1
"Semuanya banguuuuunn!!! ada api!."
Sebuah teriakan panik membangunkan puluhan orang dari tidurnya. Dan begitu bangun, orang-orang itu juga ikut menambah kepanikan dengan berlari berhamburan keluar dari sebuah tenda besar yang mereka gunakan sebagai pelindung tempat mereka tidur.
"Jangan panik, turunkan tenda lalu basahi kain atau apapun untuk mematikan apinya."
Mereka berada jauh dari sumber air, karena itulah mereka tidak bisa sembarang membuang-buang air yang susah untuk didapat. Beberapa orang memasukan kain dalam air lalu melemparkannya pada tenda yang sudah dijatuhkan agar tidak menjalar ke tempat lain.
"Pasukan pemanah! pisahkan diri kalian lalu ambil bersiap untuk menyerang balik musuh!!!."
Begitu pasukan pemanah yang diberikan perintah mulai mempersiapkan diri, suara dari banyak langkah kaki kuda segera terdengar. Dan suara itu tidak berasal dari camp mereka berada, tapi dari balik barikade yang dibuat oleh pasukan koalisi.
"Cih."
Alois, sebagai jenderal perang pasukan pemberontak dialah yang bertanggung jawab atas seluruh operasi untuk menjatuhkan benteng pasukan koalisi. Dan sebab dia sudah punya banyak pengalaman dalam perang, dia tahu kalau perintahnya sebelumnya sudah tidak ada gunanya lagi.
Dia mengangkat tangannya lalu menghentikan pasukan pemanah yang akan maju ke perbatasan barikade pasukan koalisi.
"Suruh pasukan pemanah di pintu utara untuk bersiap menghadang musuh!."
Jika musuh menyerang dalam jumlah banyak tidak mungkin pasukannya yang bertugas untuk mengawasi barikade musuh bisa melewatkannya dan membiarkan pasukan koalisi memberikan serangan kejutan seperti tadi.
Jika intuisinya benar, harusnya musuh yang menyerang mereka tadi jumlahnya tidak terlalu banyak. Asalkan dia bisa mengetahui kemana mereka akan bergerak mereka bisa dihadang dan ditangani dengan mudah.
Dan sebab mereka berada di dalam barikade, tentu saja gerakan mereka akan terbatas. Lalu, jika tujuan mereka dimasukan dalam perhitungan kau bahkan tidak perlu berpikir untuk bisa tahu ke mana mereka akan bergerak.
Tujuan mereka adalah membakar tenda-tenda pasukan pemberontak, jadi jelas mereka akan berlari di bagian terluar barikade sambil memanahkan anak panah berapi. Mereka hanya bisa bergerak dalam satu jalur saja.
Perintah Alois segera disampaikan, dan pasukan pemanah yang ada di pintu utara segera menyiapkan diri untuk menghadang musuh. Dalam pertempuran malam ketika jarak pandang sangat terbatas karena kegelapan, indra yang mereka bisa paling percaya hanyalah telinga mereka.
Oleh sebab itulah semua orang bergerak dengan tenang dan tidak ada yang mengeluarkan suara yang tidak perlu.
"Semuanya! siapkan panah kalian."
Mereka mendengar suara langkah kaki kuda yang bergerak cepat ke arah mereka, lalu dengan hati-hati salah satu dari mereka memperhitungkan timing dari serangan yang akan mereka lakukan.
Beberapa saat kemudian mereka mendengar suara langkah kuda yang semakin keras, dan begitu suara itu menjadi jelas. Serangan panah langsung dimulai dengan aba-aba yang tidak kalah kerasnya.
Sebab lawan yang mereka akan hadapi jumlahnya tidak banyak, pasukan pemanah yang dikerahkan juga tidak terlalu banyak. Tapi meski begitu, begitu aba-aba berbunyi, puluhan anak panah langsung meluncur melewati udara malam menuju arah suara tadi. Menggunakan serangan dadakan itu, harusnya tidak ada orang yang bisa bereaksi cukup cepat untuk langsung kabur.
Dengan jumlah anak panah yang sebanyak itu terbang ke arahnya, seseorang tidak akan mungkin bisa selamat tanpa terluka. Setelah menunggu beberapa saat, suara rengekan kuda yang kesakitan segera menyusul untuk terdengar. Dan beberapa saat setelah itu kesunyian malam kembali menyelimuti tempat itu.
Seakan menandakan kalau di sana tidak ada lagi kehidupan.
Merasa kalau misinya sudah selesai, pemimpin pasukan pemanah memutuskan kalau mereka tidak lagi perlu bersembunyi. Mereka keluar dan. .
"Seraaaaanngg!!!."
Disambut dengan anak panah yang meluncur ke arah mereka.
"Semuanya munduuurrr!!!."
Sekali lagi, pasukan pemberontak dipaksa untuk mundur.
Sedangkan Yuudai yang melihat seluruh kejadian tadi dari tembok benteng menarik nafas lega. Dia melihat beberapa kuda yang tergeletak tidak lagi bernyawa setelah dipanah musuh, tapi meski begitu korban yang jatuh dari pihaknya bisa dibilang sangat minim.
"Meski aku merasa kasihan pada kudanya."
Tapi daripada kehilangan rekan-rekannya, kehilangan beberapa kuda adalah harga kecil yang harus dibayar.
Mereka kalah jumlah, jadi mereka tidak bisa mengorbankan prajuritnya lagi untuk dibunuh musuh.
Setelah melakukan serangan awal untuk membakar tenda musuh pasukannya langsung mundur dengan berjalan kaki dan membiarkan kuda-kudanya untuk tetap bergerak pada jalur yang sudah ditentukan.
Dalam sebuah pengepungan jangka panjang, yang paling penting adalah jumlah dan dan ketahanan pasukan. Tanpa jumlah yang cukup kemenangan tidak akan bisa didapatkan, dan meski jumlah pasukan yang dimiliki lebih dari cukup tapi kalau ketahanannya rendah usaha mereka juga akan berakhir dengan kegagalan.
Dan ketika bicara masalah ketahanan, ada dua hal pokok yang harus selalu diperhatikan. Yang pertama jelas supply makanan, pepatah 'seseorang tidak bisa berangkat perang dengan perut kosong' sama sekali bukan omong kosong.
Yang kedua adalah tempat berteduh. Untuk ekspedisi jangka pendek yang hanya berlangsung selama beberapa hari, tidur di atas tanah atau di sembarang tempat masih bisa dilakukan. Tapi dalam pengepungan yang bisa berlangsung selama berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan hal semacam itu tidak boleh dilakukan.
Dalam waktu yang selama itu, rasa lelah yang tidak dihilangkan secara penuh dengan istirahat yang baik akan terakumulasi dan membuat prajurit tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Dan menyuruh perajurit yang kelelahan untuk maju ke medan perang itu sama saja dengan menyuruh mereka untuk bunuh diri.
Keduanya mungkin kedengaran seperti hal yang remeh, tapi keduanya sama sekali tidak bisa diremehkan dan sangat penting. Lalu jika ada hal yang penting untuk musuh, tentu saja menghancurkannya adalah tugas yang harus dilakukan.
Dan hal itulah yang baru saja pasukan koalisi lakukan.
Menghancurkan tempat tinggal mereka dan memaksa pasukan pemberontak untuk tidak bisa beristirahat secara penuh sambil memberikan serangan-serangan kejutan untuk membuat suasana tetap tegang agar pikiran mereka tidak bisa tenang bahkan saat tidur.
"Meski rencana penyerangan berhasil tapi entah kenapa mukamu masih kelihatan tidak puas."
Di samping Yuudai, Shun sedang menggunakan teropong di tangannya untuk memperhatikan pergerakan pasukan musuh. Dan sebab pekerjaannya terasa agak membosankan dia memutuskan untuk menggoda Yuudai dengan pertanyaan yang tentu saja jawabannya sudah dia tahu dari awal.
"Lakukan saja tugasmu!!!."
Shun tersenyum, tapi seperti yang diperintahkan dia tetap melakukan tugasnya dengan serius.
"Jauh lebih mudah dari yang kau kira kan?."
Kali ini Yuudai yang melihat ke arah Shun.
"Maksudmu?."
"Perang ini lebih mudah dari yang kau bayangkan kan?."
Yuudai masih tetap diam, tapi dia setuju kalau memang perang yang sedang berlangsung sekarang berbeda jauh dari apa yang ada pada bayangannya. Selain itu dia juga merasa kalau keadaan terus berlanjut seperti sekarang maka mereka akan benar-benar bisa memenangkan pertempuran bahkan tanpa kehadiran Haruki.
Hanya saja dia masih tidak terima dengan tindakan Haruki yang didasari masalah personal. Sebagai seseorang yang sudah mendapat pendidikan militer dari umur yang sangat muda, doktrin 'urusan negara jauh lebih penting dari apapun' sudah tertanam dengan sangat dalam pikiran Yuudai.
"Bagaimana keadaan musuh?."
"Berantakan, tapi sudah tidak ada yang panik."
Itu berarti secara garis besar rencana mereka untuk mengganggu musuh sudah berjalan dengan lancar.
"Ngomong-ngomong, kenapa meriam-meriam di bawah tidak dipakai? bukankah menggunakan benda-benda itu lebih efektif untuk mengganggu musuh?."
"Meriam-meriam itu akan akan digunakan pada waktu yang lebih penting."
Amunisi yang mereka miliki sangat terbatas, oleh sebab itulah mereka tidak bisa menggunakan meriam-meriam itu sembarangan meski mereka sudah susah-susah diturunkan dari atas tembok benteng. Jika mereka menggunakannya di saat yang tidak tepat mereka malah hanya akan menyia-nyiakan sumber daya.
"Dan waktu yang lebih penting itu?."
"Aku tidak tahu, tapi katanya meriam-meriam itu bisa digunakan untuk membuat pasukan musuh menyerah tanpa perlawanan?."
"Bagaimana bisa?."
"Aku tidak tahu? harusnya kau sudah tahu kalau tugasku hanya melaksankan perintah!."
Yuudai sendiri ingin tahu. Hanya saja dia tidak kebagian tugas untuk ikut berpikir, jadi dia tidak tahu detail dari rencana yang dibuat oleh orang-orang di atasnya. Dan sebab rencana rahasia itu perlu dijaga rahasianya, sepertinya yang di atas memutuskan untuk meminimalisir jumlah orang yang tahu akan hal itu.
"Eh? bukankah kau itu salah satu pemimpin pasukan?."
"Aku hanya tahu tentang bagianku saja."
"Kalau begitu, pada dasarnya kau hanya pemimpin dalam nama saja? untuk ukuran orang sepertimu kau kelihatan tidak kecewa sama sekali."
"Apa maksudmu dengan orang sepertimu?."
Shun melepaskan teropong di tangannya lalu melirik ke arah Yuudai.
"Maksudku kau itu anak orang berpengaruh kan? kukira kau akan lebih. . . . arogan atau sejenisnya."
"Yamato tidak butuh orang seperti itu!! orang yang semacam itu cukup ada di Amteric saja! yang paling penting dari seseorang adalah skill, jika mereka tidak punya skill mereka tidak berhak mendapat perhatian lebih."
Di Yamato memang posisi sebagai bangsawan tidak terlalu punya nilai yang besar. Mereka dianggap hanya sebagai salah satu bagian dari pemerintah. Mereka punya kekuasaan, harta dan juga nama. Tapi meski begitu jika mereka tidak punya skill atau tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik maka posisi yang mereka tempati bisa dengan mudah digantikan oleh orang lain.
Orang yang tepat untuk pekerjaan yang tepat. Adalah kebijakan politik dasar yang diterapkan hampir di setiap institusi di bawah nama pemerintahan Yamato.
Tidak seperti bangsawan di negara-negara lain, bangsawan di Yamato benar-benar harus bekerja keras untuk mempertahankan apa yang dimilikinya.
"Hahahaha. . . . . aku tidak akan berdebat tentang masalah itu, tapi jangan lupa kalau pengecualian itu selalu ada. . aaaa. . . iya. . seperti Amelie misalnya."
Meski Yuudai tidak berusaha dengan keras untuk tetap memasang poker face, tapi Shun masih bisa menangkap sebuah reaksi dari Yuudai. Pemuda tidak tahu bagaimana hubungan di antara kedua orang itu, tapi dari reaksi Yuudai terhadap nama dari gadis kecil yang baru saja disebutkannya tadi. Sepertinya keduanya bukan sepasang teman yang akrab.
"Apa. . . "
Merasa kalau Shun melihat ke arahnya dengan tatapan aneh membuat Yuudai merasa agak tidak nyaman.
"Ah. . tidak apa-apa, aku hanya terkejut lagi! kau bilang kalau yang paling penting dari seseorang adalah skill! tapi meski begitu kulihat kau tidak menerima Amelie dalam level emosional."
"Itu. . . ."
Apa yang Shun katakan sama sekali tidak salah, meski memang Amelie tidak ada hubungannya dengan perang yang terjadi dulu tapi secara emosional Yuudai masih tidak bisa seratus persen menerima keberadaan Amelie.
"Itu karena dia hanya menjadi beban."
"Ha? hanya jadi beban?."
"Dia perlu dilindungi, dia tidak bisa melindungi dirinya sendiri, selain itu dia bahkan tidak bisa membantu dalam perang! meski dia itu pintar tapi pada akhirnya dia hanya bisa jadi alat politik."
"Ha? apa kau serius mengatakannya?."
"Tentu saja."
Shun menepuk keningnya sendiri dengan keras lalu melihat ke arah Yuudai dengan pandangan yang seakan bertanya 'apa kau serius?.'
"Aku sudah sering mendengar kalau kau tidak terlalu mementingkan masalah akademik, tapi aku sama sekali tidak menyangka kalau kau juga punya otak otot."
Yuudai merasa kalau Shun baru saja menghinanya, tapi meski begitu dia sendiri paham kalau memang sindiran Shun tentang otak ototnya bukan tanpa alasan. Meski jelas tidak menyukainya, tapi Yuudai sudah terbiasa diberi kalimat sarkasme semacam itu oleh banyak orang. Dia memang tidak paham dengan hal-hal rumit.
"Yuudai, tesis yang kau ajukan saat ujian tertulis kemarin temanya apa?."
"Metode latihan fisik prajurit, untuk detailnya aku mengambil referensi dari tesis lulusan sebelumnya."
"Nilainya?."
"Biasa, topiknya bukan hal baru selain itu aku juga tidak terlalu mengejar masalah akademik."
Shun menghela nafas.
"Hey Yuudai, kau tidak ingin berhenti cuma jadi prajurit kelas bawah kan? apa kau tidak ingin suatu hari bisa memimpin pasukanmu sendiri? kurasa, dari sekarang kau harus mulai mengubah cara pikirmu."
"Yang nanti akan kupikirkan nanti, selain itu aku bisa mencari orang yang bisa menggantikanku untuk memikirkan masalah-masalah rumit itu. . . . jadi apa yang kau ingin bicarakan? kau tidak hanya ingin mengkritiku kan?."
"Tentu saja tidak, aku hanya mau bilang kalau Amelie dapat nilai sempurna untuk tesisnya."
"Bukannya dia dapat nilai sempurna itu bisa saja?."
"Kau ini. . . ."
"Jangan salah paham, aku sedang tidak meremehkannya, maksudku adalah dia itu kan memang fokus pada masalah akademik."
"Kau sendiri apa sudah bisa mengalahkan Ayahmu?."
"Tentu saja belum, level kami itu berbeda jauh."
"Tapi bukankah kau fokus untuk melatih fisikmu?."
"Itu sama sekali tidak cukup! pengalaman dan jam terbangnya jauh berada di atasku."
"Ternyata kau paham juga, jadi apa yang membuatmu berpikir kalau belajar selama tujuh tahun bisa membuatmu lebih pintar dari orang yang umurnya mungkin tiga atau empat kali lipat umurmu?."
"Um. . . aku paham."
Orang-orang yang diberikan tugas untuk memberikan nilai pada tesis-tesis murid sekolah militer di Yamato tentu saja bukan orang bodoh. Mereka adalah orang-orang pilihan berpengalaman dan ahli pada bidangnya masing-masing. Dengan kata lain mereka adalah profesional yang sudah punya banyak pengalaman, jam terbang dan juga pengetahuan yang dikumpulkan selama bertahun-tahun.
Dilihat dari manapun mereka itu bukan orang yang level otaknya bisa disamakan oleh anak kecil yang umurnya rata-rata baru enam atau tujuh belas tahun.
"Dan jika dia mendapat nilai penuh dari orang-orang itu, artinya cuma ada satu."
Kemampuannya sudah diakui.
Jika Amelie sama-sama mengejar kemampuan fisik seperti Yuudai, maka bisa dibilang kalau levelnya sudah setara dengan para prajurit baris depan yang bisa pulang dari medan pertempuran sambil membawa kemenangan.
"Pinta . . ."
Secara reflex Shun akan menepuk kepala Yuudai seperti anak kecil, tapi gadis itu langsung menepis tangannya dan melihat ke arahnya dengan pandangan tajam. Shun mundur beberapa langkah dari tempatnya lalu mengangkat kedua tangannya di depan dadanya sebagai tanda dia tidak berani macam-macam.
"Ngomong-ngomong, kau bisa menghitung berapa banyak orang yang mendapatkan nilai penuh dengan satu tangan."
Dan dalam lima puluh tahun terakhir hanya ada tiga orang yang bisa mendapatkannya. Sesulit itulah mendapatkan nilai penuh dari para petugas pemeriksa test di Yamato.
Selain standar yang dipatok tinggi, jumlah dari pemeriksa yang berpartisipasi dalam acara tahunan itu juga banyak. Dan semua orang yang jumlahnya banyak itu punya cara berpikir yang berbeda, prioritas yang berbeda, dan juga pengalaman yang bermacam-macam. Jika kau ingin mendapatkan nilai bagus yang perlu kau lakukan adalah memilih sebuah topik aman yang bisa dicerna sebagian besar petugas.
Tapi jika kau ingin mendapatkan nilai sempurna, kau harus mengakomodir satu-persatu petugas yang akan mengecek tesismu. Sebuah tugas yang tidak bisa dilakukan hanya dengan sekedar duduk dan membaca buku.
"Aku paham kalau gadis kecil itu pintar, tapi memangnya apa yang dia tulis di tesisnya?."
"Standarisasi logistik dan penempatan jalur relay."
"Huh? cuma itu? dia cuma menulis hal seperti itu dan mendapat nilai full."
"Cuma itu kau bilang? kalau begitu aku mau tanya, berapa hasil lima kali lima?."
"Pertanyaan bodoh macam apa itu?."
"Jawab saja."
"Ok, sepertinya kepalamu perlu kupukul sebanyak dua puluh lima kali."
"Kau tahu dari mana?."
"Yang seperti itu semua orang juga tahu."
"Kenapa bisa begitu? jawabannya adalah karena ada yang memberitahukannya? bayangkan saja kalau saat kecil tidak ada yang mengajarimu perkalian! mungkin saja sekarang kau tidak akan bisa menjawab pertanyaanku tadi."
"Lalu apa hubungannya dengan topik tadi."
"Topik yang Amelie tulis di tesisnya belum pernah ditulis orang lain, dengan kata lain dia tidak punya contoh yang bisa dia gunakan sebagai referensi dan ide yang dimilikinya itu original!."
Jika dilihat sekilas, topik yang Amelie bawa itu kedengaran sepele. Yang dia tuliskan hanyalah pentingnya standarisasi bentuk, ukuran, dan berat pemaketan barang-barang logistik militer dan juga penambahan relay logistik serta penentuan jalur-jalurnya.
Hanya saja kalau tesisnya benar-benar diterapkan dalam dunia nyata. Maka beban logistik militer akan berkurang drastis. Standarisasi item akan mempermudah kalkulasi item, mempercepat proses administrasi, dan memudahkan transportasi sehingga menghasilkan proses logistik yang lama dan melelahkan berkurang jauh.
Lalu dengan adanya relay, beban distribusi dan penyimpanan dan juga pengamanan logistik militer tidak akan lagi tergantung pada pemerintah pusat. Dengan distribusi ini, jika satu gudang logistik diserang dan hancur masih ada banyak relay yang bisa digunakan untuk melakukan transportasi logistik.
Kemudian jalur langsung yang dibuat antara satu relay dan relay lainnya memungkinkan transportasi logistik yang jauh lebih cepat dan bisa membypass masalah birokrasi ke pemerintah pusat. Dan pada akhirnya mencegah pasukan militer kekurangan item untuk digunakan.
Sebuah relay yang kekurangan logistik bisa meminta dari logistik dari relay lain yang dekat dengan mereka, dan relay yang tadi dimintai supply tinggal meminta dari relay lain yang lebih dekat dengannya lagi. Proses ini akan terus berlanjut sampai ke relay yang terdekat dengan pusat, dan ketika pusat mengisi supply tambahan pada relay itu maka di saat yang sama mereka juga sudah mengisi supply pada relay lain.
Sistem ini persis seperti aliran darah di tubuh manusia.
"Kedengarannya aplikasinya sulit."
"Tentu saja, Yamato belum pernah punya pengalaman membuat sistem yang serumit itu, kemudian investasi awalnya juga kelihatan benar-benar tinggi."
Membangun relay baru, dan membuat jalur langsung antar relay tentu saja akan memakan banyak waktu, tenaga, dan juga uang yang sama sekali tidak sedikit.
"Tapi kalau sistem ini berhasil diimplementasikan maka tidak akan ada lagi tugas logistik super melelahkan yang berlangsung selama berhari-hari, dan kalau sistem ini juga diterapkan pada bidang ekonomi aku yakin kalau efeknya lebih besar dari yang dibayangkan."
Tentu saja tesisnya tidak sempurna, proposal sistem yang diajukan Amelie juga memiliki celah. Sebab semua logistik didistribusikan secara merata ke semua tempat strategis yang jumlahnya tidak sedikit, pasukan yang ditugaskan menjaga supply di setiap tempatnya akan berkurang sebab jumlahnya dibagi-bagi. Membuat kekuatan militer garis depan secara merata menurun.
Selain itu musuh juga bisa melakukan blokade jalur logistik dan mengepung gudang supply begitu mereka tahu seluk beluk sistemnya sehingga bantuan sulit diterima.
Sistem itu masih baru dan kemungkinan ada orang yang tahu cara kerja dan kelemahannya memang sedikit, tapi seperti kata pepatah. Apapun yang bisa rusak pasti akan rusak.
"Ngomong-ngomong tentang sistem, aku dengar Haruki pergi mengejar Amelie, apa gosip itu benar?."
"Iya."
"Aku kira pertempuran belum selesai, apa tidak apa-apa membiarkannya pergi!."
"Tentu saja apa-apa! aku juga tidak ingin membiarkannya pergi tapi jendral pasukan mengijinkannya."
"Kalau dia mengjinikannya berarti sudah ada rencana kan? lalu apa rencananya? apakah akan ada pasukan bantuan?."
"Selagi kami di luar sudah ada beberapa orang yang mencari bantuan ke benteng markas pasukan sentral terdekat, tapi perhitungan optimisnya mereka baru akan sampai dua minggu lagi."
"Bukankah itu sama saja kita tidak dapat bantuan?."
"Tapi kudengar nanti ada bantuan lain, walau aku tidak diberitahu bantuannya datang dari mana."
"Kau tidak tahu dari mana? aku jadi agak khawatir. . . "
"Jangan banyak tanya da. . . ."
"Nona Yuudai. . ."
Sebelum Yuudai menyelesaikan kalimatnya, seseorang memanggilnya. Dan begitu dia memeriksanya dia menemukan salah satu anak buah Butsuma yang memberinya tanda untuk mengikutinya.
"Sepertinya akan ada rapat, aku akan meninggalkanmu."
"Ya, pergi saja."
"Jangan malas-malasan selama kau tidak ada."
"Aku tahu!."
Tugas Shun mungkin kelihatan remeh, tapi apa yang dilakukannya adalah hal yang sangat penting. Dia dan orang-orang lain yang punya tugas untuk mengawasi keadaan sekitar benteng bisa dibilang dia bekerja sebagai tulang punggung dari pertahanan benteng koalisi. Jika ada musuh yang menyerang dan lolos dari pengawasan mereka, pasukan yang bersiaga di bawah akan terlambat memberikan reaksi yang jelas hasilnya tidak akan bagus.
Yuudai pergi dan Shun kembali melanjutkan tugasnya.
Dan begitu Yuudai masuk ke dalam ruang pertemuan, dia mendapati kalau rapat strategi sudah dimulai. Yang menandakan bahwa kehadirannya hanyalah untuk kepentingan formalitas. Menyadari hal itu, Yuudai segera mencari tempat duduk dengan tenang agar tidak mengganggu rapat orang-orang di atasnya.
2
Amelie yang sedang sibuk merawat luka Erwin yang sedang terbaring tidak berdaya di depannya tiba-tiba merasakan ada sesuatu bergerak di sampingnya. Awalnya dia mengira kalau hal itu adalah burung yang terbang melewatinya, tapi begitu dia mendengar suara familiar dan melihat sumbernya. Dia menemukan sebuah anak panah yang menancap di tanah samping kirinya.
"Eh?. "
"Cepat sembunyi Amelie!!."
Erwin segera memerintahkan Amelie untuk kabur karena takut masih ada musuh lain yang belum keluar. Tapi Amelie masih sulit mencerna keadaan dan berakhir diam untuk sesaat lalu melihat ke arah datangnya panah tadi.
Dan beberapa puluh meter di belakangnya, dia menemukan seorang pria yang memegang busur panah lalu mengarahkannya ke dirinya. Orang itu adalah orang yang menyerang Erwin lalu terluka dan mundur sebelumnya.
"Cepat pergi Amelie!."
Amelie akhirnya sadar setelah mendengar teriakan kedua Erwin. Tapi meski begitu dia tetap tidak bergerak sebab dia menemukan ada sesuatu yang aneh. Orang itu tidak segera kembali mengincarnya, selain itu orang yang itu juga kelihatan kesulitan berdiri dan menyeimbangkan tubuhnya.
Orang itu ikut membalikan tubuhnya seperti Amelie ke arah belakangnya, tapi sebelum kepalanya sempat sepenuhnya mengarah ke belakang tiba-tiba orang itu terjatuh ke tanah seakan baru saja ditabrak oleh benda tidak terlihat.
Kemudian, dari tempat yang lebih jauh lagi Amelie bisa melihat seseorang yang membawa senjata mulai berjalan ke arah orang yang terjatuh tadi. Dia menggunakan senjatanya untuk memeriksa apakah orang tadi sudah benar-benar mati atau belum sambil menggeledah barang bawaannya. Kemudian, setelah memastikan dia tidak perlu lagi waspada dia berjalan ke arah Amelie.
". . . .. "
Lalu, begitu melihat siluet dari orang itu tanpa sadar Amelie kembali mengeluarkan air matanya.
Hanya saja kali ini air matanya bukan berisi rasa keputusasaan, kesedihan, maupun keinginan untuk menyerah. Melainkan harapan, rasa aman, dan juga rasa lega yang meluap-luap dari dadanya.
"Haruki!!."
Begitu dia menyebutkan nama dari pemuda yang sangat dikenalnya itu. Amelie langsung berlari dan memeluk orang yang sedang berjalan ke arahnya tadi.
"Apa-apaan mukamu itu Amelie."
Dan orang itu adalah Haruki. Lalu seperti bisa, Haruki memberikan komentar tidak penting untuk membuka pembicaraan di antara mereka. Sambil melihat wajah Amelie yang sudah tidak karuan dengan banyak rumput menyangkut di rambutnya, tanah yang menempel di sana-sini, keringat yang kelihatan lengket di kulit serta air mata dan ingus yang masih menempel gadis kecil itu coba tahan untuk tidak keluar lagi. Haruki tersenyum lega karena bisa memastikan kalau setidaknya Amelie masih hidup.
Meski dia terluka, meski dia tidak kelihatan semanis biasanya, dan meski dia tidak lagi bertingkah seperti Amelie yang biasa bersamanya, tapi dia masih hidup. Masih hidup dan bisa Haruki rasakan kehadirannya.
"Maafkan aku karena sudah terlambat Amelie."
Haruki meletakan senjata di tangan kirinya lalu merendahkan tubuhnya untuk mempermudah Amelie yang sedang memeluknya. Dengan begitu kepala Amelie yang tadi hanya mencapai bagian atas perutnya bisa dia tempatkan di dadanya. Tanpa ragu gadis kecil itu meletakan wajahnya di atas dada Haruki menangis dengan semakin keras di sana sambil terus mengeratkan pelukannya pada tubuh Haruki seakan tidak ingin membiarkan pemuda itu meninggalkannya lagi.
Mendengar suara sesenggukan Amelie di dadanya yang tidak kunjung berhenti akhirnya membuat Haruki tidak bisa lagi menahan diri untuk balik memeluk Amelie. Dia ingin membuat gadis kecil itu merasa aman, membuat gadis kecil di tangannya itu merasa kalau semuanya akan baik-baik saja, dan membuat gadis kecil itu tahu kalau dia tidak perlu lagi menangis untuk memberitahukan perasaan sedihnya.
Haruki melingkarkan kedua lengannya pada badan Amelie lalu menekan seluruh bagian tubuh gadis kecil itu pada badannya sendiri. Membuatnya bisa merasakan rasa lembut dan kehangatan tubuh kecil yang ada di pelukannya. Yang untuk suatu alasan membuat Haruki juga jadi merasa lebih tenang.
Jika keadaannya lain dan mereka hanya berdua saja, mungkin Haruki sudah tergoda untuk memberikan kecupan di puncak kepala Amelie, memeluknya lebih lama, atau mengutarakan perasaan yang dia simpan. Tapi sekarang sekarang bukan saatnya untuk melakukan hal seperti itu. Mereka tidak punya banyak waktu.
"Apa kau sudah tenang Amelie?."
Sambil terus mengusap punggung gadis kecil itu, Haruki menanyakan keadaan mental Amelie. Dia merasa kalau tubuh Amelie sudah mulai lebih relax dan gadis kecil itu juga dengan mudahnya memasrahkan badannya untuk Haruki peluk. Menandakan kalau tensinya sudah tidak lagi tinggi.
"Um. . ."
Amelie memisahkan diri dari Haruki dengan menyelipkan kedua tangannya di depan badannya lalu mendorong badan pemuda itu. Setelah itu dia mengusap air matanya dan mulai berdiri.
Haruki merasa sedikit kecewa, tapi dia tahu kalau prioritasnya harus ditempatkan pada masalah lain.
"Amelie. . ."
"Ahem!!!!. . . . aku juga ingin dipeluk."
Haruki melihat ke arah suara batuk palsu tadi dan menemukan Erwin yang masih berbaring di atas tanah. Tubuhnya masih belum bisa bergerak, tapi matanya masih berfungsi dan dia masih cukup sehat untuk bisa bercanda dan mengatakan permintaan khasnya.
"Bukankah kau sudah sering memeluk-meluk Amelie?."
"Dasar bodoh! memeluk dan dipeluk itu rasanya berbeda."
Jika dia bisa tahu perbedaannya itu berarti dia pernah dipeluk.
"Jika aku memeluknya dia selalu memberi batas, tapi jika dia yang memelukku sendiri dia tidak akan memberi batas. . "
Dengan kata lain, Erwin bisa merasakan seluruh permukaan tubuh bagian depan Amelie dengan bebas. Bagian seperti dadanya yang baru tumbuh atau perut kecilnya yang hangat dan lembut bisa dia nikmati sensasinya.
"Setidaknya katakan semua itu ketika orangnya tidak sedang ada di depanmu!.."
Jika Erwin tidak mengatakan hal-hal mesum seperti itu mungkin Amelie tidak akan ragu untuk memberikannya pelukan. Tapi sebab dia mendengar pikiran mesum teman masa kecilnya itu dengan terang-terangan, dia tidak lagi merasa kasihan dan malah jadi sedikit kesal. Yang membuatnya tanpa sadar melihat ke arah Erwin dengan tatapan dingin.
"Untuk sementara lupakan kemesuman Erwin dulu, dia terkena racun kan? aku menemukan penawar yang disimpan oleh orang-orang itu."
Harusnya semua anggota pembunuh bayaran mempunyai obat penawar dari racun yang mereka gunakan. Tapi sepertinya Amelie terlalu panik dan tidak menyadarinya. Selain itu keadaan mayat dari musuh-musuh yang dihajar Erwin juga tidak kelihatan enak untuk dilihat sampai bisa membuat orang-orang seperti Amelie, yang tidak terbiasa melihat brutalnya keadaan medan tempur bisa langsung muntah.
"Kita harus segera pergi dari sini, aku yakin kalau kita sama sekali belum aman."
Untuk sementara mereka memang sudah aman sebab para pembunuh bayaran yang ditugaskan untuk membunuh Amelie sudah dikalahkan. Tapi meski begitu masalah yang mereka hadapi jelas lebih besar dari itu. Terlibatnya pasukan Amteric dalam penyergapan konvoi kepulangan Amelie sudah jadi indikasi kalau ada tangan-tangan orang berkuasa yang ikut campur dalam masalah kali ini.
Sementara Amelie memberikan pertolongan pertama pada Erwin, Haruki terus berjaga untuk memastikan keamanan mereka. Dan begitu gadis itu sudah selesai pemuda itu langsung menggendong Erwin dan membuat kelompok kecil mereka bergerak menuju tempat yang sudah Haruki siapkan sebagai lokasi berkumpul dengan sisa pasukan konvoi.
"Kenapa aku harus digendong oleh laki-laki."
"Kalau kau ingin kuseret aku akan mencarikan tali."
"Kalau kau menyeretku malah aku akan jadi tambah berat."
"Jika kau tahu itu setidaknya bersyukurlah aku masih mau menggendongmu dasar orang tidak tahu terima kasih."
"Jika ini bukan keadaan darurat aku tidak akan mau digendong olehmu!."
"Jika ini bukan keadaan darurat aku juga tidak mau menggendongmu!."
Keduanya diam untuk sesaat, lalu bersama-sama mereka menghela nafas panjang. Setelah itu Erwin dan Haruki melihat ke arah Amelie yang sedari tadi terus berjalan tanpa bicara apa-apa sambil memegangi bagian siku baju Haruki.
Kedua pemuda itu saling memandang untuk sesaat, tapi berapakalipun mereka melakukan komunikasi tanpa kata itu keduanya masih tetap tidak tahu apa yang harus mereka katakan pada Amelie.
Bagi Haruki perang adalah hal biasa, dan bagi Erwin menghadapi situasi di mana kau harus membunuh seseorang kalau tidak ingin dibunuh juga bukan hal baru. Tapi bagi Amelie, kedua hal itu adalah pengalaman baru. Sebuah pengalaman yang sama sekali tidak mengenakan.
Jangankan gadis kecil seperti Amelie, prajurit-prajurit yang lebih tua darinya saja banyak yang mengalami shock pada pertempuran awal mereka. Memburu seseorang untuk dibunuh maupun diburu seseorang untuk dibunuh bukanlah hal yang bisa dilakukan tanpa harus mengesampingkan rasa kemanusiaan seseorang.
Amelie tahu tentang perang, dan Amelie juga tahu tentang apa itu tindakan yang dinamakan membunuh. Tapi hanya secara teori. Dia belum pernah tahu bagaimana rasanya ketika seseorang mengejarmu untuk membunuhmu atau apa artinya membunuh seseorang agar kau tidak mati terlebih dahulu.
Tekanan dan shock yang dirasakan Amelie sama sekali bukan hal aneh. Keduanya tahu akan hal itu. Tapi meski keduanya tahu. Erwin dan Haruki tidak bisa memberikan kalimat penyemangat untuk gadis kecil itu.
Sebab apa yang dilihat olehnya adalah realitas. Dan Amelie tidak cukup bodoh untuk bisa ditipu dengan kata-kata manis maupun janji-janji palsu yang membuatnya bisa merasa aman.
". . "
". ."
Sekali lagi, Erwin dan Haruki saling menatap tanpa mengatakan apapun. Hanya saja kali ini keduanya sudah berhasil memutuskan sesuatu.
Satu-satunya hal yang bisa mereka lakukan sekarang adalah mengalihkan perhatian Amelie dengan membawa topik lain. Dengan anggukan kepala Haruki, Erwin mulai bicara.
"Ngomong-ngomong bagaimana kau bisa sampai di sini?
"Berjalan kaki!."
"Kalau aku bisa memukul kepalamu aku pasti sudah melakukannya sekarang."
"Kalau kau melakukannya aku akan menjatuhkanmu."
"Aku tahu kalau kau tidak akan berani melakukannya."
"Huh. . . . . . sebab aku yang menyiapkan perjalanan kalian tentu saja aku tahu jalur mana yang kalian pakai."
Dan jika jalur perjalanan sudah diketahui, satu-satunya yang jadi masalah hanyalah bagaimana mengejar rombongan Amelie. Dengan menggunakan posisinya sebagai prajurit koalisi dia bisa meminjam kuda militer pasukan koalisi, selain itu dia juga bisa berganti kuda dengan menunjukan pakaian militernya di tempat yang dilewatinya sehingga dia tidak perlu terlalu banyak beristirahat.
Seluruh tubuhnya terasa sakit, tapi sebagai gantinya dia berhasil mengejar konvoi Amelie yang berangkat sehari lebih cepat darinya.
Di jalan dia juga bertemu dengan prajurit yang ditugaskan Amelie untuk berbelanja. Lalu, seperti yang sudah dia duga. Pasukan utama yang mengawal Amelie memang benar-benar dalam masalah. Kemudian dengan bantuan prajurit yang bertemu dengannya tadi mereka melakukan sergapan dari belakang dan berhasil mengalahkan pasukan penyerang yang menyamar jadi bandit.
"Lalu bagaimana kau bisa menemukan kami?."
Erwin dan Amelie tidak lagi mengikuti jalur utama begitu mereka dikejar dan memutuskan untuk masuk ke hutan. Dan tentu saja Erwin mencoba membuat jejak mereka susah untuk diikuti. Jadi meski Haruki bisa menemukan mereka, harusnya dia perlu waktu yang lebih lama untuk bisa datang.
Tentu saja Erwin bersyukur Haruki bisa sampai di saat yang tepat, tapi mengetahui apa yang bisa membuat jalurnya ketahuan juga penting. Sebab, dia sangat yakin kalau ini bukanlah terakhir kalinya dia harus kabur dari seseorang untuk bersembunyi.
"Selain strategi dan psikologi, aku juga lebih baik dari Amelie kalau dalam masalah observasi."
Sebab Haruki adalah seorang ahli strategi, tentu saja dia tidak maju ke medan perang dan di tempatkan di barisan depan. Dia selalu ditempatkan di belakang, dan untuk bisa melihat keadaan medan perang lalu memberikan perintah yang tepat dia harus bisa mengawasi pasukannya dengan teliti.
Oleh sebab itulah dia punya skill untuk memperhatikan detail-detail kecil di sekitarnya.
"Aku melihat asap dari kejauhan."
Di dalam tasnya ada berbagai macam barang seperti pakaian biasa untuk membaur dengan penduduk, pallet airgun, peta, obat-obatan, dan juga makanan portable untuk keadaan darurat. Di antara banyak barang itu ada empat barang yang akan selalu di bawa ketika dia sedang serius ingin melakukan pekerjaannya. Teropong, kompas, dan juga jam.
"Setelah itu aku mengikuti jejak jebakan-jebakan yang kalian hindari. . . . "
Hanya saja, di akhir-akhir perjalanannya dia menemukan kesulitan untuk terus mengikuti kedua teman masa kecilnya itu ketika mereka masuk ke dalam ladang semak berduri. Haruki memutuskan untuk memutari tempat itu. Sayangnya jalur yang harus dilaluinya cukup berat sehingga dia tidak bisa langsung membantu Erwin melawan musuh-musuhnya.
"Maafkan aku karena sudah terlambat datang."
Pada akhirnya dia baru sampai setelah Erwin sudah babak belur dan Amelie hampir mati.
"Tidak, harusnya aku yang minta maaf."
Amelie tiba-tiba menarik erat siku Haruki. Di saat yang sama Erwin juga melihat pemuda yang menggendongnya dengan tatapan rumit.
Haruki adalah prajurit koalisi, dan sekarang pasukan koalisi sedang menghadapi perang dengan pasukan pemberontak di salah satu bentengnya. Haruki yang seharusnya bertugas jadi kepala untuk memikirkan bagaimana caranya menang di tempat itu malah ada di sini.
Tidak perlu orang pintar untuk menebak kalau Haruki itu kabur dari medan pertempuran. Sebuah tindakan kriminal militer yang bisa membuatnya dengan mudah dijatuhi hukuman mati.
"Kalian tidak perlu mengkhawatirkanku, aku sudah menyiapkan asuransi."
Amelie menatap Haruki dengan pandangan berharap.
"Benarkah?."
Dan Haruki menjawab pandangan itu dengan tatap percaya diri.
"Tentu saja! kau pikir aku ini siapa?."
Haruki menepuk pundak Amelie dengan Sikunya, setelah itu dia tersenyum.
"Sekarang yang paling penting adalah kabur dari sini, aku sudah menyuruh pasukan yang tersisa untuk menunggu kita di jalur utama."
Mereka berkali-kali harus berhenti karena butuh istirahat, tapi dalam satu setengah jam akhirnya ketiganya sampai di jalur utama di mana pasukan koalisi yang ditugaskan mengawal Amelie sudah menunggu mereka.
Begitu sampai, ketiganya langsung menarik nafas lega dan menjatuhkan diri ke atas tempat duduknya. Erwin dibaringkan di satu kursi, lalu di depannya Haruki duduk dan memaksa Amelie untuk berbaring lalu menggunakan kakinya sebagai bantal.
Setelah akhirnya bisa merasa aman beban dari akhirnya mereka bisa benar-benar relax.
3
"Ugh. . . . ."
Haruki membuka matanya lalu memegang keningnya, kepalanya terasa lumayan sakit tapi badannya terasa jauh lebih baik dari hari sebelumnya. Rasa capeknya yang sudah terakumulasi akhirnya bisa dilepaskan.
"Apa kau terluka."
Selagi Haruki memegang-megang keningnya tiba-tiba ada tangan lain yang ikut menyentuh kening pemuda itu. Sebuah tangan kecil lembut yang jelas tidak mungkin miliknya. Dan begitu otaknya mulai berfungsi dengan normal dia baru sadar kalau leher serta kepalanya tidak terasa sakit seperti biasanya dan malah diganti dengan sensasi lembut yang nyaman.
"Eh?."
Haruki langsung menyingkirkan rambutnya yang menutupi pandangannya, setelah itu dia membuka mata dengan lebar lalu menatap dengan seksama apa yang ada di depannya. Atau lebih tepatnya, apa yang ada di atasnya.
"Amelie?."
Dia melihat wajah Amelie yang juga sedang melihat ke arahnya, kemudian di samping kanannya dia melihat tubuh kecil Amelie dan tanpa banyak berpikirpun sudah jelas kalau bantal yang sedari tadi dia gunakan untuk tidur adalah adalah paha lembut gadis kecil yang sebelumnya dia paksa untuk tidur di pangkuannya.
"Sejak kapan posisi kita berganti?."
"Tidak sepertimu yang melakukan perjalanan jauh dengan memaksakan diri, aku dan Erwin punya banyak waktu untuk istirahat oleh sebab itulah kami bisa bangun duluan."
Jangka waktu antara serangan, perjalanan kabur, serta pertempuran antara pasukan Amteric yang menyamar jadi bandit serta pembunuh bayaran dan kelompok Amelie tidak lebih dari dua belas jam. Dengan kata lain, masalah bisa diselesaikan dalam kurang dari satu hari.
Jika dihitung-hitung Haruki yang melakukan perjalanan untuk menyusul Amelie selama dua hari berturut-turut masih lebih lelah daripada kelompok Amelie yang bertempur dan berlari selama beberapa jam saja.
"Ah . . . kurasa kau benar juga."
Haruki mencoba untuk bertingkah biasa saja lalu bangun dari pangkuan Amelie sambil terus menekan-nekan keningnya. Sebelumnya hal kecil seperti tidur di pangkuan Amelie sama sekali bukan masalah untuknya, hanya saja setelah dia menyadari perasaannya pada gadis kecil itu kekebalannya terhadap interaksi fisik dengan Amelie mulai menghilang.
Dengan kata lain Haruki tidak akan bisa lagi bertingkah seperti sebelumnya saat mereka masih berada di Yamato.
"Kenapa kau bangun? kalau masih capek kau boleh terus beristirahat."
"Tidak apa-apa, aku ingin segera membicarakan rencana perjalanan kita."
"Apa harus buru-buru?."
"Tentu saja."
Melihat situasi yang sudah jadi rumit dan berbahaya tidak diragukan lagi kalau mereka harus memikirkan ulang rencana perjalanan mereka. Tapi meski alasannya untuk menolak tawaran Amelie kembali beristirahat sama sekali bukan kebohongan, tapi selain alasan yang sudah dia katakan tadi ada alasan lain yang membuatnya harus segera bangun.
Dia takut kalau dia tetap tidak bisa beristirahat di pangkuan Amelie dan malah tergoda untuk mencoba pura-pura tidur sambil melakukan hal lain.
Haruki menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras, setelah itu dia menyingkirkan tangan Amelie dari kepalanya dan duduk dengan cepat. Haruki sempat melihat kalau Amelie menunjukan ekspresi kecewa tapi dia kembali pura-pura tidak tahu.
". . . . ."
Dan setelah dia berhasil duduk dia langsung di sambut dengan tatapan tajam yang berasal dari Erwin yang duduk di depannya.
"Apa? kenapa kau melihatku dengan tatapan seperti itu?."
"Tidak apa-apa. . ."
Pertanyaannya memang tidak dijawab, tapi alasan kenapa Erwin memberikan tatapan semacam itu pada Haruki sudah bisa ditebak. Merasa kalau membicarakan topik tentang kesalahan apa yang sudah dia perbuat sama sekali tidak berguna, Haruki memutuskan untuk melanjutkan pembicaraan ke topik yang lebih serius.
"Ahem. . ."
Sekali lagi, Haruki melihat reaksi yang diberikan oleh Erwin dan Amelie yang duduk di sampingnya. Setelah memastikan kalau keduanya sudah paham kalau dia akan membicarakan hal yang serius dan memberikannya perhatian yang dia mau, Haruki akhirnya mulai bicara.
"Mungkin kalian sudah tahu tapi aku akan tetap bilang, kita masih belum aman, ada kemungkinan sangat besar kalau serangan susulan hanya sedang menunggu gilirannya."
Erwin dan Amelie mengangguk menandakan kalau mereka paham dan punya pikiran yang tidak jauh berbeda.
"Seperti yang sudah kalian tahu juga, beberapa dari mereka berhasil kami tangkap dan tentu saja aku mengintrogasi mereka semua hanya saja. . . ."
"Apa mereka tidak mau bicara?."
Erwin melihat ke arah Haruki dan sebagai jawaban dari pertanyaan pemuda itu, Haruki menggelengkan kepalanya.
"Masalahnya lebih merepotkan dari itu."
Masalah utama yang paling sering dihadapi dalam melakukan interogasi terhadap seorang prajurit adalah kesetiaan mereka. Tergantung level kesetiaannya tidak jarang mereka harus melakukan tindakan-tindakan ekstrim agar subjek introgasi mereka mau bicara, bahkan tidak jarang juga ada yang memilih untuk mati daripada memberikan informasi pada musuh.
Dalam kasus ini mereka tidak menemui masalah seperti itu, tapi meski begitu bukan berarti proses mendapatkan informasi jadi lebih mudah. Malah sebaliknya. Sekarang Haruki dibuat bingung oleh informasi yang didapatkannya.
"Setiap orang yang diinterogasi memberikan informasi yang berbeda."
"Eh?. . . . ."
"Dan kemungkinan besar hal itu disengaja."
Sebab mereka semua memberikan informasi yang berbeda-beda, Haruki sempat ingin menggunakan metode yang lebih ekstrim untuk menggali informasi yang mereka ketahui. Tapi meski sudah diancam lalu mereka memberikan reaksi ketakutan dan menyerah yang diharapkannya, pada akhirnya mereka tetap memberikan informasi yang sama. Dengan sambil berteriak atau bersumpah dan juga memohon untuk tidak dibunuh.
"Jika mereka punya kesetiaan tinggi terhadap Amteric dari awal mereka tidak akan mau pergi untuk membunuh putri dari negara mereka, jadi kurasa mereka mungkin prajurit pribadi seseorang yang tidak bekerja pada raja."
"Lalu keterangan macam apa yang mereka berikan?."
Amelie mengambil pena dan buku tulis kecilnya.
"Kau ingin mencatatnya Amelie?."
"Mungkin aku bisa menemukan sesuatu di balik pengakuan mereka?."
"Kalau begitu. . "
Beberapa pengakuan yang diberikan oleh orang-orang yang berhasil ditangkap Haruki adalah mereka berasal dari pengawal pribadi seorang bangsawan dari Amteric, mereka hanya menjalankan perintah dari jendral Gerulf alias orang yang ingin mengambil alih teritori Amelie, lalu ada juga yang mereka hanya melakukannya karena uang setelah ditawari oleh seseorang. Selain itu ada juga yang mengaku kalau mereka hanya ingin menculik Amelie tanpa menyakitinya atas perintah si jendral yang sama.
"Bagaimana Amelie?."
"Dari keterangan mereka ada beberapa skenario yang bisa kupikirkan."
Pertama ada bangsawan yang ingin membunuhnya karena suatu alasan, tapi bangsawan itu sendiri mungkin juga hanya menurut perintah seseorang. Dengan kata lain, masalah perebutan tahta. Jika ini sumber masalahnya maka dia harus pulang lebih cepat dan mendeklarasikan pengunduruan dirinya dari perebutan tahta.
Yang kedua adalah jendral Gerulf ingin membunuhnya dan menguasai teritorinya dengan cara paksa, jika keterangan yang ini benar maka seluruh pasukan di perbatasan adalah musuhnya. Itu berarti mereka tidak bisa melewati tempat itu untuk pulang ke teritorinya sendiri.
Lalu yang ketiga, ada kemungkinan dalam ada dua fraksi dalam pasukan yang menyerangnya tadi. Yang satu adalah yang ingin membunuhnya dan yang satunya adalah yang ingin menculiknya. Meski dua pilihan itu buruk tapi jika ada yang ingin menculiknya itu berarti mereka masih bisa diajak bicara dan berunding. Kalau keterangan ini benar, maka dia tidak harus pulang dulu dan langsung pergi ke tempat Gerulf untuk bernegosiasi meski beresiko.
"Dan sebab kita tidak tahu keterangan mana yang benar, maka kita akan mengambil jalan tengah."
"Jalan tengah?."
Amelie memiringkan kepalanya dan secara reflex Haruki mengelus kepala Amelie.
"Kita tidak akan melakukan pendekatan langsung."
"Maksudmu?."
"Kita akan jalan-jalan."
Pada dasarnya rencana Haruki sederhana, bisa dibilang dia hanya mengulang apa yang sudah pernah mereka lakukan sebelumnya. Memisahkan diri dari rombongan, membaur dengan orang biasa, lalu bergerak ke tujuan tanpa diketahui oleh orang yang ingin membuat masalah dengan mereka.
Setelah melakukan persiapan, akhirnya mereka dan rombongannya melakukan eksekusi dari rencana yang dibuat Haruki.
Langkah pertama yang harus mereka lakukan adalah menghindari pasukan perbatasan, tapi jika mereka menghindar dengan terang-terangan bisa jadi musuh malah jadi agresif dan menyerang mereka sebab pasti gerak-gerik mereka diawasi seseorang. Oleh karena itulah mereka akan berhenti di kota terdekat dengan kedok untuk melakukan resupply lagi.
Di saat itu Haruki, Amelie, dan juga Haruki akan memisahkan diri dari rombongan utama secara diam-diam. Rombongan utama akan melanjutkan perjalan sesuai jalur awal mereka melewati markas pasukan di perbatasan lalu bergerak menuju teritori Amelie. Sedangkan Amelie sendiri menggunakan kereta pedagang yang jalurnya memutari bagian luar setiap perbatasan daerah yang dijelajahinya untuk pulang.
Jarak perjalanannya akan jadi lebih tapi meski begitu keadaan akan lebih aman.
"Haruki. . mungkin sudah terlambat mengatakannya tapi bukankah rencanamu punya banyak lubang."
Erwin yang tidak biasanya berbicara tentang rencana tiba-tiba memberikan protes yang seharusnya dia sudah katakan sebelum mereka berangkat.
"Maksudmu dengan lubang?."
"Bukankah kita perlu buru-buru pulang dengan berputar-putar begini bukankah kita akan terlambat sampai? selain itu bukankah rombongan utama cuma jadi umpan."
"Komentarmu benar-benar terlambat."
"Karena aku memang benar-benar baru ingat."
"Tenang saja, yang diincar adalah Amelie."
Jika mereka menuju ke perbatasan lalu bertemu dengan musuh yang mengincar gadis kecil ini maka mereka bisa langsung menyerah dan tidak perlu bertempur. Amelie bahkan mengijinkan mereka untuk membocorkan jalur kabur Haruki dan yang lainnya untuk menyelamatkan diri.
Meski jalur kabur mereka ketahuanpun saat rombongan utama mereka sampai di perbatasan Haruki sudah akan terlalu jauh untuk bisa dikejar.
"Lalu dari surat yang kau bawa mereka hanya memberitahukan kapan mereka akan berangkat menuju teritori Amelie."
Dengan kata lain lama perjalanan ke teritori Amelie sama sekali tidak dihitung. Dan perjalanan antara markas pasukan di perbatasan ke teritori Amelie sama sekali tidak bisa dibilang dekat. Paling cepat mereka baru akan sampai dalam setengah hari.
Dan tentu saja sebuah pasukan tidak bisa bergerak cepat dalam waktu lama sebab mereka harus mengakomodasi pembawa logistik yang jauh lebih lambat.
Teritori Amelie sendiri tidak punya pasukan yang bisa diandalkan untuk menghadang mereka, tapi hal itu juga jadi masalah sebab mereka ingin menduduki tempat itu mereka juga harus membawa peralatan mereka sendiri.
"Berdasarkan perhitunganku pada dasarnya kita akan sampai pada saat yang sama."
Erwin melihat langsung ke mata Haruki, dan sebagai reflex pemuda itu langsung mengalihkan pandangannya ke tempat lain tidak berani balas menatap Erwin balik.
"Mungkin alasanmu bisa meyakinkan Amelie, tapi maaf saja Haruki rencanamu hanya kedengaran seperti permainan kata-kata di telingaku."
Semua rencana Haruki dibuat dengan asumsi kalau pasukan Gerulf adalah musuh yang tidak akan membunuh siapapun kalau tidak benar-benar perlu. Selain itu dia juga sudah membuat serangan ke teritori Amelie sebagai hal yang pasti terjadi dan hanya fokus untuk mengamankan diri dan bersiap kalau-kalau teritori gadis kecil itu sudah jatuh ke tangan musuh.
"Maafkan aku Erwin."
Asumsi yang dia miliki sama sekali tidak didasari oleh apapun sebab dia bahkan belum pernah bertempur secara langsung dengan pemimpin musuh. Selain itu, rencana bagian duanya pada dasarnya hanyalah 'lihat situasi dan menjauh kalau keadaan terlalu berbahaya'.
Dia sama sekali tidak memperhitungkan keselamatan orang lain dan hanya fokus untuk menjaga agar Amelie terhindar dari bahaya.
"Tanganku terlalu kecil untuk bisa melindungi semua orang, yang bisa kulakukan hanyalah menggenggam apa yang ada di depanku."
Saat menyusun strategi ada saat-saat di mana dia harus membuat keputusan berat di mana yang jadi taruhan adalah nyawa seseorang. Di saat seperti itu dia harus membuat keputusan yang memasaknya untuk membuang rasa prikemanusiannya dan menyuruh orang yang ada dibawahya untuk mati demi tujuan yang ingin dicapainya.
"Aku sendiri sadar kalau aku ini bukan orang baik-baik, tapi jika untuk bisa melindungi Amelie aku harus jadi orang jahat, maka aku akan melakukannya."
Jika Amelie mengetahuinya pasti gadis itu akan membencinya, jika anak buahnya paha maksud dari perintahnya pasti mereka akan mengutuknya sampai mati, dan jika dia mati hari ini dia pasti akan masuk ke neraka.
Hanya saja, jika semua itu adalah harga yang harus dia bayar agar bisa mematahkan prediksi kematian Amelie maka dia sudah siap untuk menanggung resikonya.
Kali ini dia tidak akan menyerah, kali ini dia akan harus membalikan takdir sama seperti dia membalikan keadaan dalam perang. Sebab yang jadi taruhan kali ini adalah Amelie. Seorang gadis kecil manis yang sangat dia cintai.
"Begitu ya. .aku paham"
Erwin memang tidak suka dengan rencana itu. Tapi dia yakin kalau Haruki, orang yang membuatnya pasti jauh lebih tidak menyukainya. Jika dia ada di posisi pemuda itu, kemungkinan besar dia juga akan melakukan hal yang sejenis. Karena itulah dia tidak akan protes.
"Terima kasih."
"Hmph. . "
Sama seperti Haruki, Erwin juga pernah mengalami apa yang Haruki alami meski dalam skala yang berbeda. Berdasarkan Amelie Haruki bukanlah tipe orang sepertinya yang mau mengorbankan apa saja dengan sigapnya untuk mencapai tujuannya, dia akan menyesali apa yang diperbuatnya dan dia akan tersiksa secara psikologis saat mengambil keputusan semacam itu.
Tapi kali ini dia bisa melihat kalau Haruki punya tekad yang kuat, dia sudah menyiapkan diri. Yang artinya cuma ada satu. Situasinya sekarang adalah pengecualian di antara pengecualian.
Di saat seperti ini yang Erwin bisa lakukan hanyalah pura-pura tidak tahu.
"Ngomong-ngomong apa di antara teman-temanmu, apa ada yang pernah mengalami kejadian di mana tiba-tiba kekuatan dari kemampuan mereka meningkat derastis?"
Haruki punya banyak kenalan anggota militer yang mempunyai kemampuan khusus. Tapi dia belum pernah mendengar hal semacam itu terjadi pada mereka. Mungkin mereka hanya tidak memberitahukannya, tapi yang jelas Haruki belum pernah bertemu dengan seseorang yang berkonsultasi dengannya untuk hal semacam itu.
"Tidak."
"Kau tahu batas dari kemampuanku kan?."
Dia tidak bisa mengeraskan dua benda yang terpisah sekaligus, jika dia ingin melakukannya sebuah benda minimal harus bersentuhan dengan satu sama lain. Selain itu jarak efektif dari kekuatannya adalah lima meter. Dia tidak bisa menggunakan kekuatannya pada benda yang berjarak lebih jauh dari itu, kemudian kemampuannya juga akan langsung berhenti bekerja begitu sebuah benda yang dia pengaruhi keluar dari jarak efektif itu.
"Tapi di saat-saat terakhir pertempuran, tiba-tiba aku merasa kalau batas itu terbuka begitu saja."
"He?."
"Seperti yang kau bilang, secara teori aku bisa mengeraskan permukaan air dan setelah berlatih selama beberapa tahun akhirnya aku bisa melakukannya meski hanya selebar beberapa senti saja tapi waktu itu aku bahkan melakukan hal yang lebih gila."
"Seperti?."
"Membuat pedang dari udara?."
"Dari udara?."
"Ok. . . apa yang sudah kau lakukan sudah terlalu gila sampai aku bingung harus berkomentar apa."
Partikel air punya ikatan yang kuat sampai sehingga jika mereka bertemu satu sama lain mereka akan langsung menempel. Membuatnya jadi jadi satu kesatuan. Tapi kali ini yang dibicarakan adalah udara. Dan udara terdiri dari partikel yang tidak terhitung jumlahnya yang bergerak ke sana kemari, membuat udara menjadi satu entiti itu tidak mungkin.
Seseorang pernah mencoba untuk meneliti udara dan menemukan sesuatu menarik. Ketika udara ditempatkan pada sebuah ruang tertutup dan coba dipampatkan suhu di dalamnya naik. Yang menunjukan kalau partikel udara masih tetap terpisah, bergerak dan bergesekan meski sudah dipaksa untuk menyatu.
Kalau Erwin bisa mengeraskan udara, itu berarti dia bisa menghentikan gerakan jutaan partikel dalam satu waktu dan mengunci posisi relatifnya terhadap posisi partikel lain.
"Aku akan menanyakannya pada spesialis nanti."
"Kalau begitu aku akan tidur lagi supaya penawar yang kau berikan lebih cepat bekerja, kau temani saja Amelie! dan tolong juga siapkan peralatan seperti tali, pisau dan yang lainnya! lalu bungkus juga senjatamu."
Erwin sudah mulai bisa berjalan tapi dia masih butuh bantuan dari orang lain sebab badannya masih terasa sangat lemas seakan tulangnya terbuat dari karet. Penawar dari racun yang mengenainya sepertinya bekerja dengan lambat dan tidak bisa dibuang dengan hanya sekali minum obat saja, oleh karena itulah dia memutuskan untuk beristirahat lagi agar bisa cepat sembuh.
Kekuatan ofensif utama dari kelompok kecil mereka adalah dia, jika dia tidak bisa bertempur dia hanya akan jadi beban yang membuat semua orang akan ada dalam bahaya.
"Um. . "
Haruki menjauh dari Erwin yang merebahkan dirinya di atas barang-barang milik pedagang yang keretanya mereka tumpangi. Setelah itu dia menuju kereta lain yang ditujukan khusus untuk penumpang. Dan begitu dia masuk, dia langsung menemukan Amelie yang sedang dikerumuni oleh beberapa penumpang wanita yang ada di sekelilingnya.
Begitu melihat Haruki datang Amelie langsung menyambutnya dengan senyum yang dipaksakan.
Sepertinya dia sudah kehabisan akal bagaimana bisa menghindar ditanya macam-macam oleh orang-orang yang sedang menyentuh-nyentuhnya seperti mainan.
Penampilan Amelie memang sudah dibuat senormal mungkin, setidaknya dengan standar gadis-gadis di kota yang seumuran dengannya. Tapi meski begitu jika seseorang melihatnya dari dekat dia bisa langsung sadar kalau rupa Amelie itu sama sekali tidak biasa.
Di antara mereka ada yang mencoba untuk memeluk Amelie karena gemas, ada yang mengusap-usap tangannya sambil bertanya rahasianya, serta ada juga yang bertanya tentang hal-hal seperti asalnya dan juga urusannya.
"Aku sudah selesai memeriksa Erwin . . . ."
Haruki yang merasa kalau keadaannya jadi semakin tidak terkendali memutuskan untuk memecah suasana. Dia naik ke dalam kereta dan memberikan tanda pada Amelie untuk duduk di dekatnya agar gadis itu bisa kabur.
"Permisi. ."
Amelie mengedipkan matanya untuk memberi tanda agar Haruki mengikuti permainannya.
"Bagaimana keadaan kak Erwin?."
Amelie akhirnya punya alasan untuk keluar dari kerumunan itu. Dia berjalan pelan menuju ke tempat Haruki lalu duduk di samping pemuda itu. Setelah itu dia menyuruh Haruki menunduk dan mulai bicara.
"Settingnya Erwin itu kakakku dan kau adalah pengawalku, lalu kita ini kabur dari ayahku yang mencoba menikahkanku pada orang yang tidak aku dan Erwin suka."
"Hey. . . kau dapat setting seperti itu dari mana?."
"Sebab aku sering kehabisan material aku sering membaca novel untuk membuang waktu."
Setting yang Amelie bicarakan adalah Erwin yang terlalu sayang pada adik perempuannya tidak rela membiarkan Amelie menikah dengan seorang pria tua hanya karena dia itu kaya. Oleh sebab itulah dia kabur dari rumah dan mencoba lari dari ayah keduanya yang berjiwa tirani.
"Amelie. . "
"Apa?. . ."
"Kau masih perlu banyak belajar. . . ."
"Eh? apa? apanya yang salah?."
Mengesampingkan setting yang dibuat Amelie, Haruki merasa kalau setting yang dipikirkan oleh orang-orang tadi sama sekali tidak sesuai dengan apa yang Amelie inginkan. Dari gelagatnya serta cara mereka tertawa-tawa saat melihatnya bersama dengan Amelie bisa dipastikan kalau mereka berpikir bahwa Haruki dan Amelie ingin kawin lari dengan bantuan Erwin.
"Haaah. . ."
Haruki memegang keningnya lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ada apa Haruki?. ."
"Aku hanya merasa sakit kepala."
"Kalau kau mau tidur lagi berbaring saja.."
Amelie menepuk kedua pahanya sedangkan Haruki langsung menggelengkan kepalanya begitu melihat tatapan-tatapan yang diberikan orang-orang di sekitar mereka.
"Tidak perlu."
"Apa kau ingin dipijat?. . ."
Kali ini Haruki mendengar suara cekikikan yang lebih keras. Berhubung dia tidak ingin jadi tontonan dan menarik perhatian berlebih pemuda itu memutuskan untuk lebih proaktif dalam membuat Amelie berhenti mengatakan hal-hal yang maksudnya bisa dengan mudah disalah artikan.
"Nona Amelie aku adalah pengawalmu, mengkhawatirkan keadaanmu adalah tugasku dan bukan sebaliknya, kurasa kau yang harus beristirahat sekarang sebab di perjalanan aku tidak yakin kalau kau akan bisa beristirahat."
"Kenapa tiba-tiba kau memanggilku dengan sebutan semacam itu? jangan tiba-tiba bertingkah jauh denganku. . ."
Haruki memberikan tanda dengan menggelengkan kepalanya agar Amelie paham kalau gadis kecil itu harus mengikutinya dalam berimprovisasi. Tapi Amelie terlambat menyadarinya dan malah bereaksi seakan dia benar-benar takut Haruki bertingkah jauh terhadapnya. Yang bisa dia lakukan hanyalah kembali berimprovisasi.
"Kau sudah bukan lagi anak buah siapapun, selain itu aku juga tidak bisa membayarmu karena itulah kedudukan kita itu sekarang sama. . . ."
Amelie melihat ke arah Haruki dengan hati-hati.
"Jadi panggil aku seperti biasa saja."
Untuk suatu alasan Haruki jadi merasa kalau mereka sedang tidak lagi berekting.
"Topik ini sudah berakhir. . . kita tidak perlu membahasnya lagi."
"Maaf. ."
"Kau tidak perlu minta maaf untuk hal kecil semacam itu."
"Bukan itu. . . "
Amelie menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat. Seperti yang sudah Haruki katakan, topik sebelumnya sudah berakhir. Jadi permintaan maaf Amelie barusan sama sekali tidak ada hubungannya dengan pembicaraan tadi.
"Lalu apa?. . "
"Kau pernah bilang kalau aku tidak paham apa yang kau rasakan kan? . . . pada saat itu dengan mudahnya aku mengatakan banyak omong kosong padamu."
Amelie bilang dia tidak paham dengan apa yang Haruki rasakan saat dia merasa bersalah sudah tidak bisa menyelamatkan banyak orang. Tapi jauh di dalam sana dia punya pikiran yang lain, Amelie selalu berpikir kalau masalah yang Haruki alami hanyalah masalah kecil yang sama sekali tidak perlu dipikirkan.
Meski orang yang ada di bawahnya mati pada dasarnya mereka tetaplah orang luar, orang yang bahkan tidak dikenalnya dan juga orang yang sama sekali tidak ada hubungannya dengannya. Jadi nasib mereka sama sekali tidak ada hubungannya dengan Haruki, mereka tidak adapun tidak ada efeknya.
"Tapi sekarang aku tahu apa yang kau rasakan. . . . . . saat aku melihat Erwin terluka parah aku benar-benar takut, lalu saat membayangkan kalau dia benar-benar dadaku merasa sangat sakit. . ."
Amelie memang tidak hidup dengan mewah, tapi dia juga tidak hidup dalam kesusahan. Selain itu meski statusnya adalah prajurit junior tapi dia sama sekali tidak pernah pergi ke garis depan. Bisa dibilang kehidupannya selama ini masih bisa dibilang damai, dan tentu saja dia belum pernah sekalipun kehilangan orang-orang yang disayanginya.
Dan di saat dia melihat Erwin yang kelihatan hampir mati akhirnya dia menyadarinya, akhirnya dia tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang dia sayangi. Seberapa menakutkannya tidak bisa lagi melihat orang yang peduli padanya, dan seberapa suramnya masa depan tanpa adanya orang itu.
Membayangkan kalau saat dia pulang Ibunya sudah tidak ada membuat jantungnya terasa seperti akan berhenti.
"Aku tidak ingin merasakan hal semacam itu lagi, aku tidak ingin kehilangan siapapun, aku!. . . . . takut!. . . . masa depan di mana aku tidak bisa lagi melihat wajah kalian terlalu menakutkan."
Amelie menggenggam telapak tangan Haruki dengan erat dan pemuda itupun balik menggenggam telapak tangan Amelie yang terasa dingin dengan erat.
"Jangan khawatir. . . . . Ibumu tidak akan pergi setidaknya sampai kau sendiri jadi seorang Ibu, lalu meski kau sudah dewasapun Erwin akan tetap mengikutimu seperti hewan peliharaan."
Amelie menyadari kalau kalau Haruki tidak menyebutkan namanya sendiri saat sedang coba menghiburnya. Sejujurnya Amelie merasa kecewa, tapi dia tidak menunjukan perasaan itu di wajahnya. Mungkin Haruki malu menyebutkan namanya sendiri atau mungkin dia hanya menganggap Amelie tidak lebih dari sekedar teman masa kecil yang perlu dibantu.
"Dan aku akan memastikan kalau akan bisa hidup sampai saat itu tiba."
Tapi setidaknya dia tahu kalau Haruki menganggapnya sangat berharga. Cukup berharga untuk mampu membuat pemuda itu lari dari tugasnya dan menyusulnya untuk menerjang bahaya.
"Sekali lagi maafkan aku. . . . . . . selain meremehkan masalahmu aku juga membuatmu harus kena masalah dengan menyusulku."
"Kenapa kau jadi hobi minta maaf begini?."
"Kenapa? tentu saja karena kau menyusulku kau jadi kehilangan pekerjaanmu selain itu jika mereka menemukanmu kau juga pasti akan dihukum."
Dengan menyusul Amelie dan meninggalkan medan pertempuran, pada dasarnya Haruki sudah berhianat pada Yamato. Dan dengan menghianati atasannya sudah dipastikan kalau dia mungkin harus kehilangan pekerjaannya dan juga mendapatkan hukuman yang tidak ringan.
"Hah. . . ."
Haruki menghela nafas panjang.
"Kau lupa menambahkan beberapa hal di dalamnya Amelie, karena aku menyusulmu aku jadi bisa melihat muka penuh ingusmu yang sedang menangis, karena aku menyusulmu aku juga jadi bisa tidur di pangkuanmu, dan karena ku menyusulmu juga sekarang kau bisa ada di sini, di depanku, dan bisa kusentuh."
Sejak mendapatkan prediksi kematiannya sendiri, Haruki bisa merasakan secara buram kalau dia akan segera mati. Dan sejak keluar dari Yamato, perasaan itu jadi semakin jelas dan jelas. Dia tidak tahu kapan pastinya, tapi dia merasakan kalau kematiannya sudah sangat dekat. Mungkin tahun ini, mungkin bulan ini, atau mungkin minggu ini.
Yang jelas tidak lama lagi kematiannya akan datang.
Dia tidak peduli apakah dia akan mati di tempat yang tidak dikenal atau dibunuh oleh orang yang tidak dikenalnya. Dia juga tidak peduli apakah kehidupannya akan jadi berat atau dia akan menerima hukuman nanti.
Dia akan menerima semua itu, dia akan pasrah dan menyerah. Tapi sebelum itu, setidaknya dia ingin mendapatkan waktu untuk menyelamatkan Amelie dan mengubah takdir kematian gadis kecil itu. Cuma itu harapan terbesarnya sekarang.
"Daripada permintaan maaf aku lebih ingin mendengarmu berterima kasih padaku karena sudah mau merepotkan diri."
"Terima kasih banyak Haruki!."
Saat mereka masih kecil Haruki sudah menunjukan bagaimana cara kerja dunia, seperti apa dunia di luar teritorinya, saat dia masih sendirian di Yamato dia mendapatkan motivasi dengan hanya berpikir kalau dia punya orang yang menunggunya di kejauhan, selain itu waktu-waktu damai yang dihabiskannya dengan Haruki di sekolah juga menyenangkan, kemudian pemuda itu juga selalu melindunginya dari balik layar sambil menjauhkannya dari bahaya.
"Kau sudah memberikan banyak hal padaku, dan aku berterima kasih untuk semua itu. . . "
Amelie ingin membuat Haruki hidup dengan lebih mudah dan tanpa kekhawatiran, dia ingin pemuda itu aman dan tidak membahayakan diri lagi. Dan Haruki bisa mendapatkan semua itu hanya dengan melakukan sebuah hal sederhana. Meninggalkannya. Meninggalkan Amelie sendiri adalah sesuatu yang harusnya dilakukan Haruki agar bisa mendapatkan apa yang ingin Amelie berikan.
"Aku tahu kalau bersamaku itu merepotkan, berbahaya, dan aku juga tahu kalau keinginanku itu egois. . . tapi meski begitu. . . jangan tinggalkan aku! aku ingin kau terus bersamaku! aku tidak ingin kau pergi kemanapun!."
Haruki yang mendengar permintaan Amelie langsung membelalakan matanya. Dari tatapan matanya Haruki bisa tahu kalau Amelie serius mengatakannya. Dia melihat determinasi yang kuat saat gadis kecil itu meminta Haruki menuruti keinginan manja dan egoisnya.
"Amelie . . . sepertinya kau salah memilih kalimat. . ."
Haruki melihat ke kanan dan kirinya lalu menemukan ada banyak orang yang melihat ke arah mereka dengan berbagai macam tatapan.
"Aku cuma bilang kalau aku ingin terus bersamamu."
"Ya itu. . . bagian itu. . . . kenapa kau harus mengg. . ."
Uuooooo. . . . . . . . . . . .
Haruki mendengar suara teriakan, siulan, tepuk tangan dan berbagai macam sorakan yang isinya mulai dari 'dia baru saja dilamar' atau 'imutnya' dan juga 'aaahh. . beruntungnya dia.' dan yang terakhir adalah ucapan-ucapan selamat yang dilontarkan ke arah Haruki oleh banyak orang yang mulai mendekat dan menepuk-nepuk pundaknya.
Di masa ini, gadis seumuran Amelie sudah dianggap cukup dewasa. Oleh sebab itu menjalin hubungan dengan mereka dianggap normal. Dalam beberapa kasus bahkan ada yang menikah pada usianya. Karena itulah ketika Amelie bilang 'aku ingin terus bersamamu' hal itu dengan mudah diartikan menjadi 'aku ingin hidup bersamamu' yang pada dasarnya adalah kalimat lamaran tidak langsung yang isinya 'menikahlah denganku.'
Untuk sesaat jantung Haruki rasanya seperti berhenti berdetak, tapi berhubung dia tahu kalau tidak mungkin Amelie berbicara dengan maksud seperti itu dia bisa menjaga dirinya untuk tidak panik. Gadis kecil itu sama sekali tidak sensitif tentang masalah percintaan, sehingga meski dia mengatakan hal-hal yang konotasinya punya keterkaitan dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan dia tidak akan menyadarinya.
Jika dia menyadarinya tidak mungkin sekarang gadis kecil itu kelihatan kebingungan dan memasang muka bodoh sambil mengangguk-ngangguk karena tidak tahu harus bilang apa saat orang-orang memberikan ucapan selamat padanya.
"Amelie. . . kurasa kita perlu bicara di tempat lain."
Haruki bergerak ke arah Amelie dan menarik gadis kecil itu untuk berdiri, kemudian dia pamit pada penumpang lain dengan diiringi siulan yang maksudnya tidak perlu dijelaskan serta peringatan dari kusir yang bilang. . .
"Jangan lama-lama!, kita akan berjalan setengah jam lagi."
Haruki mengangguk lalu mendorong punggung Amelie untuk mengikutinya. Dia mencari tempat yang sepi dan mengajak Amelie ke sana. Tentu saja dia tidak ingin melakukan apapun, dia hanya ingin bicara. Tapi jika dia bicara di tempat sebelumnya bisa dipastikan kalau orang-orang di sekitarnya akan mengganggunya.
Selain itu dia juga malu kalau harus berbicara di depan mereka.
Dalam perjalanannya tangan Haruki yang awalnya berada di punggung Amelie disingkirkan oleh gadis kecil itu. Tapi tanpa Haruki duga, hal selanjutnya yang dilakukan Amelie adalah sesuatu yang dia tidak berani lakukan.
". . . . . . ."
"Ada apa Haruki. . ."
"Tidak ada apa-apa. . ."
Dia hanya sedikit grogi saat Amelie mengambil tangannya lalu memegangnya dengan erat. Sebelumnya dia hanya akan berpikir kalau dia sedang menuntun seorang anak kecil. Tapi sekarang dia sudah tidak bisa berpikir seperti itu lagi.
"Amelie tadi kau bilang aku terpaksa datang ke sini kan? hal itu sama sekali tidak benar."
"Heh?."
"Aku kesini karena aku ingin kesini, bukan karena obligasi atau paksaan dari siapapun. . . kau ingat saat kau akan pergi. . . waktu itu sebenarnya aku ingin kau memintaku ikut pergi bersamamu. . ."
Begitu mendengar pengakuan Haruki Amelie langsung membelalakan matanya.
"Aku . . . saat itu aku juga ingin mengajakmu ikut bersamaku tapi. . . . ."
Tapi keduanya tahu kalau keinginan mereka hanya akan membawa masalah untuk satu sama lain. Mereka tahu kalau mereka mengutarakan keinginannya mungkin keduanya tidak akan bisa menolak. Dan mereka juga tahu kalau hal itu sama sekali tidak ada yang akan berakhir dengan baik.
Oleh karena itulah keduanya diam. Keduanya ingin melakukan hal yang sama.
"Aku ingin melindungimu."
"Aku ingin melindungimu."
Keduanya punya niat yang baik, tapi niat baik mereka malah membuat keduanya jadi menyakiti perasaan satu sama lain. Haruki merasakan genggaman tangan Amelie jadi lebih erat.
"Aku terlalu mengandalkan logika dan akhirnya malah melupakan apa yang sebenarnya kuinginkan."
Amelie yang seorang anak kecil dan juga seorang gadis harusnya lebih sensitif terhadap sesuatu yang berhubungan dengan perasaan. Tapi sayangnya, Amelie bukanlah gadis yang semacam itu. Dia tidak suka manja maupun egois dan memilih untuk berusaha sendiri untuk mengatasi masalahnya.
Mungkin karena latar belakang keluarganya yang keadaannya sulit dia jadi lebih mandiri dan dewasa dari umurnya.
Sedangkan Haruki yang bisa membaca kepribadian seseorang merasa kalau dia tidak bisa memaksakan keputusannya pada orang lain. Tugasnya adalah memberikan perintah yang tidak bisa ditolak, lalu karena dia tidak mau menganggap hubungannya dengan Amelie hanya sebatas urusan pekerjaan dia tidak ingin memberikan tuntutan pada gadis kecil itu untuk menerima perintahnya.
"Maafkan aku Amelie. . . karena aku kau harus mengalami banyak kesulitan."
"Kenapa kau yang minta maaf. . . justru karena aku tidak mau mengatakan perasaanku sendiri kau harus selalu membantuku."
"Bukan! ini adalah kesalahanku. . . meski ini kedengaran aneh tapi aku lebih sensitif dalam masalah perasaan karena tugasku adalah membaca kepribadian orang lain jadi harusnya akulah yang bertanggung jawab untuk memulai pembicaraan."
"Kau salah Haruki! yang bersalah adalah aku! aku harus mulai mengubah diri dan memperhatikan orang lain di sekitarku! aku tidak bisa terus hanya mengandalkan logika untuk berhubungan dengan orang lain!!."
"Entah kenapa kalau sudah berdebat kau jadi keras kepala, sudah kubilang yang salah itu aku! kau itu spesial! dan aku tidak mau kau berubah jadi orang lain hanya karena masalah seperti ini!!!. . . "
"Jika aku tidak berubah bagaimana aku bisa menyusulmu, bagaimana aku bisa membantumu?."
"Amelie adalah gadis kecil yang berpikir logis, Amelie adalah gadis yang tidak egois, dan Amelie adalah gadis yang tidak peka dengan perasaan orang lain! semua hal itu adalah yang membuat dirimu jadi Amelie yang kukenal! kau tidak perlu mengejarku."
"Orang bodoh ini entah kenapa jadi semakin bodoh!!! semua itu adalah kelemahan! sesuatu yang harus dibuang dan bukannya dipelihara!!!. . ."
Keduanya menatap satu sama lain dengan tajam. Kalau biasanya mereka mencari kesalah satu sama lain untuk bisa menang dalam debat, kali ini yang mereka lakukan malah sebaliknya. Kedua saling berebut posisi siapa yang salah.
". . . . . "
". . . . ."
Pada akhirnya tensi tegang di antara keduanya luntur, dan begitu mereka sadar apa yang sudah mereka bicarakan dan lakukan sampai saat ini akhirnya keduanya merasa kalau mereka baru saja melakukan sesuatu yang sangat bodoh. Dan setelah tensi keduanya sampai di bawah keduanya tersenyum lalu tertawa.
"Ahaha. . . . bagaimana kita berkompromi saja Haruki. . "
"Aku juga berpikir sama. . . kita berdua sama-sama salahnya."
"Karena itulah kita akan sama-sama mengganti rugi."
"Hm . . ."
Haruki menganggukan kepalanya, setelah itu Amelie mengulurkan tangan kanannya untuk mengajak pemuda itu berjabat tangan. Hanya saja tangan Haruki tidak langsung menyambutnya sebab sebelum dia sempat memberikan jawaban. Amelie kembali berbicara.
"Untuk membayar dedikasiku, bagaimana kalau kau harus terus melindungiku, dan sebagai bayarannya aku akan berusaha membuat hidupmu lebih muda. . . tidak. . . . . aku akan membuatmu jadi bahagia. . . "
Sambil tersenyum dengan sangat cerah.
Sekali lagi, Haruki terkena serangan telak dari peluru tidak langsung yang ditembakan Amelie. Jika dia tidak menahan dirinya mungkin sekarang dia sudah memeluk tubuh gadis kecil itu dengan erat.
"Amelie. . ."
"Apa?."
"Sesekali kau perlu membaca novel dengan tema percintaan. . ."
Haruki menyambut telapak tangan Amelie dan menggoyangkannya kecil.
"Kenapa?. . . ."
"Tidak apa-apaaa. . ."
Haruki akan melepaskan tangannya dari tangan Amelie, tapi gadis kecil itu malah menariknya lagi.
"Hey. . kenapa? aku ingin tahu. . ."
"Sudah kubilang bukan apa-apa, sebentar lagi mereka akan berangkat kalau kita tidak cepat kita akan dimarahi."
"Jangan mengalihkan pembicaraan.!!!. . . . untuk suatu alasan aku merasa kalau kau menganggapku ini sangat bodoh."
"Aku menganggapmu bodoh? . . . tidak mungkin. . ."
"Senyumu itu. . . aku tahu kalau senyumu itu menghinaku. . . cepat bilang apa maksudmu!!. . ."
Sambil terus bergandengan tangan keduanya kembali ke tempat rombongan berada. Dan begitu melihat keduanya dengan sedang bertengkar, beberapa hanya bisa tersenyum. Sebab saat mereka saling melemparkan hinaan pada satu sama lain, wajah keduanya menunjukan raut bahagia.
4
Luka yang Erwin terima masih belum sembuh dan tentu saja dia masih belum dalam keadaan bisa bertarung. Tapi meski begitu, di hari berikutnya pemuda itu sudah bisa berjalan sendiri. Membuat perjalanan jadi lebih mudah.
Sebelum mereka menyeberangi perbatasan dari kota terakhir yang mereka kunjungi dalam perjalanan. Ketiganya memutuskan untuk turun dan memisahkan diri dari rombongan. Mereka memutuskan untuk berjalan kaki sampai teritori Amelie.
Dari informasi yang mereka dapat prajurit yang dimiliki oleh Gerulf banyak yang digunakan di luar teritorinya. Keadaan ekonomi teritori yang Gerulf miliki tidak terlalu baik dan tingkat produksi agrikultur mereka juga lebih rendah dari daerah lain. Oleh sebab itulah mereka mencari dana tambahan dengan cara lain.
Mereka menyewakan pasukannya untuk menjaga perbatasan teritori lain. Dan salah satu daerah yang menggunakan jasa itu adalah kota yang baru saja mereka lewati.
Haruki masih belum yakin skema mana yang sebenarnya sedang dimainkan oleh musuh atau bahkan siapa musuh mereka yang sebenarnya, oleh karena itulah dia akan mencari jalan aman dengan menganggap kalau pasukan yang dimiliki Gerulf adalah bagian dari musuh.
Mereka akan masuk ke dalam hutan dan membuat jalur sendiri untuk menyebrangi perbatasan. Medan yang mereka lalui tidak sesulit perjalanan mereka yang sebelum-sebelumnya, sebab hutan yang dimaksud dihimpit oleh tiga teritori yang jaraknya tidak terlalu jauh, tempat itu relatif sering dikunjungi oleh orang di sekitarnya.
Cukup sering untuk bisa meninggalkan jalur yang cukup jelas untuk bisa dilihat tapi masih cukup sepi untuk tidak digunakan sebagai jalur utama perjalanan sebagian besar orang. Jika mereka bisa terus mempertahankan kecepatan mereka sekarang, siangnya mereka sudah akan bisa sampai di rumah Amelie.
"Berhenti."
Erwin mengangkat tangannya dan menghentikan langkah kaki Haruki dan juga Amelie.
"Ada yang aneh. . . aku mendengar langkah kaki lain. . . ."
"Kurasa yang melewati jalur ini bukan hanya kita."
Haruki menjawab sambil memeriksa keadaan sekitar mereka.
"Jumlahnya lumayan banyak, selain itu aku juga mendengar suara metal dan juga kuda."
"Bukan berita bagus. . . kita harus masuk lebih dalam ke hutan."
Erwin dan Amelie mengangguk lalu mengikuti Haruki. Kemudian, begitu mereka merasa cukup jauh dari jalur utama mereka mencari tempat yang cukup tinggi untuk membuat mereka bisa melihat ke jalan yang mereka lalui tadi tanpa ketahuan.
"Sial. . . . . aku sama sekali tidak memperhitungkan hal seperti ini."
Mereka melihat barisan prajurit yang bergerak dengan pelan di bawah mereka. Sebagian besar dari mereka tidak memegang senjata tapi jumlah mereka banyak. Jika mereka tidak keluar dari persembunyiannya kemungkinan besar ketiganya masih bisa selamat, tapi meski begitu keberadaan mereka masih tetap sebuah kabar buruk.
"Dari penampilannya mereka adalah pasukan pembawa logistik. . dan dari bendera yang mereka bawa. . . . . tidak salah lagi kalau mereka adalah prajurit di bawah Gerulf."
Emblem yang tertera di bendera mereka punya desain yang sama dengan apa yang pernah Erwin lihat dulu saat dia pergi ke teritori Gerulf. Dan orang yang membutuhkan supply dari pasukan itu sudah tidak perlu ditanyakan lagi.
Dengan kata lain, persiapan penyerangan ke teritori Amelie sudah dimulai dan kemungkinan besar pasukan utama mereka juga sudah bergerak lewat jalur lain. Sebab pasukan logistik perlu bergerak cepat meski mereka hanya bisa bergerak dengan lambat, mereka mungkin memutuskan menggunakan jalur yang Haruki dan lainnya gunakan sebagai jalan pintas.
"Bagaimana mereka bisa ada di sini? bukankah jalur ini malah lebih jauh dari jalan utama dari teritori orang itu?."
"Kurasa mereka membeli supply dari luar."
Haruki adalah ahli dalam perang menebak kepribadian musuh, tapi kemampuannya itu hanya baru bisa dia gunakan ketika dia sudah benar-benar berhadapan dengan musuhnya. Dengan kata lain, saat apa yang musuh lakukan tidak bisa lihat atau dia kekurangan informasi tentang musuhnya Haruki tidak bisa memaksimalkan kelebihannya dalam perang psikologi.
Amelie dan Haruki sudah saling berbagi informasi tentang musuh mereka, tapi informasi itu sepertinya masih belum cukup. Dan sebab Haruki menggunakan informasi yang tidak cukup itu dia punya asumsi kalau Gerulf tidak akan menganggap serius pertempurannya dengan Amelie karena perbedaan kekuatan mereka yang terlalu besar.
"Hah. . . . . setelah mengatai Amelie sekarang aku melakukan kesalahan yang sama."
Dia salah menebak kepribadian Gerulf. Berdasarkan tindakannya yang menyamarkan pasukannya Haruki mengira kalau Gerulf adalah orang yang banyak melakukan perhitungan sebelum bertindak. Tapi yang sebenarnya malah sebaliknya, dia adalah orang yang akan melakukan apapun dengan serius dan tidak meremehkan musuhnya.
"Dengan begini sudah dipastikan kalau seluruh pasukan Gerulf adalah musuh. . . ."
Dan dengan gerakan terangan-terangan pada keluarga raja yang semacam ini, kemungkinan kalau dia melakukannya karena masalah tahta sudah bisa dicoret. Serta pasukannya mungkin hanya disusupi oleh orang dari organisasi lain. Dengan kata lain, kemungkinan besar dia tidak mendapatkan sponsor dari bangsawan atau kandidat lain yang tidak ingin Amelie ikut dalam perebutan tahta.
Apapun alasannya mengangkat senjata dan membawa pasukan ke teritori keluarga kerajaan adalah hal yang melanggar hukum. Meskipun mereka tidak melukai anggota keluarga kerajaan tapi tetap saja mereka akan diperiksa dan diinterogasi. Jika Gerulf buka mulut dan memberikan nama seseorang, orang itu akan langsung dicoret dari daftar kandat penguasa.
Selain itu dengan kepribadian yang ditunjukannya, dia sama sekali tidak terlihat seperti orang yang mau diatur oleh orang lain.
"Yang tersisa hanyalah perintah macam apa yang diterima pasukannya?."
Apakah mereka diminta untuk membunuh Amelie, atau mereka disuruh untuk menangkap gadis kecil itu.
"Jadi bagaimana Haruki?. . ."
Haruki melihat ke arah Amelie dan Erwin yang juga sedang melihat ke arahnya.
"Apapun pilihannya aku sama sekali tidak tertarik untuk mencobanya! kita akan mendahului mereka keluar dari jalur ini, setelah itu kau pergi dengan Erwin dan mengungsi di rumah keluarganya sedangkan aku akan ke teritorimu dan memperingkatkan semua orang untuk kabur."
"Haruki!!!!. . ."
Seperti yang Haruki perkirakan, Amelie terlihat tidak puas dengan rencananya.
"Dengarkan aku Amelie, cuma ini pilihan kita.."
Kemungkinan besar musuh mengenali wajah Amelie sangat besar. Dan jika mereka melihat gadis kecil itu dalam sekejap mereka akan bertindak untuk menangkap atau membunuhnya. Jika hal itu sampai terjadi usahanya sampai sekarang sama saja dengan sia-sia.
Haruki sudah tidak yakin kalau Gerulf bisa diajak berkompromi atau berdiskusi. Oleh karena itulah dia perlu menjauhkan Amelie dari daerahnya.
"Aku membutuhkanmu untuk melindungi Amelie! Erwin."
Erwin berasal dari salah satu keluarga yang terpandang di Amteric, dengan membawa nama keluarganya saja dia sudah bisa mendapatkan perlakuan baik di banyak tempat bahkan markas militer sekalipun. Karena itulah, meski pemuda itu sudah tidak bisa berkelahi tapi pergi dengannya masih lebih aman daripada pergi bersama Haruki. Setidaknya di dalam daerah Amteric.
Jika situasi semakin sulit bahkan Erwin bisa mengamankan Amelie di rumahnya sendiri di Ibu kota. Di sana tidak akan ada yang mungkin berani menyentuh Amelie dengan sembarangan. Dia mendengar kalau Erwin pada dasarnya kabur dari rumah, tapi dia juga mendengar kalau ayahnya adalah orang yang punya hati sangat lapang.
Lalu yang terakhir, sebagai orang yang kondisinya paling baik Haruki punya mobilitas yang juga paling tinggi. Dia bisa bergerak dengan bebas, selain itu tidak ada orang yang mengenalnya di Amteric sehingga dia bisa kabur dari masalah dengan membuat beberapa alasan yang kedengaran logis.
Hanya dia yang punya kemungkinan paling besar untuk sampai ke teritori Amelie.
"Aku mungkin sudah agak berubah, tapi aku yakin kalau Ibumu masih mengingatku."
Jika dia bisa bertemu dengan Ibunya Amelie, dia bisa memintanya untuk memerintahkan orang-orang di teritorinya untuk mengungsi ke luar.
"Setelah itu aku akan menyusulmu."
"Benarkah?. . "
"Tentu saja."
"Kau tidak bohong."
"Memangnya kapan aku pernah bohong."
"Terlalu sering untuk bisa kuhitung."
"Ini bukan saatnya un. . . ."
Haruki berhenti meneruskan perkataannya. Dan dia melihat wajah khawatir Amelie.
"Kau memang benar. . "
Haruki memang sering berbohong pada Amelie untuk berbagai alasan. Kebanyakan dari mereka adalah untuk mempermainkan Amelie dan menghibur diri, dia juga sering berbohong untuk menutupi masalah yang terjadi di belakang layar, lalu dia juga sudah banyak berbohong agar Amelie bisa menikmati waktunya dengan bebas.
"Tapi meski begitu. . . aku masih punya hal yang bisa kubanggakan."
Haruki tidak pernah membuat rencana yang tidak mungkin dilakukan ataupun punya kemungkinan berhasil sama dengan nol.
"Dan aku ini orang yang bisa melakukan apapun asal aku serius ingin melakukannya."
Karena itulah dia bisa jadi salah satu dari sedikit orang yang masuk pasukan elit di mana kebanyakan dari mereka adalah tulang punggung dari negaranya dalam bidangnya masing-masing. Karena itulah dia jadi ahli strategi pasukan cadangan yang punya tanggung jawab besar.
Sebab ketika dia ingin melakukan sesuatu dia akan menemukan caranya, dan ketika dia menemukan caranya, dia pasti bisa melakukannya.
"Jangan khawatir, aku tidak akan mati dan aku tidak akan membiarkan Ibumu mati."
Dalam membuat sebuah strategi, kepercayaan diri seseorang sama sekali tidak ada pengaruhnya terhadap hasil dari rencana yang dibuatnya. Meski kau tidak percaya diri dengan rencanamu rencana baik akan tetap baik, dan meski kau percaya diri dengan rencanamu rencana buruk akan tetap buruk.
Malah ada banyak kasus di mana kepercayaan diri yang berlebihan malah membuat rencana yang sudah bagus jadi berantakan.
Hal yang paling mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan sebuah rencana adalah eksekusinya.
Kepercayaan diri hanyalah trik dalam komunikasi. Orang yang berbicara dengan nada percaya diri akan memberikan efek kepercayaan diri pada orang lain. Dengan kata lain, menunjukan rasa percaya diri hanyalah cara untuk mempengaruhi cara pikir orang lain. Hanya ada untuk membuat orang lain merasa lebih aman.
Dan rasa aman itu tentu saja sama sekali tidak ada hubungannya dengan hasil akhir dari sebuah rencana.
Di dunia ini tidak ada yang pasti, tapi ketika seseorang bilang 'aku tidak yakin' atau 'aku tidak tahu' mereka akan dipandang dengan negatif. Lalu orang yang bilang 'pasti berhasil' atau 'pasti menang' akan dilihat dengan pandangan positif. Padahal sebenarnya kedua orang itu sama-sama tidak tahu apa yang akan terjadi.
Seseorang bisa dengan yakin menebak kalau sebuah dadu akan menunjukan angka enam, tapi seyakin apapun dia kesempatan untuk angka enam muncul tetaplah satu per enam. Tidak kurang, tidak lebih. Dan yang sebaliknya juga sama saja, setidak yakin apapun kau kesempatan yang kau miliki tetap sama.
"Kau berjanji."
"Ya."
Haruki tahu kepercayaan dirinya sama sekali tidak akan menambah kesempatannya untuk berhasil. Dan biasanya, dia hanya akan menggunakan nada percaya diri agar sarannya bisa diterima oleh orang lain. Dalam eksekusinya sendiri, dia selalu bersiap untuk gagal dan rencananya tidak berjalan sesuai keinginannya dan menyiapkan metode lain sebagai cadangan.
Tapi kali ini lain. Haruki sedang mencoba memotivasi dirinya sendir dan dia juga ingin menghapuskan rasa khawatir gadis kecil di depannya. Entah kenapa melihat Amelie memasang ekspresi seperti tadi membuatnya sangat tidak nyaman.
"Kalau kau berbohong aku akan menghukummu."
"Aku sudah siap."
Sebab jika dia gagal, mungkin dia bahkan tidak akan punya waktu untuk bisa menerima hukumannya.
Dengan begitu, ketiganyapun kembali berjalan dengan menjaga jarak dari jalan utama lalu menaikan kecepatan setelah merasa cukup jauh. Dengan buru-buru mereka bergerak meninggalkan pasukan logistik Gerulf. Jika mereka mampu membuat jarak yang cukup jauh di antara keduanya, maka merekapun harusnya bisa tenang karena tidak perlu lagi khawatir gerak-geriknya ketahuan oleh musuh.
Harusnya.
"Tempat ini. . ."
Kali ini tiba-tiba Haruki yang merasakan sebuah keanehan.
"Ada apa Haruki?."
Haruki tidak langsung menjawab pertanyaan yang dilontarkan Erwin dan hanya melihat ke sekitarnya. Dia memperhatikan pepohonan serta benda-benda yang ada di depan, belakang, kanan, dan kirinya dengan seksama.
"Aku kenal tempat ini."
Setelah setengah jam berjalan dan menjelajahi tempat baru yang seharusnya tidak dia kenal. Perlahan-lahan dia mulai merasa kalau sebelumnya dia pernah ke tempat itu. Dan ingatannya tentang tempat itu sama sekali tidak kabur, semuanya jelas, dan dia bahkan bisa mengingat detail-detail kecil seperti fakta kalau di atas pohon di depannya ada sebuah sangkar burung yang akan menjatuhkan telur di dalamnya.
"Bagaimana bisa? kau baru ke sini kan? sekarang bukan saatnya memikirkan deja-vu seperti itu! kita harus cepat pergi."
"Tidak."
"Apanya yang tidak?."
Haruki memegang keningnya dengan telapak tangan kanannya, setelah itu dia menunjukan ekspresi menyesal yang sangat dalam.
"Aku tidak bisa pergi dari sini."
Amelie yang merasa kalau Haruki bertindak aneh memutuskan mendekati pemuda itu. Hanya saja ketika dia ingin memegang tangan pemuda itu dan memeriksa keadaannya, Haruki menepis tangan Amelie.
"Haruki. . ."
"Maafkan aku Amelie, sepertinya kali ini aku juga harus berbohong padamu."
"Dari tadi kau bicara apa Haruki? kita harus cepat pergi dari sini! kalau kau ingin bicara ngawur tunggu sampai kita tidak ada dalam situasi sulit."
Mendengar Haruki yang terus bicara tidak jelas akhirnya membuat Erwin jadi tidak sabar. Jika dia tidak terluka mungkin dia sudah menampar pemuda di depannya karena membuang-buang waktu.
"Erwin! ganti rencana! aku akan mengulur waktu! setelah itu kau dan Amelie pulang dan segera berangkat mengungsi ke rumah keluargamu secepatnya."
"Ha? mengulur waktu? kau kira kau bisa apa sendirian? kau ini tidak cocok jadi pahlawan."
"Ini bukan tentang masalah semacam itu!!! jika kalian tidak segera pergi kalian bisa mati."
Haruki sama sekali tidak ingin jadi pahlawan, malah bahkan bisa dibilang dia benci pahlawan yang mengorbankan diri.
"Karena itulah aku mengajakmu untuk segera berjalan bodoooohh!!!! sebab kami tidak ingin mati."
"Erwin benar Haruki. . . bukankah kau baru saja membuat rencana? kenapa kau tiba-tiba jadi ingin melakukan hal bodoh seperti ini?."
Haruki menarik nafas panjang dan melihat ke arah langit. Sama seperti dalam ingatannya waktu itu, keadaan langit sekarang juga sudah mulai jadi gelap. Selain awan gelap dan gemuruh petir, tiupan angin yang dingin juga membuat suasana semakin tidak bersahabat.
"Dengarkan aku baik-baik! Erwin! Amelie."
Tekad untuk maju dan keinginan untuk menyerah pada dasarnya adalah sama. Meski bertentangan tapi pada dasarnya keduanya adalah sama-sama sebuah keinginan yang kuat untuk mampu mengorbankan sesuatu.
Yang satu adalah tindakan mengorbankan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang lain,dan yang satunya lagi adalah tindakan mengorbankan sesuatu agar kau tidak lagi harus menanggung sesuatu.
Dan apa yang diputuskan oleh Haruki saat ini. . .
"Aku akan mati di sini. . ."
Adalah dia sudah akan menyerah dan menerima takdirnya untuk mati di tempat itu.
"Salah. . . aku harus mati di sini agar kalian bisa tetap hidup. . karena itulah cepat pergi dari sini dan tinggalkan aku!!"
Jika keduanya tetap berada di dekat Haruki, kemungkinan besar mereka juga akan ikut mati bersamanya. Haruki punya kemampuan untuk meprediksi kematian orang yang dikenalnya, dan kemampuan itu seratus persen akurat. Dengan kata lain, orang yang diprediksi akan mati pasti akan mati tanpa memperdulikan apapun yang dia lakukan untuk mencegahnya.
Tapi saat Haruki mencoba untuk menyelamatkan Erwin dan Amelie setelah mendapatkan prediksi kematian mereka, dia benar-benar berhenti melihat kematian keduanya. Sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Biasanya begitu dia menghentikan satu sebab, dia akan mendapatkan prediksi lain dengan cara kematian yang lain pula.
Dia sudah bersiap untuk mati-matian melawan takdir, tapi ternyata malah tugasnya jauh lebih mudah dari yang dibayangkannya.
"Haru. . ."
"Jangan bantah aku!!!!."
Amelie yang masih belum paham keadaannya ingin kembali membujuk Haruki tapi sebelum dia sempat berbicara lebih Haruki langsung membentaknya dengan keras dan kasar.
"Ikuti saja perintahku dan cepat pergiii!!!!!."
Haruki masih belum melihat prediksi kematian kedua temannya itu, yang berarti jika mereka segera lari dan pergi dari tempat itu maka keduanya masih punya kesempatan sangat besar untuk bisa selamat.
"Apa-ap. . ."
Erwin yang akhirnya kehabisan kesabaran memutuskan kalau dia memang benar-benar perlu mengangkat tangannya untuk membuat Haruki diam. Hanya saja, sebelum dia sempat memberikan hukumannya pada Haruki tiba-tiba dia melihat beberapa orang berseragam militer dan bersenjata keluar dari balik pepohonan.
Dan hujanpun turun dengan deras.