Chereads / Bleak Knight / Chapter 11 - Reunion & Welcome

Chapter 11 - Reunion & Welcome

1

"Berhenti! kalian tidak boleh masuk! cepat ke sini."

Setelah Haruki memutuskan untuk ikut Amelie pulang ke teritorinya, mereka bertiga melanjutkan perjalanan dengan menggunakan kereta kuda milik pedagang yang kebetulan lewat.

Perjalanan mereka jadi lumayan lambat, mereka jadi tidak punya privasi, dan tentu saja tempat yang mereka gunakan sama sekali tidak nyaman. Tapi tidak ada yang bisa komplain. Sebab meski mereka memberikan kompensasi pada pedagang itu, jumlah yang mereka berikan sangat sedikit sampai bisa dibilang kalau pada dasarnya ketiganya itu hanya numpang.

Orang numpang tidak bisa memilih, dan sebab mereka tidak punya pilihan mereka bersedia diajak berputar-putar sambil isi perutnya dikocok selama perjalanan. Hanya saja, gara-gara keputusan itu, sekarang mereka harus berhadapan dengan masalah yang harusnya tidak perlu mereka hadapi ketika hendak melewati perbatasan menuju teritori Amelie.

"Apa kau sudah pernah ke sini gadis kecil?."

"Tentu saja, teritori ini miliku."

"Oo begitu. . kau ke sini dengan siapa? di mana ayah dan Ibumu?."

Amelie meletakan telapak tangan kanannya di wajahnya lalu memasang muka tidak percaya. Setelah itu dia memijat keningnya sendiri selama beberapa saat.

"Kau serius menanyakannya?."

"Tentu saja! kau pikir aku main-main?."

"Apa kalian berdua kakaknya? di mana orang tua kalian?."

Tidak memperdulikan Amelie, penjaga perbatasan ke teritori Amelie mengalihkan perhatiannya pada Erwin dan Haruki. Amelie, Haruki, dan Erwin sama sekali tidak mirip jadi kemungkinan kalau mereka bertiga punya hubungan darah sangat minim. Tapi sebab dia merasa kalau bicara dengan Amelie tidak ada gunanya dan hanya membuang waktu saja, dia memutuskan untuk membuka pembicaraan dengan dua pemuda di belakang gadis kecil itu.

"Kau yang punya muka sangar, apa kau sudah pernah ke sini sebelumnya?."

"Aku bekerja di sini."

"Siapa namamu?."

"Erwin."

Penjaga tadi membuka sebuah buku tebal di sampingnya lalu memeriksa nama-nama yang tertera di dalamnya. Dia mencari nama Erwin dan hasilnya. . .

"Apa kau ingin menipuku? tidak ada namamu di sini?."

"Bagaimana aku menjelaskannya ya?."

Meski Erwin bilang dia bekerja di tempat itu, tapi sebenarnya dia tidak pernah dimasukan dalam daftar pekerja. Dia datang hanya karena dia ingin datang, dan dia bekerja di sana hanya karena dia ingin bekerja dan membantu. Jadi sebenarnya statusnya di teritori Amelie adalah tamu, sehingga tentu saja namanya tidak terdaftar dalam catatan pekerja.

Erwin mendapatkan kompensasi dari pekerjaannya, tapi daripada gaji. Kompenasasi yang didapatkannya lebih cocok disebut uang saku. Sebab Erwin sudah tinggal di teritori itu sejak dia masih kecil, Ibunya Amelie sudah menganggap kalau pemuda itu adalah anaknya sendiri. Jadi gajinya biasanya langsung diberikan oleh Ibunya Amelie.

Catatan tentang Erwin dan pekerjaannya bisa dibilang hampir tidak ada. Sebab, yang dilakukannya hanyalah ada pada level seorang anak yang membantu Ibunya bekerja agar dapat uang jajan.

"Aku tahu kalau orang ini menjalankan tugasnya dengan serius, tapi ini agak merepotkan! Haruki? menurutmu bagaimana?."

"Aku sedang tidak ingin berdebat tapi akan kuusahakan!."

"Apanya yang mau diusahakan! Aku tidak ingin bicara denganmu jadi diam saja!."

"Geh."

Orang itu merasa kalau Haruki bicara masalahnya akan jadi semakin banyak. Karena itulah sebelum pemuda itu bisa mengatakan apa-apa dia memutuskan untuk memberondong Haruki dengan banyak kata-kata hinaan dan tidak memberikannya kesempatan untuk balik memberikan argumen.

Di dalam situasi yang seperti itu kemampuan psikologis Haruki tidak akan bisa digunakan. Sebab pada dasarnya argumen yang dia pakai hanya mempan digunakan pada orang yang bisa diajak bicara dan mau mendengarkan apa yang dikatakannya.

Dari cara bicaranya dan isi dari kata-kata yang dilontarkan pada Haruki, orang itu bisa dipastikan sudah punya banyak pengalaman menangani orang-orang yang suka ngeyel. Haruki sudah punya beberapa siasat untuk membalik keadaan, tapi baginya yang baru saja lolos dari keadaan antara hidup dan mati semua langkah yang ada di pikirannya terlalu melelahkan untuk dilakukan.

Dan yang merasa kelelahan tentu saja bukan hanya Haruki, tapi juga Erwin dan Amelie. Lalu, yang capek juga bukan hanya fisik tapi juga mental mereka. Saat ini, apa yang paling mereka butuhkan adalah memulihkan keadaan tubuh dan pikiran masing-masing dengan beristirahat.

Jika Haruki ingin memaksa masuk, dia perlu membuat keributan agar bisa mendapat perhatian orang banyak. Tempat seperti perbatasan tidak mungkin hanya dijaga oleh penjaga dan petugas pemeriksa yang posisinya di bawah. Di antara orang-orang yang bertugas di sana pasti ada orang yang bertanggung jawab atas mereka semua.

Dan jika orang itu punya tanggung jawab besar, kemungkinan besar mereka tahu tentang Erwin atau pernah mendengar sesuatu tentang Amelie.

"Kurasa kita menunggu saja sampai ada orang lewat yang mengenali kita, dengan begitu kita bisa sekalian istirahat."

Amelie menarik baju Haruki dan Erwin.

Membuat keributan akan membuat jalannya aktifitas di tempat itu terganggu, selain itu jika tidak dilakukan dengan hati-hati mereka juga akan memberikan kesan buruk yang mungkin bisa membuat mereka diusir dari tempat itu dan pada akhirnya tidak bisa bertemu siapapun lalu dipaksa untuk mencoba di lain waktu. Akan lebih baik kalau mereka menunggu saja sambil istirahat, atau mencari orang itu nanti saat badan mereka sudah lebih fit.

Ketiganya saling memandang satu sama lain, setelah itu mereka mengangguk untuk memberi tanda kalau semua orang sudah setuju dengan keputusan barusan.

"Jadi apa yang akan kalian lakukan?."

Melihat kalau kelompok yang ditanganinya sudah punya rencana lain, penjaga tadi langsung bertanya untuk memastikan kalau ketiga orang itu tidak akan melakukan hal-hal yang mengganggu.

"Kami tidak akan mengganggu tapi tolong biarkan kami beristirahat di sini, kami habis diserang bandit dan terluka karena itulah mohon pengertiannya."

Amelie memohon dengan alasan yang logis, setelah itu dia menunduk untuk menunjukan keseriusannya untuk tidak akan membuat masalah.

Jika yang bertugas adalah Erwin pasti permohonan Amelie langsung diterima tanpa banyak tanya. Tapi penjaga tadi menahan dirinya untuk tidak terpengaruh oleh penampilan polos Amelie lalu mengalihkan pandangannya pada dua pemuda yang ada di belakang gadis kecil di hadapannya.

Kedua pemuda itu memiliki banyak luka di tubuhnya, dan salah satunya menderita luka berat. Di atas pakaian keduanya juga masih ada sisa-sisa darah yang belum sepenuhnya mengering. Selain itu ketiganya juga punya penampilan yang benar-benar berantakan. Mereka tidak membawa apa-apa dan pakaian mereka juga tidak ada yang kelihatan mewah, tapi meski begitu tidak ada yang terlihat seperti orang miskin yang tidak terawat. Dia tidak tahu apakah mereka mengatakan yang sebenarnya atau tidak, tapi yang jelas ketiganya memang pasti sudah mengalami hal yang buruk.

"Jangan di sini! jadi pergilah ke pos penjaga! kalian bisa beristirahat di sana."

"Terima kasih banyak, kami permisi dulu."

Pria tadi menunjuk sebuah bangunan yang tidak terlalu jauh dari pos pengecekan sebelum kembali ke tempatnya dan mulai mengomeli orang lain.

Tidak seperti tempat sebelumnya di sana tidak ada banyak orang dan malah sepi. Tempat itu digunakan sebagai tempat berkumpulnya petugas patroli yang berjaga di sekitar perbatasan. Tapi sebab kebanyakan dari mereka sedang melakukan tugasnya ketiganya tidak melihat siapapun berada di luar bangunan.

"Aaaahhhh. . . kakiku pegal sekali."

Amelie yang sudah benar-benar kelelahan langsung duduk di atas teras kayu bangunan di depannya tepat di bawah sebuah bayangan pohon besar. Setelah duduk dan melepaskan sepatu serta kaus kakinya dia segera mengangkat kedua kakinya lalu merenggangkan telapak kaki dan jari-jarinya layaknya kucing yang baru bangun tidur.

Erwin yang tepat berada di depan Amelie langsung bergerak dengan cepat dengan niat untuk menawarkan diri memijat kaki Amelie. Tapi sebelum Erwin sempat menurunkan badannya dan mengutarakan keinginannya, Haruki segera menarik Baju pemuda itu dan menahannya.

"Kenapa Haruki?."

"Aku hanya melihat kau memasang muka mesum dan secara reflex entah kenapa aku jadi ingin menjauhkanmu dari Amelie."

Erwin tersenyum.

"Jadi kau cemburu?. . ."

Lain dengan Erwin yang memasang muka terhibur, Haruki memasang ekspresi yang artinya 'kau bisa diam atau tidak?' lalu memindahkan tangannya ke pundak Erwin dan mulai meremas pemuda itu dengan kekuatan yang lumayan menyakitkan.

"Awawawawa. . . . aku cuma bercanda. . . ."

Mengesampingkan topik tentang wajah mesum Erwin, keputusan Haruki untuk menghentikan pemuda itu juga ada hubungannya dengan keadaan tubuh pemuda di sampingnya itu. Erwin adalah seorang petarung, dan bagi seorang petarung yang namanya tangan itu adalah aset besar. Jika dia cedera permanen karena masalah kecil seperti ingin memijat Amelie saat tangannya terluka berat, Haruki sama sekali tidak bisa tertawa saat mendengarnya.

"Kalau begitu apa kau yang akan melakukannya?."

"Hah? kenapa?."

"Kenapa kau bilang?. . . hei Haruki!! apa kakimu sakit?."

"Tentu saja, kita sudah berjalan puluhan kilo"

"Secara fisik, kau dan Amelie siap yang lebih kuat?."

"Sudah jelas aku."

"Lalu apa kau pikir kalau Amelie tidak merasakan apa yang kau rasakan?."

Pada suatu poin tiba-tiba Erwin jadi bicara dengan nada emosional, tapi sebab sudah jadi rahasia umum kalau pemuda itu sangat peduli dengan Amelie. Haruki hanya menganggap kalau omelan Erwin itu hanya angin sepoi-sepoi.

"Kau benar juga."

Bagi Haruki yang sudah pernah mengikuti latihan militer dengan intens saja perjalanan mereka sampai bisa di tempat mereka sekarang adalah hal yang benar-benar tidak mengenakan. Dan tentu saja keadaan tubuhnya juga sudah tidak ada lagi yang masih baik. Terutama pergelangan kakinya yang rasanya seperti sudah mau lepas.

Dan jika hal yang sama juga dilakukan oleh seseorang yang bahkan lebih lemah darinya, pastinya efek dari perjalanan mereka pasti akan terasa jauh lebih buruk.

"Aku akan melakukannya."

"Bagus."

"Tunggu dulu kalian berdua!!! jangan sembarangan memutuskan apa yang ingin kalian pada seseorang tanpa bicara pada orangnya sendiri!!."

Amelie yang sedari tadi tidak punya kesempatan untuk masuk dalam pembicaraan akhirnya menemukan timing yang tepat untuk memberikan suaranya.

"Jangan khawatir Amelie, meski sedikit tapi aku juga sudah dapat pendidikan medis jadi bisa kujamin kalau aku bisa memberikan pijatan."

"Bukan itu maksudku."

Sayangnya suara Amelie sama sekali tidak ada gunanya sebab keputusan sudah dibuat. Keputusan kalau Haruki akan memijat kaki Amelie meski orangnya sendiri tidak mau. Tapi meski begitu gadis kecil itu masih belum menyerah untuk meyakinkan dua orang di depannya kalau dia tidak mau dipijat oleh siapapun.

"Apa kau yakin? maksudku kau juga pasti masih capek kan? kurasa kalian lebih baik istirahat saja."

"Aku ingin kau merasa lebih baik."

". . . . . Kalau begitu mohon bantuannya."

Amelie tidak bisa menolak lagi. Atau lebih tepatnya, dia tidak lagi punya alasan untuk bisa menolak. Secara logis dia memang membutuhkan bantuan, dan tentu saja dia juga menginginkan bantuan untuk menghilangkan rasa pegal di kedua kakinya. Lalu secara emosional Amelie juga tidak lagi berkutik begitu dia mendengar keseriusan Haruki untuk membantunya.

"Aku akan mulai. . ."

"Um. ."

Begitu Amelie mengangguk, Haruki langsung mengangkat telapak kaki kanan gadis kecil itu dan meletakannya di atas pahanya. Haruki mulai memijat dari bagian belakang kaki gadis itu lalu turun sedikit demi sedikit ke arah jari-jari kakinya sebagai dasar.

"Uuu. . . . "

Normalnya diperlukan medium tambahan seperti minyak agar proses memijat jadi lebih mudah tapi Haruki bisa melakukannya dengan mudah walau tanpa benda semacam itu. Kulit muda gadis itu terasa masih sangat lembut dan halus sehingga dengan jari-jari tangan Haruki bisa dengan lancar meluncur di atas permukaannya. Pelumas yang diperlukan oleh pemuda itu hanyalah keringat dari gadis itu sendiri.

"Auuummmnnngggg. . . ."

"Ke-kenapa? apa ada yang sakit?."

"Tidak, tapi rasanya agak sedikit geli."

"Sebentar lagi rasanya akan lebih baik."

"Um."

Amelie mengangguk. Lalu Harukipun melanjutkan pijatannya. Dia mulai memfokuskan pijatannya pada titik-titik tertentu, dan setiap titik itu dia perlakukan dengan khusus. Mulai dengan memutar kedua jempolnya di tumit kecil yang dipegangnya, menggosok lintas serat bagian kanan dan kiri telapak kaki gadis kecil itu, menekan titik-titik di bagian dasar persendian jari-jari kakinya, lalu yang terakhir.

"Hiiiii. . "

Haruki meletakan jari-jarinya pada sela-sela jari kaki Amelie dan menggosoknya dengan berirama, setelah itu Haruki mulai memijat dan menarik satu-persatu jari-jari kaki Amelie.

"Bagaimana rasanya Amelie."

Amelie bisa merasakan kalau rasa lelahnya seperti mulai meleleh.

"U-Um. . rasanya mulai nyaman. ."

Amelie kembali menjawab sambil mengangguk, tapi sebab kali ini suara yang Haruki dengar tidak sejelas sebelumnya. Khawatir kalau gadis kecil itu tidak enak padanya dan tidak mau mengatakana apa-apa, Haruki segera mendongakan kepalanya untuk mengcek raut wajah Amelie.

Dan begitu dia melihat ekspresi gadis kecil itu, tiba-tiba Haruki jadi merasa kalau dia baru saja melakukan sebuah tindakan kriminal.

Mata gadis kecil itu tertutup dengan rapat, tapi meski begitu kelopak matanya lembab karena ada rembesan air mata yang keluar dari dalamnya. Kemudian gadis kecil itu juga menutup mulutnya rapat-rapat supaya tidak mengeluarkan suara-suara yang untuk suatu alasan dia coba tahan dengan sekuat tenaga.

Hanya saja, meski sudah ditahanpun Haruki masih bisa mendengar suara yang terdengar dari mulut Amelie. Dan suara mmmmmm. . .mmm… mm yang gadis kecil itu keluarkan malah Haruki rasa jauh lebih berbahaya dari apapun yang coba Amelie tahan untuk tidak bunyikan.

Ekspresi Amelie yang dilihatnya sekarang, ditambah suara yang entah kenapa kedengaran erotis lalu badan Amelie yang sedikit menggeliat karena geli membuat Haruki yang sedari tadi benar-benar murni hanya berniat untuk menolong jadi mulai memikirkan hal-hal aneh.

Kalau dibiarkan terus bisa jadi imajinasinya akan jadi semakin liar dan dia akan dilabeli orang mesum oleh orang lebih mesum darinya.

Haruki juga harus mulai menahan dirinya sendiri.

"Ada apa Haruki? . . . ."

Tanpa sadar tangan Haruki berhenti bergerak.

"Ti-tidak ada apa-apa."

"Apa kau yakin? kau kelihatan pucat, kurasa kau memang benar-benar butuh istirahat."

"Jangan khawatir, lalu. . . apa aku boleh mulai naik?."

Haruki kembali melihat ke arah Amelie, dan gadis kecil itupun mengangguk. Memberikan tanda kalau Haruki boleh mulai melanjutkan pijatannya ke bagian atas kakinya. Pemuda itu mengangkat kaki Amelie lebih tinggi lalu meletakkan telapak tangannya di pergelangan kaki gadis kecil itu.

Tanpa sadar saat dia memeriksa kaki Amelie, pandangannya mulai menjalar lebih jauh dari seharusnya. Dari pergelangan kaki gadis kecil itu, matanya terus mengikuti garis kaki gadis itu untuk naik ke betisnya, bagian belakang lututnya, lalu naik lagi ke atas paha mulusnya dan akhirnya sampai di bagian yang tertutup oleh pakaian Amelie.

". . . ."

Tangannya berhenti sesaat. Meski bagian atas tertutup dengan baik tapi sebab rok yang dikenakan Amelie pendek dan lebar bagian di bawahnya pahanya tidak tertutupi kain dari pakaiannya walau tidak bisa terlihat dengan jelas karena bayangan.

Gulp

Haruki bahkan sempat berpikir untuk mencari-cari alasan agar dia bisa mengangkat kaki Amelie sedikit lebih tinggi agar dia bisa melihat sampai ke pangkal paha gadis kecil itu. Tapi di saat-saat terakhir dia sadar dan kembali menurunkan pandangannya.

"Aku akan mulai."

Kemudian dia mulai menekankan jari-jarinya di atas kulit Amelie dan menggerakannya naik dan turun di bagian belakang betis gadis kecil itu. Dengan pelan, teliti, dan menyeluruh. Dan ketika Haruki mulai menuju ke bagian tengah, Amelie tiba-tiba bersuara. . . .

"Annggg. . . .Haruki. . . rasanya mulai aneh. . "

"Aneh?. . apa sakit?"

Amelie menggelengkan kepalanya.

"Tidak sakit. . . malah sebaliknya. . tapi aku susah menjelaskannya. . . . . "

Amelie mengangkat kedua telapak tangannya lalu menggunakannya untuk menutupi wajahnya.

Haruki kembali melihat wajah Amelie, setelah itu dia langsung memegang dadanya dan meremas bajunya sendiri kemudian menundukan kepalanya. Jika dia tidak menahan diri, bisa jadi dia sudah membenturkan kepalanya ke tanah.

Kali ini dia harus benar-benar berhenti, meski dia yang menawarkan bantuan tapi sepertinya jika dia terus maju malah nanti dia yang harus mendapatkan bantuan. Bantuan untuk menahan diri.

"Amelie. . maafkan aku tapi kuras. . ."

Ketika Haruki akan bilang kalau dia harus berhenti dan mencoba mencari alasan untuk tidak kelihatan kabur dari tugas, tiba-tiba ada sebuah teriakan keras dari belakangnya. Suara itu datang dari pintu bangunan tempat para penjaga perbatasan menyimpan barang-barangnya. Dan teriakan yang Amelie, Erwin, dan Haruki dengar adalah. . .

"Apa yang kalian lakukan siang bolong begini di depan tempat kerjaku!!!!!???. . . . . ."

Kemudian, begitu ketiganya mengalihkan pandangannya ke arah suara itu. Mereka menemukan seorang pria paruh baya botak yang kelihatannya sedang marah besar. Ekspresi orang itu tentu saja tidak enak dilihat, tapi kemunculan orang itu langsung membuat Amelie tersenyum lega.

"Ah. .Herman. . . . kau kelihatan seh . . ."

"Maafkan ketidaksopananku tuan putri Amelie, selamat datang!!."

Begitu sadar dengan kalau orang yang diteriakinya tadi adalah seseorang yang dia kenal, pria itu langsung menunduk dan berlutut sambil mengucapkan salam.

"Kau bisa berdiri."

Menyuruh orang itu untuk tidak berlutut dan memanggilnya tuan putri sama sekali tidak berguna. Amelie sudah berkali-kali mencobanya dan semua usahanya itu gagal. Pria itu bilang kalau memberikan hormat adalah bagian dari tugasnya, dan jika tugas sudah dibawa-bawa Amelie tidak lagi bisa memaksa.

"Tuan put. . ."

Herman segera mendekat untuk menyambut Amelie kedatangan Amelie, tapi begitu jarak di antara mereka jadi lebih dekat dia mulai menemukan hal-hal aneh. Pakaian Amelie terlihat kotor dan rusak, selain itu ada bercak-bercak darah yang mengering menempel di permukaannya. Kemudian dia juga menemukan luka-luka di atas kulit gadis kecil yang sudah kelihatan lusuh itu.

"Apa yang terjadi tuan putri?. . ."

Amelie melihat ke kanan dan kirinya, ke arah Haruki dan Erwin. Setelah itu dia kembali menatap Herman yang kelihatan khawatir.

"Bagaimana kalau ceritanya nanti saja? untuk sementara aku ingin segera masuk, jadi tolong bantu aku melewati penjaga."

"Penjaga?. . . . "

Herman melihat ke arah pintu perbatasan, atau lebih tepatnya ke arah petugas yang sedang mengurus keluar masuknya orang dari dan ke dalam teritori Amelie.

". . . Aku paham!!!."

"Jangan terlalu keras padanya. . kurasa dia orang baik!! dia hanya perlu sedikit lebih flexible."

"Aku akan memastikan kalau dia akan mengingat semua saran tuan putri! dan tentu saja akan kupastikan kalau dia akan jadi lebih flexible."

Entah kenapa kata flexible tadi jadi kedengaran berbahaya.

Herman segera pergi ke pintu perbatasan, setelah itu dia mengajak ngobrol petugas yang tadi menahan Amelie dan yang lainnya. Meski apa yang dibicarakan tidak bisa didengar dari jauh, tapi kelihatannya mereka sedang berbicara dengan serius. Begitu pembicaraan itu selesai bisa dilihat dengan jelas kalau petugas tadi mukanya jadi pucat.

Amelie mengalihkan pandangannya dan pura-pura tidak melihat.

Setengah jam kemudian, ketiganya dijemput sebuah kereta kuda dan akhirnya bisa masuk dan melewati perbatasan. Tempat itu tidak memiliki pasukan militer sendiri seperti layaknya teritori para bangsawan lain, tapi setidaknya di sana mereka tidak perlu lagi khawatir akan diserang tiba-tiba.

2

Namanya adalah Anneliese, dalam catatan kependudukan Amteric statusnya adalah istri ke tujuh dari raja yang sekarang sedang berkuasa. Selain itu dia juga adalah pemilik dari teritori pribadi yang diberikan raja serta Ibu dari salah satu pemegang hak sebagai calon raja selanjutnya yang juga berurutan ketujuh yaitu Amelie.

Sekarang posisinya bisa dibilang cukup tinggi. Hanya saja sebab pada dasarnya dia tidak dilahirkan dari keluarga kalangan atas, pendidikan yang diterimanya tidaklah selevel dengan anggota keluarga kerajaan lain yang membuatnya jadi tersingkirkan dari pergaulan dan disisihkan ke daerah kecil yang diberikan padanya sekarang.

Tapi meski mungkin tidak sepintar bangsawan-bangsawan yang sudah didik tentang ekonomi dan politik dari kecil. Dia masih cukup paham kalau dia sedang terpojok dan keadaan teritori serta orang-orang di dalamnya sama sekali tidak kelihatan baik.

Rumor kalau teritorinya akan diserang sudah menyebar ke mana-mana, dan hal itu membuat warga dari teritorinya merasa cemas, panik, dan juga takut. Beberapa dari mereka sudah ada yang berencana untuk pergi karena takut terkena masalah. Yang adalah hal bagus, meski hal itu akan mengurangi pekerja yang ada di tempatnya.

Yang jadi masalah utama adalah sebagian dari warga teritorinya tidak punya tempat lain yang mereka bisa sebut rumah, tidak punya kenalan yang bisa diandalkan, atau sumber pendapatan lain yang mereka gunakan untuk sandaran kehidupannya.

"Ugh. . . ."

Wanita itu memegang kepalanya yang terasa sakit.

Dia tidak bisa melawan Gerulf, dia tidak bisa meminta bantuan pada siapapun kalau keadaan belum benar-benar mengancam. Selain itu jika dia mencoba bernegosiasi sendiri, dia tahu kalau dia akan kalah debat dan berakhir hanya mengiyakan apapun yang Gerulf ajukan.

"Kalau begini aku tidak punya pilihan lain."

Dia punya banyak tanggung jawab, selain itu dia juga menanggung bukan hanya nasibnya sendiri tapi banyak orang lain di pundaknya. Tapi meski semua itu penting ada hal yang jauh lebih penting untuk dia lindungi. Dan untuk melindungi hal itu dia bisa membuang semua hal lain yang dimilikinya.

Asalkan Amelie tidak pulang dia bisa menjauhkan anaknya itu dari bahaya.

Adalah apa yang dia pikirkan, tapi harapannya langsung kandas begitu seorang pelayan masuk ke tempat kerjanya dan bilang.

"Tuan putri Amelie sudah pulang."

"Hah?."

Meski Amelie bisa lulus lebih cepat karena dia melompat-lompat antar kelas, tapi statusnya sebagai sandra politik tidak akan berakhir setidaknya sampai raja baru terpilih. Lalu, jika dia pulang untuk mengurus masalah perebutan tahta atau upacara penghormatan seharusnya masih ada waktu setidaknya sampai satu bulan lagi sebelum ada yang secara resmi memanggilnya pulang ke Amteric.

Jadi kenapa anaknya itu sekarang sudah pulang?.

Apapun alasannya dia tidak bisa memaafkan perbuatannya. Dia tidak bisa membiarkan putri satu-satunya itu membahayakan diri demi alasan itu. Dengan penuh determinasi, Anneliese berjalan menuju ke ruang tamu dengan langkah cepat.

Dia sudah memutuskan untuk tidak membiarkan Amelie bicara dan memberikan alasan, dia akan bertindak tegas dan langsung menyuruh putri kecilnya itu pergi dari tempat ini. Jika Amelie menentang, Anneliese bahkan sudah bertekad untuk tega melakukan hal-hal yang bisa membuat anaknya membencinya.

Amelie jauh lebih pintar darinya, jika dia diajak untuk beradu argumen dia pasti akan kalah. Oleh sebab itulah dia harus menggunakan emosinya saat berbicara dengan anak semata wayangnya itu dan tidak memberikannya waktu untuk berpikir.

Setelah beberapa saat berjalan, akhirnya Anneliese sampai di depan sebuah pintu besar. Hanya saja sebelum masuk dia berhenti terlebih dahulu di depannya, kemudian dia memejamkan mata, menunduk, lalu menarik nafas dalam.

"Huuufff. . . . aku bisa melakukannya, aku akan melakukannya! Semuanya baik-baik saja, asalkan dia selamat aku tidak akan mengeluh."

Jika ditanya bagaimana perasaannya, saat mendengar Amelie pulang tentu saja dia bahagia. Dia sudah berpisah dengan anaknya selama hampir empat tahun. Tentu saja dia ingin melihatnya, ingin berbicara dengannya, dan ingin mengetahui apa saja yang terjadi padanya selama dia tidak bisa melihat putri kecilnya itu.

Tapi situasi sekarang sedang sangat rumit. Oleh sebab itulah meski dia sangat merindukan gadis kecilnya itu, apapun yang terjadi dia ingin Amelie untuk segera pergi.

Dia menarik nafas panjang sekali lagi lalu menghembuskannya dengan pelan. Kemudian dia memberikan tanda pada seorang pelayan yang ada di sampingnya untuk membuka pintu.

Dan begitu pintu dibuka, dia langsung bisa melihat seorang gadis kecil berdiri di antara dua orang pemuda yang lebih tua darinya. Seorang gadis kecil yang ingin dia langsung bentak dengan sekuat tenaga karena sudah pulang seenaknya, karena sudah membuatnya khawatir, dan karena sudah ingin mengatakan hal yang tidak mau dia katakan.

Seharusnya begitu.

Tapi meski memang dia menemukan seorang gadis kecil yang sangat dia kenali berdiri di antara dua orang pemuda yang dia juga kenali itu. Mulutnya sama sekali tidak mau bersuara dan kakinya langsung tiba-tiba berhenti.

Tiga orang yang ada di hadapannya adalah sebuah kelompok kecil yang sudah jadi bagian dari hidupnya dulu. Erwin yang berani dan sering mendapat masalah karena sering ikut campur urusan orang lain. Haruki yang punya masalah kepribadian tapi selalu bisa diandalkan. Dan yang terakhir, Amelie yang pintar tapi tidak tahu dunia luar.

Ketiganya sudah berhasil mengubah kehidupannya yang membosankan jadi penuh warna. Mereka sudah berhasil membuat teritorinya yang kecil jadi punya banyak orang, dan bahkan ketiganya sudah berhasil menolong lebih banyak orang lain daripada yang bisa dia lakukan sendiri.

Tiga orang yang sudah jadi bagian dari keluarganya sendiri.

Lalu begitu dia melihat ketiga anak yang dia sayangi itu pulang dengan penuh luka, penampilan kumuh, dan wajah lelah yang bisa dilihat dengan jelas. Tentu saja semua angan-angan yang dipikirkan olehnya sebelumnya langsung terbawa angin dan diganti dengan sebuah rasa kekhawatiran.

"Mama, aku pulang."

Dengan begitu, semua rencana awalnya benar-benar runtuh. Begitu dia mendengar Amelie memanggilnya tanpa sadar kakinya langsung bergerak dan membawanya ke arah gadis kecil yang ada di depannya.

"Um. . selamat datang."

Anneliese mendekap dengan erat tubuh anaknya itu.

"Jangan memelukku terlalu keras."

Amelie merasa kalau pelukan Ibunya sudah terlalu kuat dan membuatnya mulai merasa tidak nyaman. Anneliese sendiri tahu akan hal itu, tapi meski begitu dia tidak bisa menahan dirinya sendiri. Karena itulah berlawanan dengan permintaan putrinya, dia malah mengeratkan pelukannya pada tubuh kecil Amelie.

"Terima kasih sudah pulang dengan selamat."

"Uu. . . . . "

Seketika itu pula Amelie mengingat semua hal yang sudah terjadi sampai akhirnya dia bisa sampai di rumahnya sendiri. Begitu mendengar suara Ibunya dan merasakan pelukannya, semua emosi yang dia sudah tahan tidak bisa lagi dia bendung.

"Mamaaaa. . . . ."

Membuat air matanya yang seharusnya sudah dia kuras di hari sebelumnya kembali mengalir dengan deras.

Untuk bisa pulang dia harus berpisah dengan orang yang penting baginya, demi bisa pulang dia harus meninggalkan tugasnya, membuat pemuda yang sudah dia anggap seperti keluarganya sendiri hampir mati, dan demi hal yang sama pula dia juga harus berkali-kali hampir mati di tangan seseorang yang bahkan dia tidak kenal.

"Uaaaa. . . "

Dia ingin kabur dari keadaan, dia ingin menyerah dan dia ingin melemparkan tanggung jawabnya pada orang lain sambil mencari seseorang untuk disalahkan atas semua hal buruk yang sudah terjadi padanya.

Tapi dia bertahan, meski harus menanggung semua beban itu dia tetap bertahan, terus memandang ke depan dan berjalan maju.

Sebab jika dia berhenti, menyerah atau kabur, maka nasib Ibunyalah yang akan jadi taruhan. Dan hal yang paling tidak dia ingin lihat di dunia ini adalah, masa depan di mana Ibunya tidak ada, atau masa depan di mana Ibunya harus hidup menderita.

"Cup. .cup.. .cup. . ."

Anneliese mencoba menenangkan Amelie yang terus menangis sesenggukan dengan membelai lembut kepala anaknya itu.

"Ugh. . .u. . . ."

Adalah apa yang dia ingin lakukan, tapi bukannya Amelie yang terpengaruh oleh tindakannya tapi malah Anneliese yang terpengaruh oleh suasana yang dibawa oleh anaknya. Membuatnya yang ingin menghentikan tangisan anaknya malah jadi ikut menangis.

"Amelie . . ."

Saat Erwin pergi tanpa pamit dia mengira kalau pemuda itu pulang ke rumahnya sendiri untuk kabur. Di dalam, dia merasa sedikit kecewa karena pemuda yang sudah dia anggap sebagai anaknya sendiri itu pergi meninggalkannya begitu saja. Tapi di sisi lain dia juga bersyukur sebab dengan begitu Erwin tidak akan ikut terkena masalah yang menimpanya. Secara emosional dia tidak terima tapi secara logika dia tahu kalau hal itu adalah tindakan yang terbaik untuknya.

Tapi kalau dilihat dari situasinya sekarang sudah jelas kalau Erwin tidak pulang dan malah pergi menyusul Amelie untuk membawanya pulang.

Lalu kenapa Erwin mau membahayakan Amelie yang selalu ingin dia lindungi, dan kenapa Amelie mau membahayakan diri hanya untuk pulang. Jawabannya sudah jelas, untuk Ibunya. Untuk Anneliese.

Hanya alasan itulah yang bisa membuat anaknya yang penurut jadi keras kepala.

Mungkin karena Amelie tidak memiliki saudara yang bisa diberikan perhatian gadis kecil itu malah jadi mencurahkan sebagian besar perhatiannya pada Ibunya sendiri. Di saat anak-anak seumurannya sedang manja-manjanya pada kedua orang tuanya dan bertingkah egois untuk mendapatkan apapun yang mereka inginkan. Amelie malah melakukan yang sebaliknya.

Kadang Anneliese malah merasa kalau dialah yang posisinya sebagai anak sebab Amelie selalu berusaha untuk memenuhi keinginannya.

Dan tentu saja jika Amelie mendengar kalau Ibunya adalah dalam situasi berbahaya gadis kecil itu tidak akan ragu untuk bergerak.

Setelah melihat Erwin, Anneliese beralih melihat ke arah Haruki yang sedang berdiri memperhatikan sepasang anak dan orang tua itu. Dan begitu dia menyadari kalau ada sebuah pandangan yang balik mengarah padanya, Haruki langsung menundukan badannya sekedar untuk memberitahukan kalau mereka tidak perlu memikirkannya.

"Kenapa kau diam saja di sana Haruki?."

Amelie memang pintar, tapi karena kepintarannya kadang apa yang dia bicarakan tidak bisa dipahami oleh orang lain dan malah pada akhirnya membuat mereka jadi marah padanya. Sedangkan Erwin itu pemberani dan punya rasa peduli yang tinggi tapi sebab dia adalah tipe orang yang suka maju tanpa berpikir dulu, kadang masalah yang didapatkannya jauh lebih banyak daripada apa yang berhasil dia selesaikan.

Dan di saat keduanya sudah mencapai jalan buntu, biasanya yang akan memberikan follow up adalah Haruki.

Kali inipun Anneliese yakin hal yang terjadi tidak jauh berbeda.

Erwin pergi tanpa berpikir panjang, Amelie mencoba memecahkan masalahnya sendiri karena merasa punya tanggung jawab. Sedangkan karena merasa khawatir, akhirnya Haruki memutuskan untuk ikut untuk memastikan kalau semuanya akan baik-baik saja.

"Cepat ke sini! Kau juga Erwin!."

"Ha?."

". . ."

Anneliese membuka kedua lengannya dengan lebar untuk memberikan tanda pada kedua pemuda itu untuk ikut masuk ke dalam pelukannya. Tapi mau dilihat dari manapun keduanya tidak bisa begitu saja menerima tawaran itu. Meski keduanya sudah dianggap seperti anak oleh Anneliese, tapi ketiganya tetaplah tidak memiliki hubungan darah dengan wanita itu sehingga jauh di dalam sana mereka masih menganggap Anneliese sebagai lawan jenis.

Meski sudah mempunyai seorang anak Anneliese sendiri bisa dibilang masih muda, selain umur dia juga masih kelihatan cantik. Oleh sebab itulah Erwin dan Haruki yang notabene adalah pria yang sudah dewasa agak merasa bingung harus merespon bagaimana.

"Sudah kubilang ke sini!!!."

"Tapi. . ."

"Entah kenapa aku merasa agak bersalah."

"Mengesampingkan Erwin yang memang hanya suka anak kecil kau harusnya tidak masalah kan Haruki?."

"Justru karena aku tidak punya masalah, sehingga aku tidak bisa."

"Jangan banyak alasan dan ke sini saja! Kalian itu anakku jadi menurut saja."

Dengan begitu Anneliese yang seharusnya paling tua malah bertingkah manja seperti anak kecil. Dia tidak ingin mendengar alasan dan tidak peduli dengan pendapat orang lain. Yang dia inginkan hanyalah agar keduanya menuruti permintaanya.

Dan kalau sudah begitu, keduanya sudah tidak bisa melawan sehingga pada akhirnya ketiganya berakhir memeluk Anneliese sebelum beristirahat dan membersihkan diri untuk bersiap mulai menyusun rencana selanjutnya.

3

Setelah keluar dari ruangan lamanya yang pernah dia tempati saat masih kecil, Haruki yang mengenakan pakaian Erwin langsung berjalan menuju ke ruang tengah di mana mereka semua orang akan melakukan rapat. Dan sebab isi rapat itu bisa dibilang agak rahasia, pelayan yang biasanya mengikuti tamu sengaja disuruh untuk melakukan hal lain.

Dalam beberapa saat saja Haruki sudah berhasil sampai di ruang tengah, dan begitu dia masuk ke dalamnya dia langsung menemukan Erwin yang tubuhnya sudah dihiasi dengan perban menggantikan sobekan kain yang sebelumnya digunakan. Lalu tidak jauh dari pemuda itu, di sisi lain meja dia bisa melihat Amelie yang sedang duduk. .

"Mama. . . aku malu. ."

Di atas pangkuan Ibunya sambil dipeluk dengan erat dari belakang.

"Ah. . . kenapa kau harus malu?."

Dan yang dilakukannya tentu saja tidak berhenti hanya pada level memeluk. Anneliese juga sedang sibuk menggesek-gesekkan pipinya pada Amelie, menciumi rambutnya sambil tidak henti-hentinya bilang kalau 'anaku benar-benar imut' dan juga kalimat yang dia ingin anggap hanya sekedar lelucon seperti 'aku ingin menikahimu' dengan muka bahagia.

"Apa-apaan wajahmu itu Erwin?."

Sementara Haruki bingung harus bereaksi seperti apa Erwin yang sudah lebih dulu sampai di tempat itu juga sedang memasang ekspresi senang. Entah kenapa matanya berbinar-binar saat melihat pemandangan Anneliese yang sedang memperlakukan anaknya seperti kucing kecil.

"Aku tidak menyangka kalau bisa melihat adegan yuri di tempat seperti ini."

"Yuri?."

"Bu-bukan apa-apa!."

"Kalian jangan hanya ngobrol saja! Cepat tolong aku!."

Amelie tahu kalau Ibunya mungkin sangat merindukannya. Tapi entah kenapa dia merasa kalau Ibunya yang hari ini tidak seperti Ibunya yang biasanya. Saat Amelie ingin mandi Anneliese entah kenapa bersikeras untuk ikut mandi bersama, setelah berada di kamar mandi entah kenapa dia juga bersikeras agar Amelie membiarkannya membersihkan tubuhnya, lalu setelah selesai dan berganti Anneliese juga ingin membuat Amelie duduk dipangkuannya.

Kalau hanya duduk di pangkuannya saja mungkin tidak ada masalah, tapi sambil duduk Anneliese juga mulai menempelkan mulut dan hidungnya lengannya, pundaknya, lehernya, pipinya, kepalanya. Selain itu tangan Ibunya tidak mau diam dan selalu bergerak memegang banyak bagian seperti dada, pinggang, perut, dan pahanya.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi tapi sepertinya Mama sudah berubah jadi orang mesum."

Amelie mencoba melepaskan diri layaknya kucing yang tidak mau digendong oleh orang yang baru ditemuinya. Tapi permintaan tolongnya sama sekali tidak dipedulikan oleh kedua temannya itu. Haruki tidak bisa meminta Anneliese untuk melepaskan anaknya sedangkan Erwin tidak mau melihat apa yang sedang terjadi berakhir sebelum dia bisa mengingat semua detailnya.

Akhirnya, tanpa mempedulikan Amelie Haruki memulai rapat.

"Ahem. . . . . rapat darurat untuk menyelamatkan teritori ini resmi dimulai. . . ."

Tapi apa yang mereka harus bicarakan sekarang bukanlah rencana untuk membuat mereka bisa mengusir orang-orang Gerulf dari teritori mereka saat dia datang. Meski mereka berhasil membuat rencana semacam itupun tidak mungkin mereka bisa mengeksekusinya sebab mereka kekurangan satu hal fundamental yang benar-benar mereka butuhkan.

"Um. . .aku paham. . jadi yang akan kita bahas adalah cara mengulur waktu kan?."

Haruki mengangguk untuk memberikan tanda kalau apa yang dikatakan Amelie adalah memang apa yang dia maksud.

Mereka tidak punya waktu. Rencana apapun yang mereka buat tidak akan bisa dieksekusi dengan batas waktu yang mereka miliki sekarang. Dari estimasi yang Haruki buat pasukan musuh akan sampai paling cepat besok pagi. Dan begitu mereka sampai itu berarti mereka sudah tidak bisa melawan lagi. Dengan kata lain skak mat.

Karena itulah mereka harus memfokuskan diri untuk mencari cara agar bisa mengulur waktu.

"Kau bilang kalau kita harus fokus mengulur waktu. . . tapi dilihat sekilas saja sudah jelas kalau jumlah mereka jauh lebih banyak dari orang-orang yang ada di sini, selain itu tidak seperti kasus sebelumnya orang-orang di sini adalah orang sipil."

Erwin mengangkat tangannya setelah mengingat kalau dia melihat ada banyak kereta supply saat kabur dari pasukan Gerulf. Dan jika mereka harus membawa supply sebanyak itu maka jelas pasukan yang harus diberi supply juga jumlahnya pasti harus sebanding. Meski Gerulf tidak membawa semua pasukannyapun, setidaknya orang itu akan mengerahkan lima ratus orang untuk bergerak menuju teritori Amelie.

Dalam perang yang sesungguhnya jumlah itu mungkin tidak terlalu spektakuler, tapi kalau hanya untuk menaklukan teritori Amelie yang bahkan tidak punya pasukan militer sendiri. Jumlah itu sudah lebih dari cukup.

Total penduduk dari teritori Amelie hanya mencapai sekitar lima ratus, dan banyak dari mereka yang tidak bisa dihitung sebagai kekuatan tempur. Kalau anak-anak, orang tua, dan juga wanita tidak dihitung orang yang bisa bertempur paling banyak hanya seratus atau mungkin paling banyak seratus lima puluh orang.

Dan dari orang yang sudah sedikit itu tidak ada jaminan kalau mereka semua akan mau bertarung mempertahankan teritori Amelie.

"Kalau kita bertahan tentu saja kita akan kalah, aku memang bilang kita harus mengulur waktu tapi bukan berarti kita akan mundur dan bertahan sampai semua orang mati."

"Lalu?."

"Kita akan menyerang pasukan Gerulf dan memaksa mereka berhenti dan memberikan kita waktu."

Mempertahankan jauh lebih sulit daripada menyerang. Dalam sebuah perang, meski kedua pihak yang saling berhadapan memiliki kekuatan yang sama tapi tetap saja tekanan yang dialami pihak bertahan jauh lebih berat daripada pihak yang menyerang. Sebab bertahan sambil melindungi sesuatu itu lebih sulit daripada menyerang dan menghancurkan.

"Dan meski aku bilang menyerang tentu saja kita tidak akan melakukan konfrontasi langsung."

Masalah jumlah adalah sesuatu yang tidak bisa diatasi dalam waktu satu atau dua jam. Oleh sebab itulah melakukan serangan langsung tidak akan mungkin bisa dilakukan. Jadi jika mereka ingin menyerang target yang harus mereka incar adalah bagian paling vital milik musuh.

Bagian yang sangat vital sampai musuh tidak akan lagi bisa bergerak begitu bagian itu tidak berfungsi.

"Kita akan menyerang, tapi tujuan utama serangan yang kita lakukan bukanlah untuk mengalahkan musuh."

Seperti yang sudah Haruki katakan sebelumnya, tujuan utama mereka adalah untuk mengulur waktu yang cukup panjang untuk mereka bisa benar-benar menyusun rencana yang jauh lebih baik untuk bisa menyelesaikan masalah mereka yang sesungguhnya.

Keinginan Gerulf untuk menguasai teritori Amelie.

"Aku paham kalau yang kau ingin lakukan hanyalah menggertak musuh, tapi gertakan macam apa yang bisa membuat mereka memberikan waktu untuk kita bisa mundur dan membuat rencana baru?."

Erwin tahu kalau mereka perlu menyerang, tapi dia masih belum paham apa yang mereka harus lakukan setelah berhasil menyerang.

"Menyerang hanyalah cara, bukan tujuan akhirnya, yang ingin kubuat adalah keadaan stalemate dimana Gerulf tidak punya pilihan lain kecuali bernegosiasi."

Perang sendiri juga adalah salah satu bentuk dari negosiasi, sebuah negosiasi yang keputusan akhirnya diambil berdasarkan hasil dari konflik fisik di mana perlu ada korban yang harus dijatuhkan agar resolusi bisa ditemukan.

Hanya saja negosiasi yang Haruki maksud dan inginkan bukanlah negosiasi semacam itu, tapi negosiasi di mana mereka bisa bertatap muka lalu bicara dan mengatakan pendapat masing-masing.

"Meski kita kalah telak dalam urusan militer tapi dalam hal lain kita punya posisi yang jauh lebih baik, karena itulah apapun yang terjadi kita harus bisa memaksa mereka bertempur menggunakan bidang yang kita lebih kuasai."

Hal pertama yang jadi keuntungan terbesar mereka adalah fakta kalau Anneliese dan Amelie adalah bagian dari keluarga kerajaan. Dengan kata lain, meski mereka tidak terlalu dianggap penting tapi tidak mungkin keadaan mereka tidak diperhatikan. Jika ada yang dengan terang-terangan ingin melukai keduanya itu berarti mereka sudah melakukan pengkhianatan pada negara.

Dan tentu saja Gerulf tidak ingin berurusan dengan hal-hal semacam itu. Jadi jelas meski hanya untuk urusan penampilan saja, Gerulf akan tetap memasang kedok hormat dan tingkah tidak berbahaya di depan Anneliese dan Amelie.

Selain itu, sebab event pemilihan calon raja juga sangat dekat waktunya dia akan mendapatkan perhatian yang tidak dia inginkan dari fraksi-fraksi calon lain yang mengira kalau dia memihak pada salah satunya kalau dia menangani masalah dengan Amelie menggunakan kekerasan.

Kemudian keadaan teritori Amelie juga jauh lebih baik daripada teritori milik Gerulf, dan dengan keadaan yang lebih baik tentu saja jumlah kas yang dimiliki Amelie berada di atas Gerulf meski tanah yang dimilikinya hanya setengah dari lahan yang dimiliki orang itu.

"Lalu yang terakhir, mereka menganggap kalau kita ini bodoh."

Diremehkan orang lain memang rasanya tidak enak, tapi dalam perang membuat musuh percaya kalau kita itu lemah adalah bagian dasar yang paling dasar dari sebuah strategi untuk mengalahkan musuh. Jika musuh maju dengan asumsi kalau kita tidak bisa melawan maka tanpa rencana rumitpun mereka akan dengan sendirinya membuat celah yang bisa dieksploitasi nantinya.

"Hm. . . . jadi kau ingin memberikan solusi pada masalah yang kau buat sendiri."

Amelie yang sedari tadi ingin melepaskan diri mulai berhenti memberontak di dalam pelukan Ibunya, tapi hal itu bukan karena dia menyerah melainkan karena pikirannya dialihkan pada hal lain. Ketika dia serius berpikir dia mulai tidak peduli dengan sekitarnya dan hanya fokus pada isi kepalanya saja.

Taktik memberikan solusi pada masalah yang kau buat sendiri itu sama sekali bukan hal baru. Dalam dunia bisnis, strategi marketing semacam itu sudah diterapkan sejak lama. Jika seseorang punya skill yang cukup bahkan mereka bisa membuat seseorang bisa membutuhkan barang yang dari dulu tidak pernah seseorang perlukan menjadi item penting yang harus dimiliki.

"Ya. . . ketika kita sudah memojokannya kita akan memberikan solusi yang kelihatannya paling mudah untuk diambil sebab tidak ada resikonya."

"Hm. . . garis besarnya aku paham. . . tapi meski kita hanya ingin menggertak kita harus tetap butuh banyak orang, sekali lagi masalah awal kita sama sekali belum selesai."

Haruki bisa mengurangi jumlah orang yang dibutuhkannya dengan membuat strategi baru, tapi Haruki sendiri tidak bisa menyuruh orang yang ada di teritori Amelie untuk menurutinya sebab dia bukan siapa-siapa. Dia punya rencana tapi dia tidak punya orang yang bisa menjalankan rencananya.

Sehebat apapun jendral mereka itu bukan apa-apa tanpa pasukannya.

"Aku ingin mengajukan diri, tapi kejadian tadi pagi membuatku agak shock."

Erwin ingin membantu Haruki mengumpulkan orang-orang untuk menjalankan rencananya. Tapi kejadian pagi tadi membuatnya sadar kalau dia juga sepertinya tidak terlalu mempunyai pengaruh di dalam teritori Amelie. Jika dia memaksakan diri untuk merekrut seseorang kebanyakan dari mereka hanya akan menanyakan dia itu siapa.

"Berdasarkan proses eliminasi, tidak ada kandidat yang lebih baik untuk mencari sukarelawan kecuali kalian berdua."

Haruki akhirnya memfokuskan pandangannya pada Amelie dan Anneliese. Lalu Anneliese yang sedang memangku Amelie juga ikut melihat ke arah anaknya yang sedang dia peluk. Sedangkan Amelie sendiri masih kelihatan berpikir.

". . . "

Amelie melepaskan kedua tangan Ibunya dari pinggangnya setelah itu dia turun dan berdiri lalu mengangkat wajahnya untuk balik melihat Haruki langsung ke matanya.

"Kurasa kita tidak punya pilihan lain."

Setelah itu Amelie berbalik dan menghadap ke arah Anneliese lalu tersenyum dan bilang.

"Mama, apa kau pernah main drama?."

"Ha?."