percaya diri dan yakin, tapi sebaliknya Erwin memasang muka heran dan tidak percaya. Dia tidak tahu mulai dari mana dia harus memberikan kalimat retorik. Dan, dia juga benar-benar tidak tahu dari mana Amelie bisa mendapatkan kepercayaan diri sebesar itu terhadap rencana penyamarannya itu.
"Apa? kenapa kau melihatku dengan muka kasihan seperti itu?."
"Kau tahu tidak Amelie, kau malah jadi semakin mencurigakan dengan pakaian seperti itu."
Daripada mengalihkan perhatian, dia malah hanya akan menarik lebih banyak perhatian. Dan itu malah lebih berbahaya dari sekedar keluar dengan pakaiannya yang biasa dia kenakan ke keramaian.
"Tapi waktu itu kami berhasil membuat penjaga perbatasan mengira kalau kami itu orang baisa?"
"Apa iya? aku agak tidak yakin."
Ketidakyakinan Erwin sama sekali bukan tidak beralasan. Meski tidak lagi perlu disebutkan dan sudah jadi rahasia umum, tapi Amelie adalah seorang tuan putri. Dan yang dia maksud di sini bukanlah hanya sekedar titlenya saja. Tapi lebih mengarah ke aura yang dipancarkannya.
Seseorang bisa menebak apakah orang lain itu bodoh hanya dengan mendengar cara bicaranya saja, seseorang bisa dilihat intelejensinya hanya dari topik yang dibicarakannya saja. Dan prajurit itu kuat atau lemah bisa dilihat bahkan hanya dari cara jalannya.
Dan hal itu juga berlaku pada Amelie. Meski kau tidak bicara padanya, tidak melakukan kontak yang terlalu dekat dengannya, atau melihatnya melakukan hal yang tidak biasa. Ada sesuatu yang secara langsung bilang kalau dia bukan seorang gadis kecil biasa.
Selain itu penampilannya juga membuat gadis kecil itu semakin jauh dari apa yang namanya rakyat biasa. Jika kau bertanya pada seseorang apakah mereka percaya kalau Amelie itu adalah anak rakyat biasa yang orang tuanya adalah petani miskin setelah melihat wajahnya, jawabannya sudah jelas tidak akan ada yang percaya.
Memangnya siapa yang akan percaya kalau di jaman ini ada anak perempuan dengan kulit putih mulus yang halus, rambut panjang terawat yang beraroma harum, serta memiliki bibir mungil semerah ceri yang kelihatan segar dan sehat itu anak orang biasa? Anak perempuan yang bisa mendapatkan perawatan yang cukup agar penampilannya bisa semenarik itu hanya anak-anak para bangsawan atau pedagang kaya.
Amelie sendiri tidak hidup dalam kemewahan. Meski Ibunya adalah istri raja, tapi keadaan ekonomi mereka hanya sedikit lebih baik dari orang biasa. Bahkan, sebab pelayan di tempatnya jumlahnya sedikit Amelie harus hidup sendiri dan mengurus semua keperluannya tanpa bantuan orang lain saat dia dipindahkan ke Yamato.
Tapi memang, kebanyakan aktivitasnya adalah kegiatan dalam ruangan. Atau lebih tepatnya, dalam ruangan kecil dan gelap, alias tempat Haruki tinggal. Selain itu, meski secara resmi dia adalah murid militer tapi dia hanya melakukan latihan fisik seperlunya saja sebab dia adalah tawanan politik, sehingga dia tidak pernah dipaksa berpanas-panasan selama seharian dalam latihan tempur. Dan yang terakhir, dia juga dibantu penampilan alaminya yang memang sudah menarik dari sananya.
Dia memang sedikit lebih memperhatikan penampilannya dari orang lain. Di sekolah lamanya di Amteric, sekolah bangsawan yang di mana penampilan adalah segalanya. Dia selalu dihukum karena tidak memperhatikan penampilan, karena selalu untuk melakukan ini dan itu untuk merawat penampilannya. Akhirnya hal itu jadi kebiasaan yang sampai sekarang masih sulit hilang.
"Mungkin saat itu kau bisa berhasil karena kau tidak sendirian."
Persis seperti yang Erwin katakan. Mereka bisa lolos dari pemeriksaan di perbatasan adalah karena mereka tidak sendirian.
Setelah merasa kalau usahanya menutupi penampilan mencolok Amelie tidak ada gunanya, Haruki langsung membalik strategi dan memutuskan membiarkan Amelie jadi bahan perhatian dan menarik kecurigaan.
Dan kecurigaan yang ditimbulkan dari seorang gadis kecil yang tidak kelihatan pantas berada di tempat kelas rendah adalah kalau Amelie adalah anak seorang bangsawan yang sedang keluar. Menggunakan impresi itu Haruki melakukan negosiasi penuh kebohongan dengan para penjaga sehingga pada akhirnya ketiganya bisa melewati perbatasan dengan aman.
"Tidak mungkin. . . ."
"Yang jelas aku tidak akan mengijinkannya, orang-orang di sini itu jarak serangnya terlalu lebar! aku khawatir kalau ada yang tidak tahan melihat keimutanmu dan mengarungimu!"
"Tapi semuanya akan baik-baik saja kalau aku dikawal kan?"
"Kita agak sedang buru-buru, jadi serahkan saja daftarnya pada seseorang lalu suruh mereka yang belanja. Kita akan tetap berjalan dan menunggu mereka sambil jalan."
"Tapi. . "
"Aku tahu kalau kau merasa bertanggung jawab, tapi kita perlu secepatnya kembali."
Dia tahu kalau mengulur waktu sama dengan mengulur kepulangannya.
"Baiklah, aku paham."
Sesuai saran Erwin, Amelie memutuskan untuk tidak berangkat belanja sendiri. Dia menyuruh dua orang prajurit untuk menggantikannya melakukannya sambil tidak lupa memberikan instruksi untuk segera kembali dan melapor kalau terjadi apa-apa.
Dia bahkan memberikan detail untuk apa saja yang harus mereka lakukan layaknya seorang
Ibu yang baru pertama kali menyuruh anaknya untuk keluar rumah sendiri. Membuat prajurit yang yang diperintahnya sampai merasa risih.
Setelah instruksi panjang lebar yang diberikannya selesai, akhirnya tiga orang prajurit yang ditugaskan untuk melakukan restockpun berangkat. Sedangkan rombongan Amelie juga berangkat dan bergerak meninggalkan kelompok kecil tadi.
Perjalanan mereka dibuat agak lambat supaya kelompok kecil yang mereka tinggalkan bisa menyusul lebih cepat. Tapi meski begitu, sampai mereka hampir melewati perbatasan tidak ada tanda-tanda dari rekan mereka yang kembali.
Lalu, di saat rasa khawatir Amelie mulai memuncak tiba-tiba kereta kuda yang ditumpanginya berhenti. Dia berharap kalau hal itu dikarenakan rekan mereka yang lain sudah datang, oleh karena itu dia buru-buru keluar untuk memeriksa keadaan.
Hanya saja, begitu di luar Amelie tidak menemukan apa yang diharapkannya.
"Ada apa Amelie?."
Amelie tidak menjawabnya.
Erwin yang sedari mencoba untuk tidur dan berbaring di dalam kereta kuda memutuskan untuk bangun setelah merasa kalau ada sesuatu yang aneh. Jika pasukan yang mereka tinggalkan sudah sampai dan berhasil membawa barang-barang yang dititipkan untuk dibeli, harusnya Amelie tidak akan diam saja begitu keluar dari kereta kuda. Dia adalah orang yang memberikan mereka tanggung jawab, dan uang yang mereka gunakan juga berasal dari Amelie. Jadi setidaknya mereka harus bicara dengan satu sama lain.
Dengan jarak Erwin yang sekarang, harusnya meski tidak ada yang berteriak dia bisa mendengar apa yang dibicarakan di luar.
Tapi dia tidak mendengar pembicaraan macam apapun. Dan hal itu membuatnya gelisah. Dan diapun memutuskan untuk keluar.
"Apa-apaan ini."
Erwin dihadapkan pada belasan orang bersenjata yang sedang mengepung kereta mereka. Selain itu dia juga melihat ada dua orang prajurit yang jatuh bersimbah darah tidak jauh dari tempatnya berada. Dan sebab dia tidak mendengar ada bunyi pertempuran, itu berarti mereka melakukan serangan kejutan.
"Serahkan barang-barang kalian dan gadis kecil itu pada kami jika kalian ingin selamat!!!."
"Amelie! mundur! ada yang aneh."
Bertemu dengan perampok dalam perjalanan jauh di tengah hutan yang sepi sama sekali bukan hal yang aneh. Area yang fokus digarap untuk dijadikan tempat tinggal dan pusat perdagangan maupun pertanian jumlahnya tidak terlalu banyak. Selain daerah-daerah itu bisa dibilang hampir semua tempat yang ada di peta adalah hutan yang normalnya tidak dihuni manusia.
Oleh sebab itulah kelompok-kelompok semacam mereka memanfaatkannya untuk dijadikan markas.
Jalur yang mereka gunakan adalah jalur umum yang juga biasa digunakan oleh para pedagang, jadi keberadaan mereka di sana juga bisa dibilang normal. Dan kedatangan mereka juga sudah diperkirakan mengingat kereta yang digunakan Amelie membawa banyak barang dan kelihatan lumayan berkelas. Karena itulah Haruki mengerahkan banyak prajurit sebagai penjaga.
Dan setelah melihat ada banyak prajurit mereka malah menyerang? dan bukannya kabur.
"Erwin. . mereka. . "
Amelie menurut dan membiarkan dirinya ditarik ke belakang tubuh Erwin.
"Ya. . . mereka bukan perampok!."
Perampok biasanya bukan kelompok yang terlalu terorganisasi, selain itu rombongan Amelie adalah berisi sekelompok prajurit perang dengan peralatan lengkap. Perampok manapun akan berpikir berkali-kali sebelum memutuskan untuk membuat mereka jadi target.
Kemudian dari cara mereka memegang senjata saja sudah terlihat jelas kalau mereka semua adalah orang-orang yang terlatih.Lalu yang terakhir, senjata yang mereka gunakan adalah senjata buatan Amteric.
Amteric adalah negara yang terkenal dengan produk metalnya sebelum melakukan invasi ke negara-negara di sekitarnya. Dan sebab di sana ada banyak sekali workshop pekerjaan metal banyak rumah pandai besi mulai melabeli produknya agar tidak disamakan dengan produk buatan orang lain.
Setelah perang sebagian besar industri metal dijadikan satu lalu diatur oleh kerajaan, dan untuk menghemat pengeluaran, produksi senjata harus dibatasi. Satu prajurit hanya boleh memiliki senjata dengan jumlah yang ditentukan. Hanya saja bagi Amteric yang sedang melancarkan perang dengan negara lain, membatasi jumlah senjata yang bisa dipakai oleh prajuritnya sama saja dengan memotong kemungkinan kemenangan mereka.
Dan senjata yang dibuat di Amteric bukanlah senjata yang dibuat dari material murahan oleh orang-orang yang tidak punya kemampuan. Senjata yang diberikan pada parajuritnya adalah senjata dengan kualitas tinggi yang tentu saja membuat harganya tidak murah.
Mereka tidak mau mengorbankan kualitas demi kuantitas. Mereka lebih mengejar kualitas daripada kuantitas.
Oleh sebab itu setiap senjata yang dibuat di Amteric selalu diberi label berupa ukiran dengan logo kerjaan dan juga nomor identitas agar bisa dengan mudah diambil kembali dan digunakan lagi.
Sama seperti senjata yang digunakan untuk mengancam rombongan mereka. Ada ukiran kerajaan Amteric dan nomor identitas pada senjata-senjata yang mereka gunakan.
Yang artinya cuma ada dua. Mereka adalah prajurit Amteric yang menyamar menjadi perampok, atau mereka perampok yang berhasil mengambil senjata dari prajurit Amteric.
Tebakan optimis Amelie adalah perkiraan kedua, tapi Erwin berpikir lain dan yakin kalau pilihan pertama adalah hal yang sebenarnya terjadi.
Amelie hanya setahun bersekolah di sekolah bangsawan di Amteric, setelah itu dia dipindahkan ke Yamato. Selain itu dia juga tidak ahli dalam masalah bela diri.Tapi Erwin lain. Dia bersekolah di sekolah militer Amteric dan setiap teknik yang diajarkannya sudah meresap jauh ke dapam tulangnya sampai dia tidak perlu mengingat apapun saat ingin menggunakannya.
Dan dari pengamatannya, dia bisa dengan jelas melihat kalau musuh mereka menggunakan kuda-kuda yang biasa digunakan oleh para kavaleri saat akan bersiap menyerang.
"Jumlah mereka lebih banyak dari kita."
Perjalanan mereka menuju rumah Amelie masih jauh dan barang-barang mereka tidak bisa ditinggal. Mereka tidak bisa kabur begitu saja, jika mereka memaksa kabur mereka tidak akan bisa bergerak cukup cepat untuk membuat prajurit yang sedang menyamar sebagai perampok di depan mereka menyerah untuk mengikuti mereka.
Pilihan mereka cuma satu.
"Saatnya kalian bekerja!!!."
Bertarung dan mengalahkan musuh di depan mereka.
Begitu salah seorang mulai mengangkat senjata dan menyerang, orang-orang di sekitarnyapun mulai melakukan hal yang sama.
"Amelie, airgunku?."
"Ada di belakang, tapi aku tidak yakin kita bisa mengambilnya."
Kemampuan Erwin bukan tidak memiliki batasan, dia tidak bisa menggunakannya terus menerus, dan jarak jangkaunya hanya lima meter, selain itu yang dia hanya bisa mengaplikasikannya pada satu benda saja dalam satu waktu.
"Amelie! naik!."
"Ha?."
"Kubilang naik!."
"Naik ke mana?."
"Ke punggungku!."
"Maksudmu gendong?."
"Ya!!! cepat!!!.."
"Kenapa?."
"Gendongan tuan putri itu menyusahkan!."
"Ha?. . ."
"Kita akan memisahkan diri! karena itu cepat naiklah!!."
Dalam masalah skill prajurit dari kedua belah pihak tidak mempunyai perbedaan yang mencolok. Dari segi peralatan prajurit koalisi juga tidak kekurangan apapun. Hanya saja dalam jumlah personil mereka punya masalah.
Jumlah mereka tidak seimbang. Jika keadaan terus dibiarkan begitu saja, bisa jadi mereka harus dipaksa untuk melakukan pertarungan satu lawan dua atau bahkan malah lebih. Oleh sebab itulah Erwin akan mencoba membagi konsentrasi musuh agar prajurit lain bisa bertarung dalam keadaan yang lebih menguntungkan.
"Apa kau serius Erwin? aku sangat yakin kalau tadi ada yang menunjuk mukaku!."
Mereka berpenampilan seperti perampok, bertindak seperti perampok, dan bicara seperti perampok. Tapi meski begitu Amelie yakin kalau tujuan utama mereka bukanlah untuk menjarah kereta yang mereka tumpangi, melainkan membunuhnya.
Yang artinya, dengan membawanya Erwin akan memancing banyak orang untuk mengejarnya.
"Cepat!!!."
Amelie melihat ke sekitarnya dan menemukan semua prajurit yang ada di sekitarnya sedang bertempur melawan musuh. Mereka bertarung sengit melawan satu sama lain menggunakan tombak ataupun pedang.
Prajurit yang ditugaskan melindunginya mencoba bertahan, tapi terlihat jelas kalau mereka mulai dipaksa mundur. Beberapa di antara mereka bahkan sudah ada yang mengalami luka parah.
Sehebat apapun mereka jika lawannya punya level yang sama dan jumlah yang lebih banyak, sekuat apapun pertahanan yang mereka buat pasti lama-lama akan jebol juga. Bahkan, ada yang tidak perlu waktu lama untuk akhirnya terpaksa membiarkan musuh mendekati Amelie.
Seorang prajurit penjaga yang melawan tiga prajurit musuh secara bersamaan dutusuk dari samping ketika dia akan melancarkan serangan telak pada musuh yang ada di hadapannya. Dan begitu dia jatuh satu orang langsung menahan gerakan prajurit itu, satunya lagi kembali menyerang dengan maksud membunuh dan yang terakhir berlari dengan cepat menuju ke arah Amelie.
"Mingg. . ."
Erwin akan mendorong tubuh Amelie agar gadis kecil itu segera berlari. Melihat hal itu, musuh yang ada di depan mereka berdua langsung memutuskan untuk menghalangi gerakan Amelie dengan melemparkan tombaknya ke arah Amelie.
"Sial!!!."
Erwin menarik baju Amelie dan memaksa tubuh gadis kecil itu tertarik ke belakang, setelah itu dengan kasar dia menjatuhkan Amelie ke tanah. Kemudian dia mengeraskan telapak tangannya untuk menangkap tombak yang tadi dilemparkan pada Amelie.
Begitu berhasil menangkap badanya dia memutar badannya untuk mengumpulkan gaya sentrifugal. Sesaat kemudian begitu dia selesai memutar badannya dia melempar balik tombak tadi pada pemiliknya dengan sekuat tenaga.
"Uraaaagghhh . . . . .."
Lemparan Erwin hanya mengenai pundak prajurit yang berlari ke arahnya, tapi sebab lemparannya sangat keras prajurit tadi terhenti dan jatuh ke tanah dengan luka yang parah.
"Amelie, berikan jubahmu!."
Amelie menarik jubah yang dia kenakan lalu mengangkatnya, setelah itu Erwin langsung menariknya dengan cepat kemudian menyibakan jubah itu sampai bentuknya hampir lurus. Di saat itu dia menggunakan kekuatannya dan mengeraskan benda itu.
"Amelie! bangun dan ikuti aku!!!."
Amelie punya banyak protes yang ingin dia lontarkan pada Erwin mengenai perlakuan kasar pemuda itu padanya. Tapi hal itu sekarang tidak penting. Dia tahu kalau Erwin melakukanya karena dia perlu melakukannya, dan semua hal itu adalah demi keselamatannya.
Amelie buru-buru bangun lalu berlari menuju ke arah Erwin. Sedangkan Erwin yang sudah berada di depan prajurit musuh yang diserangnya tadi memutuskan untuk berhenti. Dia mengangkat jubah Amelie lalu menusukannya ke dada orang itu.
Jubah yang Erwin keraskan tentu tidak mempunyai ketajaman layaknya senjata sungguhan, tapi meski begitu sebab ukurannya yang tipis, saat ditekuk dan dikeraskan benda itu akan membuat sudut segitiga. Dengan kekuatan yang cukup benda itu bisa digunakan untuk menembus kulit seseorang dan melewati sela-sela tulang rusuk untuk masuk ke dalam organ di belakangnya.
"Uu. . ."
Amelie sempat berhenti dan ingin muntah, tapi dia menahan diri dan segera kembali berlari.
"Maafkan aku Amelie! tapi ini adalah tugasku."
Jika cara Haruki melindungi Amelie adalah dengan menjauhkannya dari bahaya dan menghindarinya bahkan sebelum bahaya itu datang. Cara Erwin untuk melindungi Amelie adalah menebas bahaya yang ada di depannya.
Apa yang bisa dia lakukan bukanlah membuat semuanya tetap bersih, tapi mengotori tangannya.
"Um."
Amelie mengangguk lalu memegang dan menarik kecil bagian belakang pakaian Erwin sebagai tanda memintanya untuk merendahkan tubuhnya. Erwin melihat ke belakang lalu merendahkan tubuhnya dan membiarkan Amelie menaiki punggungnya.
"Bergepaganganlah yang kuat sebab perjalanan kita tidak akan nyaman."
Amelie mengeratkan pegangannya dan menempel pada punggung Erwin seperti koala.
"Bersiaplah kalian semua!!!."
Erwin melepaskan kekuatannya untuk sesaat dan kembali mengaktifkannya saat jubah yang dipegangnya mulai menjatuhkan diri. Hal itu membuat jubah tadi terhenti dan mengeras saat bentuknya melebar seperti perisai. Dia kemudian mengambil tombak yang tertancap di samping mayat prajurit tadi.
"Kalian semuaaaaa!!!! jangan sampai mati!!!."
Setelah mengeluarkan teriakan itu, Erwin langsung berlari sekuat tenaga.
"Serang dia!!!!."
Beberapa orang yang tidak sedang bertempur dengan prajurit lain berlari ke arah Erwin, tapi pemuda itu tidak berhenti bergerak dan terus berlari menuju orang yang tadi memberikan perintah. Lalu begitu jarak mereka berdua Erwin kembali memutar tubuhnya. Kali ini ke belakang.
Dan begitu dia berputar dia mengatur ulang pegangannya pada tombak di tangannya dan membuat jarak jangkauannya lebih jauh, kemudian dia memukulkan badan tombaknya ke kepala musuh di depannya.
Tidak berhenti sampai disitu tanpa ragu menabrakan diri pada satu orang prajurit lain dan membuatnya jatuh. Lalu dengan menggunakan perisai yang dia buat dari jubah Amelie dia kembali menusuk orang itu.
Dan yang terakhir, dia berlari, berlari, dan berlari dengan sekuat tenaga.
Hampir semua prajurit musuh akan berlari untuk mengejar Erwin, tapi hanya beberapa saja yang bisa melakukannya. Sebab, dari belakang mereka dihalangi oleh prajurit koalisi yang sama sekali tidak punya niat untuk membiarkan siapapun pergi begitu saja setelah mencari masalah dengan mereka.
"Jangan lupakan kami bangsat!!!!."
Dengan begitu, Amelie dan Erwin serta pasukan penjaganyapun berpisah.
2
Erwin menghabisi musuh yang terlalu dekat dengannya, dan prajurit lain menghalangi jumlah pengejarnya jadi banyak. Meski dia berlari sambil membawa beban di punggungnya tapi dia masih bisa berlari sedikit lebih cepat dari musuh-musuhnya yang kalah start.
Dan saat berlari masuk ke dalam hutan, dia menemukan sekumpulan kuda yang sepertinya digunakan oleh prajurit-prajurit Amteric untuk berkendara ke tempat mereka. Setelah melukai beberapa kuda yang ada di sekitarnya agar tidak bisa ditunggangi, dia mengambil seekor kuda lalu kabur dengan cepat menuju lebih jauh ke dalam hutan.
Selama beberapa waktu mereka terus berkendara dengan kecepatan penuh menuju ke dalam hutan. Erwin berkali-kali memeriksa ke belakang untuk memastikan kalau mereka sudah tidak diikuti lagi. Dan begitu dia sudah yakin kalau keadaan sudah aman, dia dan Amelie turun dari kuda lalu melepaskan hewan itu kemudian membiarkannya lari begitu saja sebagai pengalihan.
"Mulai dari sini kita akan berjalan kaki, jumlah musuh masih belum jelas."
"Aku paham."
Menggunakan kuda memang meningkatkan mobilitas mereka, tapi di saat yang sama juga menurunkan kewaspadaan mereka dan memancing perhatian. Selain itu jika mereka masih terus menggunakan kuda mereka akan kesulitan bersembunyi jika ternyata ada kelompok musuh lain yang menunggu mereka di dalam hutan.
"Amelie, apa kau tahu ke mana arah perbatasan?."
Amelie tidak sempat membawa peralatannya, tapi jika hanya sekedar menentukan arah dia tidak perlu kompas.
"Aku tahu, aku akan menunjukan jalannya."
"Baiklah kalau begitu."
Orang-orang yang mengincar nyawa Amelie adalah prajurit dari Amteric. Tapi meski begitu tidak mungkin seluruh prajurit di Amteric ingin membunuhnya. Jika memang begitu mereka tidak akan perlu menyamar jadi perampok, jadi kemungkinan paling buruknya hanyalah ada segelintir orang yang ingin membunuhnya dan menggunakan pasukan pribadinya
Yang artinya, harusnya pos perbatasan masih aman untuk dijadikan tempat mengungsi. Tidak mungkin ada yang mau terang-terangan menyerangnya di fasilitas militer seperti itu.
Untuk menuju perbatasan Amelie dan Erwin memutuskan untuk melewati jalur yang sulit untuk meminimalisir kemungkinan mereka bertemu dengan orang lain, atau lebih buruknya dengan orang-orang yang mencoba membunuh Amelie.
Jika yang jadi lawan mereka hanya prajurit militer biasa, harusnya strategi itu sudah lebih dari cukup untuk membuat mereka bisa kabur dan selamat. Tapi sayangnya. .
"Kyaaa. . . Erwin!!..."
Sebuah tali menarik kaki Amelie dan mengangkat tubuhnya ke atas dengan cepat. Erwin segera mengeraskan tubuh Amelie untuk bersiap kalau-kalau ada jebakan tambahan, setelah itu dengan cepat dia memotong tali yang mengikat kaki Amelie menggunakan bagian tajam tombaknya.
Begitu tali terputus dan Amelie terjatuh, dia melepaskan kemampuannya dan menangkap tubuh gadis kecil itu lalu menaruhnya dengan hati-hati ke sampingnya.
"Sepertinya yang mengejar kita bukan cuma prajurit Amteric."
Jebakan semacam itu tidak akan pernah digunakan oleh prajurit dalam pertempuran. Biasanya yang menggunakan jebakan hanya ada dua, pemburu dan yang satunya lagi adalah.
"Pembunuh bayaran?."
"Sepertinya begitu, jangan menjauh dariku dan lihat sekitarmu dengan teliti."
Setelah itu jebakan-jebakan lain terus mereka temukan dalam perjalanan mereka seperti lubang jebakan berisi kayu-kayu tajam, jebakan tali yang melempari mereka dengan batang kayu besar, dan bahkan perangkap beruang yang akan menjepit kaki mereka dengan gigi besi tajam.
Seakan masih belum cukup, kesulitan yang mereka harus hadapi masih harus ditambah dengan serangan hit and run dari arah yang tidak mereka duga. Tembakan panah maupun airgun serta lemparan pisau juga ikut memeriahkan perjalanan mereka.
"Erwin apa kau tidak apa-apa?."
"Tidak tahu, asal pisau yang tadi dilemparakan tidak ada racunnya mungkin aku akan baik-baik saja."
"Jangan bercanda di saat seperti ini, untuk berjaga-jaga aku akan mengikat lukamu."
"Nanti saja, waktunya belum tepat! lagipula ini hanya luka kecil."
Prioritas utama Erwin adalah melindungi Amelie, dan sebab dia tidak tahu dari mana serangan akan datang dia memutuskan untuk membuat alat pertahanan terbaiknya untuk Amelie gunakan secara pribadi. Jubahnya yang sudah dibuat keras.
Oleh karena itulah dia harus menghadapi serangan-serangan yang datang dengan kemampuannya sendiri. Kemampuannya memang jauh di atas rata-rata dalam urusan pertarungan, tapi meski begitu dia tetap tidak bisa melindungi dirinya sendiri sepenuhnya. Apalagi kalau lawannya adalah para pembunuh bayaran yang memanfaatkan banyak trik untuk memojokannya.
Karena itu, ada beberapa serangan yang menembus pertahanannya dan melukai tubuhnya. Salah satunya adalah sebuah pisau yang sempat menancap di paha kanannya.
Setelah beberapa lama terus bisa bertahan dari serangan-serangan tidak terduga yang dilancarkan, akhirnya pembunuh bayaran yang bersembunyi di balik bayangan tidak lagi sabar dan memutuskan keluar.
Orang itu berlari lurus menuju ke arah Erwin yang sudah menyiapkan tombaknya untuk menghadapi serangan yang datang seakan meminta pertarungan satu lawan satu.
"Majuuu kauu!!!."
Tapi tentu saja pertarungan satu lawan satu yang pembunuh bayaran itu maksud berbeda jauh dengan apa yang Erwin pikirkan.
Orang itu melemparkan sebuah bungkusan ke arah Erwin.
"Kau kir. . ."
Erwin akan memukul jatuh benda itu dengan menggunakan tombaknya, tapi dia berhenti dan membiarkan benda itu melewati tubuhnya dengan menunduk ke tanah.
"Ceh!."
Benda yang pembunuh bayaran itu tadi lemparkan meledak dan mengeluarkan asap hitam tebal begitu menyentuh tanah. Tapi sebab posisinya jauh dari Erwin hal itu sama sekali tidak ada pengaruhnya terhadap pertarungan.
"Ternyata kau tidak bodoh."
Orang itu kembali melemparkan sebuah benda, kali ini botol kaca tipis berisi cairan.
"Erwin, botol itu berisi minyak."
Erwin yang ingin menghindar lagi memutuskan untuk menangkap botol tadi. Dia tidak tahu apa rencana musuh tapi yang jelas dia tidak bisa membiarkan botol itu jatuh dan menyebarkan isinya di dekat dirinya dan Amelie.
"Reaksimu bagus sekali!! tapi belum cukup!!."
Pembunuh bayaran yang sudah lumayan dekat itu menyedot sebuah cairan dari sedotan kecil yang terhubung ke sebuah kantong kulit di depan dadanya. Setelah itu dia memposisikan jari tengah dan jempol kanannya di depan mulutnya seakan ingin menjetikannya.
"Mundur Erwin!!!!."
Pembunuh bayaran itu mengenakan cincin, dan permukaan cincin itu dilapisi bahan yang biasanya digunakan sebagai pemantik api. Lalu, cairan yang tadi sedotanya adalah alkohol murni.
"Sial!!."
Erwin segera melemparkan botol berisi minyak di tangannya, sedangkan pembunuh bayaran itu menyemburkan alkohol dari mulutnya lalu memantik api dengan dengan jarinya. Dan kemudian.
Dia menyemburkan api dari mulutnya tepat ke wajah dan tubuh bagian atas Erwin. Jika dia masih memegang botol tadi bisa jadi seluruh tubuhnya akan terbakar.
"Ughhh….."
Pembunuh bayaran itu menunggu sampai api yang dibuatnya lenyap sebelum kembali bergerak untuk mendekat, tapi sebelum dia sempat menyadari apa yang terjadi sebuah tombak datang dan menusuk perut bagian kirinya.
"Apa yang. . ."
Secara reflex dia langsung melompat ke belakang bahkan tanpa menyelesaikan kalimatnya. Dia mencoba menghindari Erwin yang langsung memberikan serangan tambahan begitu serangan pertamanya berhasil mendarat pada tubuh musuh.
"Bagaimana bisa."
Pembunuh bayaran tadi mundur lalu mengeluarkan sebuah bungkusan besar dan menyebarkan seluruh isinya di sekitar Erwin dan Amelie. Benda-benda yang disebarkannya adalah sebuah bola-bola dengan paku besi di atas tubuhnya. Sebuah ranjau paku untuk menghalangi Erwin mengejarnya.
Amelie mendekati Erwin lalu mengecek tubuh pemuda itu, dia menemukan luka bakar kecil di kedua tangan dan lengannya tapi tubuhnya masih baik-baik saja.
"Uwah panas . . . . sepertinya kekuatanku tidak mempan menahan panas atau dingin."
"Syukurlah."
Di saat-saat terakhir, Erwin melepaskan kekuatannya dari jubah Amelie lalu mengaplikasikannya pada kepala, dada, sampai perutnya agar bagian itu tidak terbakar. Tapi meski memang badannya tidak terbakar panas dari api yang menyentuh kulitnya masih bisa dia rasakan sampai sekarang.
"Untuk sementara kita selamat, tapi aku tidak yakin kalau ini yang terakhir."
"Aku juga berpikir begitu, jebakan sebanyak itu tidak mungkin hanya dibuat oleh satu orang."
"Lalu apa langkah selanjutnya Amelie?."
"Jelas kita harus secepatnya keluar dari area ini, tapi aku yakin kalau jalur yang akan kita lalui pasti juga sudah ada jebakannya."
Tidak diragukan lagi, Erwin juga setuju dengan pendapat Amelie.
Jika mereka punya peta Amelie bisa memperhitungkan jalur mana yang paling aman, tapi berhubung dia hanya mengandalkan ingatannya. Meski dia bisa mengingat dengan jelaspun dia tidak akan menemukan informasi berguna sebab dia yakin kalau tempat mereka sekarang tidak digambarkan secara detail.
"Erwin, menurutmu kemana kita harus pergi."
"Kenapa kau bertanya padaku?."
"Karena kelihatannya kau paham dengan cara berpikir mereka."
Apa yang bisa dilihat manusia itu terbatas, dan apa yang bisa manusia ketahui dari penglihatannya juga terbatas. Jika seseorang pergi ke tempat yang belum diketahuinya sambil membawa peta lalu menemukan kalau jalan yang seharusnya ada di peta ternyata tidak ada atau tidak sesuai gambaran yang mereka miliki. Maka mereka akan memilih untuk lebih mempercayai matanya sendiri dan memutuskan sesuatu berdasarkan apa yang dia lihat.
"Tempat ini tidak digambarkan secara detail di dalam peta dan cara menentukan jalur mana yang terbaik untuk melewatinya hanyalah dengan melihat lalu mengira-ngira."
Amelie sendiri hanya mengingat bentuk global area di mana dia berada lalu mencoba menarik garis lurus ke perbatasan dalam menentukan jalur perjalannya.
"Berhubung jalur yang kugunakan pasti sudah dibaca, sekarang kita perlu mengganti jalur! menurutmu kemana kita harus bergerak sekarang."
"Ke mana ya?."
"Lihat di sekitarmu dan tentukan arah mana yang bisa kita tuju, asalkan kita bisa kita bisa ke tujuan utama kita di sana kau bebas memilih jalur."
Amelie menunjuk ke arah perbatasan, kemudian Erwin melihat sekitarnya. Di depannya ada kumpulan pepohonan besar yang bagian bawahnya teduh, dari arah kanannya dia mendengar suara air dan dia bisa melihat batu-batu hitam berlumut serta daerah yang jarang dengan pepohonan. Lalu, di samping kirinya ada semak tebal yang tidak akan bisa dilewati kalau tidak memaksa masuk, yang pasti akan membuat seseorang terluka karena mereka bercampur dengan sejenis tanaman berduri.
"Kurasa kita harus lewat sungai dan mengikuti arusnya."
Amelie tersenyum dan melihat ke arah Erwin dengan tatapan puas.
"Baiklah, kalau begitu kita akan lewat semak."
"Hah? kenapa?."
"Sudah kubilang kan? kelihatannya kau paham cara berpikir mereka."
"Jadi begitu."
"Ya, memang begitu."
Pendapat Erwin hanya Amelie gunakan untuk mempersempit pilihan yang dimilikinya. Jalur pertama adalah jalur yang digunakan musuh untuk mundur beberapa saat yang lalu, sedangkan jalur kedua adalah jalur yang normalnya akan diambil oleh seseorang yang tidak tahu ke mana harus pergi.
Karena itulah Amelie memilih jalur ketiga. Sebuah jalur yang hanya akan diambil oleh orang yang pikirannya sedang tidak waras.
"Aku tidak tahu apakah pilihanku benar atau tidak."
Sengaja memilih pilihan yang dilihat darimanapun jelas buruk adalah hal yang pertama baginya. Tapi meski begitu, di saat-saat tertentu sengaja mengambil pilihan buruk itu perlu. Haruki sudah membuktikannya, dia sudah berkali-kali mengambil pilihan terburuk yang ada di hadapannya agar bisa tetap maju.
Dan pada akhirnya, dia menang.
"Erwin, mungkin permintaanku egois tapi. . . ."
Erwin melihat Amelie dengan serius.
"Lindungi aku!."
Erwin tersenyum.
"Serahkan padaku!!.."
Erwin kemudian membuka kedua tangannya dengan lebar di depan Amelie.
"Apa-apaan tanganmu itu?."
"Hee. . ."
Erwin hanya tersenyum lalu menunduk dan menyelipkan kedua tangannya di antara lengan dan badan Amelie lalu memeluk gadis kecil itu dengan erat.
"Kekuatanku tidak akan berfungsi kalau objek yang akan kumanipulasi tidak saling bersentuhan."
Setelah itu dia mengangkat tubuh Amelie lalu menempatkan badan gadis kecil itu di dadanya sebelum mengeratkan pelukannya dan mengaktifkan kemampuannya. Dia mendekati semak-semak lalu mulai berlari dengan Amelie menempel di badannya.
Merekapun kabur meninggalkan perangkap yang sudah disiapkan untuk keduanya.
Awalnya perjalanan mereka lancar-lancar saja, tapi sebab lawan mereka adalah pembunuh bayaran profesional. Begitu target yang mereka tunggu tidak kunjung datang juga, mereka tahu kalau ada yang tidak beres.
Dan seperti dugaan Amelie, pembunuh bayaran yang mengincar mereka tidak bekerja sendiri. Mereka adalah sebuah kelompok yang terdiri dari empat orang. Dan satu dari tiga orang itu adalah seorang ahli dalam mencari jejak. Dia adalah orang yang bertanggung jawab mencari keberadaan targetnya dan menentukan di mana jebakan harus di pasang serta dari mana mereka harus menyerang.
Setelah perangkap dan serangan sembunyi-sembunyi yang diatur tidak memberikan hasil yang diharapkan, seorang anggota jadi tidak sabar dan memutuskan untuk melakukan konfrontasi langsung sendiri. Membuat rencana yang sudah dia susun jadi agak berantakan.
Lalu sebab orang itu gagal dan malah terluka sendiri, dia harus memberikan bantuan tambahan untuk persiapan selanjutnya. Yang juga harus memaksanya mengalihkan pandangan dari targetnya dan berhenti mengawasi mereka untuk sementara.
Begitu mereka menunggu dan tidak kunjung menemukan target yang mereka incar masuk ke perangkap yang mereka siapkan, dia memutuskan untuk mengecek ulang keadaan targetnya. Dan begitu dia sampai di tempatnya sebelumnya, dia langsung sadar kalau dia sudah melakukan sebuah kesalahan besar.
"Sial."
Target mereka sudah tidak ada.
"Ke mana mereka pergi."
Kali ini gilirannya yang mengawasi sekelilingnya. Dan sebab dia sudah lama melakukan pencarian jejak dia bisa langsung menemukan hal yang mencurigakan.
"Kau tidak serius kan? mereka benar-benar melewati tempat itu?."
Begitu dia melihat ke arah semak-semak yang ada, di melihat ada sesuatu yang bergerak di dalamnya.
"Ini lebih menyulitkan daripada melawan seseorang secara langsung."
Orang itu memanggil rekannya yang lain dan mulai membuat rencana baru. Dan rencana itu adalah. . .
"Erwin! sepertinya mereka sudah mengetahui posisi kita?."
Amelie yang masih ada di pelukan Erwin melihat ada sebuah kilatan-kilatan cahaya dari kejauhan yang normalnya tidak akan terjadi secara alami. Kilatan cahaya itu mungkin dibuat menggunakan cermin, dan sebab kilatan tadi punya pola kemungkinan besar hal itu adalah media komunikasi.
"Ceh, mereka lebih cepat dari yang kukira, selain itu mereka juga tidak bodoh."
"Harusnya kau sudah tidak meremehkan musuh setelah kalah dari Haruki dulu!."
"Jangan mengingatkanku tentang kenangan buruk itu!."
"Hehe. . "
"Jadi bagaimana cara kita bisa kabur dari mereka?."
"Pergerakan kita diawasi, dan sebab posisi canyanya kelihatan jauh aku yakin dia berada di tempat tinggi dan bisa melihat hampir seluruh semak di sekitar kita! jadi lari sudah out! kurasa kita perlu memperlambat gerakan dan lalu berjalan merayap."
Jika hanya mendengar kata semaknya saja mungkin hal itu tidak akan kedengaran menyusahkan. Tapi semak yang Amelie maksud punya luas hampir dua kilometer persegi, terdiri dari berbagai macam tanaman yang tanaman menjalar yang tumbuh seperti benang kusut, rumput tajam setinggi dua meter yang tumbuh menjadi seperti tirai. Selain itu disana juga ada banyak serangga mulai dari yang tidak berbahaya sampai yang punya gigitan menyakitkan dan entah benda apa lagi.
Makhluk yang bisa masuk ke sana tanpa mendapat luka sedikitpun mungkin hanya hewan dengan kulit tebal dan keras seperti besi, atau seseorang yang memakai pelindung terbuat dari metal di sekujur tubuhnya mulai dari kaki sampai kepala. Dan yang terakhir, orang yang kemampuan khususnya bisa digunakan untuk melindungi dirinya.
Seperti Erwin.
"Amelie, apa kau tidak apa-apa?."
"Harusnya aku yang bertanya begitu? kau hanya memfokuskan kekuatanmu pada satu bagian untuk melindungiku."
Erwin hanya mengeraskan pakaian bagian atasnya dan juga pakaian Amelie agar dia bisa tetap bergerak, jadi pada dasarnya kepalanya, tangannya, dan juga kakinya tidak terlindungi dari rumput-rumput dengan daun yang jika dipegang secara buruk bisa jadi setajam silet.
"Jangan khawatir, pakaian militerku menutupi banyak bagian!."
"Tapi tangan dan waj. . ."
Kedua telapak tangan Erwin mempunyai banyak luka sayatan, dan di telinga, hidung serta pipi Erwin juga ada bekas luka sayatan yang sama. Lukanya sendiri tidak dalam, tapi ada beberapa yang cukup dalam untuk membuat kulit pemuda itu mengeluarkan darah.
"Tidak apa-apa! ini cuma luka kecil! Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, saat kita sudah sampai kau boleh merawatku secara pribadi sampai aku sembuh."
"Jangan terbawa suasana!."
"Apa kau sudah menemukan cara untuk keluar dari situasi ini?."
"Harusnya jumlah mereka tidak sebanyak pasukan normal, jadi tidak mungkin mereka bisa mengepung tempat ini! selain itu mereka tidak punya perlengkapan yang cukup jadi aku yakin kalau mereka tidak akan masuk ke sini dengan sembarangan dan mengejar kita."
"Apa yang harus kulakukan?."
"Kurasa kita perlu menunjukan diri untuk sesaat."
"Supaya?."
"Aku ingin mengetahui posisi orang-orang itu?."
Jika dia memberitahukan posisinya pada musuh, maka musuh akan bereaksi. Dengan cermin yang musuh gunakan, dia akan bisa menyuruh pembunuh bayaran lain untuk bergerak menuju ke arah Amelie atau memberitahukan posisinya.
Tapi metode ini bisa digunakan secara terbalik. Jika kau bisa memperhatikan ke mana musuh memberikan informasi dan informasi apa yang diberikan kau bisa menebak lokasi musuh dan apa yang akan mereka lakukan selanjutnya.
"Di kanan dan kiri kita ada seseorang, dan mereka akan bergerak maju lalu di depan kita juga sepertinya sudah ada yang menghadang!."
Amelie menggambarkan area di mana mereka berada di kepalanya dan mencoba mencari celah di mana dia dan Erwin bisa pergi tanpa harus menghadapi siapapun.
"Kurasa jam 1 aman."
"Apa kau yakin?."
"Pilihan kita cuma jam satu, sapuluh, empat, dan juga tuju! dan jam satu adalah yang paling dekat dengan tujuan akhir kita."
Selain pilihan tadi, berdasarkan apa yang Amelie lihat semuanya adalah area di mana musuh bisa dengan mudah melihat mereka berdua.
Dengan begitu Amelie terus membaca informasi yang diberikan musuh sambil membimbing Erwin ke mana harus bergerak. Tentu saja gerakan Erwin tidak selalu tenang dan beberapa kali mereka berdua menunjukan posisinya pada musuh. Dan musuh dengan sigap segera mengakomodasi gerakan mereka.
Hanya saja Amelie yang sudah bisa membaca dengan jelas apa yang akan musuhnya lakukan bisa terus menghindari skak mat, meski harus memutar dan bergerak ke arah-arah yang menunda rencana kaburnya. Tapi dia tetap bisa menemukan titik lemah dari penjagaan musuh dan bisa kabur dengan selamat.
Seharusnya begitu.
Tapi kenyataan berkata lain.
"Bagaimana bisa?."
Begitu keduanya keluar dari semak ada dua orang yang bersiap menghadang mereka. Dan begitu menyadari keadaan di mana mereka berada sekarang, Amelie akhirnya sadar akan sesuatu.
Dia sudah ditipu.
"Menunduk!!!!!."
Kedua orang yang ada di depan Erwin berlari ke arahnya dengan cepat sambil mengibaskan pedang panjang ke arahnya secara bersamaan. Untuk menghadapinya Erwin mengeraskan badannya untuk menerima serangan dan bersiap untuk langsung melawan balik dengan memukul wajah keduanya. Tapi.
"Kalian berduaaaaa!!!!!."
Mereka membiarkan Erwin dan langsung menuju ke belakangnya. Mereka langsung menuju Amelie.
Erwin tidak bisa menghentikan keduanya secara bersamaan dengan kekuatannya, karena itu dia membuat seluruh tubuh Amelie mengeras dan membuat gadis kecil itu jadi seperti patung. Membuat serangan dari pedang kedua pembunuh bayaran tadi tidak ada pengaruhnya, setelah mendengar suara dentingan keras dari belakangnya Erwin langsung berbalik kemudian disambut dengan tendangan keras yang bahkan membuat tubuhnya terpental.
Erwin segera mencoba membetulkan posisinya dan memaksa tubuhnya untuk tidak terlempar terlalu jauh. Jika dia bertarung sendirian normalnya dia akan membiarkan tubuhnya berguling di tanah sampai gaya dorong yang diterimanya berkurang agar tidak cedera. Tapi dia tidak bisa meninggalkan Amelie. Sebab jika dia pergi lebih dari lima meter dari tempat gadis itu, efek kekuatannya akan menghilang.
"Sial!!!!."
3
Berlawanan dengan ekspresi tegang di wajah Erwin, ada seseorang yang tersenyum dengan cerah. Dan orang itu adalah pembunuh bayaran yang bertugas untuk mengawasi mereka satu kilometer dari tempat Erwin dan Amelie berada.
Dia memasang ekspresi senang dan terhibur. Seakan baru saja menang dalam sebuah pertandingan.
"Aku ingin memujimu karena sudah bisa melawan sampai sejauh ini! tapi sayangnya.. KAU MASIH AMATIR!."
Keputusan Amelie untuk menggunakan jalur semak untuk kabur memang benar. Dan hal itu membuat mereka sulit untuk dicari. Jika Erwin bisa berlari sedikit lebih cepat lagi bahkan mungkin mereka sudah tidak bisa lagi dikejar.
Tapi sayangnya, keputusannya setelah itu adalah tindakan Amelie yang biasa. Metodenya untuk selalu mencari langkah terbaik malah membuatnya jadi kena skak mat. Dan yang terburuk dari itu semua adalah, Amelie tidak bisa membedakan antara musuh melakukan kesalahan dengan musuh sengaja membuat kesalahan.
Kesalahan yang dimaksud adalah sinyal cahaya yang dia lihat.
Musuh bukan tidak sengaja membiarkan Amelie melihat sinyal itu, tapi mereka memang ingin Amelie melihat sinyal itu dan membaca isinya. Dalam catur langkah ini sama dengan saat Haruki sengaja membuat ratu dan rajanya ada dalam jarak serang kuda.
Langkah itu adalah langkah terburuk yang bisa Haruki lakukan, dan di saat yang bersamaan hal itu adalah kesempatan terbaik yang dimiliki Amelie. Dan bagi Amelie yang selalu memilih langkah terbaik, dia selalu mengambil umpan itu tanpa ragu.
Sebenarnya di kanan dan kiri Erwin tidak ada siapapun, informasi yang diberikan lewat sinyal dan posisi mereka sama sekali tidak ada artinya pada rekan-rekannya sebab mereka sudah disuruh untuk memutari semak dan nantinya menunggu di sisi lain hutan.
Amelie mengira kalau sinyal itu adalah informasi yang bisa dia gunakan, tapi sebenarnya hal itu adalah informasi yang digunakan untuk menggiring Amelie ke tempat yang sudah ditentukan agar tidak bisa kabur sambil mengulur waktu mereka.
Jika Haruki bersamanya pasti dia sudah menunjuk keanehan seperti 'kenapa musuh menggunakan sinyal dengan kode tentara koalisi yang semua orang tahu artinya?', 'atau kenapa mereka memberitahukan posisinya meski tahu kalau Erwin tidak bisa dilawan secara langsung tanpa serangan kejutan' dan juga 'kenapa aku harus menuruti saran musuh?' sebelum menyuruh Erwin untuk menuju lokasi musuh terdekat dan menghajarnya saat mereka sedang berpisah jika memang sinyal itu asli.
Kekurangan terbesar Amelie adalah dia tidak memanfaatkan kehadiran Erwin dengan penuh dan tidak berani mengambil resiko lalu terlalu fokus untuk menghindari masalah agar tidak ada yang terluka.
Rumus ekonomi tidak bisa diaplikasikan pada peperangan aktif. Senjata terbesarnya yang berupa persiapan matang dan eksekusi rencana hati-hati yang bertahap tidak bisa digunakan pada medan perang yang mengandalkan reaksi dan improvisasi.
"Kau mungkin pintar, tapi kau kurang pengalaman! selain itu yang namanya medan perang adalah tempatnya berimprovisasi."
Rencana yang kaku tidak akan bisa diaplikasikan dalam pertempuran yang aktif dan dinamis.
Erwin sudah memberikan pilihan tepat dengan membawa keduanya ke tempat yang jarang dilewati manusia. Kelompok pembunuh bayaran yang mengikuti mereka bahkan sempat kehilangan jejak sebab pemuda itu cepat dalam bertindak.
Dia memang tidak bisa menutupi jejaknya tapi di dalam hutan yang luas dan juga sempit di waktu yang bersamaan, memperkirakan ke mana mereka akan pergi bukanlah sesuatu yang mudah.
Tapi tidak lama berselang, tiba-tiba arah pergerakan mereka jadi linear. Tepat saat Amelie mengambil alih posisi sebagai pemandu.
Orang itu menurunkan teropong yang dia pegang dari depan matanya, setelah itu dia turun dan mulai bergerak ke arah Erwin dan Amelie dengan membawa sebuah airgun.
Namanya adalah Adelbert, ayahnya adalah pemburu dan sampai umurnya enam belas tahun dia mengikuti jejak ayahnya untuk jadi pemburu. Tapi setelah menjadi pemburu tidak lagi menghasilkan dia ikut jadi tentara. Karena kemampuannya, dalam hanya dua tahun saja dia langsung dinaikan pangkatnya.
Hanya saja negara yang harus dijaganya juga sudah tidak ada lagi saat Amteric menyerang. Dia mengumpulkan teman-temannya yang tersisa lalu membuat grup prajurit sewaan. Tapi bisnis itupun tidak sukses sebab ketika Amteric menyerah lima tahun yang lalu, organisasi yang membutuhkan mereka jumlahnya tidak banyak lagi begitu pasukan koalisi dibentuk. Di saat itu pula mereka merubah grup mereka menjadi grup pembunuh bayaran.
Sampai sekarang, mereka sudah banyak melakukan pekerjaan untuk membunuh seseorang atau sekelompok orang. Dan dengan kemampuan serta cara bertarung mereka yang tidak ortodoks, rasio keberhasilan mereka sangat tinggi.
Ada beberapa kelompok yang mereka urus dengan sulit, tapi biasanya mereka adalah kumpulan pengawal pribadi para bangsawan dengan status tinggi yang dipilih dari orang-orang paling berbakat saja.
Kali ini mereka mendapatkan support dari seorang bengsawan Amteric, mereka bahkan mendapat bantuan berupa prajurit dan peralatan lengkapnya. Harusnya tugas mereka akan jauh lebih mudah dari tugas-tugas mereka yang sebelumnya.
Tapi ternyata tidak. Target mereka kali ini memberikan perlawanan yang cukup menyusahkan.
"Hanya saja cukup sampai di sini."
Adelbert dan Amelie tidak saling kenal, tapi dia mampu membaca pikiran Amelie seperti buku. Jalur yang diambil gadis itu bisa dia perkirakan dengan mudah, dan begitu jalur yang akan diambil sudah jelas. Membuat perangkap sama sekali bukan lagi masalah tentang keberuntungan.
"Aku harap kalian bisa bertahan sampai aku sampai."
Erwin itu kuat, dia sangat yakin akan hal itu setelah melihat kemampuannya dengan mata kepalanya sendiri. Jika dia bertarung sendirian dan tidak melindungi siapapun mungkin rekan-rekannya sudah harus dia paksa untuk mundur agar tidak ada yang jadi korban.
Oleh karena itulah Adelbert dengan buru-buru berlari ke tempat mereka. Dia akan membantu keduanya dari jarak dekat.
Sebab jalur yang ditempuh lumayan sulit, Adelbert baru bisa sampai hampir setengah jam setelah dia bergerak. Tapi sepertinya pertempuran belum selesai dan Erwin masih menghadapi kedua rekannya sambil melindungi Amelie yang ada di belakangnya.
Adelbert masuk ke dalam semak dan mulai bergerak dengan pelan menuju tempat mereka berada. Setelah mengawasi Erwin dia yakin kalau kemampuan uniknya punya batasan. Dan salah satu batasan itu adalah jarak. Dengan kata lain, jika dia bisa menjauhkan gadis itu keluar dari jarak batas kekuatannya pekerjaannya akan selesai.
Membunuh seorang gadis kecil yang tidak berdosa adalah hal yang sangat keji.
Tapi hal keji itu adalah pekerjaannya, caranya mendapatkan uang untuk bisa tetap hidup. Oleh karena itulah, sejak dia memutuskan untuk menjadi pembunuh bayaran dia juga sudah ikut membunuh perasaanya. Jika dia tidak bisa melakukannya maka dialah yang akan mati.
Selama Adelbert mengendap-endap di dalam semak, Erwin terus melawan pembunuh bayaran lain dengan hanya bermodalkan pisau militer karena tombaknya dia tinggalkan.
Jika kemampuan khususnya bisa dia gunakan Erwin tidak akan mengalami masalah dalam menghadapi kedua musuh di depannya itu. Tapi sebab kemampuannya sudah dia fokuskan hanya pada Amelie saja dia tidak bisa bertindak gegabah.
Jika dia terluka parah maka tidak akan ada yang bisa melindungi Amelie.
Lawannya adalah pembunuh bayaran profesional, mereka punya banyak cara untuk membunuh targetnya. Bahkan cara-cara yang mungkin Erwin sendiri tidak tahu. Oleh karena itulah dia harus mempertahankan kemampuannya agar bisa terus digunakan.
"Huhuhhh. . . ."
Tubuh Erwin naik dan turun dengan nafasnya. Menghadapi seseorang yang menggunakan pedang dengan hanya sebuah pisau memang sudah gila, tapi kegilaannya bertambah jadi dua kali lipat saat dia juga harus menghadapi dua orang dalam waktu yang bersamaan.
Posisinya terpojok, dia tidak bisa menggunakan seluruh kemampuannya, selain itu dia sudah mulai kehilangan staminanya. Keadaan sama sekali tidak berpihak padanya. Tapi meski begitu. . .
"Kenapa orang ini tidak jatuh-jatuh juga."
Yang merasa takut bukanlah Erwin melainkan kedua musuhnya. Dan rasa takut itu berbeda dengan perasaan takut mereka saat menghadapi tentara yang hampir mati dan tidak takut lagi pada kematian.
Mereka merasa kalau jika mereka menurunkan kewaspadaannya sedikit saja, kepala mereka akan melayang.
Tugas awal mereka adalah untuk membunuh gadis kecil di belakang pemuda yang sedang mereka hadapi, tapi karena kemampuan khususnya mereka tidak bisa membunuh gadis kecil yang jadi target mereka tanpa mengalahkan si pemuda terlebih dahulu.
Dan meski tugas mereka sudah diturunkan untuk hanya mengulur waktu saja, tingkat kesulitannya sama sekali tidak menurun.
"Kenapa kalian diam saja!!??? maju!! aku tidak bisa membunuh kalian kalau kalian tidak mendekat."
Hal yang sama juga teraplikasikan pada kedua pembunuh bayaran tadi. Mereka menggunakan pedang, jadi jika mereka ingin membunuh Erwin mereka juga harus mendekat.
Dan mereka benar-benar mendekat.
Meski sebenarnya mereka ingin pergi saja.
". . ."
Salah satu dari dua pembunuh bayaran itu melihat ke arah semak di belakang Amelie, setelah itu dia maju dan kembali menyerang Erwin. Meski mereka tidak ingin mengambil umpan yang Erwin tebarkan, tapi mereka harus maju untuk mengalihkan perhatian pemuda itu.
". . ."
Sebuah tusukan tajam mengarah ke bagian tengah Tubuh Erwin, tapi pemuda itu dengan tenang menggunakan pangkal pisau militernya untuk mengalihkan arah tusukan tadi ke arah kiri badannya.
Mengikuti serangan pertama, serangan selanjutnya datang dari arah kanannya dengan target lehernya. Pedang dari pembunuh bayaran di depannya adalah lehernya, Erwin memutar badannya ke kanan lalu merendahkan tubuhnya ke belakang sebelum menghadang pedang itu dengan pisau di tangan kirinya.
Dengan posisi yang sudah sulit dan kuda-kuda yang tidak lagi bisa dipertahankan, Erwin harusnya jadi target mudah untuk jadi bahan serangan tapi yang terjadi adalah. Begitu postur tubuhnya sudah hancur dia melompat dan memutar badannya di udara lalu mendaratkan diri lebih rendah lagi.
Dia menendang kedua kaki musuhnya dan menjatuhkan mereka ke tanah lalu kembali berdiri dan menusuk salah satu di antaranya.
Seranganya berhasil dihindari dengan musuhnya berguling ke samping kanannya. Begitu Erwin ingin menyerang rekan orang itu, dia menemukan kalau sebuah serangan sudah kembali datang menuju ke kakinya.
Sasaran musuh adalah otot pergelangan kakinya.
Erwin yang menyadarinya langsung mengangkat kaki kanannya, lalu begitu pedang yang disabetkan musuh berada di bawah telapak kakinya dia menginjak benda itu dengan keras sampai tidak bisa digerakan.
". . . ."
Musuhnya sendiri sampai kaget melihatnya. Jika timingnya meleset sedikit saja kakinya pasti sudah putus.
"Rasakan ini!!."
Setelah menginjak pedang musuhnya, dia mengangkat kaki kirinya lalu menginjak pangkal pedangnya untuk benar-benar mematikan gerakan senjata musuh. Setelah itu dia mengangkat kaki kirinya, dengan maksud menginjak wajah musuh.
Tapi musuh memutuskan untuk melepaskan pedangnya dan kembali berguling.
"Terima kasih pedangnya."
Normalnya setelah melakukan pertarungan jarak dekat dan postur tubuh masing-masing benar-benar sudah hancur total, seseorang akan mundur untuk melakukan persiapan serangan baru.
Tapi kali ini kedua musuhnya tidak melakukannya.
"Apaa!!...."
Bahkan Erwinpun terkejut dengan perkembangan situasi di mana dia berada.
Kedua musuhnya maju dengan ganas secara bersamaan. Dari kiri datang sabetan yang langsung mengarah ke pinggangnya. Seperti sebelumnya dia menggunakan pisaunya untuk menahan serangan itu.
Tapi kali ini lain yang dilakukan musuh lain.
"Kau seriuss!!!!???."
Musuhnya tetap maju dan membiarkan pedangnya meluncur di atas pisaunya, kemudian orang itu melepaskan tangan kanannya untuk memukul wajahnya.
"Sial."
Erwin maju satu langkah menggunakan kaki kanannya lalu menendang tulang kering musuhnya menggunakan kaki kirinya. Membuat orang itu jatuh. Dan begitu jatuh, orang itu memegang kaki Erwin lalu mengeluarkan sesuatu dari kantong di bajunya.
"Kau jugaaaa!!!! kenapa masih majuuu!!??."
Orang yang satunya lagi bahkan tidak membawa senjata dan maju seperti sapi gila yang ingin menubruk sesuatu. Gerakan itu sama saja dengan gerakan bunuh diri.
"Jika kau ingin mati!! maka aku akan membuatmu matiiii!!!."
Erwin mengarahkan tusukan ke dada musuhnya menggunakan pedang yang baru dia dapatkan tadi.
"Ini. . . ."
Musuhnya tidak mencoba menghindar, tapi malah menggunakan tangannya untuk menangkap pedang Erwin lalu tetap maju.
Dengan telapak tangan yang bersimbah darah, orang itu tetap maju lalu memegang pundak kanan Erwin dan mendorong pemuda itu dengan kuat. Membuatnya terjatuh ke tanah. Setelah itu musuhnya yang sudah dia jatuhkan lebih awal kembali ikut bergerak menuju tubuhnya.
"Apa yang coba kali. . ."
Tubuhnya dikunci.
"Jangan bilang. . . ."
Erwin melirik ke belakang dan dia melihat seseorang sedang menarik tubuh Amelie ke dalam semak-semak. Dan sebab Amelie tidak bisa bicara gara-gara kemampuannya, dia tidak bisa berteriak dan meminta tolong.
"Siaaall!!!."
Merasakan kalau Erwin kali ini sudah benar-benar terpojok salah seorang pembunuh bayaran yang mengunci tubuhnya akhirnya bicara. Dengan nafas tersengal.
"Pe . . .pertempuran ini. . kami yang menang."
Orang itu juga mengeluarkan sesuatu dari kantong di belakang bajunya, kali ini sebuah pisau berburu kecil. Dan dia menusukan benda itu pada pundak Erwin. Membuat pemuda itu berteriak dengan kencang.
"Aaaaa. . ."
Adelbert terus menarik Amelie menjauh dari Erwin, dan ketika tubuh gadis itu sudah lebih dari lima meter jauhnya dari pemuda itu. Tubuhnya kembali seperti semula.
Tangan kecilnya bisa merasakan genggaman tangan Adelbert yang terasa seperti meremukan jari-jarinya, kulitnya yang terkena daun-daun tajam dari rumput di kanan dan kirinya terasa perih, badannya yang diseret merasa sakit karena terkena kerikil, batang kayu dan benda lain di tanah, lalu kakinya yang dia coba gunakan untuk menahan tubuhnya terasa lemas.
"Erwin."
Dia tahu kalau dia akan mati.
Pemuda yang berjanji selalu melindunginya juga sedang berjuang dengan sekuat tenaga untuk melakukannya.
Tapi dia tidak bisa melakukannya sekarang.
Amelie juga tidak bisa melindungi dirinya sendiri sekarang.
Semuanya sudah skak mat.
Dia tidak tahu kenapa mereka mencoba membunuhnya, tapi mengetahuinya sekarang sama sekali tidak ada gunanya.
Sebab dia akan mati.
"Kalau begitu matilah dengan tenang."
Adelbert mengangkat tangannya lalu mulai menghunuskan pisau di tangannya pada tubuh Amelie.
Di saat seperti ini biasanya seseorang akan menyerah dan menutup mata lalu pasrah dihadapan kematian yang tidak bisa dihindari.
Tapi Amelie tidak bisa melakukannya.
Sampai saat-saat terakhir dia masih tidak ingin mati.
Masih merasa ketakutan akan datangnya kematian.
Masih tidak ingin mau merasakan sakit yang tidak tertahankan.
Dan, jauh di dalam lubuk hatinya.
"Seseorang. . . . . . ."
Dia masih berharap akan masih ada seseorang yang bisa menolongnya.
"Tolong aku. . . ."
Air matanya tidak lagi bisa dibendung, dan begitu pisau yang ada di depannya mulai mendekat Amelie menutup matanya dengan erat secara paksa.
"Ughuuu. . . bagaimana bis. . ."
Dan diapun merasa ada sesuatu yang menetes ke atas wajahnya. Dan cairan itu bukan air mata, melainkan darah.
Begitu Amelie membuka mata dia melihat dada Kakuzu yang berlubang ditembus sesuatu sampai bahkan dia bisa melihat rumput-rumput yang ada di belakang orang itu. Lalu di sekitar lukanya ada banyak darah yang menempel dan mengalir melewati sesuatu yang tidak terlihat oleh matanya.
Tubuh Adelbert terjatuh ke belakang.
"Erwin?. ."
Amelie langsung melihat ke arah Erwin, dan di sana dia menemukan pemuda itu sedang mengacungkan telapak tangan kanannya ke arah Kakuzu.
"Akhirnya aku berhasil juga. . . . ."
Setelah ribuan kali mencoba akhirnya dia berhasil juga melakukannya. Dia akhirnya bisa membuat senjata yang tidak terlihat, punya jarak jangkau lebih dari lima meter, dan juga ketajamannya tidak akan pernah berkurang.
Sebuah pedang yang dibuat dari udara menggunakan kemampuannya.
Akhirnya dia bisa memanipulasi udara dengan kekuatannya.
"Sekarang waktunya kalian berdua untuk melepaskanku!!!."
Erwin membuat udara yang ada di sekitarnya mengeras lalu melebarkan ukurannya dan memaksa kedua musuh yang mengunci gerakannya berpisah dari tubuhnya.
"Hu. . .uhhuu. . ."
Erwin berdiri dengan susah payah. Dia melepaskan sebuah jarum dari kakinya yang kemungkinan besar ditusukan saat dia dijatuhkan.
"Maju!!."
Kakinya lemas dan sulit digerakan, mungkin karena di jarum tadi ada racunnya. Selain itu badannya rasanya sangat berat, staminannya hanya tinggal sisa-sisanya saja setelah dia memaksa menggunakan kekuatannya untuk memanipulasi udara. Dia juga sudah tidak bisa menggunakan kemampuannya lagi. Lalu tangan kanannya juga tidak bisa digerakan lagi, bahkan dia sudah tidak bisa merasakan tangan kanannya.
Jika ada yang memotong tangan kanannya sekarang dia mungkin bahkan tidak akan sadar.
Sekujur tubuhnya penuh luka, dan badannya seakan berteriak memintanya untuk segera berhenti bertarung.
Tapi meski begitu dia berdiri.
Dia memposisikan kakinya untuk membuat kuda-kuda, tangan kirinya memegang erat pisau militernya seperti ular yang siap menyerang, matanya tidak pernah berhenti memperhatikan musuh, dan pikirannya. . . . .
"Aku tidak akan kalah!."
Yakin kalau dia akan menang.
Singa yang terpojok akan jadi kuat.
Mereka bisa selamat jika mereka mundur, tapi jika mereka kabur maka kematian rekan mereka tidak akan berguna setelah rencana awal mereka jadi kacau. Selain itu nama mereka sebagai pembunuh bayaran juga dipertaruhkan, jika mereka gagal sekarang kemungkinan besar mereka tidak akan mendapatkan pekerjaan lagi.
Yang ujung-ujungnya membuat kehidupan mereka jadi lebih sulit.
Karena itulah.
"Aaaaaaa. . . ."
Mereka maju.
Menghadapi singa yang sedang terluka.
Serangan datang tepat dari depan, sabetan pedang datang dari arah atas. Sebuah serangan yang sangat mudah ditebak tujuannya.
Serangan bunuh diri.
Erwin merendahkan tubuhnya dan membiarkan pedang musuh terus mendekat, setelah pedang musuh mendekati lehernya dia menggerakan tangan kirinya lalu memukul pergelangan tangan musuh menggunakan bagian bawah pisaunya.
Kekuatan yang dia gunakan tidak cukup untuk membuat musuh melepaskan senjatanya, tapi hal itu cukup untuk sesaat mengganggu keseimbangan musuh dan menghentikan gerakannya.
Setelah itu Erwin menggerakan tangan kirinya ke arah kanan untuk mendapatkan momentum lalu meluncurkan sebuah gerakan sayatan ke arah kiri.
Dengan tujuan leher musuh.
Erwin menendang tubuh musuhnya yang menghalangi pandangannya. Belum cukup sampai di situ, Erwin memutar badannya lalu melepaskan pisaunya dan berganti memegang bagian ujung benda itu.
Kemudian.
"Jika kau ingin menyergapku."
Dia melemparkan pisau yang ada di tangannya.
"Jangan lakukan di tempat yang aku bisa melihatnya."
Dan pisau itu tepat menancap di kening musuhnya. Lalu. .
Erwinpun jatuh.
Akhirnya tubuhnya ikut menyerah.
"Erwin!!."
Amelie segera berlari menuju ke tempat Erwin dan memeriksa keadaannya.
"Erwin! Erwin! Erwin! jawab aku!!."
"Aku masih hidup, mataku cuma capek karena itulah aku memejamkannya."
"Jangan bercanda disaat seperti ini, aku akan berusaha sebisaku untuk memberikan pertolongan pertama! jadi buka matamu agar aku tahu kau tidak mati tanpa pamit dulu."
Amelie mengambil pisau yang Erwin gunakan lalu menggunakannya untuk menyobek jubahnya menjadi berbentuk perban.
"Mana saja yang sakit?."
"Hahaha. kurasa semuanya. . ."
Amelie sempat berhenti menggerakan tangannya, tapi sesaat kemudian dia kembali bergerak. Erwin mengatakannya dengan nada bercanda, tapi apa yang dia katakan bukanlah sebuah candaan.
"Aku akan memeriksamu secara langsung."
Amelie melepaskan kancing baju militer Erwin, menyobek sedikit celananya lalu menggulungnya sampai ke pahanya.
"Amelie, aku memang suka anak kecil tapi aku tidak bisa melakukannya dengan gadis kecil yang sudah kuanggap adik perempuanku sendiri."
"Diam kau!. . . . hiks. . ."
Amelie mulai memeriksa tubuh Erwin dengan teliti, melihat apakah ada luka terbuka yang dalam, tulang patah dan juga yang lainnya.
"Maafkan aku."
Sambil menangis seperti sungai.
Dia menutup luka yang terbuka, mengikat bagian yang mengalami pendarahan, meluruskan sebisa mungkin tulang yang bergeser, dan membuat penjaga agar tulang yang dia temukan patah tidak bergerak dengan menggunakan apapun yang bisa dia temukan di sana.
Bahkan dia mengambil airgun Adelbert dengan niat untuk digunakan sebagai tongkat.
Setelah itu.
"Maafkan aku. . . ."
Dia merasa harus minta maaf.
"Kenapa kau minta maaf, kau tidak membawa apapun jadi ini saja sudah lebih dari cukup."
"Bukan itu!!!. gara-gara aku. . .kau . . . huweee. . ..aaaaa. . . ."
"Amelie. . "
"Gara-gara aku kau terluka, karena aku kau harus melakukan semua ini, dan karena aku kau hampir mati. . . aku. . maafkan akuu. . . ."
Air mata Amelie terus mengalir dengan deras.
"Semua ini bukan salahmu, tapi mereka. . ."
Erwin ingin mengusap air mata gadis kecil itu, tapi tangannya dia tidak bisa dia gerakan. Oleh karena itu yang bisa dia lakukan hanyalah memberikan kata-kata yang semua orang bisa katakan.
"Tidak, ini semua memang gara-gara aku! penyebab semua ini adalah aku sendiri."
Dia terlalu sombong. Meski tidak mengatakannya, tapi dia sempat merasa kalau dia tahu segalanya padahal dia tidak tahu apa-apa. Dia terlalu percaya diri pada kemampuannya sampai jadi tidak waspada dan sembarangan dalam mengambil keputusan.
"Selain itu."
Setelah dipikir ke belakang lagi, orang yang sudah dia buat susah bukan hanya Erwin.
Karena dirinya Haruki harus mundur, membuat dirinya kelihatan bodoh, dan tidak bisa menunjukan kemampuannya yang sesungguhnya sampai dia benar-benar dianggap orang tidak berguna. Bahkan dia selalu jadi bahan olok-olokan, ejekan, dan selalu saja diremehkan.
Meski seharusnya masa depannya cerah, tapi dia harus membuangnya agar bisa menjalankan tugasnya untuk menjaganya selama di Yamato.
Ibunya. Orang yang sangat ingin dia buat bahagia juga harus mengalami kesulitan karenanya. Pekerjaan yang seharusnya dia tanggung dia serahkan semuanya pada Ibunya. Membuatnya sampai sakit karena kelelahan. Selain itu, serangan yang akan datang ke teritorinya juga adalah hasil dari perbuatannya.
Jika dia tidak seenaknya mengotak-atik teritorinya, tempat itu tidak akan menarik perhatian dan Ibunya bisa hidup dengan tenang.
"Jika. . .Jika keberadaanku hanya akan menyusahkan orang lain. . . aku. . . akan lebih baik kalau aku tidak dilahirkan ulang. . . . akan lebih baik kalau aku tidak ada saja. . .uwww. . .aa.a.a."
Amelie menyeka air matanya yang mulai membuat pandangannya kabur.
"Kalau kesempatan kedua yang kumiliki hanya membuat orang lain jadi terluka. . . . aku tidak membutuhkannya.. . .uwweeeee. . . .aaaa. . . ."
Tangisan Amelie jadi semakin keras dan air matanya juga jadi semakin banyak keluar.
"Amelie!. . . kau pernah bertanya padaku apakah kau ini orang yang dingin atau bukan kan?."
"Uummm."
Amelie mengangguk. Sedangkan Erwin tersenyum mendengar jawaban itu.
"Jika kau bisa menangis untuk orang sepertiku sampai seperti ini, jawabannya sudah jelas!!! kau sama sekali tidak dingin."
Erwin kembali tersenyum sambil melihat Amelie, dan gadis kecil itu bisa melihat senyum itu meski masih tidak terlalu jelas.
"Jadi begitu. . "
Amelie mengingat ekspresi Haruki saat kejadian itu. Ekspresi pemuda itu penuh rasa sakit, penyesalan, dan juga kesedihan. Baginya, kematian seseorang dalam medan pertempuran bukanlah cuma sebuah angka.
Baginya kematian satu orang maupun kematian banyak orang itu sama-sama tragedi. Dan dalam peperangan jumlah tragedi yang dia lihat, yang dia alami, serta rasakan tidak hanya satu tapi banyak.
Bagi Haruki, setiap pertarungan adalah pertarungan individu, dan setiap kematian adalah kematian individu.
Hal itu sama saja dengan jika Amelie berkali-kali kehilangan Erwin. Haruki harus berkali-kali merasakan apa yang Amelie rasakan sekarang dan menahan semua perasaan itu selama bertahun-tahun untuk dirinya sendiri.
"Aku akan mencoba lagi. . "
Amelie menarik ingusnya yang mulai keluar dari hidungnya dengan menarik nafasnya.
"Haruki sudah merasakan semua ini lebih lama dariku dan dia tidak menyerah."
Karena itulah dia akan mencoba lagi.
Sekarang begitu dia sudah paham dengan apa yang Haruki rasakan, dia bisa lebih membantu pemuda itu.
"Erwin, terima kasih."
"Sama-sama, sekarang bagaimana kita bisa keluar dari sini?."
"Apa kau bisa berdiri?."
"Untuk sekarang tidak, tapi mungkin setelah istirahat selama beberapa jam aku bisa berjalan."
"Kalau begitu aku akan membantumu istirahat."
"Maksudmu?. . ."
Amelie berdiri dan berniat berpindah ke samping Yamato Erwin untuk memangku kepala pemuda itu di atas pahanya, tapi ketika dia berdiri tiba-tiba. . .
"Huk. . ."
Dia merasakan ada sesuatu yang menembus tubuhnya, dan ketika dia melihat ke bawah ke badannya dia menemukan sebuah anak panah yang menancap dari punggung menembus sampai dadanya. Dia melihat darahnya mulai mengalir keluar dengan deras, dan ketika dia mencoba memegang lukanya tangannya langsung dengan mudah dilumuri dengan darahnya sendiri.
"Ah. . ."
Tapi karena terlalu shock, dia tidak bisa mengatakan apa-apa. Dia bahkan tidak bisa berteriak.
"Egh. . . . ."
Kenapa aku harus mati sekarang? kalau aku harus mati kenapa tidak nanti saja?. Kalau aku mati sekarang siapa yang akan mengurus Erwin? bagaimana dia bisa pulang.? Aaahh. . . kalau Haruki di sini mungkin semuanya tidak akan berakhir seperti ini, kenapa waktu itu aku tidak mengajaknya.
Bodoh.
Di saat seperti ini, kenapa aku ingin melihatmu.
Brugh.
"Amelie?."
Tubuh Amelie terjatuh di samping Erwin.
"Amelie!."
Gadis itu tidak menjawab.
"Amelie, jangan bercanda seperti itu!."
Erwin melihat ke punggung gadis itu dan menyadari kalau Amelie sedang tidak bercanda.
Dia tidak lagi bisa bercanda.
"Kenapa dunia ini senang sekali mempermainkanku!!!."
Erwin memaksa tubuhnya untuk bergerak, dia tidak peduli lagi apa yang akan terjadi pada tubuhnya. Rasa sakit yang dirasakan tidak dia pedulikan, luka-lukanya dia tidak anggap ada, dan di matanya hanya ada satu hal.
Kebencian.
"Aku tahu kalau dunia ini tidak dibuat untuku, aku bahkan tidak ingin jadi protagonisnya!!."
Erwin mengambil airgun yang tergeletak di sampingnya, mengangkatnya lalu memeriksa pallet serta udara yang ada di dalamnya. Keadaannya masih bagus.
"Jika kau sebegitu bencinya padaku, kenapa kau memberiku kesempatan kedua dasar sialan!!!!."
Badannya bergoyang ke kanan dan kiri, kakinya terasa bergetar, dan seluruh tubuhnya dilanda rasa sakit yang benar-benar menyiksa.
Tapi meski begitu, dia bangun. Dengan hanya mengandalkan tekadnya saja.
Dia mengatur tubuhnya pada posisi setengah berdiri, sebuah posisi menembak. Setelah itu dia mengangkat airgun tadi ke depan pundaknya dan mengarahkannya ke horizon.
Di sana ada seseorang yang memegang panah. Dia adalah pembunuh bayaran yang Erwin lawan pertama kali dan terluka. Mungkin karena lukanya dia terlambat datang ke tempat itu.
Tapi semua itu tidak penting.
Sebab kepala orang itu sudah sejajar dengan mata Erwin dan juga muzzle senjatanya.
Erwin menarik platuk senjatanya dan pallet dari airgun di tangannya meluncur dengan cepat, tepat ke kepala targetnya.
Orang itu langsung jatuh bersama dengan Erwin yang juga ikut jatuh.
Setelah berhasil membalaskan dendamnya dia tidak merasakan apa-apa. Dia tidak merasa puas, yang ada malah hanya kekosongan. Dengan kata lain, tidak ada lagi apa-apa di dadanya. Di hatinya.
"Setelah ini apa?."
Erwin memeluk senjata yang tadi dia gunakan dan mengarahkan muzzlenya ke kepalanya sendiri lalu bertanya entah pada siapa.
"Jawabannya sudah jelas."
Apa yang harus Erwin lakukan setelah ini?.
"Tidak ada."
Erwin menarik pelatuk senjata di tangannya. Dan. . . .
Semuanya jadi sunyi.
3
"Huh. .huh..huh..huh.."
Nafasnya memburu, keringat dingin mengucur dari keningnya dengan deras, jantungnya berdetak dengan kencang sampai dia bisa mendengar suaranya.
Tapi semua hal itu bukan disebabkan karena tubuh Haruki sedang dalam keadaan tidak baik, situasi menegangkan, maupun aktivitas fisik yang berat. Yang dia lakukan Hanyalah bangun dari tidurnya. Sesuatu yang seharusnya membuat seseorang merasa lega dan kehilangan beban.
Hanya saja yang terjadi pada Haruki adalah sebaliknya.
Begitu terbangun dari tidurnya, dia merasa kalau beban yang dipikulnya jadi berkali-kali lipat lebih banyak. Pikirannya sama sekali tidak jadi jernih, dan malah sebaliknya isi dalam otaknya terasa seperti baru saja disiram dengan tinta hitam. Bingung, sama sekali tidak bisa mendeskripsikan keadaan pikiran Haruki saat ini.
"Tidak mungkin, ini semua cuma bohong kan?."
Haruki bangun dari tempat tidurnya lalu menuju pojok kamarnya kemudian mengambil air dari ember yang dibawanya di malam hari. Setelah itu dia menatap ke arah sebuah cermin kecil yang dia gantung di atas tembok persis di depannya.
Dia melihat kalau pupil dari kedua matanya berubah warna menjadi merah. Dan warna merah itu bukan disebabkan karena hal sederhana seperti kurang tidur. Warna merah yang ada di matanya memancarkan sedikit cahaya redup yang tidak bisa dilihat kalau bukan dari jarak yang sangat dekat.
Tentu saja normalnya mata seseorang tidak akan berwarna seperti itu. Dan warna asli pupil Haruki adalah biru, jadi keadaannya sekarang sudah bisa dipastikan sedang ada dalam status tidak normal. Hanya saja keadaannya sekarang bukanlah sesuatu yang langka atau luar biasa.
Dalam jangka tiga hari saja dia sudah lima kali mengalaminya.
Dan dia hanya mengalaminya ketika seseorang yang dia kenal akan mati.
Yang artinya cuma satu.
"Huu. .huu. . . ."
Erwin dan Amelie akan segera mati. Sebab dia melihat sosok mereka berdua lewat matanya yang berubah warna menjadi merah.
Kaki Haruki yang sedari tadi terasa lemas akhirnya menyerah dan tidak bisa menopang berat tubuhnya, membuat Haruki jatuh terduduk. Kemudian, dari kelopak matanya, air mata yang sudah sangat lama tidak pernah lagi keluar seakan sudah kering akhirnya kembali mengalir untuk pertama kalinya.
Selain ayahnya, tidak ada yang tahu kalau Haruki mempunyai kemampuan khusus. Dan diapun sama sekali tidak ingin memberitahukan kemampuannya pada orang lain maupun membangga-banggakannya. Sebab tidak seperti kemampuan khusus yang orang lain miliki, kemampuannya sama sekali tidak berguna dalam pertempuran dan malah hanya akan menambahkan beban mental pada semua orang.
Sebab yang bisa dia lakukan hanyalah melihat kematian seseorang. Hanya kematiannya saja. Hanya bagian akhirnya saja. Bagian akhir dari kehidupan seseorang.
Yang bisa dilihat adalah seseorang menggelepar kesakitan di tanah sampai akhirnya mati karena tidak bisa bernafas setelah kerongkongannya tertebas pedang.
Atau prajurit dengan kaki putus yang mencoba keluar dari arena pertempuran dengan merayap sekuat tenaga di antara prajurit yang saling serang tapi akhirnya mati karena diinjak kuda milik rekannya dan ditusuk dari belakang oleh musuhnya di punggung.
Dan juga seseorang dengan mulut bersimbah darah karena darah dari lukanya masuk ke tenggorokan yang memegang barikade kayu kuat-kuat meski tubuhnya dijejali tombak yang menembus tubuhnya.
Lalu masih banyak gambaran serupa yang Haruki masih bisa dengan jelas ingat. Semuanya punya keadaan berbeda, tapi dari semua gambaran-gambaran itu ada satu kesamaan. Mereka kesakitan dan mereka akhirnya mati.
Selama setengah jam, Haruki hanya diam dan melihat ke langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong. Tapi begitu matanya kembali normal dan berubah warna menjadi biru cerah, akhirnya dia mau bergerak.
"Tidak bisa!!!."
Di masa lalu dia sudah berkali-kali mencoba untuk mencegah gambaran yang dia dapatkan untuk jadi nyata. Tapi setiap kali dia mencoba, setiap kali itu juga dia gagal. Hasil gagalnya selalu saja sama jumlahnya dengan usahanya. Dengan kata lain, rasio kegagalannya adalah seratus persen. Yang pada akhirnya membuatnya berhenti dengan sendirinya untuk mencoba.
Haruki bukanlah orang dengan jiwa pahlawan, dia tidak punya tekad baja seorang kesatria, dan dia juga bukan orang keras kepala yang niatnya tidak bisa dibengkokan. Dan yang terakhir, dia adalah orang yang selalu melakukan sesuatu berdasarkan perhitungan.
Dani dari perhitungan yang dia lakukan, dia mendapat kesimpulan kalau merubah takdir itu tidak mungkin dilakukan.
Dia memutuskan kalau menutup mata dan membiarkan apa yang akan terjadi untuk terjadi adalah hal yang terbaik. Tapi tentu saja pikiran semacam itu tidak bisa membuatnya terbebas dari rasa bersalah, tanggung jawab, dan juga terror yang menghantuinya ketika dia melihat kematian seseorang.
Karena itulah dia mundur dari arena pertempuran, dari publik, dan dari tugasnya sebagai orang yang bertanggung jawab menjadi otak pasukan Yamato.
Haruki merasa kalau dia tidak bisa mengatasi masalahnya, oleh sebab itulah dia memutuskan untuk kabur. Ketika dia tidak lagi bisa menahan diri dia mundur dan menghindar. Jika dia tidak bisa merubah apa yang akan terjadi, maka dia tidak ingin melihat apa yang akan terjadi.
Di saat itu dia bahkan sudah bersiap untuk keluar dari militer. Hanya saja Yamato tidak bisa membiarkan bakatnya terbuang sia-sia dan akhirnya dia dipaksa masuk ke pasukan cadangan setelah melewati ratusan test.
"Kali ini aku tidak bisa lari!."
Atau lebih tepatnya dia tidak mau lari.
Kali ini dia tidak mau begitu saja menyerah pada takdir.
Haruki berdiri dan kembali mencuci mukanya. Setelah itu dia mengambil jam kecil di mejanya dan juga melihat ke luar. Setelah memastikan kalau dia masih punya waktu, dia segera mengepak barang-barangnya ke dalam tas militernya. Dengan buru-buru.
Setelah kira-kira satu jam, Haruki keluar dari kamarnya dengan tas menggembung berisi banyak barang, seragam lengkap, dan bahkan sebuah airgun yang pallet dan udaranya terisi penuh. Lalu, tumpukan kertas berisi banyak coretan. Penampilan yang tidak pernah dia tunjukan sejak tiga tahun yang lalu.
Dengan langkah cepat Haruki bergerak menuju ruang komando benteng pasukan koalisi, dan sebab orang-orang di sana sudah tahu tentangnya kali ini tidak ada yang menghalanginya dan membiarkan pemuda itu masuk begitu saja.
Yang dia cari adalah Butsuma tapi yang sekarang ada di dalam ruangan itu hanya Yuudai. Lalu, begitu gadis itu melihat penampilan Haruki dia langsung memasang wajah terkejut.
"Apa-apaan penampilanmu itu? kau mau ke mana?."
"Aku akan menyusul Amelie."
Haruki menjawab pertanyaan Yuudai dengan santai tapi jelas. Di suaranya sama sekali tidak ada keraguan.
"Apa maksudmu? bukankah kalian sudah setuju untuk berpisah?."
"Apa maksudmu dengan 'setuju untuk berpisah?' kami bukan pasangan yang putus hubungan."
"Kau tahu apa yang kumaksud."
Haruki juga tahu apa yang Yuudai maksud, tapi dia mencoba mengalihkan pembicaraan. Hanya saja Yuudai kelihatannya tidak suka dengan apa yang Haruki lakukan dan terus memasang muka serius.
Haruki menarik nafas panjang dan menghembuskannya.
"Biar kuberitahukan rahasia memalukanku padamu, sebenarnya aku . . . . . . . ."
Ingin Amelie mengajaknya ikut pulang ke rumahnya, ingin gadis kecil itu memintanya untuk melindunginya, ingin agar gadis kecil itu mengandalkannya dan bergantung padanya. Dia tidak tahu apa yang Amelie rasakan tentangnya, tapi setelah lama bersamanya dan menerima sangat banyak hal dari tangan kecil Amelie. Haruki juga ingin melakukan sesuatu untuk gadis kecil itu, untuk Amelie.
"Ah. . . . salah. . ."
Keinginannya jauh lebih sederhana daripada itu.
"Aku ingin membuatnya bahagia."
Haruki memegang dadanya.
Ya, keinginannya sangat sederhananya. Dia hanya ingin membuat Amelie bahagia. Dia ingin melihat gadis kecil itu tersenyum dan tertawa karena merasa senang.
"Tapi kami berdua terlalu mengutamakan logika."
Amelie bukan seorang gadis manja yang bisa meminta sesuatu tanpa memperdulikan apa-apa dengan egoisnya. Meskipun dia ingin Haruki ikut dengannya tapi dia sadar kalau dia tidak punya hak untuk meminta kehadiran pemuda itu, dan keinginannya hanya akan menyusahkan Haruki. Karena itulah dia menahan diri dan memutuskan untuk mengatasi masalahnya sendirian saja.
Di sisi lain Haruki juga merasa terikat dengan tanggung jawab dan rasa bersalah, membuatnya tidak bisa begitu saja meninggalkan benteng dan membiarkan pasukan koalisi bertarung sendiri. Dia tahu Amelie butuh bantuan, tapi gadis itu tidak memintanya membantunya, dan baginya orang yang tidak meminta bantuan memang tidak perlu bantuan.
Mereka berdua menahan diri agar tidak menyusahkan satu sama lain, tapi pada akhirnya mereka tidak mendapat apa yang satu sama lain inginkan.
Jika Amelie bisa lebih sedikit egois Haruki akan berusaha dengan cara apapun untuk memasukan agenda gadis kecil itu ke dalam rencananya. Jika Haruki menawarkan uluran tangan pada Amelie dan menunjukan keinginannya untuk membantu maka Ameliepun tidak akan keras kepala untuk melakukan apapun sendirian lalu ikut bertindak dari belakang.
"Lalu kenapa kau berubah pikiran sekarang? bukankah semuanya sudah terlambat?."
"Memang, tapi itu Jika aku tidak pergi sekarang! karena itulah aku akan pergi sekarang."
Agar semuanya tidak benar-benar terlambat.
Jika dia tidak segera pergi dia bisa terlambat untuk menyelamatkan Amelie dan Erwin. Berhubung dia sudah tidak lagi mempunyai keraguan tentang apakah dia harus pergi atau tidak, yang dia perlu lakukan sekarang hanyalah mendapatkan ijin. Karena itulah dia ke tempat itu.
"Haruki kau sadar kan kalau kau sedang melanggar hukum? kau bisa kena hukuman berat."
"Kalau ada seseorang yang ingin menghukumku, mereka bisa menunggu sampai aku pulang."
"Cih."
Haruki tidak bisa ditakut-takuti dengan ancaman. Dan jika Yuudai mengajak pemuda itu untuk beradu argumen bisa dipastikan kalau dialah yang akan kalah. Karena itulah, dia akan langsung memberitahukan poin utama yang dia ingin sampaikan saja secara langsung.
"Kau tidak bisa menang melawanku!."
Yuudai mengeluarkan pedangnya dan langsung memberikan peringatan dengan serius.
"Sekarang kau juga melanggar hukum! seingatku melukai sesama pasukan dari satu pasukan hukumannya juga berat."
"Aku adalah ketua batalion, dan kau adalah anggota batalionku! aku punya hak untuk memerintahmu dan memberikan hukuman jika kau tidak menurutiku."
"Sayangnya aku dari pasukan cadangan, jadi maaf saja tapi posisiku ada di luar rantai komando militer."
Entah itu kekuatan, kecepatan, maupun kemampuan bertarung Haruki memang ada jauh di bawah Yuudai. Tapi Haruki percaya kalau dia tidak akan kalah dari gadis itu. Caranya bertarung pribadinya bukanlah dengan menyerang musuh, tapi membiarkan musuh menghancurkan dirinya sendiri dengan memaksa mereka melakukan apa yang pemuda itu mau.
Ketika tensi di antara keduanya sudah hampir pada puncaknya seseorang memasuki ruangan.
"Kenapa kalian kelihatan seperti orang yang akan berkelahi."
Butsuma memutuskan menggunakan kata berkelahi supaya keduanya tidak merasa kalau apa yang dilihatnya adalah masalah besar.
"Apapun yang kalian ingin lakukan hentikan sekarang juga dan duduklah lalu bicara."
Ketiganyapun duduk dan pembicaraanpun dimulai.
"Jadi apa masalahnya?."
"Haruki melanggar peraturan dan ingin kabur dari medan pertempuran."
Yuudai menjawab duluan. Setelah mendengar apa yang ingin Yuudai katakan Butsuma melihat ke arah Haruki.
"Apakah benar?."
"Begitulah."
Butsuma menggeser posisi duduknya agar bisa lebih jelas melihat Haruki.
"Apakah kau akan membiarkan pasukan koalisi."
"Tidak."
"Lalu kenapa kau ingin pergi?."
"Pasukan koalisi sudah bisa menang tanpa kehadiranku."
"Alasan sebenarnya?."
Haruki sempat tertegun saat mendengar pertanyaan itu, dan dia secara reflex melihat ke arah Butsuma. Kemudian, tanpa disangka dia melihat orang tua itu sedikit tersenyum.
"Hah. . . ."
Haruki menghela nafas panjang.
Ketika menghadapi musuh, siapapun musuhnya ada satu hal yang tidak pernah Haruki lakukan. Hal itu adalah meremehkan musuhnya. Jika musuhnya lebih muda darinya, dia akan menganggap kalau mereka lebih kreatif dan flexible dalam berpikir. Lalu jika musuhnya punya umur di atasnya, maka dia akan menganggap mereka jauh lebih berpengalaman darinya.
Dan kali ini, Butsuma yang seharusnya tidak lebih pintar dari Haruki menunjukan kalau dia bukan orang yang bisa diremehkan. Orang tua itu sudah tahu apa yang ingin Haruki lakukan. Membohonginya sama sekali tidak ada gunanya. Oleh karena itu Haruki memutuskan untuk jujur dan tidak akan memutar-mutar pembicaraan
"Ada orang yang jauh lebih membutuhkanku."
Karena itulah dia harus pergi.
"Hmmmm. . . ."
Butsuma diam selama beberapa saat untuk memperhatikan Haruki. Setelah itu.
"Yuudai, kau akan memimpin pasukan koalisi."
Mendengarnya, Yuudai secara reflex langsung berdiri dari tempat duduknya.
"Maafkan aku tuan Butsuma, mohon pikirkan kembali keputusanmu."
Kata-kata Yuudai jika diterjemahkan ke bahasa yang lebih mudah adalah 'apa kau serius orang tua!?'.
"Aku sudah memikirkannya matang-matang."
"Aku tidak setuju."
Tidak ada yang tanya pendapatmu.
Butsuma ingin bilang begitu tapi dia menahan diri.
Dengan masuknya sisa-sisa batalion yang dipimpin Yuudai, jumlah pasukan koalisi memang sudah sedikit bertambah. Tapi meski begitu jumlah pasukan musuh masih tetap lebih besar dari mereka. Satu-satunya hal yang mereka punya dan jumlahnya lebih banyak dari musuh adalah persenjataan dan stock barang-barang penopang kehidupan.
Mereka tidak bisa mengatasi masalah perbedaan jumlah itu hanya dengan memberikan dua senjata pada seorang prajurit. Mereka masih harus mengandalkan trik dan strategi untuk bisa mengalahkan musuh. Dan kehilangan Haruki sama saja dengan kehilangan sebagian kesempatan menang mereka.
"Yuudai, apa aku boleh bertanya sesuatu padamu?."
"Tentu saja."
"Apa kau lebih pintar dari Haruki?."
"It. .itu. . tidak."
"Apa kau lebih paham keadaan daripada Haruki?."
"Aku baru sampai, jadi tentu saja tidak."
"Kalau begitu pendapatmu atau Haruki yang lebih berat nilainya?."
Yuudai tahu kalau dia sedang dipancing ke dalam sebuah jebakan. Tapi meski begitu dia tidak bisa kabur maupun mencari jalan lain. Sebab semua pertanyaan itu jawabannya hanya ada satu.
"Haruki."
Butsuma tersenyum lalu menepuk kepala Yuudai seperti anaknya sendiri.
"Baguslah kalau kau paham."
Sekarang Butsuma kembali menghadap ke arah Haruki, kali ini wajahnya kelihatan lebih serius dari sebelumnya.
"Pasukan koalisi sudah tidak membutuhkanmu, karena itulah jalankan tugas utamamu untuk mengawal tuan putrimu."
Haruki berdiri, berpindah dari kursinya lalu menghadap Butsuma secara langsung.
"Terima kasih banyak!!!!!!."
Kemudian dia menunduk dengan dalam selama beberapa saat sebelum berlari keluar setelah meninggalkan sebuah tumpukan dokumen di depan Butsuma. Sedangkan Yuudai yang sudah tidak bisa lagi melihat sosok Haruki mengalihkan pandangannya ke arah Butsuma.
"Tu. . ."
"Pemimpin tempat ini adalah aku, dan keputusanku adalah mutlak! tentu saja kalau ada yang salah akulah yang akan bertanggung jawab! jadi jangan khawatir dan lakukan saja tugasmu."
"Diterima."
Yuudai masih belum menyerah untuk mencegah Haruki pergi, tapi dia tidak bisa melawan perintah. Oleh karena itulah, pada akhirnya dia keluar dari ruangan setelah memberikan hormat.